1. Bulan Muharram atau
Bulan Asyura
Muharram merupakan bulan pertama dalam tahun
Islam (Hijrah). Hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memberi kesan yang sangat besar kepada Islam baik dari sudut dakwah Rasulullah,
ukhuwwah Islamiyyah dan syiar Islam itu sendiri.
Pada dasarnya, Muharram mengandung arti “diharamkan”
atau “pantangan”, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala melarang melakukan
peperangan atau pertumpahan darah. Namun demikian larangan ini tidak berlaku
lagi setelah pembukaan kota Mekkah.
Bulan
Muharram termasuk Asy Hurul Hurum (bulan bulan haram), 4 bulan yang di muliakan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram dan Rajab, dalam kitabnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ…
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus...” (QS. At-Taubah: 36)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya
zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan
berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku
Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
2.
Peristiwa Penting Bulan Muharram:
1.
1 Muharram –
Khalifah Umar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu mulai membuat penetapan permulaan
bulan dalam Hijrah.
2.
10 Muharram –
Dinamakan juga hari “Asyura” pada hari itu banyak terjadi peristiwa
penting yang mencerminkan kegemilangan bagi perjuangan yang gigih dan tabah
dari menegakkan keadilan dan kebenaran.
Imam al-Ghazali menyebut dalam kitabnya Mukasyafatul
Qulub bahwa pada tarikh tersebut (tanggal 10 Muharram):
1.
Nabi
Adam diciptakan oleh Allah
2.
Nabi
Adam bertaubat kepada Allah.
3.
Nabi
Adam dimasukkan ke syurga
4.
Diciptakan
arasy, kursi, langit, matahari, bulan, bintang-bintang
5.
Nabi
Ibrahim dilahirkan
6.
Nabi
Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud
7.
Nabi
Idris diangkat oleh Allah ke langit.
8.
Nabi
Nuh diselamatkan Allah keluar dari perahunya dan mendarat di bukit Judy
9. Nabi
Musa diselamatkan dari kejaran Fir’aun dan Fir’aun ditenggelamkan di Laut Merah
10.
Allah
menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa
11.
Nabi
Yusuf dibebaskan dari penjara
12.
Penglihatan
Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan oleh Allah
13.
Nabi
Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya
14.
Nabi
Yunus selamat keluar dari perut ikan nun setelah berada di dalamnya selama 40
hari 40 malam
15.
Kesalahan
Nabi Daud diampuni Allah
16.
Nabi
Sulaiman dikaruniakan Allah kerajaan yang besar
17.
Nabi
Isa dilahirkan dan diangkat ke langit
18.
Hari
pertama Allah menurunkan hujan
19.
Terbunuhnya
Sayyidina Hussain (cucu Nabi) di Karbala'
Wallahu a’lam
3.
Kenapa disebut Bulan
Haram?
Disebut
bulan haram karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab, sejak zaman jahiliyah
sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ
عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ
مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ اللَّهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ
الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ
حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ
كَافِرٌ فَأُولَـٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat
fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”
(QS. Al Baqarah : 217)
Juga
firman Allah subhanahu wa ta’ala :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
أَن تَعْتَدُوا ۘ
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadat haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”
(QS. Al Maidah : 2)
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala :
…فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“…Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu.”
(QS. Al-Taubah: 36)
Larangan berbuat dzalim pada bulan-bulan ini
menunjukkan bahwa dosanya lebih besar daripada dikerjakan pada bulan-bulan
selainnya. Sebaliknya, amal kebaikan yang dikerjakan di dalamnya juga
dilebihkan pahalanya. Salah satu amal shalih yang dianjurkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
untuk dikerjakan pada bulan ini adalah ibadah shiyam. Beliau
menganjurkan untuk memperbanyak puasa di dalamnya.
4.
Kapankah Hari ‘Asyura Itu?
Hari ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan
Muharram. Demikianlah pendapat jumhur ulama dan yang nampak dari zahir hadits
berdasarkan kemutlakan lafadznya dan yang sudah ma’ruf menurut ahli bahasa.
