Penentuan
Hari Raya
(dan Awal Puasa)
Menurut Dr. Thomas Djamaludin
dan
Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
I. Pendahuluan:
(dan Awal Puasa)
Menurut Dr. Thomas Djamaludin
dan
Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
I. Pendahuluan:
Penentuan
hari raya Idul Fitri di Indonesia tahun ini sangat berkesan bagi penulis.
Karena di TV, koran dan di internet penuh dengan berita pendapat para ahli
tentang perbedaan system yang dipakai yaitu Rukyat dan Hisab yang berakibat
pada berbedanya hari raya tahun ini yaitu Muhammadiyah berhari raya pada
tanggal 30 Agustus 2011 sedang Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 2011.
Kemudian
hari Minggu tanggal 29 Agustus 2011 di TV ditayangkan sidang isbat yang
diselenggarakan oleh Kementerian Agama yang mengundang seluruh organisasi Islam
termasuk Muhammadiyah dan Badan yang terkait di antaranya adalah dari LAPAN
(Lembaga Antarikasa dan Penerbangan Nasional) yang diketuai Dr. Thomas
Djamaludin, untuk di mintai pendapatnya tentang penentuan awal bulan Syawal /
hari raya tahun 1432 H.
Yang
menarik adalah pendapat dari Dr. Thomas Djamaluddin dan kawan-kawannya yang
mengkritik pendirian Muhammadyah yang berpotensi menimbulkan perbedaan. Untuk mengetahui bagaimana masalahnya
penulis kutip pendapat beliau yang ditulis di internet. Berikutnya penulis kutip pendapat Tk. Hasbi Ash-Shiddieqy
tentang penentuan awal Romadon dan Syawal dari bukunya: “Pedoman Puasa”.
Pendapat beliau penulis kutip karena Tk. Hasbi adalah seorang ulama besar yang
berfaham Muhammadiyah tetapi kritis terhadapnya.
II.
Pendapat T. Djamaludin
A. Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal:
A. Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal:
Metode
Lama yang Mematikan Tajdid Hisab
Posted on 27 Agustus 2011 by tdjamaluddin
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI
Perbedaan
Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN
perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada
perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah
utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal.
Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih
sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk
diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan
terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul
Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi
perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal
Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat
bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling
menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas
Islam harus bersepakat untuk mengubah kriterianya.
Mengapa
perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi
sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011.
Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh
Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu
diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata,
termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum.
Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa
menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah
mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah
wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri
jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat
(kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih
terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan
pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian
sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan
sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan
seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama
Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu
dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan.
Seperti
apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern
Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka
yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu
saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu
hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca makalah berikutnya). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca makalah berikutnya). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui,
metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya berdasarkan
periodik, 30 dan 29 hari berulang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa
kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan
metode hisab atau rukyat modern). Lalu
berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal
teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya
masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.
Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak
qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal
(hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari).
Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan,
kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli
hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para
pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa
dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah
dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi
imkanur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online
di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikkan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghurub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikkan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghurub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU, Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata di kalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah!
B. Hisab dan Rukyat Setara:
Astronomi
Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal,
dan Dzulhijjah
Posted on 28 Juli 2011 by tdjamaluddin
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
Diskusi
soal penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah seringkali terfokus pada
pemaknaan rukyat dan pengambilan dalil dari banyak hadits. Minim sekali
pengambilan dalil dari Al-Quran dalam hal operasionalisasi penentuan awal bulan
tersebut, karena memang Al-Quran tidak secara eksplisit mengungkapkan tata
caranya seperti dalam hadits. Ya, kalau sekadar menggunakan ilmu tafsir yang
selama ini digunakan oleh para ulama, kita sulit menemukan isyarat
operasionalisasi penentuan awal bulan qamariyah di dalam Al-Quran. Tetapi,
marilah kita gunakan alat bantu astronomi untuk memahami ayat-ayat Allah di
dalam Al-Quran dan di alam. Kita akan mendapatkan isyarat yang jelas dan
lengkap tata cara penentuan awal bulan itu di dalam Al-Quran. Memang bukan pada
satu rangkaian ayat, tetapi dalam kaidah memahami Al-Quran, satu ayat Al-Quran
bisa dijelaskan dengan ayat-ayat lainnya.
Dengan
pemahaman astronomi yang baik, kita bisa menemukan isyarat yang runtut dan
jelas soal penentuan awal bulan qamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah. Berikut ini ayat-ayat pokok yang menuntun menemukan isyarat itu
yang dipandu pemahaman ayat-ayat kauniyah dengan astronomi:
1. Kapan kita diwajibkan berpuasa? Allah memerintahkan bila menyaksikan syahru (month, bulan kalender) Ramadhan berpuasalah.
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah. (QS 2:185).
Lalu
bagaimana menentukan datangnya bulan (syahru) tersebut? Al-Quran tidak secara
langsung menjelaskannya. Tetapi beberapa ayat berikut menuntun menguak isyarat
yang jelas tata cara penentuan syahru tersebut, dengan dipandu pemahaman
astronomi akan ayat-ayat kauniyah tentang perilaku bulan dan matahari.
2. Apa sih batasan syahru itu? Syahru itu hanya ada 12, demikian ketentuan Allah. Secara astronomi, 12 bulan adalah satu tahun.
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS 9:36).
3. Lalu bagaimana menentukan masing-masing syahru dalam satu tahun? Bilangan tahun diketahui dari keberulangan tempat kedudukan bulan di orbitnya (manzilah-manzilah), yaitu 12 kali siklus fase bulan. Keteraturan keberulangan manzilah-manzilah itu yang digunakan untuk perhitungan tahun, setelah 12 kali berulang. Dengan demikian, kita pun bisa menghitungnya.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).
4. Lalu, apa tanda-tanda manzilah-manzilah yang mudah dikenali manusia? Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua.
Dan
telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai
ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelepah yang tua. (QS 36:39).
5. Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal syahru? Manzilah awal adalah hilal, bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Purnama walau paling terang tidak mungkin dijadikan manzilah awal karena tidak jelas titik awalnya. Hilal itu bukan hanya untuk awal Ramadhan (seperti disebut pada ayat-ayat sebelumnya, di QS 2:183 – 188) dan akhirnya (awal Syawal), tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah haji pada bulan Dzulhijjah.
Mereka
bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu
adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS
2:189).
Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Apakah
ada alternatif lain menentukan awal bulan, yaitu sekadar hisab bulan wujud di
atas ufuk (wujudul hilal)? Saya tidak menemukan ayat yang tegas yang dapat
menjelaskan soal wujudul hilal tersebut. Ada yang berpendapat isyarat wujudul
hilal itu ada di dalam QS 36:40.
Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:40).
Logikanya,
tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya
matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada
bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib).
Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif.
Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan
mengada-ada.
Ayat
tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, karena pada akhir
ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut
menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan
bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan
mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda
itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun.
Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba
malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi
berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan
matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak
ada yang diam.
Apakah
penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa
dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan
matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru
belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua
kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.
Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitungan) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum berkembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.
Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitungan) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum berkembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.
II. Pendapat T. Hashbi Ash-Shiddieqy
A. Sekilas Tentang Teungku Hasby
TEUNGKU
MUHAMMAD HASBY ASH-SHISSIEQY (Lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – Wafat di
Jakarta, 9 Desember 1975). Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul
fiqh, tafsir, hadis dan ilmu kalam.
Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), kholifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari kholifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), kholifah pertama. Ia sebagai generasi ke-37 dari kholifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.
Pendidikan
agamanya diawali di dayah (pesantren) ayahnya: Teungku Qadhi Chik Maharaja
Mangkubumi Husein ibn Muhamad Su’ud. Kemudian
selama 20 tahun ia mengunjuingi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain.
Pengetahuan bahasa Arobnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali,
seorang ulama berkebangsaan Arob. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan
melanjutkan pendidikan di Madrosah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang
didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1974-1943), ulama yang berasal dari Sudan
yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran
takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini
dilaluinya selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut
berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga setelah kembali ke
Aceh beliau langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.
Pada
zaman demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi
(Mejelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante.
Pada tahun 1951 ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam
bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972.
Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama
terlihat dari beberapa gelar doktor (honoros causa) yang diterimanya, seperti
dari Universitas Islam Bandung pada 23 maret 1975 dan dari IAIN Kalijaga pada
29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar
dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh 936 judul. Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid ilmu kalam, (5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh 936 judul. Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid ilmu kalam, (5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.
B. Kutipan dari buku "pedoman Puasa"
Bab Pertama
Memulai dan Menyudahi Puasa
1.
Cara mengetahui masuknya hilal Romadon
Wajib berpuasa dengan masuknya bulan Romadon. Mengenai masuknya bulan Romadon itu dapat diketahui dengan jalan-jalan yang tersebut di bawah ini :
a. Melihat hilal Romadon.
Hal
ini berdasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim dari
Abu Huroiroh r.a. bahwasanya Rosululloh Saw. Bersabda :
Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (berhari raya) sesudah melihat bulan.” ( An Nail IV:264.)
Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (berhari raya) sesudah melihat bulan.” ( An Nail IV:264.)
Makna
“berpuasalah kamu setelah melihat bulan”, ialah sesudah sebagian orang melihat
bulan bukan diharuskan semua orang melihat bulan.
Hal yang harus
diperhatikan, ialah : bahwa puasa itu bukanlah terus dimulai setelah melihat
bulan, tapi harus menurut ketentuan-ketentuannya, yaitu pada malam kita melihat
bulan, dan berbuka (berhari raya) sesudah terbenam matahari pada hari akhir
pada bulan Romadon, baik kita lihat bulan sebelum matahari terbenam (?, pen.),
ataupun sesudahnya. (Al-Fathur
Robbani IX:247).
Karena itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ke-30 bulan Sya’ban, dan pada malam 39 Rojab untuk mengetahui Sya’ban.
Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh Saw. Bersabda :
Karena itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ke-30 bulan Sya’ban, dan pada malam 39 Rojab untuk mengetahui Sya’ban.
Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Abu Huroiroh, bahwa Rosululloh Saw. Bersabda :
“Hitunglah
hilal Sya’ban untuk Romadon.”
Maka kita dapat melihat bulan, wajiblah kita berpuasa esoknya. Jika bulan tidak terlihat sedang udaranya terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya. Tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, maka menurut mazhhab Ibn Umar, kita wajib memulai puasa, berdasarkan Hadits Al Bukhori dan Muslim dari Ibn Umar. Rosululloh bersabda :
Maka kita dapat melihat bulan, wajiblah kita berpuasa esoknya. Jika bulan tidak terlihat sedang udaranya terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya. Tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, maka menurut mazhhab Ibn Umar, kita wajib memulai puasa, berdasarkan Hadits Al Bukhori dan Muslim dari Ibn Umar. Rosululloh bersabda :
“Sesungguhnya
bulan itu 29 hari. Maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan
janganlah berbuka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung, kadarkanlah
olehmu untuknya. (An Nail IV:262).
Pendapat-pendapat
para Fuqoha bila tidak terlihat bulan pada malam tiga puluh karena mendung.
Berkata
Nafi’ : “Abdulloh Ibn Umar apabila telah berlaku Sya’ban 29 hari, menyuruh
orang melihat bulan. Jika terlihat, beliaupun berpuasa, dan jika tidak terlihat
sedang udara terang dan bersih, beliau tidak berpuasa; tetapi jika tidak
terlihat karena udara mendung, beliau berpuasa esoknya.”
Arti dari
kadarkanlah olehmu untuknya ialah jadikanlah 29 hari atau pandanglah bahwa
sudah ada di bawah awan.
Madzhab ini, adalah madzhab Umar, Ibn Umar, Amr Ibn ‘Ash, Abi Huroiroh, Anas, Mu’awiyah dan ‘Aisyah. Dari Tabi’in yang mengikuti madzhab ini ialah : Mujahid, Thaus, Salim Ibn Abdillah, Maimun Ibn Mihron, Bakir Ibn Abdulloh, Dan dari Mujtahid : Al Muzani dan Usman An Nahdi.
Madzhab ini, adalah madzhab Umar, Ibn Umar, Amr Ibn ‘Ash, Abi Huroiroh, Anas, Mu’awiyah dan ‘Aisyah. Dari Tabi’in yang mengikuti madzhab ini ialah : Mujahid, Thaus, Salim Ibn Abdillah, Maimun Ibn Mihron, Bakir Ibn Abdulloh, Dan dari Mujtahid : Al Muzani dan Usman An Nahdi.
Berkata
Abdir Rohman As Sa’ati : “Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan
pendapat : maka kadarkanlah untuknya. Menurut pendapat ahli bahasa, maknanya
maka takdirkanlah dia. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafi’iyah berpendapat ialah : sempurnakanlah 30 hari. Segolongan ulama
berpendapat maknanya : Pandanglah dia, sudah ada di bawah awan. Segolongan yang
lain berpendapat pergunakanlah hisab. Jumhur ulama memaknakan maka kadarkanlah
untuknya dengan sempurnakanlah ; mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan
dengan hadits. Ungkapan “maka kadarkanlah untuknya” ditafsirkan oleh perkataan
: “maka sempurnakanlah 30 hari”. Dan dikuatkan lagi oleh riwayat Muslim yang
berbunyi : Taqduru lahu tsalatsina = maka kadarkanlah untuknya 30 hari.
Oleh
karena itu, tidaklah dapat hadits ini dipergunakan untuk menjadi pegangan dalam
berpuasa dengan hisab.
Berkata Abu
Huroiroh, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad pada suatu riwayat : “Tidak wajib kita
memulai puasa dan tiada sah dengan dasar demikian. Kita wajib cukupkan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits yang
diriwayatkan Al Bukhori dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihat bulan.
Jika mendung tak dapat melihatnya, sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.” (An Nail
IV:264).
Golongan ini mengartikan ungkapan “kadarkanlah olehmu untuknya”, dengan hitunglah awal Sya’ban dan cukupkanlah 30 hari.
Berkata Al Hasan, Ibn Sirin dan Ahmad dalam suatu riwayatnya “Hendaklah kita mengikuti penguasa. Jika penguasa menetapkan puasa, kita pun berpuasa. Jika dia tidak kitapun tidak berpuasa.” Mengingat hadits yang diriwayatkan At Turmudzi dari Aisyah bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
Golongan ini mengartikan ungkapan “kadarkanlah olehmu untuknya”, dengan hitunglah awal Sya’ban dan cukupkanlah 30 hari.
Berkata Al Hasan, Ibn Sirin dan Ahmad dalam suatu riwayatnya “Hendaklah kita mengikuti penguasa. Jika penguasa menetapkan puasa, kita pun berpuasa. Jika dia tidak kitapun tidak berpuasa.” Mengingat hadits yang diriwayatkan At Turmudzi dari Aisyah bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
“Puasa di hari
kamu berpuasa, hari raya Fithri di hari kamu berhari Fithri dan penyembelihan
qurban di hari kamu menyembelihnya.”
Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dengan arti :
Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dengan arti :
“Hari
berbuka dan berpuasa mengikuti umum, atau orang ramai.”
Melihat bulan di siang hari.
Dst.
….
b.
Mendapat kabar dari orang adil.
Orang yang sendirian saja melihat bulan Dst……
c. Dengan cukup bulan Sya'ban 30 hari.
Apabila
kita tidak melihat hilal Romadon pada malam ke-30 Sya’ban dan tidak ada yang
menyaksikan hilal, wajiblah jika mendasarkan puasa pada saat melihat bulan,
menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Tidak ada khilaf tentang wajib mulai
puasa, setelah jelas, bahwa bulan Sya’ban telah cukup 30 hari.
Untuk mengetahui Sya’ban cukup 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu dengan perantaraan rukyah.
Untuk mengetahui Sya’ban cukup 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu dengan perantaraan rukyah.
d. Dengan hisab para ahli
Sebagian
ahli ilmu Mutakhirin (modern, pen.) berkata : “Boleh juga kita mulai puasa
dengan hisab para ahli ilmu hisab.”
Berkata sebagian ulama : “Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut paut dengannya.”
Mereka berdalil dengan firman Alloh :
“Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan memanjangkan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari.” (Q.S. Yunus [10]:5).
Dan mereka berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim, Abu Daud dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh Saw.bersabda :
Berkata sebagian ulama : “Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut paut dengannya.”
Mereka berdalil dengan firman Alloh :
“Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan memanjangkan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari.” (Q.S. Yunus [10]:5).
Dan mereka berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim, Abu Daud dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh Saw.bersabda :
“kami
ummat yang ummi, tidak menulis dan menghisab.”
Dan mereka berpegang pula kepada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
“Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu malihatnya, jika mendung, “kadarkanlah” olehmu untuknya.”
Mereka mengartikan : “faqduru lahu” dengan menggunakan hisab awal bulan.
Dan mereka berpegang pula kepada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rosululloh Saw. bersabda :
“Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu malihatnya, jika mendung, “kadarkanlah” olehmu untuknya.”
Mereka mengartikan : “faqduru lahu” dengan menggunakan hisab awal bulan.
Sebenarnya
lafad-lafad hadits ini tidak membenarkan kita memaknakan “faqduru lahu” sebagai
yang dikehendaki oleh ahli hisab yang mempergunakan hadits ini untuk dasar
berpuasa dengan hisab dan untuk dasar memilih hisab, buat menetapkan, telah
masuk hilal Romadon tanpa menghiraukan rukyah, karena memaknakan “faqduru lahu”
dalam arti demikian, menjadikan lafad tersebut bertentangan dengan
hadits-hadits lain yang membawa lafad “faatimmu” dan “faakmilu,” sedangkan
lafad faatimmu dan faakmilu lebih banyak datangnya dari lafad faqduru lahu,
kecuali kita mengatakan, bahwa hadits-hadits yang mengharuskan rukyah atau
menyempurnakan Sya’ban 30 hari, hanya berlaku di permulaan Islam. Sekarang berlaku hadits “faqduru lahu”
yang diartikan dengan keharusan hisab atau dengan menetapkan bahwa hadits
rukyah bil fi’li dan menyempurnakan 30 hari dihadapkan kepada orang awam,
sedangkan hadits “faqduru lahu” dihadapkan kepada ummat sekarang ini yang
memiliki ahli hisab.
Maka
untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan lafaz kita harus menafsirkan
faqduru lahu dengan faatimmu atau faakmilu.”
Jika demikian, jalan mengetahui masuk bulan Romadon hanyalah 3 saja, atau hanya 1 saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhobarkan orang yang adil, atau Sya’ban cukup 30 hari.
Menentukan awal Romadon dengan hisab yang tidak dibuktikan kebenarannya oleh kenyataan rukyah, terang berlawanan dengan lafal-lafal hadits yang tegas petunjuknya yang tidak mungkin ditakwil.
Ringkasnya para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat hilal Romadhon pada malam 30 Sya’ban, sedang cuaca dalam keadaan terang, tidak mendung yang menghalangi rukyah.
Dan rukyah itu adakala dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan teropong bintang, karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian Pemerintah mengumumkan hasil rukyah ke seluruh negeri.
Jika demikian, jalan mengetahui masuk bulan Romadon hanyalah 3 saja, atau hanya 1 saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhobarkan orang yang adil, atau Sya’ban cukup 30 hari.
Menentukan awal Romadon dengan hisab yang tidak dibuktikan kebenarannya oleh kenyataan rukyah, terang berlawanan dengan lafal-lafal hadits yang tegas petunjuknya yang tidak mungkin ditakwil.
Ringkasnya para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat hilal Romadhon pada malam 30 Sya’ban, sedang cuaca dalam keadaan terang, tidak mendung yang menghalangi rukyah.
Dan rukyah itu adakala dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan teropong bintang, karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian Pemerintah mengumumkan hasil rukyah ke seluruh negeri.
Dalam pada itu
rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab dan hisab
yang kita pegangi ialah hisab yanbg tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang
saling terkait.
Bila tidak berujud rukyah pada malam 30 Sya’ban baik dengan penglihatan mata, atau dengan teropong bintang, maka wajiblah kita menyempurnakan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits :
Bila tidak berujud rukyah pada malam 30 Sya’ban baik dengan penglihatan mata, atau dengan teropong bintang, maka wajiblah kita menyempurnakan Sya’ban 30 hari, mengingat hadits :
“Berpuasalah
kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu setelah melihat bulan. Jika hari
tertutup kabut maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.”
Dimaksudkan
“ghumma”, sukar dilihat karena mendung atau awan, atau kabut.
III. Merekam Rukyatul Hilal dengan Teropong dan Webcam
Observatorium Bosscha
Lihat "Live Streaming" Hilal Awal Ramadhan
Yunanto Wiji Utomo | Nasru Alam Aziz | Sabtu, 30 Juli 2011 | 18:51 WIB
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Aktivitas astronom di Observatorium Bosscha.
KOMPAS.com — Di sela-sela kegiatan beribadah, bermaaf-maafan atau menyucikan diri, ada cara lain untuk menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini. Masyarakat bisa melihat live streaming hilal yang menandai awal bulan suci Ramadhan di situs http://bosscha.itb.ac.id/hilal atau http://hilal/kominfo.go.id.
"Mulai
pukul 16.00 (Minggu, 31 Juli) waktu masing-masing, baik WIT, Wita dan WIB,
masyarakat insya Allah sudah bisa menyaksikan hilal. Untuk menyediakan ini,
Bosscha bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika," kata
Kepala Observatorium Bosscha, Hakim Malasan.
Hakim
menjelaskan, hilal dalam astronomi dikenal sebagai bulan baru (new moon).
"Hilal pad awal bulan Ramadhan tahun ini kenampakannya sangat rendah,
diperkirakan hanya 4 derajat di atas ufuk," kata Hakim, Sabtu (30/7/2011).
Hilal
akan tampak sebagai bulan sabit yang sangat tipis. Hanya 1 persen hingga 2
persen dari piringan bulan. "Ini karena bulan masih muda sekali. Karena
itu juga pengamatannya harus dilakukan dengan teleskop," ujar Hakim.
Di
situs Bosscha, ada 15 live streaming yang bisa dipilih dan dilihat. Live
streaming itu berasal dari 15 lokasi pengamatan, di antaranya Loknga (Aceh),
Yogyakarta, Pontianak, Pantai Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan Stasiun
Pengamatan Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional di Biak
(Papua).
Hakim
mengatakan, pengamatan memang tidak dipusatkan di satu lokasi, tetapi disebar.
Tujuannya adalah melengkapi hasil pengamatan di satu lokasi dan yang lain sebab
pengamatan hilal sulit dan sangat bergantung pada cuaca.
Observatorium
Bosscha tidak akan menjadi lokasi pengamatan hilal. "Tetapi masyarakat
bisa datang ke Bosscha untuk melihat live streaming hilal bersama-sama. Ada
petugas yang bisa memberi penjelasan pada masyarakat," tutur Hakim.
Hakim
mengungkapkan, lewat live streaming, masyarakat mendapatkan cara murah untuk
belajar tentang hilal. Masyarakat bisa mengetahui bahwa hilal tak cuma soal
awal puasa dan Lebaran, walaupun memang paling berkaitan dengan ibadah puasa,
haji, dan Lebaran.
35 Orang Diterjunkan Untuk Menentukan 1
Syawal
Benny N Joewono | Minggu, 28 Agustus
2011 | 20:47 WIB
NGAMPRAH, KOMPAS.com - Sebanyak 35
orang akan diterjunkan dalam penentuan hari lebaran 2011 atau 1 syawal 1432
Hijirah dengan mengamati hilal pada 16 titik yang telah ditentukan.
Jumlah sebanyak itu merupakan gabungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Observatorium Bosscha, Rukyatul Hilal Indonesia, Lapan, serta sejumlah Perguruan Tinggi.
"Sedangkan untuk pengamatan hilal akan dilakukan pada 29 dan 30 Agustus 2011 mulai pukul 16.00 WIB," kata peneliti observatorium Bosscha Bandung, Deva Octavian saat dihubungi wartawan, Minggu (28/8/2011).
Jumlah sebanyak itu merupakan gabungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Observatorium Bosscha, Rukyatul Hilal Indonesia, Lapan, serta sejumlah Perguruan Tinggi.
"Sedangkan untuk pengamatan hilal akan dilakukan pada 29 dan 30 Agustus 2011 mulai pukul 16.00 WIB," kata peneliti observatorium Bosscha Bandung, Deva Octavian saat dihubungi wartawan, Minggu (28/8/2011).
"Secara prinsip kerja dalam
penentuan hari awal puasa dengan Lebaran atau 1 syawal tidak ada bedanya karena
sama-sama mengamati hilal," ujarnya.
Jumlah personel di titik pengamatan
hilal untuk penentuan 1 syawal 1432 Hijriah lebih banyak dari pada pengamatan
hilal untuk menentukan awal Ramadhan yang hanya melibatkan 30 orang untuk 14
titik saja.
Disampaikannya, Kemenkominfo memang
sengaja memperbanyak jumlah titik pengamatan hilal, hal itu karena lebih
mempermudah pengamatan dan menjamin ketepatannya. Karena bisa jadi, pengamatan
yang dilakukan di suatu daerah terhalang, tapi di daerah lainnya bisa
dilakukan.
Hanya saja pada tahun ini, instrumen
alat yang digunakannya lebih sederhana yakni menggunakan teleskop yang
terintegrasi dengan webcam.
Meski sederhana, akan tetapi kualitas yang didapatkannya tidak menurun sama sekali. Dengan begitu, masyarakat bisa merelay video streaming hilal Ramadhan dan Syawal dari website Kemenkominfo yang diterima dari beberapa titik lokasi pengamatan yang telah ditentukan.
Meski sederhana, akan tetapi kualitas yang didapatkannya tidak menurun sama sekali. Dengan begitu, masyarakat bisa merelay video streaming hilal Ramadhan dan Syawal dari website Kemenkominfo yang diterima dari beberapa titik lokasi pengamatan yang telah ditentukan.
"Adapun titik
titik pengamatan tersebut mulai dari kawasan Biak Papua, Kupang, Makasar,
Mataram NTB, Bangkalan, Potianak, Yogyakarta, Lampung, UPI Bandung, Pameunpeuk
Sumedang, Pekanbaru Riau, Lhokngah Aceh, Denpasar, Medan, dan Pelabuhaan Ratu
Sukabumi," ujarnya.
Dijelaskannya, hilal merupakan
penampakan bulan sabit muda yang terlihat dari permukaan Bumi setelah konjungsi
atau ijtimak. Banyak kegiatan penting keislaman mengambil dasar posisi Bulan di
langit, seperti tahun baru Hijriah, awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri
dan Idul Adha.
"Dengan demikian dipandang penting
untuk menyebarluaskan informasi awal bulan baru yang ditandai oleh tampakan
hilal," kata Deva.
Sumber : ANT
Sumber : ANT
IV. Kesimpulan / Penutup
1.
Menurut Dr. Thomas Djamaluddin :
Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama
BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada
perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber
masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul
hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih
sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk
diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.
Dalam bahasa populernya: Muhammadiyah menganut taqlid buta dan fanatik terhadap hisab wujudul hilal yang termasuk kriteria astronomi / ilmu falak yang sudah usang.
Dalam bahasa populernya: Muhammadiyah menganut taqlid buta dan fanatik terhadap hisab wujudul hilal yang termasuk kriteria astronomi / ilmu falak yang sudah usang.
2. Menurut Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy : Dalam pada itu rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab dan hisab yang kita pegangi ialah hisab yang tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang saling terkait.
Dalam bahasa populernya Muhammadiyah melakukan perbuatan bid'ah dengan memakai metode hisab dalam menentukan awal Romadhon dan Syawal, sedangkan Nabi Muhammad Saw. melakukannya dengan rukyatul hilal.
Untuk menguatkan kesahihan penyaksian rukyatul hilal, pengamat hilal sebaiknya didampingi oleh tenaga ahli yang menggunakan teropong yang direkam dengan webcam komputer, sehingga hasil rekaman rukyatul hilal itu dapat diuji kebenarannya oleh orang lain.
Dengan ketiga hal tersebut insya' Alloh tidak akan terjadi lagi perbedaan waktu hari raya dan awal Romadhon.
Jember, 31 Agustus 2011
Kepustakaan.
01.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Pedoman Puasa”, PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang, 2000.
04. http://nasional.kompas.com/read/2011/08/28/20472635/35.Orang.Diterjunkan.untuk.Menentukan.1.Syawal
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan
Gajah Mada 118
Tilpun
(0331) 481127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar