Pages

Selasa, 05 November 2013

185. SYAIKH ABU HASAN ASY SYADZILI DAN HIZIB NASHAR

 
Asy Syaikh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidina Asy Syarif Abul Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama  Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syaikh Abil Hasan Ali asy Syadzily adalah putra dari :
1. Abdullah, bin
2. Abdul Jabbar, bin
3. Tamim, bin
4. Hurmuz, bin
5. Khotim, bin
6. Qushoyyi, bin
7. Yusuf, bin
8. Yusa’, bin
9. Wardi, bin
10. Abu Baththal, bin
11. Ali, bin
12. Ahmad, bin
13. Muhammad, bin
14. ’Isa, bin
15. Idris al Mutsanna, bin
16. Umar, bin
17. Idris, bin
18. Abdullah, bin
19. Hasan al Mutsanna, bin
20. Sayyidina Hasan, bin
21. Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti
22. Sayyidina wa habibina wa syafi’ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi sallam.
Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki  akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.
Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir ‘alaihis salam tersebut, Beliau segera menghadap Syaikh Abi Said al Baji, rohimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syaikh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syaikh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syaikh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama.
Dari Syaikh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syaikh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, Syaikh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Perantauan Mencari Sang Quthub
Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.
Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.
Memang sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syaikh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rahmatullah ‘alaih, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syaikh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syaikh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syaikh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syaikh Abdul Qodir dan lahirnya Syaikh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syaikh Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghouts”.
Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syaikh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rahmatullah ‘alaih. Syaikh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syaikh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala.
Mendengar penuturan beliau, asy Syaikh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”
Berguru Kepada Sang Quthub
Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syaikh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syaikh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syaikh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani,
yang pada saat itu sedang berada di tempat khalwatnya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.
Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.
Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rohmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang
tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.”
Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syaikh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syaikh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.
Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syaikh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syaikh berikan kepada beliau.
Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syaikh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”
Berkata asy Syaikh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”
Di lain waktu guru beliau, rahmatullah ‘alaih, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.
Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.
Asy Syaikh juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan kcridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.
Asy Syaikh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syaikh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syaikh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syaikh Abul Hasan.
Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syaikh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syaikh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :
Beliau, asy Syaikh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :
1. Asy Syaikh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari
2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syaikh al Quthub Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syaikh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari
6. Sayyidisy Syaikh Muhammad Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syaikh Muhammad Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syaikh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syaikh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syaikh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syaikh Abu Muhammad Said, dari
12. Sayyidisy Syaikh Sa’ad, dari
13. Sayyidisy Syaikh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
14. Sayyidisy Syaikh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syaikh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
20. Allah Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.
Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syaikh Abdus Salam bin Masyisy, rahmatullah ‘alaih.
Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.
Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syaikh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syaikh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syaikh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”
“Setelah itu,” lanjut asy Syaikh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj adikan engkau seorang Quthub.”
Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syaikh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syaikh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”
Lanjut asy Syaikh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘
Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syaikh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Di Syadzilah
Seusai berpisah dengan asy Syaikh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenya¬taan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.
Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.
Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).
Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syaikh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaruniakan sebuah mata air untuk meme¬nuhi keperluan beliau.Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”.
Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.
Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syaikh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syaikh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syaikh.
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk¬Ku dan demi cinta kepada-Ku.”
Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.
Diceritakan oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta  yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘
Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syaikh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Di Tunis
Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, ‘alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini
terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau. Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro’. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.
Asy Syaikh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain:
·         Asy Syaikh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily,
·         Abu Abdullah ash Shobuni,
·         Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni,
·         Abu Abdullah al Bajja’i al Khayyath,
·         Dan Abu Abdullah al Jarihi.
Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci asy Syaikh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur sekitar 25 tahun.
Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syaikh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syaikh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.
Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syaikh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro’. Timbul prasangka buruk bahwa Syaikh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan asy Syaikh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rahmatullah ‘alaih.
Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syaikh Abil Hasan Syadzily, rahmatullah ‘alaih.
Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syaikh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.
Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul Baro’ sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syaikh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syaikh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.
Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syaikh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syaikh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.
Sewaktu asy Syaikh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syaikh yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi. Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro’. Bagi dia, kembalinya asy Syaikh berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu. Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syaikh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.
Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syaikh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syaikh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.
Di antara murid-murid asy Syaikh yang datang dari luar negeri Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy Syaikh sendiri, yang bernama Abul Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syaikh dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy Syaikh berkata, “Aku tentu tidak akanditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini.Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku.” Menurut sebuah catatan, pemuda al Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy Syaikh Abdus Salam sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.
Kembalinya asy Syaikh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalahsemata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti
yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syaikh Abdus Salam bin Masyisy. Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.
Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy Syaikh bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri Mesir.” Kemudian Rosululloh melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin.”
Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy Syaikh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan ‘langkah pertama’, adalah karena atas perintah guru beliau, asy Syaikh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy Syaikh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bermukim di Mesir
Beberapa hari asy Syaikh dan rombongan melakukan perjalanan, tibalah asy Syaikh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah,pads saat asy Syaikh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Dan, karena takdir Allah  jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syaikh Abul Hajjaj al Aqshory, rahmatullah ‘alaih, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syaikh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu jugatelah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syaikh Abul Hajjaj al Agshory.
Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan ! ” Pertemuan mereka dengan asy Syaikh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.
Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).
Di tempat itu pula asy Syaikh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syaikh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syaikh Syahabuddin Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan ‘Arifatul Khair. Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syaikh bersama ibunda mereka.
Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di “negeri para Ulama” ini pun asy Syaikh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy Syaikh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syaikh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai’at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” Beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga danpetinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Paraorang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syaikh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai’at kepada asy Syaikh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.
Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti:
·         Sulthonul ‘Ulama Sayyid asy Syaikh ‘Izzuddin bin Abdus Salam,
·         asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah,
·         asy Syaikh al Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil ‘led,
·         asy Syaikh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul ‘Adhim al Mundziri,
·         asy Syaikh Ibnush Sholah,
·         asy Syaikh Ibnul Haajib,
·         asy Syaikh Jamaluddin Ushfur,
·         asy Syaikh Nabihuddin bin’Auf,
·         asy Syaikh Muhyiddin bin Suroqoh,
·         dan al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al
Imamul Akbar Sayyidisy Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabi, rahmatullah ‘alaih, wafat tahun 638 H./1240 M.),·        
serta masih banyak lagi yang lainnya.
Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syaikh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syaikh untuk berdakwah adalah di perguruan “Al Kamilah”.
Selain dakwah dan syiar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.
Thoriqot yang asy Syaikh terima dari guru beliau, asy Syaikh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalampandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepadaAllah subhanahu wa ta’ala.
Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham danmaqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.
Di samping kiprah Beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syaikh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syaikh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliaubersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.
Selain Syaikh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam, Syaikh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi,Syaikh Muhyiddin bin Suroqoh, dan Syaikh Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelahh selesai mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.
Dan, alhamdulillah, karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syaikh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syaikh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy Syaikh lalu kembali ke Iskandaria.
Wafatnya Asy Syaikh Abil Hasan Asy Syadzily
Asy Syaikh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syaikh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syaikh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy Syaikh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syaikh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”
Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir, asy Syaikh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelahmereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syaikh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asy Syaikh.
Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy Syaikh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, asy Syaikh mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a’dhom, yaitu nama-nama Allah Yang Maha Agung.”
Kemudian, setelah asy Syaikh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy Syaikh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syaikh Abul Abbas al Marsi,meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya. Setelah asy Syaikh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Allah subhanahu wa ta’ala, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Pada waktu antara maghrib dan ‘isya, Beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian Beliau memanggil asy Syaikh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rahmatullah ‘alaih, salah satu putera beliau, “Hai Muhammad, tempat itu (asy Syaikh menunjuk ke sebuah timba) agar engkauisi dengan air sumur itu.” Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya me¬mang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.
Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syaikh Syarafuddin menawarkan kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy Syaikh mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian.” Selanjutnya oleh putera Beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syaikh kehen¬daki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syaikh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali kedalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Allah Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.
Setelah itu kemudian asy Syaikh mengerjakan sholat ‘isya lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syaikh lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Allah subhanahu wa ta’ala (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau. Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syaikh memanggil-manggilTuhannya dengan mengucapkan, “Ilaahiy, ilaahiy, ” (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ………..). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan mengucapkan, “Allahumma mataa yakuunul liqo’ ?” (“Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syaikh dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.
Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syaikh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syaikh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syaikh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu lalu menggerak-gerakkan tubuh asy Syaikh. Sedikit terkejut dan tertegun Syaikh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syaikh al Imam al Quthub, rodhiyallahu ‘anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji ‘un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syaikh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama,shiddiqin, dan auliya’ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta’ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syaikh al Waly Badruddin bin Jamaah.Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu, selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.
Dasar-dasar Pemikiran Syaikh Abul Hasan Ali Asy Syadzili :
• Seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf, maka terlebih dahulu harus mendalami dan memahami ajaran Syari’ah.
• Beliau mengajarkan ajaran Tasawuf kepada murid-muridnya dengan menggunakan 7 kitab; yaitu :
1. Khatam Al Auliyah karya Al Hakim At Tirmidzi ( menguraikan tentang masalah kewalian dan Kenabian )
2. Al Mawaqif wa Al Mukhatabah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Jabbar An Nifari ( menguraikan tentang kerinduan Tokoh sufi kepada Allah swt )
3. Qutub Qulub karya Abu Tholib Al Makki ( menguraikan pandangan tokoh sufi yang menjelaskan Syari’at dan hakikat bersatu )
4. Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali ( Paduan antara Syari’at dan Tasawuf )
5. Al Syifa’ karya Qadhi Iyadh ( dipergunakan untuk mengambil sumber Syarah-syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang Ahli Fiqih )
6. Ar Risalah Qusyairiyah karya Imam Qusyairi ( dipergunakan beliau untuk permulaan dalam pengajaran Tasawuf )
7. Ar Muhararul Wajiz dan Al Hikam karya Ibnu Aththa’illah ( melengkapi pengetahuan dalam pengajian )
Karya Syaikh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Majmu’atul Ahzab ( Kumpulan Hizib-wirid )
• Mafakhirul ‘Aliyah
• Al Amin
• As Sirrul Jalil fi Khawashi Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil
• Hizbus Syadzili ( partai terkenal di Afrika )
Pendapat Ulama tentang Syaikh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Al-Manawi berkata : ketika ditanya orang siapa Syaikh nya; Syaikh Abu Hasan Ali menjawab : “Adapun pada masa lalu, Syaikh Abdus Salam Masyisy, sekarang aku minum dari sepuluh lautan, lima diantaranya di langit dan lima di bumi.”
• Al-Mursi berkata : “Allah swt pernah membukakan tabir pemandanganku, maka Ku lihat Syaikh Abu Madyan bergantung di tiang Arasy. Aku mengajukan pertanyaan :
”Berapa banyak ilmu anda?”
Dia menjawab :”71”
Aku bertanya lagi : “Apa Jabatanmu?”
Dia menjawab :”Khalifah keempat dan pemimpin 7 wali Abdal Kutanya lagi :”Bagaimana pendapatmu tentang Abu Hasan  Asy-Syazili?”
Dia menjawab :”Dia lebih dari padaku dengan 40 Ulama, dia Adalah samudera tidak bertepi.”
• Abu Abdullah As-Syatibi berkata : “ Aku setiap malam mengadakan hubungan dengan Syaikh Abu Hasan beberap kali. Aku mohon berbagai hajat kepada Allah swt, dengan perantaraannya. Ternyata hajatku dikabulkan Allah swt. Pada suatu malam, aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku bertanya kepada beliau :
”Wahai Rasulullah saw, relakah rasul kepada Abu Hasan. Aku selalu bermohon kepada Allah swt dengan perantaraan beliau, ternyata doa’ ku makbul. Bagaimana pendapat Rasulullah tentang dirinya?
Beliau bersabda :
“Abu Hasan itu adalah putraku, secara rohaniah. Anak adalah bagian dari Ayah. Siapa yang berpegang kepada sebagian, berarti sesungguhnya berpegang pada semua. Apabila kamu meminta kepada Allah swt dengan perantaraan Syaikh Abu Hasan, maka sesungguhnya kamu telah memohon kepada Allah swt dengan perantaraanku.”
Wasiat dan Nasihat Syaikh Abul Hasan Ali Asy Syadzili
• Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakana pada dirimu : Sesungguhnya Allah swt menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah terlebih dahulu.
• Kembalilah dari menentang Allah swt, maka engkau menjadi Ahli Tauhid. Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.
• Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah swt dengan cara yang benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.
• Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah swt, sampaikan lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan cahaya kepada kalian.
• Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah swt, menjauhkan diri segala hal selain Allah swt. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa tergolong orang-orang saleh.
• Manakala zikir terasa berat di lisanmu, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat, memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah swt dan ikhlas beragama.
PENGERTIAN HIZIB
Hizib berasal dari bahasa Arab: HIZBUN. Yang artinya: kelompok, golongan, partai, jenis, wirid, senjata. Dan dalam hal ini arti yang cocok adalah jenis wirid.
Hizib adalah himpunan ayat-ayat Al-Qur’an dan untaian kalimat zikir, Asma Allah (ismul a’azham) dan do’a yang disusun untuk diamalkan dengan membacanya atau diwiridkan (diucapkan berulang-ulang) sebagai salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala (Taqarrub Ilallah).
Jadi kandungan dari sebuah Hizib selain berisi pujian mengagungkan Asma Allah subhanahu wa ta’ala dan shalawat Nabi juga mengandung doa untuk memohon pertolongan kepada Allah. Hizib juga mengandung banyak rahasia (sirr) yang sulit dipahami oleh orang awam, seperti kutipan beberapa ayat Al Quran yang terkadang isinya seperti tidak terkait dengan lafal rangkaian doa sebelumnya. Para ahli Hizib berpendapat bahwa dalam hal ini yang terkait adalah asbabun nuzul-nya.
Hizib yang Haq (benar) secara langsung atau tidak, akan bersumber dari ayat-ayat Al Quran, dalil hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan doa-doa yang baik. Sedangkan Hizib yang bertentangan dengan nash (Al Quran dan Hadist) baik dalam lafal hizib maupun fungsi dari hizib, maka hizib tersebut sesat.
Ada beberapa macam Hizib yang diragukan kebenarannya, karena lafal atau penggunaannya yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Contohnya hizib-hizib sihir untuk menyakiti manusia, untuk berbuat hina/nista dan berbagai macam Hizib yang tidak menganjurkan pengamalnya untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Karomah HIZIB
Penyusun Hizib biasanya adalah tokoh pengasas, pelopor atau pemimpin aliran tasawuf / tarekat sufi yang disebut sebagai seorang Mursyid. Maka ilmu HIZIB ini banyak diamalkan oleh para pengikut tasawuf.
Bagi sebagian orang pengikut tasawuf percaya bahwa dalam suatu Hizib terkandung rahasia-rahasia ghoib yang berhasil diungkapkan oleh sang mursyid (penyusun Hizib tersebut). Kesucian dan kesalehan seorang Mursyid hingga diberi karunia oleh Allah untuk menyingkap rahasia ilahi, yang tidak setiap manusia diberi pengetahuan tentang hal ghoib ini, maka tak sedikit para pengikut tawasuf yang kemudian mengkultuskan sang Mursyid sebagai salah satu Wali Allah (kekasih Allah).
Karena keterikatannya dengan sang wali tersebut, Hizib dianggap memiliki khowas. Para Wali Allah adalah orang yang sangat dekat dengan Allah swt. Berkaitan dengan hal tersebut orang yang mengamalkan hizib bisa berwasilah melalui wali kekasih Allah yang dimaksud, sehingga dipercaya oleh sebagian besar pengikut tasawuf bahwa khowas dari sang wali akan timbul melalui hizib yang dibacanya.( Wallahu a’lam)
Macam-macam HIZIB
Beberapa contoh Hizib:
Hizib Bahr, dikarang oleh As-sayyid asy-Sayiakh Abil Hasan Asy-Syadzili, Pengasas Tarekat Syadziliyah. Dalam hizib ini termaktub doa (fadilah/khasiat) untuk melancarkan berbagai macam usaha dan kerejekian.