(Disarikan dari al-Majmu’ oleh Imam al-Nawawi rahimahullah)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Ini merupakan pendapat Sa’id
bin Musayyib rahimahullah dan al-Hasan al-Bashri rahimahullah
yang sesuai dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Rasullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, hari kesepuluh
dari bulan Muharram.” (HR. al-Tirmidzi, beliau menyatakan hadits
tersebut hasan shahih)
Imam Al-Qurtuby rahimahullaah berkata
bahwa perkataan “Asyura” diambil dari perkataan Asyara bermakna “sepuluh”
tapi dalam bentuk perkataan menunjukkan bersangatan (mubalaghah) dan
mengagungkan (takzim). Ibnu Al-Munir rahimahullah mengatakan kebanyakan Ulama’ mengatakan “Asyura” adalah
Hari Kesepuluh. Lihat pula kitab Fath Al-Bari, Malik, Ahmad, Ishaq dan
lain-lainnya juga berpendapat demikian. Turut mendukung pandangan mereka adalah
riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu :
ويؤيده ما رواه ابن عباس
“أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصوم عاشوراء يوم العاشر” (الترمذي 755
حسن صحيح(
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyarankan puasa Asyura yaitu Hari Kesepuluh” (Hadits hasan sahih riwayat At-Tirmidzi no 755).
5. Fadhilah Puasa Asyura
Berpuasa pada hari tersebut bisa menghapuskan
dosa setahun yang lalu.
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ اْلخُدْرِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ غُفِرَ لَهُ سَنَةٌ
اَمَامَهُ وَ سَنَةٌ خَلْفَهُ. وَ مَنْ صَامَ عَاشُوْرَاءَ غُفِرَ لَهُ سَنَةٌ. )الطبرانى فى الاوسط باسناد حسن(
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang
berpuasa ‘Arafah, diampuni baginya (dosanya) setahun yang lalu dan setahun
berikutnya. Dan barangsiapa yang berpuasa ‘Asyura’, diampuni baginya (dosanya)
satu tahun”. [HR. Thabrani,
di dalam Al-Ausath dengan sanad hasan]
Imam Muslim,
meriwayatkan dalam shahihnya, dari Abu
Qotadah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
أن رجلاً سأل النبي – صلى الله عليه وسلم – عن
صيام يوم عاشوراء فقال: { أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِي قَبْلَهُ{.
Seorang laki-laki datang bertanya kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang pahala puasa hari ‘asyura. Maka
Rasulullah menjawab: Aku berharap kepada Allah agar menghapus (mengkafarahkan) dosa-dosa setahun yang lalu. (Hadits
riwayat Muslim no. 1162 dan Abu Dawud no. 2425).
6.
Puasa di Bulan Muharram, Seutama-utamanya Puasa Setelah
Puasa Ramadhan
Keberkahan dan kemuliaan bulan haram ini
yaitu Muharram adalah disebabkan satu riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ
اللَّيْلِ
“Puasa
yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan
Allah) Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama
sesudah shalat fardlu.” (HR. Muslim,
no. 1982)
Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu, dan Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya.
Dari Abdullah bin Abi Zaid bahwa beliau
mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا
الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
“Aku
tidak penah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersemangat puasa pada
suatu hari yang lebih beliau utamakan atas selainnya kecuali pada hari ini,
yaitu hari ‘Asyura dan pada satu bulan ini, yakni bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 2006 dan Muslim no. 1132)
Menurut Imam Al-Qaari rahimahullah berkata,
bahwa secara zahir, maksudnya adalah seluruh hari-hari pada bulan Muharram ini.
Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh kecuali di Ramadhan. Maka
hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram
bukan seluruhnya.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menamakan Muharram dengan bulan Allah (syahrullaah).
Penisbatan nama bulan ini dengan lafazh ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan
dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan
(menisbatkan) lafazh tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan
kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-nya tersebut dan seterusnya. (Laatha if
al Ma’aarif).
Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah
bulan yang paling mulia setelah Ramadhan. Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,
إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر
حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله
الأصم من شدة تحريمه
“Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan
menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam
setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan
Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang
sunyi), karena sangat mulianya bulan ini.” (Lathaiful Ma’arif,
Hal. 34)
Dari hadits di atas, Ibnu Rojab rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini dengan tegas mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa
sunnah setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.”
Beliau rahimahullah
juga mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa
sunnah muthlaq. (Latho’if
Ma’arif, hal. 36)
Namun yang kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan di bulan Muharram. Bagaimana menjawab
hal ini?
Imam Nawawi rahimahullah menjawab keraguan semacam
ini dengan dua jawaban:
Pertama:
mungkin saja Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengetahui keutamaan berpuasa pada bulan Muharram
di akhir hayat hidupnya.
Kedua:
mungkin juga beliau shallallahu
‘alaihi wasallam mendapat udzur sehingga tidak bisa melakukan
banyak puasa di bulan Muharram. Mungkin beliau banyak melakukan safar, sakit atau
ada keperluan lainnya ketika itu. (Lihat Syarh
Shahih Muslim, 4/185)
Bahkan dikatakan oleh Ibnu Rojab rahimahullah bahwa
di antara salaf yang melakukan puasa di bulan Muharram sebulan penuh adalah
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan Al Hasan Al Bashri rahimahullah.
(Lihat Latho’if
Ma’arif, hal. 36)
7. Hukum Puasa ‘Asyura
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu‘anhuma, beliau
menceritakan,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ : قَدِمَ
رَسُوْلُ اللهِ ص الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ اْليَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ
عَاشُوْرَاءَ فَسُئِلُوْا عَنْ ذلِكَ، فَقَالُوْا: هذَا اْليَوْمُ الَّذِيْ
اَظْهَرَ اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَ بَنِيْ اِسْرَائِيْلَ عَلَى فِرْعَوْنَ، فَنَحْنُ
نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: نَحْنُ اَوْلَى بِمُوْسَى
مِنْكُمْ فَاَمَرَ بِصَوْمِهِ. )البخارى و مسلم و الترمذى و ابو داود و ابن ماجه و احمد و
الدارمى(
“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura’. Lalu mereka ditanya (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang hal itu. Maka jawab mereka, “Hari ini
adalah suatu hari yang Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa dan bani
Israil atas Fir’aun, maka kami berpuasa pada hari ini untuk mengagungkannya”.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu kami lebih
berhaq terhadap Nabi Musa daripada kalian”. Kemudian beliau memerintahkan untuk
berpuasa ‘Asyura’. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ahmad dan Darimiy]
Kenapa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hal tersebut? Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang–orang yang bersama beliau
adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah
berfirman,
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ
وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya
orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya
dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah
pelindung semua orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran : 68)
Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak
terhadap Nabi Musa ‘alaihis salam daripada orang-orang Yahudi tersebut,
dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa ‘alaihis salam, Nabi Isa ‘alaihis
salam dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa
pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi
yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan menambah berpuasa pada hari
kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh
(’Asyura), atau ketiga-tiganya.
Diriwayatkan pula dalam shahihain, dari
Rubayya’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha berkata:
أرسل رسول الله – صلى الله
عليه وسلم – غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار التي حول المدينة: { من كان أصبح منكم
صائماً فليتم صومه، ومن كان أصبح منكم مفطراً فليتم بقية يومه }. فكنا بعد ذلك
نصوم ونصوّم صبياننا الصغار منهم، ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن،
فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه إياها حتى يكون عند الإفطار “. وفي رواية: ”
فإذا سألونا الطعام أعطيناهم اللعبة نلهيهم حتى يتموا صومهم “.
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
mengirim utusan pada pagi hari ‘asyura ke kampung-kampung kaum anshar di sekitar
Madinah, dan berseru: Barang siapa yang berpuasa pada pagi ini, hendaklah
menyempurnakan puasanya, dan barang siapa yang tidak berpuasa, hendaklah
berpuasa pada sisa harinya. Maka kami berpuasa serta mengajak anak-anak untuk
ikut berpuasa. Lalu kami beranjak menuju masjid dan membuatkan mereka mainan
dari bulu, jika salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan
mainan tersebut agar mereka lalai hingga tiba waktu berbuka.
Dan dalam riwayat lain: Jika mereka minta
makanan, kami berikan mainannya agar melupakan makanan, hingga dapat
menyempurnakan puasanya.
Namun tatkala puasa ramadhan telah
diwajibkan, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan perintah atas
para sahabatnya untuk puasa ‘asyura, serta penegasan akannya. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan dalam shahihain dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma
berkata:
صام النبي – صلى الله عليه
وسلم – عاشوراء وأمر بصيامه فلما فرض رمضان ترك ذلك – أي ترك أمرهم بذلك وبقي على
الاستحباب (.
Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam mengerjakan puasa ‘asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal
tersebut- yakni berhenti mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi
mustahab (sunah).
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ اَبِى سُفْيَانَ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِنَّ هذَا يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ وَ لَمْ
يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ وَ اَنَا صَائِمٌ. فَمَنْ شَاءَ صَامَ وَ مَنْ شَاءَ
فَلْيُفْطِرْ. البخارى و مسلم
Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu
‘anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya hari ini adalah hari ‘Asyura’ tetapi tidak diwajibkan
atas kamu puasa hari ini, sedang aku berpuasa. Oleh sebab itu, barangsiapa
ingin berpuasa silakan berpuasa, dan barangsiapa ingin tidak berpuasa, silakan
tidak berpuasa”. [HR. Bukhari dan Muslim]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ : كَانَتْ قُرَيْشٌ
تَصُوْمُ عَاشُوْرَاءَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ وَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَصُوْمُهُ.
فَلَمَّا هَاجَرَ اِلَى اْلمَدِيْنَةِ صَامَهُ وَ اَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا
فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ، قَالَ: مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَ مَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.)
البخارى و مسلم و الترمذى و ابو داود و ابن ماجه و احمد و مالك و الدارمى(
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
Adalah kaum Quraisy berpuasa ‘Asyura’ pada masa jahiliyah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
juga berpuasa. Maka setelah berhijrah ke Madinah, beliau tetap berpuasa
‘Asyura’ dan memerintahkan pada para shahabat untuk berpuasa pada hari itu.
Maka setelah diwajibkan puasa di bulan Ramadlan, lalu beliau bersabda,
“Barangsiapa yang ingin berpuasa ‘Asyura’ silakan berpuasa, dan barangsiapa
yang ingin meninggalkannya silakan tidak berpuasa”. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ahmad, Malik dan Darimiy]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رض اَنَّ اَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَ اَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ ص صَامَهُ وَ اْلمُسْلِمُوْنَ قَبْلَ اَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ. فَلَمَّا
افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص: اِنَّ عَاشُوْرَاءَ يَوْمٌ مِنْ اَيَّامِ
اللهِ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَ مَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.) البخارى و مسلم و ابو داود و ابن ماجه و
احمد و الدارمى(
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya orang-orang di masa jahiliyah mereka berpuasa ‘Asyura’ dan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kaum muslimin juga berpuasa pada hari itu
ketika belum diwajibkan berpuasa Ramadlan. Maka ketika sudah diwajibkan
berpuasa Ramadlan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
‘Asyura’ itu adalah satu hari diantara hari-harinya Allah. Maka barangsiapa
ingin berpuasa hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang ingin tidak
berpuasa, silakan tidak berpuasa”.
[HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimiy]
Hadits ini merupakan dalil akan dihapusnya kewajiban
menunaikan puasa ‘asyura dan hukumnya menjadi sunnah.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para
ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa pada hari ‘Asyura adalah sunnah dan bukan
wajib. Namun mereka berselisih mengenai hukum puasa ‘Asyura di awal-awal Islam
yaitu ketika disyariatkannya puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan. Menurut Imam Abu Hanifah rahimahullah, hukum puasa
Asyura di awal-awal Islam adalah wajib. Sedangkan dalam Syafi’iyah ada dua
pendapat yang masyhur. Yang paling masyhur, yang menyatakan bahwa hukum puasa
Asyura semenjak disyariatkan adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak
wajib. Namun dulu, puasa Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketika puasa Ramadhan
disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak seperti pertama
kalinya. Pendapat kedua dari Syafi’iyah adalah yang menyatakan hukum puasa Asyura
di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua ini sama dengan pendapat Abu
Hanifah.” (Syarh
Shahih Muslim, 4/114)
Yang jelas, hukum puasa ‘Asyura saat ini
adalah sunnah dan bukanlah wajib. Namun, hendaklah kaum muslimin tidak
meninggalkan amalan yang sangat utama ini, apalagi melihat ganjaran yang begitu
melimpah. Juga ada ganjaran lain yang dapat kita lihat yang ditujukan bagi
orang yang gemar melakukan amalan sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits
qudsi berikut ini.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى
يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ
بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ،
وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri
kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan
untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan,
pasti Aku akan melindunginya.” (HR.
Bukhari no. 2506)
8.
Cara Pelaksanaan Puasa Asyura dan + Puasa Tasu’a
Pada
akhir hayatnya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk
tidak berpuasa pada hari ‘asyura saja, tetapi menambahkan dengan puasa sehari
lagi, agar menyelisihi puasanya Ahli Kitab. Dalam shahih Muslim dan Abu Dawud,
dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رض يَقُوْلُ: حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَ
اَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظّمُهُ
اْليَهُوْدُ وَ النَّصَارَى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: فَاِذَا كَانَ اْلعَامُ
اْلمُقْبِلُ اِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اْليَوْمَ التَّاسِعَ. قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ
اْلعَامُ اْلمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفّيَ رَسُوْلُ اللهِ ص. مسلم و ابو داود
Ketika
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘asyura dan menganjurkan
para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya
ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, Maka
beliau bersabda: Kalau begitu tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa (pula)
pada hari kesembilan (tasu’a). (yakni, bersamaan dengan puasa ‘asyura, untuk
menyelisihi Ahli kitab). Ibnu Abbas berkata: belum sampai tahun berikutnya,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. HR. Muslim no. 1162 dan
Abu Dawud no. 2425)
و فى لفظ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَئِنْ بَقِيْتُ اِلىَ
قَابِلٍ لاَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ. مسلم
Dan
dalam satu lafadh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya kalau aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku berpuasa
hari ke-9 (bulan Muharram)”. [HR. Muslim]
Jika
mau berpuasa sunnat pada hari ‘Asyura’, disunnatkan mendahuluinya dengan
berpuasa pada hari Tasu‘a, yaitu puasa pada 9 Muharram.
Hikmah
di balik melakukan puasa pada hari Tasu‘a adalah:
a.
Sebagai langkah hati-hati pada perkiraan awal bulan Muharram. Ini karena
ditakuti jika kemungkinan hari puasa yang diperkirakan sebagai Tasu‘a, padahal sebetulnya
hari ‘Asyura’.
b.
Agar ummat Islam tidak menyerupai orang Yahudi yang berpuasa hanya pada hari
‘Asyura’ saja.
c.
Menyambung puasa hari ‘Asyura’ dengan satu hari puasa yang lain karena mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berniat untuk melakukan
puasa tasu’a pada tahun depan jika diberi umur sampai tahun berikutnya,
namun ternyata beliau wafat terlebih dahulu sbelum melakukan puasa tasu’a. Walaupun
begitu, tidaklah apa-apa jika hanya berpuasa sehari saja pada hari
‘Asyura’
9. Meneruskan Puasa Hingga 11 Muharram
Apabila
seseorang melaksanakan puasa hari ‘Asyura’, sunnat juga menggandengkannya
dengan berpuasa pada 11 Muharram, walaupun dia tidak melakukan puasa hari
Tasu‘a’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله
يوما أو بعده يوما. )رواه البيهق(
“Puasalah kamu pada
hari ‘Asyura dan janganlah kamu menyerupai padanya dengan orang Yahudi.
Puasalah kamu (dengan puasa ‘Asyura) sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.”
(Hadits riwayat al-Baihaqi)
Berdasarkan
penjelasan di atas, terdapat beberapa cara melakukan puasa
hari ‘Asyura’ yaitu:
i.
Berpuasa pada hari ‘Asyura’ saja. Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah dalam
Tuhfah al-Muhtaj menyimpulkan bahwa tidak apa-apa berpuasa pada hari itu saja.
ii.
Berpuasa pada hari Tasu‘a (9 Muharram) dan pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram).
iii.
Berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan ditambah pada 11 Muharram.
iv.
Berpuasa pada hari Tasu‘a’ (9 Muharram), hari ‘Asyura’ dan 11 Muharram. Berpuasa
tiga hari ini (9,10, dan 11 Muharram) adalah digemari sebagaimana yang
disebutkan oleh Imam asy-Syafi‘i rahimahullah. Demikian pula didukung
oleh Al
Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul
Authar 4/245
dan
Al Hafidz Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari 4/246. Wallahu a’lam.
10. Menyenangkan Hati Kaum Keluarga, Kerabat dan Tetangga
Selain
melakukan puasa pada hari ‘Asyura’, orang Islam juga disunnatkan menyenangkan
dan menggembirakan hati kaum keluarga.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَلِهِ وَاَهْلَهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ
وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ (رواة البيهقي)
“Barangsiapa yang melapangkan (menyenangkan) keluarganya
pada hari ‘Asyura, Allah akan melapangkan rezekinya sepanjang tahun.” (Hadis riwayat al-Baihaqi)
Apa
yang dimaksudkan dengan ‘melapangkan’ atau ‘menyenangkan’ di dalam hadits di
atas adalah berbelanja pada makanan dan minuman lebih daripada hari biasa serta
menggembirakan anak-anak contohnya dengan memberikan belanja lebih daripada
yang biasanya. Selain dari ahli keluarga, maksud menyenangkan di dalam hadits
di atas termasuk juga kepada kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang
miskin dengan syarat apa yang dilakukannya itu tidak memberatkan dirinya.
Adapun
apa yang selain daripada dua perkara di atas seperti sembahyang malam ‘Asyura’,
mandi hari ‘Asyura’, bercelak mata dan yang lainnya tidaklah ada disebut
melainkan pada hadis-hadis dhaif, munkar dan maudhu‘.
Marilah
kita bertekad untuk mengisi hari ‘Asyura’ yang datang sekali setahun di bulan
Muharram ini dengan mengambil iktibar peristiwa yang berlaku pada tarikh
tersebut dan melaksanakan apa yang dianjurkan oleh syara‘. Berpuasa serta
menyenangkan hati keluarga, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang
miskin pada
hari ‘Asyura’ ini adalah amalan yang tidak boleh dilepaskan fadhilatnya begitu
saja.
Berdasarkan keterangan hadits-hadits di atas,
maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Puasa Asyura sunnat hukumnya. Ia dilakukan
pada hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram. Tetapi caranya selain berpuasa
pada 10 Muharram, juga dilakukan sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram) atau
sehari sesudahnya (tanggal 11 Muharram). Hal ini untuk membedakan puasa kita
ummat Islam dengan puasanya Yahudi dan atau Nasrani.
2. Para ulama’ berpendapat tentang derajat
puasa Hari Asyura : Derajat I : Puasa
tiga hari 9,10,11 Muharram
Derajat II : Puasa dua hari 9 dan 10 Muharram
Derajat III : Puasa Asyura hanya sehari yaitu
10 Muharram saja. Namun demikian jika seseorang berpuasa hanya sehari saja (10
Muharram) juga sah, tetapi jika lebih sehari adalah lebih afdhal.
3. Fadhilah puasa Asyura : Siapa yang
melakukan puasa Asyura niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni
dosa-dosanya selama setahun sebelumnya. Namun demikian, pengampunan dosa
tersebut terbatas hanya dosa-dosa kecilnya saja, sedangkan dosa-dosa besar
hanya akan diampuni melalui Taubat Nasuha.
4. Selain itu juga terdapat beberapa hadits
tentang fadhilah hari Asyura, antaranya : (Barangsiapa yang memberikan
kelapangan rezeki dan memberikan kesenangan atau kemudahan kepada ahli
keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memperluaskan rezekinya sepanjang
tahun) – (HR Tabarani). Semua hadits tentang ini derajatnya dhaif (lemah). Namun
Imam Al-Nawawi rahimahullah menulis dalam kitabnya “Al-Adzkar” : Ulama
Hadits berkata : “Dibolehkan beramal berdasarkan hadis dhaif (lemah) dalam
fadhilah amal selagi hadits tersebut bukan hadis maudhu’ (palsu).”
11. Doa pada Hari Asyura :
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Lima waktu yang tidak akan
ditolak dari suatu doa, yaitu malam jum’at, malam 10 Muharram, malam Nishfu Sya’ban,
malam hari raya Idul Fitri dan Idul ‘Adha.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Doa
hari Asyura dibaca pada hari ke 10 Muharram dan dilakukan setelah “Shalat
Maghrib atau Shalat Isya’”. Doa Asyura ini dimulai dengan bacaan “Kalimat
Hasbiyallah”.Dalam perkataan Ulama’ yaitu Sayyid Muhammad
Qautsullah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Jawahir:
“Barangsiapa yang membaca ‘Hasbiyaallahu
wa ni'mal wakiil ni'mal maulaa wa nikman nashiir’ (Cukuplah Engkau tempatku
berpegang. Engkau sebaik-baik tempatku berpegang dan tempatku meminta
pertolongan) sebanyak 70 X pada hari Asyura kemudian
membaca doa berikut, maka Allah tidak dimatikannya pada tahun itu
tetapi bila ajalnya sampai pada tahun itu, tidaklah ia diberi
taufiq membacanya.”. Ingat doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika
diselamatkan oleh Allah dari panasnya api, saat beliau dibakar oleh Raja Namrud
laknatullah ‘alaih. Wallahu a’lam
Baca do’a ini juga :
يَا مُحْسِنٌ قَدْ جَــاءَكَ المُسِيْئُ ، وَقَدْ أَمَرْتَ يَا
مُحْسِنٌ بِالتَّجَــاوُزِ عَنِ المُسِيْئِ ، وَأَنْتَ المُحْسِنُ وَأَنَـــا
المُسِيْئُ ، فَتَجَــاوَزْ عَنْ قَبِيْحِ مَا عِنْدِي بَجَمِيْلِ مَا عِنْدَكَ ،
فَأَنْتَ بِالمَعْرُوْفِ مَوْصُوْفٌ ، أَئْتِنِي مَعْرُوْفَكَ ، وَأَغْنِنِي
بِــهِ عَنْ مَعْرُوْفِ مِنْ سِوَاكَ ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ -
(Wahai Dzat Yang Maha baik, sungguh telah
datang kepada-Mu orang yang berdosa ini, wahai Dzat Yang Maha baik, sungguh
Engkau telah menyuruh agar memaafkan kesalahan orang yang berdosa, sedangkan
Engkau Maha baik dan aku pula berdosa, oleh sebab itu hapuskanlah keburukan
yang datang dari sisiku dengan keindahan yang ada di sisi-Mu, Engkau disifati
dengan sifat makruf (baik), oleh itu anugerahkanlah kepadaku sifat makruf-Mu
itu, dan cukupkanlah daku dengan makruf-Mu itu sehingga aku tidak memerlukan
makruf daripada selain Engkau, dengan berkat rahmat-Mu, wahai Allah Yang Maha
Pengasih ). (Doa ini berasal daripada Sayyidina Ali Bin Abu Talib radhiyallahu ‘anhu
sebagaimana dinyatakan oleh ulama Hadits – Mereka berkata : Doa ini bagus
diamalkan pada Hari Asyura)
11.
Niat Berpuasa Sunnat Asyura
نَوَيْتُ صَوْمَ
عَاشُوْراَءَ سُنَّة ًلِلَّهِ تَعَالَى
NAWAYTU
SHAUMA ‘ASYURA SUNNATAN LILLAHI TA’ALA artinya: “Aku niat berpuasa hari
’Asyura sunnat karena Allah ta’ala.”
Marilah kita niat untuk melaksanakan puasa Asyura. Semoga
puasa kita, shalat kita dan semua ibadah dan kebaikan kita diterima oleh Allah subhanahu
wa ta’ala….Amin ya rabbal ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar