Pages

Rabu, 10 Juni 2015

217. SUNNAH SUJUD : MENDAHULUKAN LUTUT DARIPADA TANGAN




Disunnahkan Mendahulukan Lutut ketika Hendak Sujud (Kajian Ilmiah)
Metode Penelitian
1. Mengumpulkan seluruh refrensi yang berkenaan tentang mendahulukan lutut ketika hendak sujud
2. Mendapatkan data dari perbandingan refrensi tersebut
3. Menganalisis perbandingan refrensi
4. Menarik Kesimpulan dan Rekomendasi
Dasar Teori
Saya akan menuliskan tanggapan tentang masalah ini dari beberapa buku yang saya baca dan juga kutipan di sebuah blog.
I. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, Tuntunan Shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Hal. 45 – 56, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, Cetakan Kedua: Dzulhijjah 1427 H / Januari 2007
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat hendak melakukan sujud, meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya. Setelah meletakkan kedua lutut, beliau kemudian meletakkan kedua tangan, lalu kening, lalu hidung,
Itulah tuntunan sujud yang benar, yang diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh Syarik, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Wail bin Hajar. Wail mengatakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah ketika hendak sujud, maka beliau meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya. Dan ketika beliau bangkit, maka beliau mengangkat kedua tangan sebelum mengangkat kedua lututnya. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, 838, dalam kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’ Rukhbataihi qabla Yadaihi, At-Tarmidzi, 268, dalam kitab Ash-Shalah, Bab Ma Ja’a fi Wadh’i al-Yadain qabla ar-Rukbatain fi as-Sujud, Ibnu Majah, 882, dalam Kitab Al-Iqamah, Bab As-Sujud, dan An-Nasa’i, 2/206-207, dalam Kitab Al-Iftitah, Bab Awwalu Ma Yashilu ila al-Ardh min al-Insan fi Sujudihi. Al-Bani dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi, 44, mengatakan bahwa hadits tersebut dha’if)
Dalam soal sujud ini, tak ada yang meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan keterangan tersebut.
Adapun Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, Apabila salah seorang di antara kalian melakukan sujud, maka janganlah ia mendekam sebagaimana mendekamnya seeokor unta (maksudnya melakukan gerakan seperti gerakan mendekamnya unta) dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum meletakkan kedua lututnya.”  (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 841, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’ Rukhbataihi qabla Yadaihi, At-Tarmidzi, 269, dalam Kitab Ash-Shalah Bab No. 85, An-Nasa’i 2/207, dalam Kitab Al-Iftitah, Bab Awwalu Ma Yashiluila al-Ardh min al-Insan fi Sujudihi, dan Ahmad 2/381. Hadits tersebut dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 595)
Hadits ini -wallahu a’lam- mengandung wahm (kesalahan) dari beberapa perawinya. Bagian awal redaksi hadits tersebut bertolak belakang dengan bagian akhirnya. Karena jika seseorang meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya , justru berarti dia telah mendekam seperti mendekamnya onta. Dalam kenyataannya, unta ketika mendekam memang meletakkan kedua tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu, baru kedua lututnya (kaki belakangnya -ed.)
Setelah mendapatkan penjelasan tentang fakta gerak mendekamnya unta itu, orang-orang yang berpegang kukuh pada kebenaran redaksi hadits di atas lantas membuat alasan bahwa yang dimaksud kedua lutut unta itu sebenarnya adalah kedua kaki depannya, bukan kaki belakangnya. Unta ketika sedang mendekam, maka pertama kali meletakkan kedua lututnya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu. Dan inilah yang dilarang dalam sujud.
Namun pendapat tersebut juga salah karena beberapa hal:
1. Ketika unta mendekam, ia meletakkan kedua tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih dahulu. Sedangkan kedua kakinya (kaki belakang -ed.) masih berdiri tegak. Ketika unta hendak bangkit. maka ia akan bangkit dengan kedua kakinya terlebih dahulu, sedang kedua tangannya masih berada di tanah.
Inilah sebenarnya yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melakukan sujud. Intinya, ketika hendak sujud maka harus menjatuhkan anggota badannya yang paling dekat dengan tanah, kemudian anggota badan yang lebih dekat dengan anggota badan pertama. Ketika hendak bangkit, maka yang pertama kali diangkat adalah anggota badan yang paling atas.
Rasulullah ketika hendak sujud, pertama beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, setelah itu keningnya. Saat bangkit dari sujud, beliau mengangkat kepala lebih dahulu, lalu kedua tangannya, dan setelah itu baru kedua lututnya.