Hizib Nashar. Oleh As-sayyid asy-Sayiakh Abil Hasan Asy-Syadzili, (Tarekat Syadziliyah). Dalam hizib ini terkandung doa untuk segala hajat, kerejekian dan keselamatan. Beberapa kyai menyebutkan karomah Hizib ini dapat digunakan untuk membebaskan orang yang terpenjara (teraniaya). Selain hizib tersebut tadi ada lagi Hizib Lathif, Hizib Ikhfa’, Hizib Falah.
Hizib Ghazali & Hizib Autad, (oleh Syeikh Imam Al Ghazali, Tarekat Ghazaliyyah). Dalam Hizib Autad ini terangkum zikir mengagungkan asma Allah yang diwirid setiap hari. Dalam berbagai kitab diterangkan zikir ini bermanfaat sangat banyak, salah satunya untuk melancarkan segala hajat keperluan.
Hizib Jaylani, Hizib Al-Hifzh, Hizib An-Nur (oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani, Tarekat Qadiriyyah). Dalam Hizib Jaylani ini terkandung doa untuk keselamatan. Beberapa guru spiritual menerangkan bahwa Hizib ini juga berkhasiat dapat menumbuhkan kesaktian pada diri sang pengamalnya.
Hizib Wiqayah oleh Ibn Arabi
Hizib An-Nawawi oleh Al-Imam An-Nawawi
Hizib Barqi
Hizib Saefi
Hizib Munajat
Hizib Muroqobah wa Syuhud
Dan lain-lain.
Seyogyanya seseorang yang ingin mengamalkan Hizib terlebih dulu harus menerima ijin atau ijazah dari Guru tarekat tasawuf yang terkait dengan Hizib tersebut.
HIZIB NASHR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمْ
اَللَّهُمَّ ِبسَطْوَةِ جَبَرُوْتِ قـَهْرِكَ وَبِسُرْعَةِ ِاغَاثَةِ نَصْرِكَ وَبِغَيْرَتِكَ لِانْتِهَاكِ حُرُمَـاتِكَ وَبِحِمَايَتِكَ لِمَنِ احْتَمَى بـِآيَاتِكَ. نَسْأَلُكَ يَااَللهُ يَاسَمِيعُ يَاقـَرِيبُ يَامُجِيبُ ياَسَرِيعُ يَامُنْتـَقِمُ يَاشَدِيْدَ اْلبَطْشِ يَاجَبَّارُ يَاقهَّارُ يَامَنْ لاَيُعْجِزُهُ قَـهْرُ الْجَبَابِرَةِ وَلاَ يَعْظُمُ عَلَيْهِ هَلاَكُ اْلمُتـَمَرِّدَةِ مِنَ اْلمُلـُوْكِ وَاْلأكَاسِرَةِ اَنْ تَجْعَلَ كَيْدَ مَنْ كَادَنِى فِي نَحْرِهِ وَمَكْرَمَنْ مَكَرَبِى عَائِدًا عَلَيْهِ وَحُـفـْرَةَ مَنْ حَفَرَ لِى َواقِعًا فِيْهاَ وَمَنْ نَصَبَ لِى شَبَكَة َ الْخِدَاعِ ِاجْعَلْهُ يَا سَيِّدِىْ مُسَاقاً اِلَيْهَا وَمُصاَدًا فِيْهَا وَاَسِيْرًا لَدَيْهَا. اَللَّهُمَّ بِحَقِّ كهيعص اِكْفِنَا هَمَّ اْلعِدَا وَلَقِّهِمُ الرَّدَا وَاجْعَلْهُمْ لِكُلِّ حَبِيْبٍ ِفدَا وَسَلِّطْ عَلَيْهِمْ عَاجِلَ النِّقـْمَةِ فِى اْليَوْمِ وَالْغَدَا، اَللَّهُمَّ بَدِّدْ شَمْلَهُمْ الَلَّهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ اَللَّهُمَّ اَقْلِلْ عَدَدَهُمْ اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الدَّائِرَةَ عَلَيْهِمْ اَللَّهُمَّ اَوْصِلِ اْلعَذاَبَ ِالَيْهِمْ اَللَّهُمَّ اَخْرِجْهُمْ عَنْ دَائِرَةِ اْلحِلْمِ وَاسْلـُبْهُمْ مَدَدَ الإِمْهَالِ وَغُلَّ أَيْدِيَهـُمْ وَارْبُطْ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ وَلاَ تُبَلِّغْهُمُ اْلأمَالَ اَللَّهُمَّ مَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ مَزَّقْتَهُ مِنْ اَعْدَائِكَ اِنْتِصَارًا ِلأَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ وَاَوْلِيَآئِكَ، }اَللَّهُمَّ انْتَصِرْلَنَا اِنْتِصَارَكَ ِلأَحْبَابِكَ عَلىَ اَعْدَائِكَ ×3{  اَللَّهُمَّ لاَتُمَكِّنِ اْلأعْدَاءَ فِيْنَا وَلاَ تُسَلِّطْهُمْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا ×3} حم حم حم حم حم حم حم حُمَّ اْلأَمْرُ وَجَآءَ النَّصْرُ فَعَلَيْنَالاَ يُنْصَرُوْنَ. حمعسق حِمَايَتـُنَا ِممَّا نَخَافُ اَللَّهُمَّ قِنَا شَرَّ اْلأسْوَاءِ وَلاَ تَجْعَلْنَا مَحَلاً ِللْبَلْوَى اَللَّهُمَّ اَعْطِنَا اَمَلَ الرَّجَاءِ وَفَوْقَ اْلأَمَلِ يَاهُوْ يَاهُوْ ياَهُوْ يَامَنْ بِفَضْلِهِ لِفَضْلِهِ نَسْأَلُـكَ اْلَعَجَلَ َالْعَجَلَ اِلَهِى الْإِجَابَةَ الْإجَابَةَ يَا مَنْ اَجَابَ نُوْحاً فِى قَوْمِهِ وَيَامَنْ نَصَرَ اِبْرَاهِيْمَ عَلىَ اَعْدَائِهِ َويَامَنْ رَدَّ يُوْسُفَ عَلىَ يَعْقُوْبَ يَا مَنْ كَشَفَ ضُرَّ اَيُّوْبَ يَا مَنْ اَجَابَ دَعْوَةَ زَكَرِيَّا يَامَنْ قـَبِلَ تَسْبِيْحَ يُوْنُسَ بْنِ مَتـَّى نَسْأَلـُكَ بِأَسْرَارِ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ اَنْ تَـقَـبَّلَ مَابِهِ دَعَوْنَاكَ وَاَنْ تُعْطِيَنَا مَاسَأَلْنَاكَ اَنْجِزْ لَنَا وَعْدَكَ الَّذِى وَعَدْتَهُ لِعِبَادِكَ اْلمُؤْمِنِينَ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ اِنْقَطَعَتْ اَمَالُنَا وَعِزَّتِكَ اِلاَّ مِنْكَ وَخَابَ رَجَاؤُنَا وَحَقِّكَ اِلاَّ فِيكَ ” اِنْ اَبْطَأَتْ غَارَةُ اْلأرْحَامِ وَابْتَعَدَتْ-   فَأقْرَبُ الشَّيْئِ مِنَّا غَارَةُ اللهِ، يَاغَارَةَاللهِ جِدِّى السَّيْرَ مُسْرِعَة ًفِى حَلِّ عُقْدَتِنَا يَا غَارَةَاللهِ. عَدَتِ اْلعَادُوْنَ وَجَارُوْا وَرَجَوْنَا اللهَ مُجِيْرًا وَكَفَى بِاللهِ وَلِيـًّا وَكَفَى بِاللهِ نَصِيْرًا وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ، سَلاَمٌ عَلَى نُوْحٍ فِى اْلعَالَمِينْ }اِسْتَجِبْ لَنَا آمِينْ ×3{ فَقـُطِعَ دَابِرُ ْالقـَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ.

BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM. ALLOOHUMMA BISATHWATI JABARUUTI QOHRIKA. WABISUR’ATI IGHOOTSATI NASHRIKA. WABIGHOIROTIKA LINTIHAAKI HURUMAATIKA. WABIHIMAAYATIKA LIMANIHTAMAA BIAAYAATIKA. NAS-ALUKA YAA ALLAH YAA SAMII’U YAA QORIIBU YAA MUJIIBU YAA SARII’U YAA MUNTAQIMU YAA SYADIIDAL BATHSYI YAA JABBAARU YAA QOHHAARU. YAAMAN LAA YU’JIZUHU QOHRUL JABAABIROTI. WALAA YA’DHUMU ‘ALAIHI HALAAKUL MUTAMARRIDATI MINAL MULUUKI WAL AKAASIROTI AN TAJ’ALA KAIDA MAN KAADANII FII NAHRIHI. WAMAKRO MAN MAKARONII. ‘AA-IDAN ‘ALAIHI WAHUFROTA MAN HAFAROLII WAAQI’AAN FIIHAA. WAMAN NASHOBALII SYABAKATAL KHIDAA’I. IJ’ALHU YAA SAYYIDII MUSAAQON ILAIHAA. WAMUSHOODAN FIIHAA. WA ASIIRON LADAIHAA. ALLOOHUMMA BIHAQQI KAAF HAA YAA ‘AIIN SHOOD IKFINAA HAMMAL ‘IDAA WALAQQIHIMUR RODAA WAJ’ALHUM LIKULLI HABIIBIN FIDAA WASALLITH ‘ALAIHIM ‘AAJILAN NIQMATI FIL YAUMI WAL GHODAA. ALLOOHUMMA BADDID SYAMLAHUM. ALLOOHUMMA FARRIQ JAM’AHUM. ALLOOHUMMA AQLIL ‘ADADAHUM. ALLOOHUMMAJ’ALID DAA-IROTA ‘ALAIHIM. ALLOOHUMMA AUSHIL ‘ADZAABA ILAHIM. ALLOOHUMMA AKHRIJHUM ‘AN DAA’IROTIL HILMI. WASLUBHUM MADADAL IMHAALI. WAGHULLA AIDIYAHUM. WARBUTH ‘ALAA QULUUBIHIM. WALAA TUBALLIGHHUMUL AAMAAL. ALLOOHUMMA MAZ-ZIQHUM KULLA MUMAZ-ZAK. MAZZAQTAHU MIN A’DAA-IKA. INTISHOORON LI AMBIYAA-IKA WARUSULIKA WA AULIYAA-IKA. {ALLOOHUMMAN TASHIR LANAAN TISHOOROKA LI-AHBAABIKA ‘ALAA A’DAA-IKA 3X}. ALLOOHUMMA LAATUMAKKINIL A’DAA-A FIINAA WALAA TUSALLITHHUM ‘ALAINAA BIDZUNUUBINA 3X}. {HAA MIIM 7 X} HUMMAL AMRU WAJAA-AN NASHRU FA’ALAINAA LAA YUNSHORUUNA. HAA MIIM ‘AIIN SIIN QOOF. HIMAAYATUNAA MIMMAA NAKHOOFU. ALLOOHUMMA QINAA SYARROL- ASWAA-I. WALAA TAJ’ALNAA MAHALLAL LILBALWAA. ALLOOHUMMA A’THINAA AMALAR ROJAA-I. WAFAUQOL AMALI. ( YAHU 3 X ). YAA MAN BIFADHLIHI LIFADHLIHI NAS-ALUKA ( AL’AJALA 2 X ). ILAAHIIL IJAABATAL IJAABATA. YAA MAN AJAABA NUUHAN FII QAUMIHI. WAYAA MAN NASHORO IBROOHIIMA ‘ALAA A’DAA-IHI. WAYAA MAN RODDA YUUSUFA ‘ALAA YA’QUUBA. YAAMAN KASYAFA DHURRO AYYUUBA. YAAMAN AJAABA DA’WATA ZAKARIYYAA. YAAMAN QOBILA TASBIIHA YUUNUS BIN MATTAA. NAS-ALUKA BIASROORI HAADZIHID DA’AWAATI AN TAQOBBALA MAA BIHI DA’AUNAAKA WA AN TU’THIYANAA MAA SA-ALNAAKA. ANJIZLANAA WA’DAKAL LADZII WA’ADTAHUU LI’IBAADIKAL MU’MINIINA. LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINADH-DHOOLIMIINA. INQOTHO’AT AAMAALUNAA WA’IZZATIKA ILLAA MINKA WAKHOOBA ROJAA-UNAA WAHAQQIKA ILLAA FIIKA. IN ABTHOO-AT GHOOROTUL ARHAAMI WABTA’ADAT. FA-AQROBUSY-SYAY-I MINNAA GHOOROTULLAAHI. YAA GHOOROTALLAAHI JIDDIS SAIRO MUSRI’ATAN. FII HALLI ‘UQDATINAA YAA GHOOROTALLAAHI. ‘ADATIL ‘AADUUNA WAJAARUU WAROJAUNAALLAAHA MUJIIRON. WAKAFAA BILLAAHI WALIYYAN. WAKAFAA BILLAAHI NASHIIRON.  WAHASBUNALLAAHU WANI’MAL WAKIILU. WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL ‘ALIYYIL ‘ADZIIM. SALAAMUN ‘ALAA NUUHIN FIL ‘AALAMIINA. ( ISTAJIB LANAA AMIIN 3 X ). FAQUTHI’A DAABIRUL QAUMIL LADZIINA ZHOLAMUU WALHAMDULILLAAHI ROBBIL ‘AALAMIINA. WASHOLALLAAHU ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHI WASHOHBIHII WASALLAM.

Artinya : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Yaa Allah dengan cambuk penjagaan Engkau. Dan dengan sifat keperkasaann Engkau. Dan dengan sifat nasor (pertolongan ) Engkau karena kehormatan Engkau supaya Engkau menjaga orang-orang yang minta dijaga dengan ayat-ayat Engkau Saya minta kepada Engkau yaa Allah. Hai Dzat yang Maha Mendengar. Hai Dzat yang Maha Dekat. Hai Dzat yang Maha Mengabulkan do’a. Hai Dzat yang menjalankan nasib. Hai Dzat yang berat siksanya. Hai Dzat yang Perkasa. Hai Dzat yang tidak akan mengalahkan orang-orang yang dijaga oleh Engkau dari orang-orang yang berbuat aniaya dan tidak akan memuliakan orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan dari orang-orang yang berbuat keji dari tiap-tiap raja dan penguasa. Dan Engkau menjadikan tipuan kepada orang-orang yang akan menipu diri Saya dan orang yang mengadu domba diri Saya. Dan orang yang memasang perangkap kepada Saya. Semoga Engkau menjadikan mereka yaa Gusti orang yang terperangkap sendiri sehingga mereka menjerit dalam tawanan. Yaa Allah dengan haknya Kaaf Haa Yaa ‘Aiin Shood selamatkanlah Saya dari niat jahatnya musuh-musuh dan temukanlah musuh itu dalam kesusahan. Atau jadikanlah musuh-musuh Saya menjadi kekasihku. Atau jadikanlah musuh-musuh Saya supaya disiksa dikemudian hari.Yaa Allah porak porandakanlah kumpulan musuh-musuh Saya. Yaa Allah bubarkanlah kumpulan musuh-musuh Saya. Yaa Allah sudahilah ( sedikitkanlah ) bilangan musuh-musuh Saya. Yaa Allah jadikanlah lingkaran siksa kepada musuh-musuh Saya. Yaa Allah datangkanlah siksa kepada musuh-musuh Saya. Yaa Allah keluarkanlah musuh-musuh Saya dengan sifat dermawan Engkau dan bebanilah tangan musuh- musuh Saya. Dan resahkanlah hatinya dan janganlah Engkau mendatangkan cita citanya musuh-musuh saya. Yaa Allah pecah belahkanlah tiap musuh-musuh Saya seperti Engkau memecah belahkan musuh-musuh Engkau dalam menolong para nabi Engkau dan para utusan Engkau dan para wali Engkau. Yaa Allah tolonglah Saya seperti Engkau menolong kepada para kekasih Engkau dari tiap-tiap musuh-musuh Engkau 3 x. Yaa Allah janganlah Engkau membolehkan musuh-musuh Saya datang dan janganlah Engkau membinasakan Saya sebab dosa-dosa Saya 3 x. Haa Miim 7 x. Sudah dipastikan jika pertolongan sudah datang kepada Saya. Haa Miim ‘Aiin Siin Qoof maka musuh pasti kalah.Yaa Allah jagalah diri Saya dari tiap-tiap perkara yang menyusahkan. Dan