Bagaimana dulu mereka mengutamakan mata
pelajaran tazkiyah bagi para santrinya. Ada seorang ulama mempunyai anak
laki-laki, dan dia berkeinginan anaknya bisa lebih
sholeh dan lebih alim dari dia. Walaupun ulama ini mempunyai pesantren, tetapi
dia lebih memilih anaknya ini dikirim ke pesantren lain, karena dia berpikir
kalau anaknya belajar di pesantrennya sendiri maka akan menjadi manja, tidak
mau susah payah. Si ulama khawatir jika dikirim ke pesantrennya sendiri maka
tidak akan ada mujahaddah. Maka si anak ini dikirim oleh ulama ini ke pesantren
kawannya sesama ulama supaya ada pendidikan khusus agar bisa lebih alim dari
beliau dan supaya lebih paham agama dari beliau. Ketika dia masuk ke pesantren,
ayahnya si ulama, memberi nasehat bahwa apapun yang diperintahkan oleh gurunya
nanti ikuti saja, jangan banyak bertanya dan jangan dibantah, walaupun kamu
belum bisa mencernanya dengan pemikiran, jalankan saja.
Setelah masuk ke pesantren, si anak ini
tidak langsung diajarkan ilmu agama, tetapi diperintahkan untuk berkhidmat di
dapur pesantren. Di dapur si anak ini mencuci piring, memasak, memotong sayur,
menyediakan masakan, tidak diajarkan kepada anak ini walaupun satu alif pun.
Anak ini dengan tekun dengan ikhlas dia jalankan perintah gurunya
berbulan-bulan, tidak ada mengeluh, di dapur untuk khidmat, tidak mempelajari
Quran dan Hadits. Si anak ini taat dan selalu ingat pesan ayahnya bahwa apapun
yang diperintahkan laksanakan saja. Setelah melihat kepatuhan anak ini
menjalankan perintahnya, tidak mengeluh dan ikhlas menerimanya, maka si ulama
pemimpin pesantren memanggilnya. Si ulama pimpinan pesantren berkata, “Wahai anakku, Kamu sudah khidmat di dapur,
bekerja dengan baik, sekarang kamu pindah dari dapur untuk berkhidmat pada WC
umum.” Namun WC jaman dulu beda dengan WC jaman sekarang. Dulu WC pakai
periuk untuk buang air kecil dan air besar. Jadi untuk membersihkannya dia bawa
periuk kotoran itu di kepalanya ke suatu tempat untuk dibuang lalu dibersihkan.
Setiap pagi inilah rutinitas yang dilakukan si anak ini dalam waktu yang sangat
lama tanpa diajarkan satu alifpun.
Setelah sekian lama si anak berkhidmat
seperti itu, akhirnya gurunya memanggil. Si guru berkata, “Anakku kamu sudah berkhidmat di dapur, lalu berkhidmat di wc, sekarang
kamu akan ditugaskan sebagai istiqbal, menjaga didepan pintu pesantren,
menerima tamu-tamu pesantren. Sekarang kamu harus berpakaian yang bersih dan
rapih tidak seperti pakian yang kamu pakai waktu di dapur ataupun ketika
khidmat wc.”
Mendengarkan perintah ini, sama si anak
langsung dijalankan, dia berpakaian rapi, menunggu di depan gerbang sebagai
istiqbal. Ketika si anak ini sedang bertugas, si guru ini memanggil salah satu
santri yang bekerja di khidmat WC. Si guru berkata kepada si santri yang
berkhidmat di WC tersebut, “kamu tahu
anak itu.” Si santri bilang, “Tahu ustadz.”
Si guru berkata, “Nanti ketika kamu bawa
periuk kotoran untuk dibersihkan dari wc, kamu bawa periuk itu kedepan dia
sehingga periuk itu melewati hidungnya dengan jarak yang dekat sekali. Nanti
kamu laporkan kepada saya apa reaksinya.”
Mendengar perintah ini si santri
besoknya langsung melaksanakan perintah Ustadznya. Dia bawa periuk wc itu tadi
dan dilewatkan kedepan hidung si anak tersebut. Namun si anak tersebut tidak
ada reaksi marah atau rsa tidak senang ketika periuk itu dilewatkan secara
sengaja di depan hidungnya. Si santri lapor ke ustadnya bahwa tugas sudah
dilaksanakan, tetapi si anak tidak memberikan reaksi apa-apa, biasa saja. Si
Ustadz berkata, “Bagus, besok kamu
lakukan lagi, tapi kali ini kamu pura-pura tersandung lalu percikkan sedikit
saja kotoran itu tadi kebajunya. Nanti apa sikap dia kamu laporkan kepada
saya.”
Besoknya si santri jalankan perintah si
ustadz tadi. Si Santri jalan di depan si anak tadi lalu dia pura-pura
tersandung lalu terperciklah sedikit kotoran ke baju anak itu. Namun si anak
bukannya marah malah minta maaf, bahwa ini salah dia, tidak seharusnya dia
menghalangi jalannya si santri yang bawa periuk kotoran tersebut. Maka
dilaporkanlah kejadian tersebut kepada si ulama pimpinan pondok pesantren. Si
Ulama bilang, “Bagus, besok kamu lewat
lagi kedepan dia kali ini, pura-pura kesandung, lalu tumpahkan seluruh isi
periuk kotoran wc tadi ke badan dia.” Besoknya dia jalankan perintah si
pimpinan pondok pesantren tadi, dia jalan pura-pura kesandung lalu ditumpahkan
periuk kotoran tadi seluruhnya kebadan si anak yang sedang istiqbal tersebut.
Namun apa reaksi anak tersebut ? itu anak bukannya marah malah menangis, dia
berkata, “Apa saya ini terus-terusan
berbuat salah ? kemarin saya mengganggu jalan saudara, hari ini juga begitu,
kenapa saya dalam belajar selalu buat kersalahan.”
Maka dilaporkanlah kejadian ini pada si
ulama tersebut. Kali ini si ulama memanggil si anak tersebut, “Wahai anakku, kamu sudah khidmat di dapur,
sudah khidmat di wc, dan sudah khidmat di istiqbal, sekarang ada tugas masih
khidmat juga, yaitu mencari daging.” Kalau dulu yang namanya mencari daging
yaitu dengan berburu ke hutan. Jadi si anak ini berburu ke hutan dengan membawa
anjing pemburu. Caranya dia disuruh memakai ikat pinggang yang kuat yang di
ikatkan kepada 6 ekor anjing.
Waktu pergi ke hutan si anjing mencium
bau daging binatang buruan maka si anjing berlari sehingga si anak yang kecil
ini badannya terbanting-banting badannya. Si anak tersebut terseret kesana
kemari karena kuatnya tarikan anjing-anjing pemburu, sehingga dia pulang ke pesanten
dalam keadaan babak belur. Si Ulama pimpinan pondok pesantren bertanya, “Gimana berburunya di hutan ?” si anak
menjawab, “Alhamdullilah baik, semuanya
lancar tidak ada masalah.” Si anak tidak mengeluh apapun kepada gurunya,
bahkan mengatakan semuanya baik-baik saja, padahal dia babak belur. Setelah
kejadian ini si ulama pimpinan pondok memeluk anak itu, dan berkata, “Wahai anakku kamu sekarang sudah punya
modal untuk belajar agama, kamu boleh pulang, mau belajar disini, atau ditempat
lain, ataupun di pesantren ayahmu, silahkan saja, karena kamu sudah ada modal
untuk belajar agama.” Maksudnya apa ? si anak ini sudah punya modal belajar
agama yaitu kesabaran dan ketabahan.
Kalau kita mempunyai sifat seperti itu
maka Nur Quran dan Hadits akan mudah masuk ke hati kita. Tapi kalau kita ingin
asik-asik dan senang-senang inilah yang menyebabkan susahnya kita memahami
daripada Al Quran dan Hadits, sehingga susah membawa kita kepada pengamalan,
apalagi kepada penghayatan.
Untuk mengomentari cerita tadi kenapa
terakhir ini anak disuruh berburu dengan membawa 6 ekor anjing yang banyak
hingga dia babak belur terbawa kesana kemari. Ini karena si anak ini adalah
calon ulama. Ulama itu akan mengayomi masyarakat, sedangkan keinginan
masyarakat itu berbeda-beda, yang satu mau begini, yang satu mau begitu. Jadi
ulama-ulama itu harus siap babak belur, supaya masyarakat bisa menerima mereka,
tidak memihak kepada siapapun, karena ulama ini calon pimpinan. Sedangkan yang
dipimpin mempunyai sifatdan karakter yang berbeda-beda.
Demikian orang-orang terdahulu belajar
agama tidak dengan senang-senang, tetapi dengan mujahadah. Ketika kita membuka
riwayat hidup imam-imam besar seperti Imam Bukhari, Imam Muslims, Imam Syafi’i,
Imam Hanafi, Imam Hambali, dalam hidup mereka mempelajari agama penuh dengan
mujahadah, baru kemudian Allah subhanahu
a ta’ala memberikan kemuliaan pada mereka menjadi Imam, dan pemahaman atas
agama yang benar.