Ibnu Taimiyyah, Gambar Ilustrasi dari Wikipedia
Bismillaahir rahmaanir rahiim.
·
Abu Fadl Ibnu Athaillah As
Sukandari (wafat 709 H), salah seorang imam sufi
terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli
fiqih Madzhab Maliki, adalah penulsi karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul
Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi
li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi:
Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan
lain-lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686 H) dan
generasi penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al
Sadzili.
Ibn
Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah
tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya
paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya,
prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui
sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai
ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap
merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak
dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak
mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual
yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan.
Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan
Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan
satu dengan yang lain.
Sebagai
ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu
perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan
suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid
al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya
al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki,
mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam
al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya
An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi,
Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.
Ibnu
Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibnu Taymiyah atas serangannya
yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham dengannya. Ibnu Athaillah
tak pernah menyebut Ibnu Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa
yang disinggungnya adalah Ibnu Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif :
sebagai “cendekiawan ilmu lahiriyah”. Satu Halaman berikut ini merupakan
terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.
·
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin
Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang
biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja, lahir: 22 Januari 1263/10
Rabiul Awwal 661H– wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H), adalah seorang pemikir dan
ulama Islam dari Harran, Turki.
Di
Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya ilmu hitung, khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia
dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia
telah hafal Al Quran. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia
17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu
Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar
yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin" . Ia
berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami
sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan
dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam
Syarafuddin.
Jenazah
ia disalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para
pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Dari Ushul al-Wushul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibnu
Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami
memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan
ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga
merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tasawuf: Syaikh Ahmad
Ibnu Athaillah Als Sukandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan
“Salafi”: Syaikh Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taymiyah selama era Mamluk di
Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik
Al Nasir).
Kesaksian Ibnu Taymiyah kepada Ibnu Athaillah
Ibnu Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan
memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al
Ahzar untuk shalat maghrib yang diimami Syaikh ibnu Athaillah. Selepas shalat,
Ibnu Athailah terkejut menemukan Ibnu Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya.
Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibnu Taymiyah di
Kairo seraya berkata: Assalamu ‘alaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan
dengan tamu cendekianya ini.
IBNU ATHAILLAH : “Biasanya saya shalat di masjid Imam Husein dan shalat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
IBNU ATHAILLAH : “Biasanya saya shalat di masjid Imam Husein dan shalat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
IBNU TAYMIYAH : “Aku tahu, anda tidak
bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada.
Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan
dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
IBNU ATHAILLAH: Apa yang anda ketahui
tentang aku, syaikh Ibnu Taymiyah?
IBNU TAYMIYAH: Aku tahu anda adalah seorang
yg shaleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku
bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih
mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih
patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya. Tapi bagaimanapun juga kita
memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda
atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang
untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?
IBNU ATHAILLAH: Tentu saja, rekanku, anda
tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau
mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena
beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
IBNU TAYMIYAH: Mengenai hal ini saya
berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits
berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al
Qur’an juga disebutkan:
وَمِنَ اللَّيْلِ
فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا
مَّحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari
bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadat tambahan bagimu:
mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Mudah-mudahan
Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji” (Q.S Al
Isra : 79).
Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat.
Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali radhiyallahu ‘anhu wafat,
Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak
pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya
Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku,
utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha
Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah,
merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain
Allah.
IBNU ATHAILLAH: Semoga Allah
mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan
diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan
ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighasah sebagai
mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya
ingin bertanya kepada anda, ”Adakah muslim yang beriman pada Allah dan
rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala
kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan
dirinya sendiri?”
”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?”
”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?”
Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada
berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja
dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana
kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti
mengharapkan anugerah syafaat yang dimilikinya dari Allah, sebagaimana jika
anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian
makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang
memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim
untuk mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah
anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al
quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon
pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum
muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangka bertawasul atau
mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari Allah
(bihaqqihi indallah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang
telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighasah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighasah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu IBNU ATHAILLAH melanjutkan: “Saya kenal betul
dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan
oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta
mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan” yang anda
miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang
ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fushusul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fushusul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika Syaikhul Islam Izzuddin ibnu Abdi Salam
memahami apa yang sebenarnya diucapkan dan dianalisa oleh Ibn Arabi (sebelumnya
Syaikh Izzudin menfatwakan bahwa Ibnu Arabi sesat), menangkap dan mengerti
makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan
Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan Imam as Syadzili yang
memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari
mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi,
pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut
Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak
pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai
khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
IBNU TAYMIYAH: Dalam salah satu
haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya
adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan
seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa
kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi
Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang
paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya
lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al Quran dan Sunnah. Duhai!
Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
IBNU ATHAILLAH: Sekarang, apakah Imam Ali radhiyallahu
‘anhu meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi?
Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat Jibril melakukan kesalahan dengan
menyampaikan wahyu kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa
Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak
menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum)
bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?
IBNU TAYMIYAH: Berdasarkan fatwa ini saya
memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
IBNU ATHAILLAH: Dan Imam Ahmad- semoga
Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli,
memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun
mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi,
dan menyerang msayarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka
harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para
pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai
dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan
buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda
atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal ini?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal ini?
IBNU TAYMIYAH: “Tapi bagaimana pendirian
mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan khabar
gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya,
selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai
merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat Jibril turun dari surga dan
mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang
robek itu; selanjutnya malaikat Jibril mengangkat satu dari jubah dan
menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan
jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
IBNU ATHAILLAH: “Tidak semua sufi
mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda
tidak setuju dengan penampilan saya?
IBNU TAYMIYAH: “Tetapi anda adalah ulama
syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
IBNU ATHAILLAH: “Al Ghazali adalah seorang
imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan
semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat
dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus
dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli
sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang
anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi
kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan
melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan
ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban
beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri
mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran
sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali
demi kecintaannya pada Allah dan rasul-NYA. Inilah posisi mulia yang
menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan
guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam
cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah
agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan
naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah
yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang
terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis
dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam
menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya
hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang
menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
IBNU TAYMIYAH: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang shaleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filosof Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
IBNU TAYMIYAH: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang shaleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filosof Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
IBNU ATHAILLAH: “Ibn Arabi adalah salah
seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn
Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang
hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorang Zahiri
(menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk
memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna
spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan
sama sama apa-apa yang tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah
bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan
gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh
jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam
Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman
dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah
adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan.
Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di
antara para ulama? Imam Malik rahmatullah ‘alaih telah mengingatkan
mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang
berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh
sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang
menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat
bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi
dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab
atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam shalat
sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al
Quran: ”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya”; dan Ia
mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya”.
Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab
bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri
di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli
fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka
dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang
terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal
belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa
sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki
mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu
karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan
Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkab
bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan
dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh
sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis
melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”
IBNU TAYMIYAH: “Anda telah berbicara
dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat
jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung
pandangan yang telah anda kemukakan.”
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.
Foot Note: 1. Ibn Atha’illah, Lata’if al minan fi
manaqib Abi al Abbas. Pada bagian Lata’if al-minan wa al akhlaq, karya Sya’rani
(Kairo, 1357) 2:17-18. 2. Lihat Ibn Al Imad, Shadharat al dzahab (1350/1931)
6:20; Al Zirikly, al A’lam (1405/1984) 1:221; Ibn Hajar, al Dhurrar al Kamina
(1348/1929) 1:148-273; Al Maqrizi, Kitab al Suluk (1934-1958) 2:40-94; Ibn
Kathir, al Bidayah wa al Nihayah (1351/1932) 14:45; Subki, Tabaqat al
Shafi’iyyah (1324/1906) 5:177. dan 9:23; Suyuti, Husn al Muhadara fi Akhbar
misr wa al qahira (1299/) 1:301; Al Dawadari, al Durr al fakhir fi sirat Al
Malik Al Nasir (1960) hal 200; Al Yafi’I, Mi’rat Al Janan (1337/1918) 4:246;
Sya’rani, Al Tabaqat al Kubra (1355/1936) 2:19; Al Nabhani, jami’ karamat al
awliya (1381/1962) 2:25.
Posting yang bagus sekali. Keep writing (y)
BalasHapusSemoga Allah menambah kebaikan Isnaini Nuruddin lahir bathin
Hapus