janganlah Engkau menempatkan Saya ketempat yang membahayakan. Yaa Allah semoga Engkau memberikan kepada Saya perkara yang aku harapkan Yaa Huu 3 x Hai Dzat yang Maha Memberi anugerah Saya mohon kepada Engkau pemberian cepat cepat. Yaa Tuhan Saya semoga Engkau mengabulkan permohonan Saya. Hai Dzat yang mengabulkan do’anya Nabi Nuh kepada kaumnya. Hai Dzat yang menolong Nabi Ibarahim kepada musuhnya. Hai Dzat yang mengembalikan Nabi Yusuf kepada Nabi Yaqub. Hai Dzat yang melepaskan kesusahan Nabi Ayub. Hai Dzat yang mengabulkan do’anya Nabi Zakaria. Hai Dzat yang menerima bacaan tasbihnya Nabi Yunus bin Mata. Saya mohon kepada Engkau dengan rahasianya do’a ini semoga Engkau menerima perkara yang aku mohonkan kepada Engkau. Dan memberikan apa yang aku mohonkan kepada Engkau. Semoga Engkau melestarikan kepada Saya dengan janji Engkau seperti Engkau telah menjanjikan kepada orang-orang mu’min. Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau sesungguhnya Saya tergolong orang-orang yang susah maka janganlah Engkau memutuskan apa yang Saya harapkan. Demi Dzat keagungan Engkau kecuali kepada Engkau tidak akan kalah apa yang Saya harapkan. Demi haknya Engkau jika terlambat bantuan dari saudara Saya maka jauhkanlah mereka dari Saya. Dan dekatkanlah kepada Saya bantuan dari Allah. Hai para bantuan Allah cepat cepatlah tindakan Mu dalam melepaskan kesusahan Saya. Hai para bantuan Allah mereka sudah melewati batas dan sudah berbuat semena-mena dan hanya kepada Allah aku berharap. Dan cukup hanya Allah yang menolong Saya juga cukup bagi Saya hanya Allah sebaik baiknya penolong. Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Agung. Keselamatan terlimpah kepada Nabi Nuh dari Tuhan seluruh alam. Kabulkanlah do’a Saya aamiin 3 x. Dan putuskanlah barisan kaum yang dholim. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. Semoga shawat dan salam selalu Allah limpahkan kepada pemimpin kami Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat sahabatnya.
Kegunaannya :
Ø  Lafad :
اَللَّهُمَّ ِبسَطْوَةِ جَبَرُوْتِ قـَهْرِكَ وَبِسُرْعَةِ ِاغَاثَةِ نَصْرِكَ وَبِغَيْرَتِكَ لِانْتِهَاكِ حُرُمَـاتِكَ وَبِحِمَايَتِكَ لِمَنِ احْتَمَى بـِآيَاتِكَ. نَسْأَلُكَ يَااَللهُ يَاسَمِيعُ يَاقـَرِيبُ يَامُجِيبُ ياَسَرِيعُ يَامُنْتـَقِمُ    7X
dibaca sebanyak 7 x dengan menghadapi gelas yang berisi air putih kemudian diminumkan pada orang yang sedang sakit gila, ayan ( epilepsi ) dll.
Ø  Lafad :
يَاشَدِيْدَ اْلبَطْشِ يَاجَبَّارُ يَاقهَّارُ يَامَنْ لاَيُعْجِزُهُ قَـهْرُ الْجَبَابِرَةِ وَلاَ يَعْظُمُ عَلَيْهِ هَلاَكُ اْلمُتـَمَرِّدَةِ مِنَ اْلمُلـُوْكِ وَاْلأكَاسِرَةِ اَنْ تَجْعَلَ كَيْدَ مَنْ كَادَنِى فِي نَحْرِهِ وَمَكْرَمَنْ مَكَرَبِى عَائِدًا عَلَيْهِ وَحُـفـْرَةَ مَنْ حَفَرَ لِى َواقِعًا فِيْهاَ   1X
di baca 1 x dan ditambahi lafad : YAA ALLAH sebanyak 3 x, kemudian ditiupkan di kedua telapak tangan, lalu diusap usapkan ke seluruh badan Insya Allah tidak mempan segala macam senjata tajam (kebal).
Ø  Lafad :
وَمَنْ نَصَبَ لِى شَبَكَة َ الْخِدَاعِ ِاجْعَلْهُ يَا سَيِّدِىْ مُسَاقاً اِلَيْهَا وَمُصاَدًا فِيْهَا وَاَسِيْرًا لَدَيْهَا. اَللَّهُمَّ بِحَقِّ كهيعص اِكْفِنَا هَمَّ اْلعِدَا وَلَقِّهِمُ الرَّدَا وَاجْعَلْهُمْ لِكُلِّ حَبِيْبٍ ِفدَا وَسَلِّطْ عَلَيْهِمْ عَاجِلَ النِّقـْمَةِ فِى اْليَوْمِ وَالْغَدَا  3x
dibaca 3 x, untuk menangkis pukulan musuh.
Ø  Lafad :
اَللَّهُمَّ بَدِّدْ شَمْلَهُمْ الَلَّهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ اَللَّهُمَّ اَقْلِلْ عَدَدَهُمْ اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الدَّائِرَةَ عَلَيْهِمْ اَللَّهُمَّ اَوْصِلِ اْلعَذاَبَ ِالَيْهِمْ اَللَّهُمَّ اَخْرِجْهُمْ عَنْ دَائِرَةِ اْلحِلْمِ وَاسْلـُبْهُمْ مَدَدَ الإِمْهَالِ وَغُلَّ أَيْدِيَهـُمْ وَارْبُطْ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ وَلاَ تُبَلِّغْهُمُ اْلأمَالَ اَللَّهُمَّ مَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ مَزَّقْتَهُ مِنْ اَعْدَائِكَ اِنْتِصَارًا ِلأَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ وَاَوْلِيَآئِكَ، اَللَّهُمَّ انْتَصِرْلَنَا اِنْتِصَارَكَ ِلأَحْبَابِكَ عَلىَ اَعْدَائِكَ ×3
        bila dibaca sebanyak 3 x, ketika dikeroyok orang banyak, Insya Allah tidak sampai mengenai kita, tetapi dengan catatan kita dalam pihak yang benar.
        Untuk memohon rizki yang banyak dan barokah.
        Untuk mengeluarkan orang yang ditawan. Cara mengamalkannya :
Puasa selama 7 hari dimulai pada tanggal 1 atau 15 Qomariyah dan pada akhir puasa tidak boleh tidur selama sehari semalam, tapi pada malam harinya Anda boleh makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya Anda selamatan nasi disertai telur ayam paling sedikitnya 7 butir. Dan sebelum Anda memulai puasa, sebaiknya Anda mandi keramas terlebih dahulu pada hari pertama puasa. Selama puasa pada tengah malam Anda shalat Taubat, shalat Hajat, dilanjutkan silsilah kepada :
·       اِلىَ حَضَرَةِ النَّبِىِّ اْلمُصْطَفَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ َاْلفَاتِحَةْ
·       خُصُوْصًا هَدِ يَةً اِلَى رُوْحِ شَيخْ اِمَامْ حَبِيْبِىْ عَبْدِ اللهِ ْبنِ عَلَوِى اِبْنِ مُحَمَّدْ اْلحَدَّدِ بَعَلَوِى َنفَعَنَا اللهُ بِهِ آمينْ َاْلفَاتِحَةْ…..
·       ثُمَّ اِلىَ حَضَرَةِ اَرْوَاحِ شَيْخِنَا وَاُسْتَاذِنَا وَجَمِيْعِ اْلمُسْلِمِينَ وَاْلمُسْلِمَاتْ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتْ اَلْفَاتِحَةْ…….
dan membaca amalannya sebanyak 3 saja selama sehari semalam. - Dan setelah selesai puasanya amalan hizib ini dibaca 1 x secara istiqomah selama 100 hari kemudian untuk seterusnya cukup dibaca setiap hari Jum’at saja.
Ada beberapa manfaat atau hikmah lain diantaranya sebagai berikut:
1. Untuk bercakap dengan pegawai kerajaan atau orang yang berkuasa dengan gagah berani dan berwibawa.
2. Untuk menghilangkan sihir, santet, teluh dls ..
3. Untuk mengubati berbagai macam penyakit seperti; gila / ayan, kemasukan Jin.
4. Untuk memagari tempat supaya selamat dari berbagai gangguan / malapetaka, baik zahir atau batin.
5. Untuk kehadiran / kenalan jurus silat orang lain secara ghaib.
6. Untuk menghancurkan musuh dibaca menghadap rumahnya.
7. Untuk mendamaikan yang merusuh, apabila ada rusuhan atau masalah pertikaian.
8. Untuk menghadapi sidang / perkara hukum, anda menjadi tenang, siap serta mendapat keadilan.
9. Untuk menjual tanah yang belum laku-laku, insya Allah akan cepat laku dan sesuai.
10. Untuk menyadarkan orang marah.
11. Untuk menghilangkan rasa takut.
12. Untuk di ijabah / di kabulkan doanya.
13. Untuk orang yang melahirkan supaya cepat dan selamat.

MANFAAT YANG LAIN :
SHOLAT HAJAT 4 RAKAAT DENGAN 2 SALAM
PUASA SUNAT 11 HARI
TAWASUL : ROSULLULLOH, SYAIKH ABDUL QADIR JAELANI, SYAIKH ABDUS SALAM BIN MASYIS, SYAIKH ABUL HASAN ASY-SYADZILI, KYAI ZAENALMUSTOFA TASIKMALAYA, SYAIKH DIMYATI PENDEGLANG BANTEN, SYAIKH ABDUL JALIL MUSTAQIM TULUNG AGUNG, MAN AJAZANI.
SELAMA 11 MALAM BACA:
1. HIZIB NASHOR 7X, 21X, 41X PILIH YANG BISA AJEG (ISTIQOMAH)
2. KUNCINYA, BACA:
YA QODAM 1111X
LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ALIYYIL ADZIM 313X
BILA AKAN MENGGUNAKAN UNTUK KEPENTINGAN MENDADAK BACA:
BI KAROMATI, BI MU’JIZATI, BI SYAFAATI HIZIB NASHOR YA MUGHIS AGHISNA ….SEBUTKAN HAJATNYA.. LA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BILAHIL ALIYYIL ADZIM. (7X TAHAN NAPAS)
KHASIAT : UNTUK PUKULAN JARAK JAUH SEDIAKAN DENGAN SARANA PHOTO, KESELAMATAN, MINTA DIKELUARKAN DARI PENJARA, JALBUR RIZKI, BENTENG RUMAH DLL.
CATATAN :
PENULIS BLOG INI DAPAT IJAZAH HIZIB NASHAR DARI MBAH KYAI NASHIRUDDIN BIN MBAH ‘ABDI, TAMBAAN SLEMAN YOGYAKARTA DAN MBAH KYAI AHMADI, KENCONG PARE KEDIRI.