Gerakan seperti itu berbeda dengan gerak mendekam yang dilakukan unta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam amat melarang umatnya melakukan gerakan sholat yang menyerupai gerakan suatu jenis binatang. Misalnya, beliau melarang untuk mendekam sebagaimana mendekamnya unta, melarang berpindah-pindah sebagaimana berpindahnya serigala, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan binatang buas, melarang berjongkok sebagaimana berjongkoknya anjing, melarang menekuk jari yang sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud 62 dalam Kitab Ash-Shalah Bab Shalah Man la Yuqim Shalbahu fi ar-Ruku wa as-Sujud. An-Nasa’i 2/214 dalam Kita Al-Iftitah, Bab An-Nahyu ‘an Naqrah al-Ghurab. Ibnu Majah, 1429, dalam Kitab Al-Iqamah, Bab Ma Ja’a fi Tauthid al-Makan fi al-Masjid Yushalli fihi. Dan Ahmad 3/428, 444, dari Abdurrahman bin Syabl, ia berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk menekuk jari sampai berbunyi sebagaimana yang dilakukan gagak, melarang duduk dengan membentangkan kaki sebagaimana yang dilakukan bintang buas, dan melarang menambatkan sesuatu di masjid seperti menambatkan unta.” Hadits di atas dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud), dan melarang mengangkat tangan ketika salam sebagaimana gerakan ekor kuda terhadap matahari. Yang jelas, tuntunan gerakan shalat itu sangat berbeda dengan gerakan aneka jenis binatang.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa kedua lutut unta itu terletak pada kedua tangannya (kaki depannya -ed) adalah pendapat yang tidak masuk akal dan tidak dikenal oleh para ahli bahasa, karena lutut unta itu terletak di kedua kaki belakangnya
3. Andaikata penjelasan hadits yang mereka utarakan itu benar, maka mestinya redaksi haditsnya berbunyi, “Maka hendaklah orang yang shalat mendekam sebagaimana mendekamnya unta.” Yang pertama kali menyentuh tanah adalah kedua tangannya (kaki depan -ed) unta. Di sinilah inti masalah ini. Yaitu bahwa bagi siapa saja yang mau memikirkan mendekamnya unta, dan ia mengerti bahwa Rasulullah melarang untuk mendekam sebagaimana mendekamnya unta, maka orang tersebut akan yakin bahwa hadits Wa’il bin Hajar adalah yang benar. Wallahua’lam
Menurut saya, dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas telah terjadi pembalikan (kesalahan) redaksi haditsnya oleh sebagian perawi Hadits. Barangkali saja redaksi hadits yang benar adalah, “Dan hendaklah meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya.”
Kasus kesalah redaksi hadits seperti ini juga dilakukan oleh sebagian perawi terhadap hadits Ibnu Umar, bahwa Bilal melakukan adzan pertama dan waktu malam (sebelum terbit fajar -ed.), maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (subuh -ed.) (Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, 1918, dalam kitab Ash-Shaum, Bab Qaul an-Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “La Yammna’ukum sahurakum adzanu Bilal.”). Sebagian perawinya mengatakan, bahwa Ibnu Ummi Maktum yang melakukan adzan pada waltu malam (sebelum fajar -ed.), maka makan minumlah kalian sampai Bilal mengumandangkan adzan (subuh -ed.).
Contoh lain yang serupa terjadi pula dalam suatu hadits yang berbunyi, “Calon penghuni neraka akan terus dilemparkan ke dalam neraka. Lalu neraka berkata, ‘Apa masih ada lagi?’” Sampai sabda beliau yang berbunyi, “Sedangkan surga, maka Allah akan menciptakan makhluk yang akan ditempatkan di dalamnya.” (Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, 4850, dalam Kitab At-Tafsir, Bab Qouluhu Ta’ala, “Wa Taqulu Hal min Mazid?” Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Sebagian Perawi melakukan pembalikan terhadap redaksi hadits tersebut dengan mengatakan, “Sedangkan neraka, maka Allah akan menciptakan makhluk yang akan ditempatkan di dalamnya.”
Bahkan saya juga melihat Abu Bakar bin Abi Syaibah (Nama Lengkap Abu Bakar bin Abi Syaibah adalah Muhammad bin Abi Syaibah, seorang hafizh, berasal dari Kufah. Abu Ubaid Al-Qasim mengatakan bahwa dirinya mengambil ilmu dari empat ulama, yaitu Abu Bakar sebagai guru pertama, Ahmad sebagai yang paling pintar dalam bidang fikih di antara para gurunya, Yahya adalah yang paling kompleks, dan Ali adalah yang paling alim. Abu Bakar meninggal dunia pada 235 H. Lihat At-Tahdzib, 2/499) ikut pula meriwayatkan hadits yang terbalik seperti itu. Ibnu Abi Syaibah mengatakan, “Aku mendapat berita dari Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian hendak melakukan sujud, maka mulailah dengan meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya. Dan janganlah mendekam sebagaimana mendekamnya kuda jantan.” (Sanad hadits ini lemah sekali. Abdullah bin Sa’id al-Maqburi adalah termasuk orang yang lemah sebagaimana keterangan yang ada pada At-Taqrib).
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh al-Atsram dalam Sunannya dari Abu Bakar dengan redaksi yang sama. Ada pula hadits periwayatan Abu Hurairah yang membenarkan hal itu adalah cocok dengan hadits Wail bin Hajar.
Ibnu Abu Daud (Ibnu Abu Daud adalah Abu Bakar, Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats, seorang imam yang hafizh, al-’Alamah, seorang syekh besar di Baghdad, as-Sijistani. ia banyak memiliki karya. Ibnu Abu Daud dilahirkan pada 23H. Ada beberapa orang yang menyinggung riwayat hidupnya, antara lain ayahnya sendiri dalam buku As-Siyar, 13/221) mengatakan, “Aku mendapatkan kabar dari Ibnu Fudhail, yaitu Muhammad, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak sujud memulainya dengan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya.” (Sanad Hadits ini lemah sekali. Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi, 2/100. Di dalam hadits ini terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Sa’id al-Maqburi, dan dia termasuk orang yang ditinggal dalam menerima periwayatan hadits darinya).
Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya telah meriwayatkan hadits dari Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, ia berkata, “Kami pernah meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan kedua lutut. Kemudian kami diperintahkan meletakkan lutut terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua tangan.” (Hadits ini memiliki cacat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, 628. Tentang penjelasan cacatnya, lihat pada penjelasan berikutnya)
Dengan melihat hadits di atas, maka bila hadits dari Abu Hurairah masih dianggap benar, berarti hadits tersebut telah dinasakh (diganti). Itulah pendapat yang diyakini oleh pengarang Kitab Al-Mughni dan lainnya. Tetapi penting untuk diketahui bahwa dalam hadits dari Mush’ab ini terdapat dua cacat.
1. Hadits tersebut adalah dari periwayatan Yahya bin Salamah Kuhail (Yahya bin Salamah bin Kuhail. Lihat dalam Al-Mizan, 9527, At-Tahdzib, 4/361 dan At-Taqrib, 7561. Ibny Hajar mengatakan, “Ia adalah orang yang ditinggalkan periwayatannya. Ia termasuk golongan Syi’ah.”), dan ia termasuk orang yang tidak bisa dijadikan hujjah atau patokan. An-Nasa’i mengatakan, “Ia termasuk orang yang ditinggalkan periwayatannya.” Ibnu Hibban berkata, “Ia termasuk orang yang mengingkari hadits. Oleh sebab itu tidak dapat dijadikan hujjah.” Ibnu Mu’ayyan mengatakan, “Tidak apa-apa.”
2. Bahwa yang dapat dipetik dari periwayatan Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, hanyalah tentang masalah praktek. Dan ucapan Sa’ad, “Kami berbuat seperti itu, kemudian Rasulullah menyuruh kami agar meletakkan kedua tangan di atas lutut.”
Sedangkan perkataan pengarang Al-Mughni dari Abu Sa’id mengatakan, “Kami pernah meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan kedua lutut. Setelah itu kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum meletakkan kedua tangan.” – Wallahu A’lam- itu hanyalah kesalahan dalam nama saja. Yang benar adalah Sa’ad bukan Sa’id. Kalaupun dari Sa’ad, itupun juga terdapat keraguan dalam sisi hadits sebagaiman penjelasan yang telah lalu. Yang penting, hadits tersebut hanyalah sebatas praktek. Wallahu a’lam.
Adapun tentang hadits Abu Hurairah di muka, maka Bukhari, at-Tirmidzi, dan ad-Daruquthni memberikan penilaian cacat.
Bukhari mengatakan bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan (Muhammad bin Abdullah bin Hasan adalah Abdullah, al-Madani, dan al-Hasyimi. Ia seorang yang dapat dipercaya. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib, 3/604, menuturkan periwayatannya dari Abu az-Zanad, dan Ibnu Hajar tak memberi komentar apapun, serta tidak menyinggung perkataan Bukhari) adalah orang yang tidak dapat diikuti. Bukhari juga berkata, “Aku sendiri tidak mengerti apakah ia mendengar langsung dari Abu az-Zanad (Abu az-Zanad adalah Abdullah bin Dzakwan al-Quraisyi, ayah Abdurrahman al-Madani, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu az-Zanad. Ia seorang yang tsiqah, dan termasuk golongan tabi’in yang utama. Abu az-Zanad meninggal pada 130H, tetapi ada yang mengatakan di tahun yang lain. Lihat At-Tahdzib, 2/329) ataukah tidak.”
At- Tirmidzi mengatakan, “Hadits tersebut asing. Aku tidak pernah mengenalnya dari Abu az-Zanad kecuali dari arah ini.”
Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Abdul Aziz ad-Darawardi menyendirikan hadits tersebut, dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Alawi, dari Abu az-Zanad.
An-Nasa’i telah menuturkan dari Qutaibah, “Aku mendapat berita dari Abdullah bin Nafi’, dari Muhammad Abdullah bin Hasan al-Alawi, dari Abu az-Zanad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Salah seorang di antara kalian membuat kesengajaan dalam shalat. Yaitu mendekam sebagaimana mendekamnya unta.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Abu Daud, 741, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’ Rrukbataihi qabla Yadaihi; at-Tirmidzi, 269, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab no. 85; dan An-Nasa’i, 2/207, Al-Albani menganggap shahih hadits tersebut dalam Shahih Sunan Abu Daud) Redaksinya tidak lebih dari itu.
Abu Bakar bin Abi Daud mengatakan, “Itulah sunnah yang dipegang ahli Madinah. Dalam sunnah tersebut, mereka memiliki dua sanad. Yang satunya seperti di atas dan yang lain adalah dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”
Ibnu Qayyim memberikan komentar, “Ahli Madinah dengan hadits periwayatan Ashbagh bin al-Faraj, dari ad-Darawardi, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya. Kemudian ahli Madinah mengatakan bahwa itulah yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim, 821)
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dari jalan periwayatan Muhriz bin Salamah, dari ad-Darawardi. Hakim mengatakan kalau hadits tersebut sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh Imam Muslim.
Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadits dari Hafsh bin Ibnu Ghiyats, dari Ashim al-Ahwal, dari Anas, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang turun dari berdiri dengan membaca takbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” (Sanad hadits ini dha’if, diriwayatkan oleh Hakim, 822, dan dalam sanadnya terdapat al-’Ala’ bin Ismail, seorang yang tidak jelas)
Hakim menganggap kalau hadits tersebut telah sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim. Hakim juga tidak mengetahui cacat pada hadits tersebut.
Ibnu Qayyim mengomentari masalah ini dengan mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim (Abdurrahman bin Abu Hatim adalah seorang penghafal besar yang menjadi anak dari seorang penghafal besar pula. Ia memiliki buku Al-Jahr wa At-Ta’dil yang termasuk dalam kategori buku paling agung yang dikarang dalam bidangnya. Ia juga memiliki buku Al-’Ilal dan karyanya yang lain. Abdurrahman seorang ahli ibadah, zuhud, dan sekaligus wara’. Ia meniggal pada tahun 327 H. Lihat Al-Bidayah, 6/246) telah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits tersebut.” Ayahku menjawab, ‘Hadits tersebut mungkar.’ Alasan ayahku menganggap mungkar mungkin karena dalam periwayatannya terdapat al-’Ala’ bin Ismail al-Aththar, dari Hafsh bin Ghiyats. Padahal al-’Ala’ termasuk orang yang tidak jelas dan tidak pernah disebut-sebut dalam kutub as-Sittah. Itulah hadits-hadits yang marfu’ dari dua sisi sebagaimana yang Anda lihat.
Adapun beberapa atsar yang dipegang para sahabat adalah yang berasal dari periwayatan Umar ibnul-Khattab bahwa ia meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya. (Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrazaq, 295, dari jalan periwayatan an-Nakh’i dari Umar. Hadits ini adalah munqathi’)
Hadits senada pernah disebutkan oleh Abdurrazaq dan Ibnul Mundzir ( Ibnu al-Mundzir adalah seorang imam, seorang hafizh, seorang yang pandai, Syaikh al-Islam, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Naisaburi, seorang ahli fikih, penyusun Al-Ijma’ dan lainnya. Ia termasuk pengikut madzhab asy-Syafi’i dan meninggal dunia pada 309 H. Lihat As-Siyar, 14/490) serta yang lainnya, dengan melalui jalan periwayatan Ibnu Mas’ud r.a.
Hadits tersebut juga pernah disebutkan oleh ath-Thahawi, dari Fahd, dari Umar bin Hafsh, dari ayahnya, dari Ibrahim, dari beberapa teman Alqamah dan al-Aswad, keduanya berkata, “Kami ingat shalat yang pernah dilakukan oleh Umar, bahwa Umar setelah ruku pernah menurunkan kedua lututnya terlebih dahulu sebagaimana unta yang hendak turun setelah berdiri. Umar meletakkan kedua lututnya, sebelum meletakkan kedua tangannya.”
Kemudian ath-Thahawi juga menuturkan hadits dari jalan periwayatan al-Hajj bin Arthah, ia mengatakan bahwa Ibrahim an-Nakh’i (Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais bin al-Aswad an-Nakh’i, ayah Imran. Ia seorang ahli fikih dan pernah bertemu dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ibrahim termasuk seorang mufti di daerah Kufah. Ia meninggal duni pada 96 H. dalam usia 49 tahun, namun ada pendapat yang mengatakan lain. Lihat At-Tahdzib, 1/92) pernah berkata, “Yang perlu dicatat dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa kedua lututnya jatuh ke tanah terlebih dahulu sebelum kedua tangannya.”
Ath-Thahawi juga menuturkan dari Abu Marzuq, dari Wahb, dari Syu’bah, dari al-Mughirah, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang seseorang yang memulai sujudnya dengan meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum meletakkan kedua lututnya. Al-Mughirah menjawab, ‘Tidak ada yang berbuat seperti itu kecuali orang yang bodoh dan orang gila.”
Ibnul Mundzir berkata, “Dalam masalah sujud ini, para ulama masih berselisih pendapat. Yang termasuk berpendapat harus meletakkan kedua lutut lebih dulu sebelum kedua tangan adalah Umar ibnul-Khaththab.”
