1. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Menurut
mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied
dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).
(Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan
Ar Roudhotun Nadiyah,
1/206-207).
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat
pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.” (Zaadul Ma’ad fii
Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar
Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H)
Tujuan
mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat
segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur
bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat
fithri. (Minhajul Muslim, Abu Bakr
Jabir Al Jazairi, hal. 201, Darus Salam, cetakan keempat).
2. Shalat Iedul Fithri, di Masjid atau di Lapangan?
Para
fuqoha telah sepakat bahwa semua tempat yang bersih dan bisa menampung jama’ah
yang banyak jumlahnya bisa dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat
Ied. Baik itu di Masjid atau di tanah lapang. Namun demikian, mereka menyatakan
pelaksanaan shalat tersebut di tanah lapang adalah lebih utama, karena biasanya
bisa menampung jumlah jamaah yang lebih banyak, kecuali jika ada udzur seperti
hujan.
Dalilnya
adalah hadits shahih berikut ini : Dari Abi Sa’id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى
إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“
(HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889). Selanjutnya dikatakan, “dan
pertama-tama yang dikerjakan shalat ‘ied kemudian berdiri menghadap kepada
orang-orang untuk menasehati mereka dan mengajarkan kepada mereka.”
Hadits
shahih ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melaksanakan shalat Ied di mushalla. Tapi pengertiannya bukan seperti yang kita
sering sebut sekarang ini, yaitu bangunan yang mirip masjid tapi lebih kecil.
Mushalla yang dimaksud di masa beliau adalah shakhra'', yaitu tanah yang luas
di padang pasir.
Meski
beliau tinggal di Madinah, di samping masjid An-Nabawi, namun shalat Ied tidak
dilakukan di dalamnya. Sebaliknya, shalat itu dilakukan di padang pasir yang luas,
sebagaimana yang biasa dilakukan pada saat shalat istisqa'' dan lainnya.
Berlandaskan
hadits di atas, maka kebanyakan ulama menetapkan bahw shalat Ied harus
dilakukan di tanah lapang. Sesuai contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam tersebut.
Namun
sebagian ulama lainnya tidak menjadikan padang pasir sebagai syarat sahnya
shalat Ied. Bagi mereka, baik di masjid maupun di padang pasir, keduanya
sah-sah saja untuk dijadikan tempat shalat Ied. Meski tetap lebih utama bisa
dilakukan di padang pasir.
Hanya
saja fuqoha madzhab Syafi’i menyatakan bahwa keutamaan shalat ''Ied di tanah
lapang hanya berlaku jika memang masjid yang biasa digunakan untuk melakukan
shalat terlalu sempit.
Sedangkan
jika masjid tersebut luas, maka melaksanakan shalat di masjid adalah lebih
utama sebagaimana yang biasa dilakukan di Masjidil Haram. Alasan mereka karena
masjid itu pasti lebih bersih dan lebih mulia dari pada tanah lapang.
Al-Imam
An-Nawawi, salah satu ulama dari kalangan mazhab As-syafi''i menukil dalam
kitabnya, Al-Majmu'' Syarahul Muhazzab, perkataan Imamnya: Sendainya masjid
cukup luas dan shalat dilakukan di tanah lapang, tidak ada masalah. Sedangkan
bila masjid itu sempit tapi tetap dilakukan shalat Ied di dalamnya, maka
dibenci.
Sebab
bila masjid ditinggalkan dan shalat di padang pasir, tidak akan menimbulkan
kemudharatan. Sebaliknya, bila masjid sempit tapi tetap saja dilakukan shalat
Ied di dalamnya, orang-orang akan berdesakan, bahkan bisa jadi sebagiannya akan
tertinggal.
Keterangan
seperti ini bisa kita baca lebih luas di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyah jilid 27 halaman 245.
An
Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang
yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini
lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah,
maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.” (Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’
Al Islam).
3. Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Pertama: Dianjurkan
untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat
riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat
mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.” (Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad,
1/425).
Kedua: Berhias diri
dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang
terbaik.” (Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad,
1/425).
Ketiga: Makan
sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.
Dari
‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى
يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ
أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu.
Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah
pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.” (HR. Ahmad
5/352, hadits ini hasan).
Hikmah
dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak
disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul
Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban
bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/602).
Keempat: Bertakbir
ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى
يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛
قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir
sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak
dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”
Dari
Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha)
bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al
Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka
mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu
Akbar).” (HR. Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan)
Kelima: Menyuruh
wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Namun wanita tetap harus
memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak
memakai harum-haruman. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu
‘Athiyah.
Dari
Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا
– تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ
الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ
مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha)
agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang
dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada
wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“ (HR. Muslim
no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah).
Sedangkan
dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah
ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Ia menjawab,
نَعَمْ
، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena
kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan
menghadirinya.” (HR. Bukhari no. 977).
Keenam: Melewati
jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“
(HR. Bukhari no. 986).
Ketujuh: Dianjurkan
berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika
ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا
وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan
berjalan kaki.“ (HR. Ibnu Majah no. 1295)
4. Jumlah Takbir Shalat Idul Fitri
Kita
mengenal ada tiga jenis atau tiga nama takbir.
1.
Takbir Al-Ihram
Takbir
ini sering kita sebut dengan digabungkan menjadi takburatulihram. Takbir itu
artinya mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Dan kata Ihram berarti mengharamkan. Sehingga
makna takburatulihram adalah takbir untuk mengharamkan. Lho, mengharamkan apa?
Maksudnya
mengharamkan diri kita dari hal-hal yang merusak shalat, seperti makan, minum,
berbicara dan lainnya. Jadi fungsi dasar dari takbiratulihram adalah sebagai
pembuka atau garis start sebuah shalat. Dengan lafadz takbratulihram itu maka
shalat secara sah telah dimulai.
Secara
status dan kedudukannya, hukum takbiratulihrambukan sunnah, juga bukan wajib,
melainkah merupakan rukun dari suatu shalat. Di mana tanpa takbir ini, shalat
menjadi tidak sah. Dalilnya adalah:
Dari
Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir." (HR
Abu Daud dan Tirmizy dengan isnad yang shahih)
Dari
Rufa`ah Ibnu Rafi` bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Tidak syah shalat serorang hamba hingga dia berwudhu` dengan
sempurna dan menghadap kiblat lalu mengucapkan Allahu Akbar. (HR Ashabus
Sunan dan Tabarany)
"Bila
kamu shalat maka bertakbirlah." (HR Muttafaqun Alaihi).
2.
Takbir Al-Qiyam
Takbir
jenis kedua disebut dengan istilah takbir qiyam. Qiyam artinya bangun.
Maksudnya takbir ini diucapkan pada saat seseorang bangun untuk berdiri setelah
sebelumnya berada dalam posisisujud ataududuk tahiyat pada rakaat sebelumnya.
Dan termasuk ke dalam jajaran takbir intiqal, yaitu takbir yang mengiringi
perpindahan gerakan shalat.
Secara
status, hukumtakbir ini sunnah bukan merupakan kewajiban atau rukun shalat.
Artinya, ketika seseorang tidak mengucapkannya, maka tidak merusak shalat
tersebut. Dalilnya adalah:
Dari
Ibnu Mas''ud radhiyallahu ‘anhu berkata, "Aku melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri
atau duduk." (HR Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizy dengan status shahih).
Kecuali
pada saat bangun dari ruku'', maka bacaannya adalah "Sami''allahu liman
hamidah." Maknanya, Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya.
3.
Takbir Khusus Shalat ''Ied
Di
luar kedua takbir di atas, adalah lagi jenis takbir yang ketiga. Takbir itu
adalah takbir sunnah, bukan wajib, yang secara khusus dianjurkan untuk
dilafadzkan pada saat kita sedang melakukan shalat ''Iedul fithr atau ''Iedul
Adha.
