Pages

Selasa, 19 Juli 2016

263. MENGENAL MAULANA MUHAMMAD ZAKARIYA (9)



Foto Maulana Muhammad Zakariyya An Kandahlawi
9. PESANTREN DARUL ULOOM BURY DI INGGRIS.

Madrasah Eropa, Lilin itu Kini Menyala

Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah adalah madrasah pertama yang berdiri di negara Inggris. Terletak di sebuah puncak bukit di Holcombe Brook, Bury, Great Manchester, madrasah ini didirikan pada tahun 1973 oleh Maulana Yusuf Motala, seorang santri kesayangan Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya, penulis kitab best seller “Fadhail A’maal” yang menjadi bacaan harian orang yang ambil bagian dalam usaha dakwah dan tabligh, yang bergerak di seluruh dunia.
Tahun 1968, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Mazahirul Ulum, Saharanpur, India, maulana muda yang tidak paham bahasa Inggris ini dikirim untuk mengemban tugas yang amat berat dan tak pernah terbayangkan waktu itu, yaitu mendirikan sebuah madrasah di Inggris, sebuah model pendidikan yang sering dipandang sebelah mata karena dianggap ketinggalan jaman dan diramalkan tak akan lama bisa bertahan dari gempuran model pendidikan modern ala barat. Maulana Muhammad Zakariyya sendiri, sang guru, menyebut tugas besar ini sebagai “menyalakan lilin Islam di tanah yang gelap”.
Madrasah ini disiapkan untuk mendidik ulama dan juru dakwah Islam yang berbicara dengan bahasa dan wawasan Eropa, ulama dengan pengetahuan Islam yang mendalam yang mampu merebut hati orang-orang dengan akhlak dan cara pandang Islami, serta ulama yang mampu mengenalkan Islam yang murni dan tidak terdistorsi dengan pendekatan yang lain.
Madrasah yang dirintis Maulana Yusuf Motala itu kini telah meluluskan ribuan alim dan hafidz yang menyebar ke berbagai penjuru dunia, mereka menjadi ujung tombak berbagai aktifitas dalam dakwah dan pendidikan Islam di berbagai negara.
Madrasah itu kini berkembang menjadi madrasah model dan telah beranakpinak melahirkan banyak madrasah di Eropa dan berbagai wilayah dunia lainnya. Madrasah-madrasah tersebut tetap menjadikan Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah sebagai induk dari madrasah-madrasah (ummul madaris) yang baru tersebut.
Masjid-masjid di Eropa lainnya kini juga diimami oleh para alim dan hafidz yang menghidmatkan hampir seluruh hidupnya untuk agama. Bacaan mereka begitu fasih dan elok, penguasaan dan kedalaman agama mereka tak diragukan lagi dan insyaallah juga tidak mencari keduniaan dan ketenaran dalam aktifitas agama mereka.
Lilin kecil itu kini telah menyala dan nyalanya insya allah akan semakin terang dari hari ke hari. Wallahu a’lam
Ilmu agama yang di ambil dari Darul Ulum Deoband mempunyai keberkatan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan pengorbanan yang di lakukan oleh bekas-bekas pelajarnya, maka ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala telah dapat di sebarkan di seluruh Eropah melalui negara Inggris.
Pengajian Dauratul Hadits Darul Ulum di Eropah
Di negara Eropah seperti di Inggris ini, ada beberapa pengajian Dauratul Hadits di sana. Dauratul Hadits adalah pembelajaran hadits yang terdiri dari enam kitab hadits utama (Shahih Sittah) dan beberapa kitab hadits terpilih. Pengajian secara berulang pada setiap tahun seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa`i dan Muwatta` Imam Malik. Pengajian dengan sistem seperti ini banyak didapati di India dan Pakistan, di mana terdapat banyak sekali pusat-pusat pengajian hadits yang menjalankan sistem pengajian seperti itu.
Kitab Hadits Utama (Shahih Sittah),
diajarkan dalam kelas Dauratul Hadits


Enam (6) Kitab Hadits Terbaik

Sejak abad ke 2 Hijriah enam kitab hadits atau Kutubus Sittah telah banyak menjadi rujukan oleh para ulama seantero dunia. Kitab-kitab tersebut adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan An-Nasai, serta Sunan Ibnu Majah.
Shahih al-Bukhari 
Kitab Shahih al-Bukhari sebenarnya bernama Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-Muktasar min Umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wa sunanihi. Kitab ini dijadikan kitab nomor satu karena penuslisan sanadnya bersambung sampai baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun ada yang terputus, namun itu merupakan hadits pengulangan.
Dengan ketekunan dan kegigihan yang tinggi selama 15 tahun, Imam Bukhari berkelana dari satu negeri ke negeri lain untuk menemui para guru hadits dan meriwayatkannya dari mereka. Ia sangat prihatin dengan banyaknya kitab hadits, pada zaman itu, yang mencampuradukan antara hadits sahih, hasan, dan dhaif – tanpa membedakan hadits yang diterima sebagai hujah (maqbul) dan hadits yang ditolak sebagai hujah (mardud).
Imam Bukhari makin giat mengumpulkan, menulis, dan membukukan hadis, karena pada waktu itu hadis palsu beredar makin meluas.
Untuk mencari kebenaran Hadits beliau tak tanggung-tanggung, beliau akan mencari perawinya dimanapun ia berada. Beliau sangat ketat dalam periwayatan hadits, ‘’Hadits yang diterimanya adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’’
Tak hanya itu. Ia juga memastikan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan serta hafalannya. Tak cukup hanya itu. Imam Bukhari juga akan selalu memastikan bahwa antara murid dan guru harus benar-benar bertemu. Contohnya, apabila rangkaian sanadnya terdiri atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – sahabat – tabiin –tabi at tabiin – A –B – Bukhari, maka beliau akan menemui B secara langsung dan memastikan bahwa B menerima hadis dan bertemu dengan A secara langsung.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab hadits nomor wahid ini memuat sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Imam Bukhari menghafal sekitar 600 ribu hadits. Ia menghafal hadis itu dari 90 ribu perawi. Hadits itu dibagi dalam bab-bab yang yang terdiri dari akidah, hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan baik dan tercela, tarik, serta sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shahih Muslim 
Menurut Imam Nawawi, kitab Shahih Muslim memuat 7.275 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam Bukahri, Imam Muslim hanya menghafal sekitar 300 ribu hadits atau separuh dari yang dikuasai Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka jumlah hadits dalam kitab itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Imam Muslim meyakni, semua hadits yang tercantum dalam kitab yang disusunnya itu adalah shahih, baik dari sisi sanad maupun matan. Seperti halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun dengan sistematika fikih dengan topiknya yang sama.
Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan, menulis, dan membukukan hadits karena pada zaman itu ada upaya dari kaum zindik (kafir), para ahli kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat dengan hadits yang mereka buat-buat sendiri. Tak heran, jika saat itu umat islam sulit untuk menilai mana hadits yang benar-benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan.
Soal syarat penetapan hadits shahih, ada perbedaan antara Imam Bukhari dan Imam Muslim. Shahih Muslim tak menerapkan syarat terlalu berat. Imam Muslim berpendapat antara murid (penerima hadits) dan guru (sumber hadits) tak harus bertemu, cukup kedua-duanya hidup pada zaman yang sama.
Sunan Abi Dawud 
Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk yang diulang. Sebanyak 4.800 hadits yang tercantum dalam kitab itu adalah hadits hukum. ‘’Di antara imam yang kitabnya masuk dalam Kutub as-Sittah, Abu Dawud merupakan imam yang paling fakih,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Karenanya, Sunan Abi Dawud dikenal sebagai kitah hadits hukum, para ulama hadits dan fikih mengakui bahwa seorang mujtahid cukup merujuk pada kitab hadits itu dan Alquran. Ternyata, Abu Dawud menerima hadits itu dari dua imam hadits terdahulu yakni Imam Bukhari dan Muslim. Berbeda dengan kedua kitab yang disusun kedua gurunya itu, Sunan Abi Dawud mengandung hadits hasan dan dhaif. Kitab hadits tersebut juga banyak disyarah oleh ahli hadits sesudahnya.
Sunan At-Tirmizi 
Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’ At-Tirmizi. Karya Imam At-Tirmizi ini mengandung 3.959 hadits, terdiri dari yang shahih, hasan, dan dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim al-Jaujiyah, di dalam kitab itu tercantum sebanyak 30 hadits palsu. Namun, pendapat itu dibantah oleh ahli hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.
‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadits palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah. Menurut dia, At-Tirmizi selalu memberi komentar terhadap kualitas hadits yang dicantumkannya.
Sunan An-Nasa’i 
Kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan Al-Mujtaba. An-Nasa’i menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan Al-Kubra yang masih mencampurkan antara hadits shahih, hasan, dan dhaif. Sunan An-Nasa’i berisi 5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’i adalah hadis-hadis sahih.
Dalam kitab ini, hadits dhaif terbilang sedikit sekali. Sehingga, sebagian ulama ada yang meyakini kitab itu lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika, para ulama menjadikan kitab ini rujukan setalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Sunan Ibnu Majah 
Kitab ini berisi 4.341 hadits. Sebanyak 3.002 hadits di antaranya terdapat dalam Al-Kutan Al-Khasah dan 1.339 hadits lainnya adalah hadits yang diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para ulama tak memasukan kitab hadits ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah, karena di dalamnya masih bercampur antara hadits shahih, hasan dan dhaif. Ahli hadits pertama yang memasukan kitab ini ke dalam jajaran enam hadits utama adalah Al-Hafiz Abu Al-fadal Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat 507 Hijiriah).
Pemandangan di Darul Ulum Bury, Inggris
Sejarah penyebaran pengajian hadits bersanad seperti ini, bermula dari fikir dan risau Maulana Muhammad Ilyas dan Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi. Merekalah yang telah memikirkan nasib umat Islam di Eropah khususnya di Inggris, yang semakin mundur dari ilmu agama karena tinggal di negara orang kafir. Maulana Muhammad Ilyas (wafat 1944 M) sebelum meninggal dunia telah berjumpa dengan Haji Muhammad Patel di Mekkah, kemudian mengajak Haji Muhammad Patel untuk memulai usaha dakwah di sana, pada tahun 1944 M. Kemudian usaha Maulana Muhammad Ilyas mendapat perhatian khusus dari puteranya yaitu Maulana Muhammad Yusuf Kandahlawi yang begitu bersemangat menghantar jamaah-jamaah ke negara itu, sehingga menimbulkan kesadaran dalam kalangan masyarakat Islam di sana untuk menghantar anak-anak mereka belajar agama di India. Maulana Muhammad Yusuf risau, bagaimana Kota London berubah menjadi seperti kota Makkah dan Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian setelah tahun 1970, Maulana Muhammad Zakariyya menyarankan muridnya yaitu Maulana Muhammad Yusuf Motala, agar membuka pusat pengajian hadits di Inggris yang di namakan dengan Darul Ulum Bury, Lancashire, Barat Inggris. Masya Allah, Allahsubhanahu wa ta’ala telah menerima pengorbanan mereka, sehingga nasib umat Islam di sana terselamatkan dan bahkan berkembang pesat.
Komunitas Umat Islam di sana telah mendapat pendidikan agama yang baik, sehingga kini madrasah-madrasah disana berhasil melahirkan ratusan ulama’ dalam berbagai disiplin ilmu. Diantara ulama’ yang berhasil dilahirkan di bumi Inggris adalah Maulana Salim Dhorat, Mufti Muhammad ibn Adam al-Kawtsari, Maulana Abdul Rahim Limbada, Maulana Riyadh ul Haq, Syaikh Zahir Mahmud dan banyak lagi.
Direktur Darul Ulum Deoband,
Maulana Qari Mohammad Tayyib Qasimi ketika berada di Inggris.
Di bawah ini, beberapa madrasah yang telah berdiri di Inggris, yang turut menawarkan pengajian secara Dauratul Hadits, antara lainadalah :  
1. Darul Ulum Bury, Syaikhul Hadits Maulana Abdul Rahim Limbada
2. Darul Ulum London, Syaikhul Hadits Maulana Umar Faruk Desai
3. Darul Ulum Bolton, Syaikhul Hadits Maulana Usman Adda
4. Darul Ulum Blackburn, Syaikhul Hadits Maulana Mufti Inayatullah
5. Darul Ulum Leicester, Syaikhul Hadits Maulana Ayyub Surti
6. Darul ulum Dewsbury, Syaikhul Hadits Maulana Muslih Hudden Bardowi
7. Darul Ulum Riaz Ul, Syaikhul Hadits Maulana Salim Dhorat
8. Darul Ulum Al-Kawtsar (Academy), Syaikhul Hadits Maulana Riyadh ul Haq
9. Darul Ulum, Birmingham, Syaikhul Hadits Maulana Dr. Abdur Rahim
dan banyak lagi. Mereka telah berhasil melahirkan ulama’-ulama’ sendiri, dan sering menerima ziarah para alim ulama’ dari Indis khususnya Syaikhul Hadits dari berbagai madrasah yang terkenal seperti Muhammad Taqi Uthmani (Syaikhul Hadits Darul Ulum Karachi), Syaikhul Hadits Maulana Mufti Ahmad Said Palanpuri (Syaikhul Hadits Darul Ulum Deoband), Maulana Yunus Jaunpuri (Syzikhul Mazahirul Ulum), Maulana Ehsan Ul Haq (Madrasah Arabia Raiwind), Maulana Yunus Luniarwi (Syaikhul Hadits Darul Ulum Qasmia Arabia, Kharod, Gujarat), Maulana Fazlur Rahman Azmi (Syaikhul Hadits Darul Ulum AzaadVille), Maulana Mufti Ahmad Khanpuri (Syaikhul Hadits Darul Ulum Dhabel) dan banyak lagi.
Maulana Muhammad Yunus Jaunpuri,
Syaikhul Hadits di Madrasah Mazahirul Ulum, Saharanpur, India.
Foto di ambil ketika program Daurah Hadits,
sebagai Kepala Majlis Khatam Bukhari,
pada tahun 2013,di Inggris.
Majlis Khatam Bukhari yang di adakan di tengah lapangan di Inggris
Dan Majlis Khatam Bukhari di Darul Ulum Bury
dan Kidderminster pada tahun 2014

HADHRAT SHAIKHUL HADITs MAULANA MUHAMMAD YUSUF MOTALA

Hadhrat Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Yusuf
bin Suleman bin Cassim Motala.


Maulana Muhammad Yusuf Motala pendiri Darul
 Ulum Bury,
Dan surat pertama Maulana Muhammad Zakariyya
kepada Maulana Yusuf Motala di Inggris.
Maulana Yusuf Motala membuka madrasah di Inggris atas saran Maulana Muhammad Zakariyya
Lineage & Early Life
Hadhrat’s father’s family has resided in the village of Varethi, within the Surat district, for centuries. Though their occupation was farming, his paternal grandfather relinquished his land on a contract and adopted business as his source of income. Due to Hadhrat’s grandfather’s premature death, Hadhrat’s father was raised in his mother’s care. After reaching puberty, he started a business. His first marriage was into an honoured family from Hathuan. From that marriage, he had a son named Mohamed Ali. This wife passed away within a few years, after which he married Hadhrat’s mother, Amina bint Mohamed bin Ismail Desai. Hadhrat’s maternal family lived in a village called Kholwad on the shores of the Tapisti River. For unknown reasons, this clan moved to Nani Naroli. There, they adopted farming as their profession and source of income.
Hadhrat’s mother did not bear any children for a period of five to six years after marriage. Then, a pious man arrived in Nani Naroli, whom Hadhrat’s father requested to supplicate for children. The pious man presented Hadhrat’s mother with a ring and imparted the glad tidings of a baby boy. He wished well for the child to be characterized with qualities of knowledge and piety. After a year, the pious man returned to Nani Naroli. Shortly prior to his arrival, Hadhrat’s brother, Hadhrat Shaikhul Hadith Maulana Abdur Rahim bin Suleman bin Cassim Motala, had been born. For a second time, the pious man presented Hadhrat’s mother with a ring and imparted the glad tidings of another child.
After having married Hadhrat’s mother, the effect of her religiousness started to overcome Hadhrat’s father. Eventually, his oath of allegiance (bay’at) was accepted at the hands of Maulana Abdul Gafoor Bangali, as a result of which he commenced dhikr. As soon as Hadhrat’s father commenced dhikr, the effects of it steadily began to influence his health to such an extent that it started to have a reclusive effect on his state of affairs. In this condition, he said to Hadhrat’s mother, “I intend to forsake the world. You must return to your house”. The elders and influential men of Hadhrat’s family attempted to dissuade him in every possible manner, but to no avail. Eventually, he was forced to sign divorce papers in case his condition reached insanity. The iddah was until the day Hadhrat was born. Hadhrat was born at his maternal grandfather’s house in Nani Naroli on the night of Monday, November 26, 1946.
In 1953, Hadhrat’s maternal aunt passed away in South Africa during the childbirth of a son, Shabir. Her husband was left a widower with eleven children. So, Hadhrat’s grandfather sent Hadhrat’s mother to South Africa to marry her brother-in-law and raise his children. Though she did not wish to abandon her sons, she agreed and reluctantly departed for South Africa. From then on, seven-year-old Hadhrat and his nine-year-old brother were raised by their grandparents. However, within a few years, they passed away. Thus, Hadhrat and his brother were raised by their maternal aunt, affectionately called Chotikala.
Education
Hadhrat’s primary Islamic education of Qur’an Sharif and Urdu was completed at Madressa-e-Targib in Nani Naroli. In 1961, Hadhrat enrolled at Jamea Hussainia a well-known madrasa in Rander. There, he studied from the first year of Persian until the first year of Hidaaya. Thereafter, in 966, Hadhrat enrolled at Mazahirul Ulum in Saharanpur. His classes commenced on February 23, 1966. He studied Mishkaat ul Masabeeh under Shaikhul Hadith Maulana Yunus, Tafsir ul Jalalayn under Maulana Muhammad Aqil, Volume 3 of Hidaaya under Mufti Yahya, and Mishkaat ul Masabeeh for a second time under Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA).
In the following year, Hadhrat studied Sahih ul Bukhari under Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA), Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasa’i, Mu’atta Imam Malik and Mu’atta Imam Muhammad under Maulana Yunus Jaunpuri, Sahih Muslim and Sunan At Timrmidhi under Maulana Muzaffar Hussain, and Surah Maiani Al Athar under Hadhrat Maulana Asadullah. At around this time, Hadhrat wrote a letter to Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA) requesting the acceptance of bay’at. He replied, accepted Hadhrat’s bay’at, and entered Hadhrat into his silsilah. After this, along with his studies, Hadhrat commenced a consistent routine of the recitation of Qur’aan Sharif and performance of Tahajjud, Ishraaq, Chaasht and Awwaabeen Salaah.
Marriage, Khilafat, and the Birth of His First Child
In 1968, after completing his final year, Hadhrat’s relatives engaged him to a close friend of the family in England. His trip to England was booked for after Ramadan. In Ramadan of 1968, Hadhrat was appointed to lead the five daily salaahs and Taraweh Salaah. Two paras were to be recited in each Taraweeh Salaah. However, after three or four days, Hadhrat became ill and was sent home to Surat. Approximately four months later, in early June, Hadhrat travelled to England. His marriage was conducted within five or six weeks.
On April 23 1969, along with four friends, Hadhrat departed from England to performUmra. There, he had the opportunity to spend six to seven months in the company of his Shaikh. Hadhrat passed the Ramadan of 1969 with his Shaikh in Makkah and Madina. One night, whilst in I’tikaaf, after the performance of Taraweeh Salaah, Hadhrat’s Shaikh called Hadhrat and Maulana Ismail Badat into his tent and granted them permission to accept Khilafat, wrapping turbans on their heads with his own hands. At the end of the month of Ramadan, Hadhrat was sent back to England.
However, Hadhrat had the opportunity to spend Ramadan of 1970 in Saharanpur. On the 30th of Ramadan, by means of a telegram, Hadhrat received glad tidings of the birth of his first child, a girl. Hadhrat’s Shaikh immediately sent a telegram: “May the name ‘Khadija’ be blessed. The birth of a daughter is an indication of resemblance to the exalted Prophet Muhammad (SAWS).”
His WorkUpon the instructions of his Shaikh, Hadhrat established Dar ul Ulum Al Arabia Al Ilamia in Holcombe, Bury, Lancashire, in 1973. At present, he is the founder and patron of numerous Islamic institutes throughout the world and spiritual guide to thousands of Muslims all over the world.
His students, who number thousands, are spread across the globe, occupied in the service of deen in varying capacities. More than 75% of English-speaking Ulama in the UK are graduates of institutes founded by Hadhrat, many of whom are actively engaged in reinforcing community relation.
Hadhrat is a dedicated educationist and has devoted much of his life to establishing schools and colleges for the betterment of the Muslim community. His work has been praised by both the community as a whole as well as OFSTED.

Institutions Established by Shaikh in the UK]

·         Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah, Bury (Boys)
·         Madinatul Uloom Al Islamiya, Kidderminster (Boys)
·         Jami'atul Imam Muhammad Zakariyya, Bradford (Girls)
·         Madrasa Misbah al-Uloom, Bradford
·         Markaz ul-Uloom, Blackburn (Boys and girls)
·         Madrasa al-Imam Muhammad Zakariyya, Bolton
·         Madrasa al-Imam Muhammad Zakariyya, Preston
·         [Azhar Academy] London, United Kingdom


·         Al Markazul Ilmi, Dewsbury, (Girls)


Sabtu, 16 Juli 2016

262. MENGENAL MAULANA MUHAMMAD ZAKARIYYA (8)

Foto Maulana Muhammad Zakariyya An Kandahlawi
8. PESANTREN DARUL ULOOM ZAKARIYYA, PESANTREN MULTIBANGSA DI JOHANNESBURG - AFRIKA SELATAN
Perguruan Tinggi Agama Islam Darul Uloom Zakariyya,
Afrika Selatan.
Nun jauh disana di sebuah tempat di negara Afrika Selatan, tepatnya di kawasan Lenasia kira-kira 20 kilometer sebelah selatan kota Johannesburg, berdiri sebuah madrasah bernama Darul Ulum Zakariyya.
Madrasah ini adalah satu dari banyak tempat dari para pengikut Usaha Dakwah dan Tabligh memperdalam ilmu agama mereka, selain di India, Pakistan dan Bangladesh. Pesantren modern dengan luas 9,7 hektar ini terletak di tengah bekas lahan pertanian yang sejuk di Lenasia.
Madrasah Darul Uloom Zakariyya didirikan pada tahun 1983 dengan jumlah santri pertamanya  35 anak. Awal berdiri perguruan tinggi ini dipimpin oleh Qori Addul Hamid dari Panoli, India, tahun 1986. Saat itu fasilitas madrasah masih sangat minim. Untuk belajar, para santri masih harus belajar di bawah pohon, sementara untuk tempat istirahat disediakan sebuah rumah yang cukup besar. Tahun berikutnya, jumlah santri bertambah menjadi 100 anak, dibawah bimbingan 6 ustadz dan dibagi menjadi 6 kelas.
Pada tahun-tahun berikutnya madrasah ini terus berkembang. Pada tahun 1991, kelas Daurah Hadits mulai dibuka setelah beberapa santri dari madrasah ini menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut di beberapa madrasah di India dan Pakistan. Secara garis besar, jurusan di madrasah ini dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas Tahfidz dan kelas ‘Alim. Kelas Tahfidz disiapkan untuk menghasilkan para hafidz, penghafal Alquran. Para hafidz ini sangat penting keberadaannya untuk menjaga kemurnian dan kesucian Alquran. Jadi disamping dicetak dalam bentuk mushaf, alquran juga tersimpan di dada para hafidz.
Sementara kelas ‘Alim disiapkan untuk melahirkan ulama-ulama yang mumpuni dan mampu membimbing umat agar kehidupannya selaras dengan kaidah-kaidah agama. Kepada mereka lah umat akan meminta nasihat dan bimbingan dalam mengahadapi problematika hidup dan mencari jalan pemecahannya.
Saat ini antri yang belajar di madrasah ini berjumlah 715 santri, 300 satri berasal dari Afrika Selatan sendiri, sisanya berasal dari 56 negara di antaranya dari Amerika Serikat, Australia, Kenya, Turjikistan, Vietnam, Thailand, Malaysia, termasuk Indonesia.
Untuk kelas belajar, saat ini 300 santri mengambil kelas Hafidz, sisanya mengambil kelas ‘Alim. Hingga saat ini, madrasah ini telah melahirkan ribuan hafidz, ulama dan qari yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Masa pendidikan di madrasah ini sekitar 7 tahun. Selama masa belajar di madrasah, para santri juga aktif diterjunkan dalam kegiatan dakwah dan tabligh di lingkungan sekitar madrasah.
Setelah menyelesaikan masa pendidikan, mereka biasanya diminta untuk melakukan perjalanan dakwah dan tabligh ke beberapa negara selama satu tahun. Bahasa pengantar yang dipakai di madrasah ini digunakan tiga bahasa. Untuk pergaulan sehari-hari antar santri digunakan bahasa Inggis. Sementara untuk mengaji digunakan bahasa Urdu dan Arab. Kenapa bahasa Urdu? Karena pendiri dan santri dari madrasah ini semula berasal dari keturunan India dan Pakistan. Jadi semua santri yang lulus dari madrasah ini dijamin mahir tiga bahasa tersebut.
Nama Zakariyya
Nama madrasah ini diambil sebagai penghormatan kepada seorang Syaikhul Hadits dari Madrasah Mazahirul Ulum Saharanpur, India, yang bernama Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi. Beliau lah inisiator berdirinya madrasah ini. Pada suatu kesempatan kunjungan beliau di afrika selatan tahun 1981, Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi berdoa dan mengajak seluruh hadirin yang hadir pada saat itu untuk berusaha dengan keras mewujudkan berdirinya sebuah madrasah  sebagai tempat untuk mendidik, menjaga dan mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan. Keinginan tersebut akhirnya terwujud pada tahun 1983. Untuk saat ini,  madrasah ini juga telah mempunyai cabang di Eikenhof, kira-kira 13 km dari lokasi madrasah pertama, satunya lagi berdiri di Mandane–Soweto.
Bagi teman-teman yang aktif dalam kegiatan dakwah dan tabligh insyaallah akrab dengan nama ini. Beliau adalah penulis Kitab Himpunan Fadhilah Amal yang terdiri dari Fadhilah Dzikir, Shalat, Haji, Tabligh, Ramadhan dan Shadaqah. Kitab ini hingga saat ini menjadi bacaan utama para dai yang bergerak di seluruh dunia.
Madrasah di Eropa tidak hanya di Afrika Selatan, di beberapa negara lain juga tumbuh subur madrasah-madrasah semacam. Di Inggris, madrasah serupa bahkan sudah berdiri pada tahun 1973, ditandai dengan berdirinya Madrasah Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah di Holcombe Brook, Bury, Great Manchester. Pendirinya adalah Maulana Yusuf Motala, juga santri dari Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi dari Madrasah Mazahirul Ulum Saharanpur India Kini madrasah di Inggris tersebut telah menjadi madrasah induk (ummul madaris) yang cabang-cabangnya menyebar di berbagai kota di Eropa.
Madrasah ini juga telah melahirkan ribuan imam dan dai yang mengabdikan diri mereka untuk agama. Jadi sekarang ini, kalau kita ingin menjadi santri maka semakin banyak pilihan tempat. Bisa di dalam negeri sendiri, bisa juga di luar negeri seperti di Malaysia, Thailand, India, Pakistan, Arab Saudi, Yaman, Afrika, bahkan di Eropa juga bisa. Istilah kerennya adalah menjadi santri transnasional, bergabung dengan santri dari berbagai Negara di Pondok Pesantren Darul Uloom Zakariya.
Perkembangan Madrasah ini sangat pesat, seiring bertambahnya orang yang ambil bagian dalam usaha Dakwah dan Tabligh di seluruh dunia. Menurut data tahun 2011 lalu, ada sekitar 715 santri di perguruan tinggi ini. Hanya 300 yang berasal dari Afsel, sisanya dari 56 negara yang berbeda, termasuk Indonesia. Diantara santrinya bernama Mas Dedi bin Muhammad Masyril. Saya (penulis blog ini) pernah memberikan semangat dan ikut mendoakan ketika beliau akan berangkat ke Afrika Selatan sekitar 2 tahun (tahun 2014) yang lalu.
Ada lima fakultas yang tersedia, yaitu Hifdhul-Qur'an (Menghafal Al-Qur'an), Aalimiyah (Studi Fikih dan Ilmu Islam), Tajwid dan Qira'aat (Ilmu al-quran, Qira’aah Sab’ah dan Asyarah), Ifta' (Spesialisasi dalam Ilmu Fikih dan Penelitian Islam) serta Sastra Arab. Sejak didirikan hingga 2011, perguruan tinggi ini telah melahirkan ribuan tahfidz (penghafal Al-Quran), 619 ulama, 137 qori.
KURNIAWAN MUHAMMAD, JOHANNESBURG BERCERITA :
BEGITU mendengar di Johannesburg ada pondok pesantren bernama Darul Uloom Zakariyya, saya langsung penasaran ingin mengunjungi. Nama itu tak asing buat saya. Sebab, di Jombang, Jawa Timur, tempat kelahiran saya, ada pondok pesantren yang terbilang besar bernama Darul Ulum. Saya kira, arti Darul Uloom di Afrika Selatan dan Darul Ulum di Jombang tidak berbeda.
Berbekal peta dan ancar-ancar lokasi yang diberikan petugas KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Pretoria, Minggu (13/6) sekitar pukul 10.00 waktu setempat, saya mencari alamat Ponpes Darul Uloom.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit dari tempat penginapan di Sandton, saya sampai di Lenasia, lokasi Ponpes Darul Uloom. Lenasia masih termasuk kawasan Johannesburg, Provinsi Gauteng. Lenasia banyak dihuni warga Afrika Selatan (Afsel) keturunan India. 
Nama Ponpes Darul Uloom, tampaknya, cukup terkenal di wilayah pinggiran Johannesburg itu. Terbukti, begitu masuk ke Lenasia, warga yang saya temui langsung menunjukkan arah alamat Darul Uloom. 
Saya pun dengan gampang sampai ke pondok khusus pria itu. Pondok tersebut terletak di hamparan lahan tandus. Semua bangunan pondok yang didirikan pada 1985 oleh Hafiz Bashir, seorang ulama Afsel keturunan India, tersebut dikelilingi pagar tembok. Mirip bangunan benteng peperangan. 
Untuk masuk ke kompleks pondok yang menempati lahan seluas sekitar 5 hektare itu, tamu harus melewati pintu gerbang yang membuka-tutup secara otomatis. Pintu gerbang tersebut dijaga dua petugas keamanan. 
"Assalamu’alaikum... From Indonesia" Ahlan wa sahlan," ujar seorang santri berwajah India, bercambang lebat, dan mengenakan gamis (baju kurung) menyambut kedatangan saya. 
Semula, saya mengira dia orang India. Tapi, ketika saya ajak berbicara bahasa Inggris, dia malah tersenyum. "Saya orang Indonesia, Mas. Ibu saya asli Blauran, Surabaya. Bapak saya yang orang India. Saya lahir dan besar di Palembang," kata pria yang memperkenalkan diri bernama Muhammad Zaki itu.
Zaki adalah murid madrasah aliyah kelas akhir (setingkat kelas 3 SMA). Dia hampir lima tahun nyantri di Ponpes Darul Uloom. Dia lantas mengenalkan saya dengan Abdurrahim, ketua pelajar Indonesia yang tinggal di Darul Uloom. Dua santri muda itu lalu mengantar saya berkeliling pondok, mulai asrama tempat tinggal para santri, masjid, hingga tempat makan. 
"Di sini, tugas santri hanya belajar. Untuk makan, sudah disediakan pengelola pondok. Begitu pula cuci pakaian, sudah ada yang mengerjakan," ungkap Abdurrahim yang menempuh pendidikan di ma"had ali (setingkat perguruan tinggi) jurusan ilmu hadits itu.
Sudah tiga tahun pemuda asal Lombok tersebut tinggal di Darul Uloom. Ketika ditanya biaya yang harus dibayar setiap santri, Abdurrahim menyebut sekitar 12 ribu rand per tahun (sekitar Rp 15 juta). "Itu sudah semua. Tapi, hampir separo yang tinggal di sini tidak membayar karena mendapat beasiswa dari lembaga-lembaga yang bekerja sama dengan pondok ini," jelas santri yang juga menjadi ketua Presidium Persatuan Pelajar Indonesia Afrika Selatan tersebut.
Saya sebenarnya sangat ingin bertemu pengasuh pesantren tersebut. Tapi, pimpinannya tidak berada di tempat. "Maaf, Al Ustad Maulana Shabber Ahmad Saloojee tidak ada di sini. Beliau sedang ke Durban," kata Zaki. 
Maulana Shabber adalah penanggung jawab untuk semua jenjang pendidikan di pesantren tersebut. Dia adalah keturunan India, namun lahir dan besar di Afsel. Pendidikan di Darul Uloom terdiri atas tiga tingkat. Yakni, tingkat tsanawiyah (setingkat SMP), aliyah (SMA), dan ma’had ali (perguruan tinggi). Sama seperti di Indonesia, untuk tsanawiyah dan aliyah, masing-masing ditempuh tiga tahun.
Untuk ma"had ali, ada beberapa jurusan. Di antaranya, dakwah, ilmu hadis, dan darul ifta. Jurusan terakhir itu khusus mempelajari seputar fatwa tentang hal-hal yang pada zaman Rasulullah tidak ada. "Misalnya, hukum rokok dan hukum Facebook," jelas Abdurrahim.
Saat ini, terdaftar sekitar 700 santri belajar di pondok tersebut. Di antara jumlah itu, sekitar 600 orang tinggal di lingkungan pondok. Mereka berasal dari 54 negara. Di antaranya, Amerika Serikat, Australia, Kenya, Turjikistan, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Mereka juga berasal dari beberapa daerah di Afsel. "Dari Asia Tenggara, yang terbanyak dari Malaysia. Ada 50-an orang. Dari Thailand sekitar 20 orang, Indonesia 30 orang, dan Vietnam 4 orang," tuturnya. 
Abdurrahim melanjutkan, dari Afsel, terdapat sekitar 200 orang kulit hitam yang tinggal di pondok tersebut. "Kebanyakan mereka adalah mualaf," ujarnya.
Untuk bahasa sehari-hari di lingkungan pondok, digunakan tiga bahasa. "Untuk bahasa pergaulan antarsantri, digunakan bahasa Inggris. Saat mengaji menggunakan bahasa Arab dan Urdu," kata Abdurrahim.
Mengapa menggunakan bahasa Urdu? "Sama seperti pondok-pondok di Jawa. Saat mengaji kitab, selain bahasa Arab, bahasa Jawa kan juga digunakan. Bahasa Jawa itu kalau di sini adalah bahasa Urdu," lanjut pria yang pernah setahun mondok di Magelang, Jawa Tengah, tersebut.
Untuk materi yang diajarkan, Ponpes Darul Uloom punya kurikulum sendiri. "Selain dasar-dasar ilmu agama mulai ilmu fikih, hadits, tajwid, bahasa Arab, serta nahwu sorof, diajarkan beberapa kegiatan ekstrakurikuler," lanjutnya. 
Di antaranya, bahasa Persia, ilmu astronomi, dan pencak silat Al-Azhar asal Indonesia. "Ada juga di sini program menghafal Alquran," katanya.
Saya sempat bertemu seorang santri asal Michigan, AS, yang sedang mengikuti program menghafal Alquran. Namanya Imtyaz, warga AS keturunan Arab yang baru setahun mondok di sana. Bocah 13 tahun itu mengaku sudah bisa menghafal empat juz. 
Jika dibanding pondok-pondok pesantren di Indonesia, Darul Uloom tergolong pondok modern. Di sana, santri tinggal di asrama yang didesain cukup nyaman. Ada 16 unit asrama yang setiap unitnya terdiri atas enam kamar. Masing-masing kamar berukuran sekitar 8 x 8 meter dan dihuni enam santri.
Setiap santri mendapat jatah satu ranjang dan satu lemari. Di setiap kamar juga disediakan satu kulkas, enam kamar mandi, enam WC, serta enam tempat wudu. Terdapat pula satu ruangan untuk dapur di setiap unit. "Saat Sabtu, biasanya santri-santri suka memasak," ungkap Zaki.
Seperti halnya di Indonesia, aturan di Pondok Darul Uloom juga ketat. Di sana tidak ada pesawat televisi. Para santri juga tidak boleh membawa HP. Kalaupun membawa, mereka harus menitipkannya kepada para ustad. Mereka hanya boleh menggunakan HP saat libur mingguan, Sabtu dan Minggu. Tapi, saat libur Sabtu, para santri tak boleh keluar dari areal pondok. 
"Biasanya libur Sabtu digunakan untuk mengikuti ekstrakurikuler dan menelepon sanak saudara para santri," kata Zaki. 
Pada libur Minggu, para santri boleh keluar dari kompleks pondok. "Biasanya ada yang main ke mal atau nonton film. Karena di Afsel sedang berlangsung Piala Dunia, hari ini (Minggu, 13/6) ada yang ramai-ramai nonton pertandingan," ujarnya. "Yang punya uang, ada yang nonton langsung ke stadion. Tapi, bagi yang tak punya uang, cukup nonton melalui televisi," imbuhnya.
Jika ada santri yang melanggar aturan pondok, hukumannya berat dan tegas. Misalnya, jika ada yang telat shalat berjamaah, terlambat mengikuti pelajaran, atau sengaja membolos, hukumannya bisa disuruh membersihkan WC, dijemur di lapangan, atau kepalanya digundul. 
Hukuman paling berat adalah dikeluarkan dari pondok. "Aturan ketat itu semata-mata ditujukan agar para santri di sini benar-benar belajar," tegas Abdurrahim yang diamini Zaki.


ZAINAL NURISKY (ALM) PUTRA MANTAB PANGAB WIRANTO MENINGGAL DI PESANTREN DARUL ULOOM ZAKARIYYA 
Di Madrasah Darul Uloom Zakariyya, Johannesburg, Afrika Selatan pernah ada yang meninggal santri yang berasal dari Indonesia, yang bernama Zainal Nurizky, putra mantan Pangab Bapak Wiranto.
Dia meninggal dalam usia 23 tahun setelah menderita sakit selama beberapa hari dan langsung dimakamkan di tempat tersebut. Banyak komentar di beberapa media online berkenaan dengan meninggalnya Zainal Nurizky tersebut. Dari mulai kenapa anak jendral kok tidak disekolahkan tetapi malah dimasukkan ke madrasah yang lulusannya “tidak” menjanjikan karier dan keduniaan.
Terus kenapa juga dia memilih pesantren di Afrika Selatan, sebuah tempat yang hampir tidak pernah dibicarakan sebagai tempat untuk studi keislaman. Bukankah di Indonesia sendiri juga banyak pesantren semacam itu? Pertanyaan lain lagi, kenapa Pak Wiranto tidak meminta jenazah anaknya untuk dipulangkan ke Indonesia, sedangkan para jasad TKI saja biasanya dipulangkan? Apakah Pak Wiranto tidak sayang pada anak lelaki satu-satunya itu ?
Untuk masalah kenapa jenazah tidak dibawa pulang, Pak Wiranto telah memberikan penjelasan secara langsung. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk dari sudut agama, kepraktisan dan lain-lainnya, beliau memutuskan bahwa jenazah Zainal Nurizky tetap dikuburkan di tempat dimana ia meninggal. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala melapangkan kubur almarhum Zainal Nurizky dan menempatkannya di tempat yang mulia, Amin.
Untuk pertanyaan yang lainnya, saya yakin almarhum Zainal Nurizky punya alasan sendiri yang cukup kuat kenapa dia sampai memilih nyantri di madrasah tersebut dan tidak pada madrasah yang lain.
Almarhum Zainal Nurizky santri Madrasah Darul Ulum Zakariyya Afrika Selatan 
Inilah jalan yang telah dipilih Zainal Nurizky dan jalan ini pula yang telah mengantarkannya menemui Rabbnya. Selamat jalan Inal, insyaallah jalanmu akan semakin lapang dan engkau akan mendapatkan kedudukan yang mulia !