Pendapat ini diikuti oleh:
- an-Nakha’i
- Muslim bin Yasar (Muslim bin Yasar adalah penduduk Madinah, hidup pada masa dinasti Umayyah, dan kemudian menjadi penduduk Mekah. Ia ayah Abdullah. Muslim adalah seorang ahli fikih, seorang tabi’in yang terpercaya. Ia seorang ahli ibadah yang wara’. Muslim tercatat sebagai ulama ahli fikih yang ke-5 di antara 5 ulama fikih yang ada di Bashrah. Lihat At-Tahdzib, 4/74)
- ats-Tsauri (Nama lengkapnya adalah Sufyan ats-Tsauri bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri. Seorang amirul mukminin dalam bidang hadits. Pengakuan itu tidak hanya diucapkan oleh satu ulama saja. Ia termasuk salah satu ulama Islam yang patut dijadikan teladan. Ats-Tsauri adalah seorang yang ahli fikih. Ia meninggal pada 161 H. Lihat Al-Bidayah, 5/634)
- Asy-Syafi’i
- Ahmad
- Ishaq (Namanya adalah Ishaq bin Rahawaih, seorang imam besar dan syekh daerah Masyriq. Tuan para hafizh. Abu Ya’qub. Ia dilahirkan pada 161 H. Ibnu Rahwaih menyusun buku al-Musnad. Ia juga seorang imam dalam bidang tafsir dan sekaligus termasuk salah satu ulama mujtahid)
- Abu Hanifah beserta para pengikutnya
- dan Ahli Kufah
Ada pula yang berpendapat sebaliknya, yaitu meletakkan kedua tangan terlebih dulu sebelum meletakkan kedua lutut. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik.
Al-Auza’i mengatakan, “Kami pernah menemukan orang-orang yang sedang shalat, kemudian mereka meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut.” Ibnu Abu Daud berkata, “Pendapat yang mengatakan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua lutut adalah pendapat ulama ahli hadits.”
Ibnu Qayyim menerangkan bahwa terdapat hadits dari Abu Hurairah yang dituturkan oleh Baihaqi dengan memakai redaksi lain yaitu, “Apabila salah seorang dari kalian hendak sujud, maka janganlah mendekam sebagaimana mendekamnya unta, tetapi hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” ( Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi, 2/100)
Baihaqi mengatakan, “Apabila memang hadits ini dapat dipegang, maka akan menjadi dalil bahwa Rasulullah ketika hendak sujud, beliau meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Dengan demikian, hadits Wail bin Hajar adalah lebih utama dari hadits Abu Hurairah karena beberapa hal:
1. Hadits Wail adalah lebih mantap daripada hadits Abu Hurairah, sebagaimana dikatakan al-Khithabi dan lainnya.
2. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah statusnya mudhtharib (membingungkan) dalam matannya, sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya. Di antara ulama yang mengikuti hadits tersebut ada yang mengatakan, “Dan hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” ada pula yang mengatakan sebaliknya. Ada ulama lagi yang mengatakan, “Dan hendaklah meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.” Dan ada pula yang membuang kata-kata tersebut.
3. Seperti diterangkan sebelumnya, Bukhari dan ad-Daruquthni serta lainnya telah mencela hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah itu.
4. Tapi meskipun hadits dari Wail bin Hajar itu lebih mantap, masih aja ada sekelompok ulama yang mengkritiknya, dengan menganggap hadits tersebut telah diubah dari aslinya. Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian ulama menyangka bahwa ada perubahan redaksi dari yang sebetulnya, yaitu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut.” Lihat penjelasan yang telah lalu.
5. Hadits Wail sudah sesuai dengan larangan Nabi ketika sujud, agar kita tidak meniru gerakan mendekamnya unta. Ini berbeda dengan hadits Abu Hurairah.
6. Hadits Wail sudah sesuai dengan penjelasan dari para sahabat, seperti Umar ibnul-Khaththab, Ibnu Umar, serta Abdullah bin Mas’ud. Sedang untuk hadits Abu Hurairah belum pernah ada penjelasan dari sahabat kecuali Umar r.a.
7. Hadits dari Wail telah diperkuat oleh hadits dari Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana keterangan yang telah lalu, sedangkan hadits Abu Hurairah tidak ada yang memperkuat. Andaikata kedua hadits tersebut seimbang, maka hadits dari Wail lah yang akan didahulukan sebab lebih banyak diperkuat oleh hadits lain.
8. Kebanyakan umat Islam memilih hadits dari Wail, sedang pendapat yang lain hanya mengacu pada pendapat al-Auza’i dan Malik. Adapun mengenai perkataan Ibnu Abu Daud bahwa pendapat yang mengatakan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lututnya merupakan pendapat ulama ahli hadis, maksudnya adalah sebagian ahli hadits, kecuali Ahmad, asy-Syafi’i, dan Ishaq.
9. Dalam hadits yang bersumber dari Wail terdapat kisah yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Maka itu lebih utama untuk diperhatikan.
10. Semua perbuatan yang diceritakan dalah hadits Wail adalah shahih, dibanding riwayat yang lain. Memang perbuatan tersebut sudah terkenal. Inilah salah satu riwayat yang shahih dan memiliki hukum tersendiri, serta tidak ada riwayat lain yang bisa menandinginya. Oleh sebab itu, hadits Wail dianggap kuat. Wallahu a’lam.
————————————————-
II. Al Jauziyah, Ibnu Qayyim. Kitabush-shalah wa hukmu tarikiha (Terjamah: Rahasia dibalik Shalat). Penerjemah, Amir Hamzah Fachrudin, Kamaluddin Sa’diatulharamaini. Hal 213 – 216. Cetakan kesembilan. Jakarta: Pusaka Azzam, Agustus 2005.
Cara Turun Rasulullah ketika Melakukan Sujud
Ketika mau melakukan sujud, beliau membaca takbir “Allahu Akbar” dan merunduk untuk melakukan sujud, beliau tidak mengangkat tangannya dan meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, sesuai dengan yang dikatakan Wail bin Hajar ( Abu Daud, shalat, 838, Nasai, kitab ‘At-Tatbiq”, 2/206-207, At-Turmudzi, “Al-Shalat”, 268, beliau menganggap hadits tersebut hasan gharib, dan Ibnu Majjah, “Al-Iqamah”, 882) dan Anas bin Malik (Ad-Daruquthni, 1/345, Al-Hakim, 1/226, dan beliau menganggap shahih hadits tersebut). Tetapi Ibnu Umar berkata bahwa: “Sesungguhnya Rasulullah SAW dalam melakukan sujudnya itu beliau meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu, baru kedua lututnya.” (Ibnu Khuzaimah, 627, Al-Hakim, 2/226 dan beliau mensahihkan hadits tersebut)
Dan berbeda pula dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dalam beberapa hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikatakan bahwa, “Apabila salah seorang kamu melakukan sujud, janganlah kamu berlutut seperti unta, letakkanlah kedua tangan terlebih dahulu, sebelum kedua lututnya.” (Al-Musnad, 2/381, Abu Daud, “Al-Shalat”, 840, An-Nasai, kitab “At-Tatbiq”, 2/207, At-Turmudzi, “Al-Shalat”, 269 dan beliau menganggap gharib (asing) hadits tersebut).
Diriwayatkan dari Al-Maqbari bahwa, “Apabila salah seorang di antara kamu melakukan sujud, hendaknya dimulai dengan meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.”
————————————————
III. Terjemah buku Shahih Shifat an-Nabi, Judul Bahasa Indonesia: Shalat Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Karya Hasan bin ‘Ali as-Saqqaf, Cetakan III, Rabi al-Awwal/April 2006, Hal. 170 – 173, Pustaka Hidayah, Bandung
Hal yang disunnahkan adalah turun untuk sujud dengan mendahulukan lutut, bukannya mendahulukan tangan. Hal ini didasarkan pada hadits dari Wa’il ibn Hujr radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika hendak sujud meletakkan lututnya sebelum tangannya.” (HR Abu Dawud I:222, HR. At Turmudzi II: 56, HR. Ibn Majah I:286, Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya ( I:318 ) dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
(Untuk HR Abu Dawud jika mencari di buku Shahih Sunan Abu Dawud oleh Nasruddin Al Bani maka hadits 839 itu tidak akan ditemukan. Setelah hadits ke 836 langsung lompat ke hadits 840 dan 841. Berarti hadits ke 839 ini didhoifkan oleh Nasruddin Al Bani -red)
Hadits tersebut Shahih. Akan tetapi ada sebagian orang yang berusaha melemahkan (mendhoifkan) hadits tersebut karena (di sanadnya -red) ada Syarik, meskipun usaha itu gagal. Sesungguhnya, orang yang meriwayatkan dari Syarik dalam hadits ini adalah Yazid bin Harun. Ia termasuk yang meriwayatkan dari Syarik sebelum Syarik berubah dan mengurus al-qadhaa (pengadilan atau menjadi hakim)
Al Hafidz Ibn Hibban dalam Ats-Tsiqaat (VI:444) , mengatakan, “Syarik pada masa tuanya melakukan kesalahan terhadap apa yang diriwayatkan. Daya hafalnya berubah. Orang terdahulu yang mendengar darinya adalah orang-orang yang mendengar lewat perantara (waasith) dan tidak mengandung takhlith (kekacauan). Mereka mendengar dari Syarikh lewat penengah itu, seperti Yazid bin Harun, Ishaq al Arzaq. Sementara mendengarakan hadits yang dilakukan orang-orang kemudian dari Syarik di Kufah itu telah mengandung banyak wahm (kebimbangan atau keraguan, kekacauan).” Demikian menurut Ibn Hibban.
Menurut pengarang (buku Sholat seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu Hasyim bin Ali as Saqqaf) : “pendapat orang mengenai Syarik tampaknya hanya berkaitan dan didasarkan kepada masalah tersebut. Demikian pula mengenai tasyayyu’ (kesyi’ahan)-nya. Tapi itu tidak menjadi cela atau aib. Silakan kembali melihat Risalah al-’Atb al-Jamil ‘ala Ahl al-Jahr wa at-Tahdil karangan Sayyid Muhammad in ‘Aqil, supaya Anda mengetahui upaya tajrih (mencari kesalahan) para periwayat hadits dengan (sebab) tasyayu’ dan memahaminya secara baik.”
Bagaimanapun, para Imam menganggap bahwa syariq itu tsiqah (dapat dipercaya). Berikut komentar sebagian imam mengenai Syariq:
Ibnu Mu’in mengatakan bahwa Syarik itu tsiqoh-tsiqoh (sangat terpercaya). Ibn Sa’id menilai,” Syarik itu tsiqoh dan bagus hadis (pembicaraannya).” Ibn Hibban dan Ibn Syahin pun menganggapnya tsiqoh. Sementara menurut penilaian Abu Dawud, Syariq itu tsiqoh yukhtu’tu (terpercaya, tetapi suka salah dalam meriwayatkan hadits).
Ibn ‘Adi menilai,”Umumnya hadits Syarik itu shahih dan adil (shahihah wa al-istiwa). Aib (nakrah) yang menimpa haditsnya itu timbul akibat hafalannya yang buruk. Ia tidak pernah sengaja melakukan sesuatu dalam periwayatan haditsnya yang mengakibatkan kedhaifan haditsnya.”
Kejelekan hafalan itu terjadi setelah ia mengurus al-qadha’ (menjadi hakim peradilan). Sementara Yazid bin Harun meriwayatkan hadits dari Syarik itu sebelum ia memangku jabatan tersebut. Jadi hadits dari Syarik tersebut Shahih
Imam al-Hafizh Ibn al-Mundzir dalam al-Ausath (III:166) mengatakan,” Hadits Wa’il bin Hujr itu tsabit (kuat) dan atas dasar hadits itu pula kami berpendapat
Imam at-Turmudzi-semoga Allah merahmatinya- berkata,”Untuk mengamalkan hadits tersebut- menurut kebanyakan ahli ilmu – hendaklah seseorang meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya. HR Abu Dawud (I:222 no 839) dan Ibn al-Mundzir dalam al-Awsath (III:166). Hadits tesebut hasan. Bahkan, karena banyak penguatnya, nilainya menjadi shahih.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah berderum (berlutut) seperti unta. HR Abu Dawud (I:222 no 840) An-Nasai (II:207) dan yang lainnya. Hadits tersebut shahih. Dalam hadits itu ada tambahan yang dhaifah, bahkan batilah (salah), yaitu pada akhirnya: walyadha’ yadaihi qabla rukbataihi (hendaklah meletakkan kedua tangannya sebelum lututnya). Penggalan hadits tersebut hanya diriwayatkan (tafarrud) ‘Abdal ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi; dan ia orang yang dhaif (lemah). Apalagi perawi lain yang mengikutinya-menurut riwayat Abu Dawud (no 841) dari perawi lainnya – tidak menyebutkan penambahan tersebut.
Meskipun Ad-Darawardi termasuk perawi dalam sanad Imam Muslim, tetapi ia suka ragu-ragu (meragukan) jika menghaditskan dari hafalannya. Hal ini seperti diakui Imam Ahmad bin Hanbal. Ia menambahkan, bahwa ad-Darawardi itu laisa bi syaiin (bukan apa-apa), dan sesungguhnya jika meriwayatkan hadits dari hafalannya, ia (suka) melakukan kebatilan-kebatilan.
Penilaian berikut ini tersamuk sebagian kejelekannya. Abu Hatim mengatakan bahwa ad-Darawardi tidak dapat dijadikan hujjah. Abu Zarah mengatakan bahwa ia jelek hafalannya. Imam Ahmad juga menilai,”Ia suka membaca dari kitab-kitab orang lain dan salah; mungkin ia membalikkan (mengubah) hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, maka ia meriwayatkannya (dengan menyebutkan) dari Ubaidillah bin Umar radhiyallahu ‘anhu.
An Nasai juga mengatakan bahwa ia tidak kuat. Ibn Sa’d berkata,”Ia tsiqoh dan banyak meriwayatkan hadits, tapi suka salah. Atas dasar itu, maka al-Bukhori tidak meriwayatkan haditsnya, kecuali jika diikuti perawi yang lainnya.” Sebetulnya masih banyak lagi pendapat dan penilaian yang lebih daripada itu. Maka tidak perlu diragukan lagi bahwa penambahan, “hendaklah meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut” tersebut adalah batil.
Sedang apa yang dikomentari oleh al-Bukhori bahwa Ibn Umar radhiyallahu ‘anhupernah meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya, adalah tidak sah. Sebab pada sanadnya ada ad-Darawardi yang menyatakan bahwa, ia meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar. Para ahli hadits telah membicarakan periwayatannya dari ad-Darawardi mengenai hadits tersebut. Dan itu termasuk riwayat yang mengandung keraguan, seperti dijelaskan pada al-Fath al-Bari karangan Inb Hajar Al-Asqalani (II:291) yang dikutip dari Al-Baihaqi. Apalagi riwayat dari Ibn Umar sendiri menyatakan kebalikannya. Hanya Allahlah yang memberi hidayah kepada kita.
Dalam mendirikan shalat, kita dilarang menyerupai binatang, sebagaimana telah dikemukakan lewat beberapa hadits shahih mengenai itu. Semua orang yang berakal mengetahui secara pasti, bahwa jika untuk berlutut atau berderum, ia mendahulukan melipat kedua tangannya (kaki depannya), lalu turun merendahkan badannya dengan bertumpu pada tangannya itu, sementara kaki belakangnya tetap tegak untuk kemudian diturunkan. Sedangkan orang yang melaksanakan shalat terlebih dahulu harus melipat kedua kakinya sambil turun ke bumi (tempat sujud) kemudian meletakkan tangannya. Hal itu tentunya merupakan sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan pemikiran yang panjang. Demikianlah sunnah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam yang benar.
Imam An-Nasai – semoga Allah merahmatinya- dalam sunannya juga menggunakan hadits tersebut. Bahkan ia menuliskan satu bab khusus mengenai itu dengan judul: “Bab Cara Merunduk Untuk Sujud.” Ia menggunakan dalil dengan keumuman hadits Hakim, yang mengatakan, ”Aku membaiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak merunduk, kecuali sambil berdiri.” (HR An Nasai (II:205) dan hadits tersebut shahih
Merunduk seperti itu hanya akan sempurna dengan lutut terlebih dahulu. Turun ketika sujud dengan mendahulukn lutut sebelum tangan telah dilakukan oleh para sahabat mulia dan para tabiin dari kalangan ulama salaf. Antara lain diriwayatkan dari al-Aswad an-Nakhai ra. Ia mengatakan bahwa Umar bin al-Khattab ra turun untuk sujud dengan mendahulukan lututnya. (HR In Abi Syaibah dalam al-Mushannaf-nya (I:294 no.3 Cet. Dar al-Fikr) dengan sanad yang shahih.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Muslim bin Yasar radhiyallahu ‘anhu bahwa jika ayahnya sujud, ia meletakkan kedua lututnya, kemudian kedua tangannya, lalu kepalanya. (HR Ibn Abi Syaibah (I:295 no.5) dengan sanad yang shahih)
Diriwayatkan pula dari Ibrahim an-Nakhai -semoga Allah merahmatinya- bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang mengenai orang yang meletakkan tangannya sebelum lututnya. Ia tidak menyukai itu, lalu berkata,” Adakah yang melakukan hal itu selain orang gila?” (HR Ibn Abi Syaibaah (I: 295 no.5) dengan sanad yang shahih pula)
Imam as-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- (terdapat dalam al-Umm-nya asy-Syafi’i (I:98)) berkata, ”Aku suka memulai takbir sambil berdiri dan turun menuju tempat untuk sujud. Aku juga menyukai orang yang meletakkan lututnya terlebih dahulu ketika sujud, lalu tangannya, lalu wajahnya atau mukanya. Jika ia meletakkan wajahnya sebelum kedua tangannya, atau meletakkan tangan sebelum lututnya, aku tidak menyukai itu. Tetapi jika ada yang melakukan itu, ia tidak perlu mengulangi shalatnya dan tidak perlu sujud syahwi.” (Dengan demikian menurut Imam asy-Syafi’i, hukum meletakkan lutut sebelum tangan, dan meletakkan tangan sebelum meletakkan wajah atau dahi hannya sunah saja, bahkan hanya sunah biasa dan bukan pula sunah muakkadah -Pen)
Dikutip dari buku Sifa-sifat Shalat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang Benar. Halaman 170-173. Terbitan Pustaka Hidayah
———————————————–
IV. Terjamahan Bahasa Indonesia: Fatwa-Fatwa Shalat, Syeik Abdulaziz bin Baz, Hal. 47 – 49, Cetakan pertama Dzulqaidah 1427H / Desember 2006, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta.
Menurut petunjuk As-Sunnah, orang yang hendak sujud dalam shalatnya dianjurkan untuk meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua telapak tangannya jika ia mampu melakukannya. Pendapat ini yang paling kuat dari pendapat lainnya. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama karena lebih kuatnya hadits riwayat Wa’il bin Hajar radhiyallahu ‘anhu dan hadits lain yang satu makna dengan hadits tersebut
Adapun mengenai hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, maka pada hakekatnya maknanya tidak bertentangan dengan hadits Wa’il, bahkan sebetulnya sama, karena yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah gerakan hendak sujud seperti yang dilakukan unta saat mendekam. Sudah diketahui bersama bahwa mendahulukan kedua tangan itu menyerupai yang dilakukan unta.
Ucapan di akhir hadits ‘Dan hendaknya meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.’ diduga kuat telah diriwayatkan inqilab (terbalik, dengan mengakhirkan yang seharusnya didahulukan dan sebaliknya) oleh sebagian perawi hadits. Karena riwayat yang benar adalah ‘hendaknya meletakkan kedua lututnya sebelum kedua telapak tangannya,’ (Unta kalau hendak duduk mendekam mendahulukan kaki depannya -tangan-, baru kaki belakangnya -ed.). Dengan demikian makna beberapa hadits yang nampak kontradiktif itu bisa dikompromikan, hingga hilang pertentangan. Hal ini telah diulas panjang lebar oleh Al-’Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab karyanya yang berjudul Zad al-Ma’ad (khusus soal Bab Shalat dari buku ini telah diterbitkan edisi bahasa Indonesianya oleh Penerbit AKBAR, dengan judul: “Tuntunan Shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”).
Sedangkan mengenai orang yang tidak mendahulukan kedua lututnya sebab sakit atau karena berusia lanjut, maka hukum melakukannya adalah la haraj (tidak apa-apa). Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala berikut ini,
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (at-Taghaabun: 16)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda,
Apa-apa yang telah aku larang bagi kalian maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian maka datangilah perintah itu sebatas kemampuanmu”
Para ulama hadits sudah bersepakat tentang shahihnya hadits ini.

216. CHATTING DENGAN YM, KAMIS 6 DESEMBER 2012, TEGAR DI JALAN ALLAH