Sekali
lagi ditegaskan, takbir ini berbeda dan bukan termasuk kedua takbir di atas.
Dalilnya secara khusus adalah hadits berikut ini:
Dari
Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Takbir ketika sholat Ied 7 kali di rakaat
yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua” (HR Ad-Daruquthni dan
Al-Baihaqi)
Lihat
juga kitab Shahih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shahih Sunan Ibnu Majah 1056.
Dari
Amr bin Syu''aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu ’anhum
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Takbir
di sholat Iedul Fithri tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat
yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran sesudah takbir pada keduanya” (HR Abu
Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018)
Para
ulama seperti Asy-syafi''i mengatakan bahwa sunnahnya diucapkan 7 kali di
rakaat pertama dan 5 kali di rakaat kedua. Tempatnya bila dalam rakaat pertama
adalah setelah takbiratulihram dan sebelum membaca doa iftitah dan bacaan
Al-Fatihah. Sedangkan bila di dalam rakaat kedua, tempatnya setelah takbir
qiyam dari rakaat pertama, sebelum membaca surat Al-Fatihah.
Maka
diharapkan sudah selesai dengan penjelasan ini. Sunnah melafadzkan takbir 7
kali di rakaat pertama DILUAR takbiratulihram. Bukan delapan kali tetapi 7
kali. Sedangkan takbiratulihram tidak dihitung. Tetapi kalau mau dihitung juga,
ya jadi 8 kali takbir memang.
Dan
sunnah juga melafadzkan takbir 5 kali DILUAR takbir qiyam. Dengan syarat,
takbir bangun dari sujud tidak dihitung. Tapi kalau dihitung juga, ya jadi 6
kali takbir. Tapi kita sepakat bahwa takbiratulihram dan takbir qiyam tidak
diikutkan dalam hitungan.
5. Jika Ada yang Masbuk dalam Shalat Ied
Salah
satu yang membedakan shalat ‘Ied dengan shalat lainnya adalah adanya beberapa
kali takbir di awal tiap rakaat. Baik rakaat pertama atau pun rakaat kedua. Di
dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memang ada
disebutkan masalah ini:
Dari
Katsir dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam shalat Iedain dalam rakaat pertama melakukan takbir 7 kali
sebelum qiraah dan dalam rakaat kedua bertakbir 5 kali sebelum qiraah. (HR.
Turmuzi, Abu Daud, Ibnu Majah)
Juga
ada keterangan yang menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan pada
saat takbir-tabkir itu dilakukan. Dalilnya adalah:
Dari
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengangkat tangan pada setiap takbir dalam shalat ‘Ied. (HR
Baihaqi dalam hadits mursal dan munqathi’)
Sedangkan
pada setiap jeda antara satu takbir dengan takbir lainnya, disunnahkan untuk
membaca tasbih, tahmid dan tahlil seperti lafaz ‘Subhanallah,
walhamdulillah, walaa ilaha illallah). Lafaz ini juga dikenal dengan
istilah ‘al-baqiyatush shalihat’. Sebuah istilah yang ada dalam ayat Al-Quran
Al-Karim:
Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi ‘al-baqiyatush
shalihat’(amalan-amalan yang kekal lagi saleh) adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS Al-Kahfi: 46)
6.
Kasus Makmum
Ketinggalan Takbir
Dalam
mazhab Al-Malikiyah disebutkan bahwa bila seorang makmum ketinggalan dalam
mengikuti imam dalam takbir shalat ‘Ied, maka selama imam masih bertakbir,
hendaknya dia diam saja dan baru bertakbir saat imam sudah selesai membaca
takbir atau sudah mulai membaca Al-fatihah.
Tetapi
bila seorang makmum bergabung dengan shalat sebagai masbuk, di mana imam sudah
selesai bertakbir dan sudah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran Al-Karim,
maka dia boleh bertakbir sendiri setelah takbiratul ihram lalu mengikuti imam.
Hal
seperti juga dikerjakan bila dia tertinggal satu rakaat dan baru ikut shalat
dengan imam pada rakaat kedua.
Khusus
bagi makmum yang tertinggal dua rakaat, yaitu yang tidak sempat ikut ruku''
bersama imam pada rakaat kedua, maka makmum itu harus mengqadha’ sendirian
shalatnya itu dengan melakukan shalat dua rakaat setelah imam selesai salam.
Juga dengan bertakbir 6 kali di rakaat pertama dan 5 di rakaat kedua. (Mazhab
Al-Malikiyah berpendapat bahwa takbir pada rakaat pertama itu 6 kali selain
takbirtaul ihram).
Dalam
mazhab Asy-Syafi`iyah disebutkan bahwa orang yang masbuk di dalam shalat ‘Ied
atau tertinggal sebagian shalat hendaknya bertakbir pada saaat setelah selesai
mengqadha’ apa yang dia tertinggal.
Dalam
mazhab Al-Hanabilah disebutkan bahwa makmum yang mendapati imam sudah selesai
bertakbir atau sudah dalam bertakbir, maka dia tidak perlu bertakbir. Hal yang
sama juga bila dia mendapati imam sudah ruku''. Hal itu karena tempat untuk
takbir sudah terlewat. Dan makmum yang masbuk bertakbir bila makmum itu sudah
menyelesaikan qadha’ atas apa yang tertinggal.
Semua
itu merupakan kesimpulan dari para ahli ilmu dengan dalil hadits:
Apa
yang bisa kamu dapati bersama imam maka shalatlah, sedangkan apa yang
terlewat/tertinggal, maka qadha’lah.
7. Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1]
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab. (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, 24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H).
[2]
Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu
akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak
ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)”
7.
Tidak Ada Shalat
Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى
رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat
‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun
ba’diyah ‘ied.“ (HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 887).
8.
Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat
‘Ied
Dari
Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ
مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku
pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan
hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.” (HR. Muslim no. 884).
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat
‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak
ada ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah.”
Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1/607).
9. Tata Cara Shalat ‘Ied
Jumlah
raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata
caranya adalah sebagai berikut.
Pertama: Memulai
dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya. Takbiratul ihram
dengan membaca niat
اُصَلّى سُنةً لِعيدِ الفِطرِ /
الأضْحى رَكعَتينِ مَأمُومًا / إمَامًا لله تعالى
Ushalli
sunnatan li'iidil fitri/adha rok'ataini ma'muuman/ imaaman
lillaahi ta'aala, artinya "Saya niat sholat sunah Idul Fitri/Adha dua
rakaat dengan menjadi makmum/imam karena Allah Ta'ala."
Kedua: Membaca doa
iftitah. Kemudian
bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain
takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan
ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengangkat tangannya dalam setiap takbir.” (HR. Al Baihaqi (3/291))
Ketiga: Di antara
takbir-takbir (takbir zawa-id) yaitu bacaan takbir tujuh kali [7x] pada
rakaat pertama dan lima kali [5x] pada
rakaat kedua membaca tasbih:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ .لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ
اِلاَّبِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Berdasarkan
sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir,
hendaklah menyanjung dan memuji Allah. Bacaannya
tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya
asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.
Keempat: Kemudian
membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca
oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat
Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah
menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun
menjawab,
كَانَ
يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ
وَانْشَقَّ الْقَمَر(
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid”
(surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu
wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).” (HR. Muslim no. 891)
Boleh
juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada
raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula
membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at
kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى
الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ
الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ
يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al
A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat
Al Ghosiyah).”
An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan
hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat. (HR.
Muslim no. 878).
Kelima: Setelah
membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal,
sujud, dst).
Keenam: Bertakbir
ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.
Ketujuh: Kemudian
bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir
bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Kedelapan: Kemudian
membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di
atas.
Kesembilan: Mengerjakan
gerakan lainnya hingga salam.
10. Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari
Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
– رضى
الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.” (HR. Bukhari
no. 963 dan Muslim no. 888).
Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai
mimbar. Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah”
(ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya. Yang
pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied adalah Marwan
bin Al Hakam).
11.
Hukum Mengikuti Khutbah Dua Hari Raya
Namun
pada hakikatnya, menurut para ulama, hukum untuk mengikui khutbah dua hari raya
sebenarnya bukan rukun dan juga bukan kewajiban. Melainkah hukumnya sunnah.
Sehingga bila ada jamaah yang selesai shalat langsung pulang dan tidak hadir
mendengarkan khutbah, sesungguhnya shalatnya sudah sah.
Namun
demikian, tetap disunnahkan untuk hadits mendengarkan khutbah dua hari raya,
karena pasti akan sangat berguna dan itulah yang dilakukan oleh para shahabat Nabi
ridhwanullahi ''alaihim.
Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
Dari
Atha'' bin Abdillah bin As-Saib berkata, "Aku hadir bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pada shalat hari raya, ketika shalat selesai beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّا
نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan
berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia
duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi. Hadits ini
selain diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1290, juga diriwayatkan oleh Abu Daud no.
1155dan An-Nasa''i. Namun beliau mengatakan bahwa hadits ini mursal. Silahkan
periksa di dalam kitab Nailul Authar jilid 3 halaman 305.
Namun
keberadaan khutbah dua hari raya itu sendiri tetap harus ada. Karena yang
namanya shalat dua hari raya memang harus dengan khutbah.
12. Rukun Khutbah Shalat Iedul Fitri
Sebenarnya
dari segi rukun, tidak ada perbedaan antara khutbah hari raya dengan khutbah
jum’at. Rukun khutbah Jum’at ada lima, yaitu: mengucap hamdalah, bershalawat
kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menyampaikan pesan
atau wasiat, membaca ayat Al-Quran dan berdoa mohon ampunan umat umat Islam.
Namun dari segi syarat, harus diakui bahwa khutbah dua hari raya memang agak berbeda ketentuannya dengan khutbah Jum’at. Kalau dilihat dari syaratnya, khutbah dua hari raya memang lebih ringan dan lebih mudah dibandingkan khutbah Jum’at.
Namun dari segi syarat, harus diakui bahwa khutbah dua hari raya memang agak berbeda ketentuannya dengan khutbah Jum’at. Kalau dilihat dari syaratnya, khutbah dua hari raya memang lebih ringan dan lebih mudah dibandingkan khutbah Jum’at.
Para
ulama telah menuliskan beberapa perbedaan kedua jenis khutbah itu di dalam
banyak kitab fiqih. Antara lain yang kita kutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu jilid 2 halaman 1403 karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
Berikut
petikannya:
1.
Khutbah Jum’at dilakukan sebelum shalat Jum’at dilaksanakan, sedangkan
khutbahdua harirayadilakukan setelah shalat. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, "Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman (ridhwanullahi
''alaihim) melakukan shalat ''Ied sebelum berkhutbah. (HR Bukhari dan Muslim)
Bahkan
jumhur ulama selain Al-Hanafiyah mengatakan bila khutbah dilakukan terlebih
dahulu dari shalatnya, maka hukumnya tidak sah. Dalam kasus itu, disunnahkan
untuk mengulangi khutbah setelah shalat.
2.
Sunnah di dalam khutbah dua hari raya adalah memulai dengan takbir,
sedangkanpada shalat jumat, khutbah dibuka dengan ucapan hamdalah.
Menurut
jumhur ulama, pada khutbah yang pertama, disunnahkan untuk mengucapkan takbir 9
kali berturut-turut dan pada khutbah yang kedua sebanyak 7 kali berturut-turut.
Dalilnya
adalah hadits berikut ini:
Dari
Said bin Mansur bin Ubaidillah bin ''Atabah berkata, "Imam bertakbir 9
kali pada dua hari raya sebelum berkhutbah dan 7 kali pada khutbah yang kedua.
Sedangkanshalat
Jum’at tidak didahului dengan takbir melainkan dengan mengucapkan hamdalah. Dan
mengucapkan hamdalah termasuk rukun yang bila ditinggalkan, khutbah jum’at
menjadi tidak sah menurut Asy-Syafi''iyah dan Al-Hanabilah. Namun hamdalah
hukumnya sunnah menurut Al-Hanafiyah serta mandub menurut Al-Malikiyah.
3.
Di dalam khutbah dua hari raya, disunnahkan juga buat jamaah yang hadir untuk
ikut bertakbir saat khatib membuka khutbahnya dengan takbir, meski dilakukan
cukup secara perlahan (sirr).
Sedangkan di dalam khutbah jumat, haram hukumnya berbicara apapun meksi untuk berzikir. Dan hal ini telah disepakati oleh jumhur ulama.
Sedangkan di dalam khutbah jumat, haram hukumnya berbicara apapun meksi untuk berzikir. Dan hal ini telah disepakati oleh jumhur ulama.
4.
Di dalam khutbah dua hari raya, khatib tidak disunnahkan untuk duduk begitu
naik ke atas mimbar. Khatib langsung mulai khutbahnya tanpa ada sunnah untuk
duduk sebentar seperti pada khutbah jumat.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa di dalam khutbah jumat, begitu khatib naik mimbar dan
mengucapkan salam kepada jamaah, disunnahkan untuk duduk sebentar dan muadzdzin
mengumandangkan adzan.
Sedangkan
khutbah dua hari raya, begitu naik mimbar, maka langsung saja membacakan
khutban, tidak ada sunnah untuk duduk sebentar seperti dalam khutbah Jumat.
5.
Dalam menyampaikan khutbah dua hari raya, tidak ada syarat bagi khatib untuk
suci dari hadats seperti dalam khutbah Jumat, sehingga dibolehkan menyampaikan
khutbah meski tidak dalam keadaan suci. Sehingga misalnya khatib sedang khutbah
dua hari raya, lalu karena satu dan lain hal, tiba-tiba wudhu''-nya batal, maka
dia boleh meneruskan khutbahnya.
Berbeda
dengan khutbah Jum’at, bila khatib batal wudhu''-nya karena satu dan lain hal,
maka dia harus berwudhu'' lagi. Karena syarat sah khutbah Jumat adalah suci
dari hadats kecil (dan besar tentunya). Berwudhu'' atau suci dari hadats
khutbah dua hari raya hukumnya sunnah, bukan wajib atau syarat sah.
6.
Tidak disyaratkan bagi khatib dalam khutbah dua hari raya untuk berdiri. Dia
boleh melakukannya sambil duduk. Namun tetap disunnahkan untuk berdiri, meski
bukan rukun atau syarat.
Sedangkan dalam khutbah Jum’at, khatib harus berdiri ketika menyampaikan khutbahnya, karena berdiri termasuk rukun khutbah.
Sedangkan dalam khutbah Jum’at, khatib harus berdiri ketika menyampaikan khutbahnya, karena berdiri termasuk rukun khutbah.
7.
Khutbah dua hari raya tidak disyaratkan terdiri dari dua khutbah. Sedangkan
khutbah jumat diharuskan terdiri dari dua khutbah. Namun jumhur ulama tetap
mengatakan bahwa meski tidak disyaratkan, namun hukumnya tetap sunnah untuk
menjadikan khutbah dua hari raya terdiri dari 2 khutbah.
8.
Juga tidak disyaratkan untuk duduk sejenak di antara dua khutbah. Hukumnya
bukan rukun atau kewajiban, namun hukumnya adalah sunnah untuk duduk di antara
dua khutbah seperti layaknya khutbah Jum’at. Sedangkan di dalam khutbah Jumat,
duduk di antara dua khutbah diharuskan.
Wallahu
a''lam bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar