Makam Imam Ghazali di Tus, kini Iran
(c. 1108) al-Munqidh
min al-dalal (The Deliverer from Error), ed. J. Saliba and K. Ayyad, Damascus:
Maktab al-Nashr al-‘Arabi, 1934; trans. W M. Watt, The Faith and Practice of
al-Ghazali, London: Allen & Unwin, 1953; trans. R.J. McCarthy, Freedom and
Fulfillment: An Annotated Translation of al-Ghazali’s al-Munqidh min al-Dalal
and Other Relevant Works of al-Ghazali, Boston, MA: Twayne, 1980. (Al-Ghazali’s
spiritual autobiography.)
Al-Munqidz min Adh-Dhalal
Muqaddimah dari Pengarang.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, yang dengan puji-Nya terbukalah semua
pintu risalah dan makalah, shalawat beserta salam semoga mengalir deras atas
junjungan kita Nabi besar Muhammad Sang pilihan dan Sang pemilik nubuwwah serta
risalah, dan juga kepada seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah
menghantarkan manusia dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar.
Wahai saudaraku seagama, anda telah meminta kepadaku
supaya aku mengurangi puncak dari berbagai ilmu beserta rahasia-rahasianya, dan
tentang berbagai madzhab yang seringkali membingungkan fikiran. Dan aka aku
ceritakan kepada anda tentang :
- Kesulitan-kesulitan dalam upaya memurnikan perkara
yang haq (benar) dari celah-celah kekacauan berbagai golongan yang disertai
kontradiksinya beberapa cara dan metoda.
- Keberanianku mengangkat dari dasar taqlid
(ikut-ikutan) menuju kepada ketinggian istibshar (mengenali sesuatu dengan
analisa).
- Apa yang telah aku giring pertama kali “ilmu kalam”,
kedua apa yang telah aku muat dari teori ahli ta’lim yang memiliki pemikiran
sempit untuk mengetahui pengerrtian haq (kebenaran) dalam bertaqlid kepada Sang
imam, ketiga tentang cara-cara kaum filsafat dalam menggunakan filsafatnya, dan
yang terakhir adalah apa yang sangat disukai tentang cara-cara kehidupan yang
ditempuh oleh kaum sufi.
- Apa yang telah berhasil aku urai dalam memperkuat
penyelidikanku tentang berbagai pendapat publik dari intinya kebenaran.
- Apa yang menyebabkanku tidak mau menyebarkan ilmu di
Baghdad padahal siswanya banyak.
- Dan faktor yang mendorongku untuk kembali pulang ke
Naisabur sesudah sekian lama aku tinggalkan. Maka semua permintaan anda aku
bergegas menjawabnya, sesudah aku tahu persis akan ketulusan kecintaan anda. Kemudian
dalam memenuhi permintaan serta menjawab pertanyaan-pertanyaan anda itu, aku
perlu minta pertolongan Allah dan berserah diri kepada-Nya guna mendapat taufik
dan mendapat perlindungan-Nya.
Sebuah kotak pena milik Imam Ghazali, diawetkan di museum Kairo.
Ketahuilah, semoga Allah Yang Maha Tinggi menambah
bagusnya petunjuk yang telah Dia berikan kepadamu, dan semoga Dia melunakkan
hati sanubarimu agar mau menerima sesuatu yang hak. Sesungguhnya perbedaan
makhluk dalam masalah agama, kemudian perbedaan bangsa dalam segi alirannya
karena banyak firqah (golongan) serta kontradiksinya metoda merupakan lautan
yang amat dalam yang dapat menenggelamkan banyak manusia dan tak ada yang
berhasil selamat kecuali beberapa gelintir orang saja, dan sudah bisa
dipastikan bahwa tiap-tiap golongan atau kelompok punya dugaan kuat bahwa
kelompoknya itulah yang selamat, seperti pernyataan Allah yang tertera dalam
Al-Quran :
...كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“...Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada di sisi mereka (masing-masing)”. (QS. Al-Mu’minun
: 53).
Hal yang demikian itu telah pula dijanjikan kepada
kita oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sabdanya :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً،
وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْن فِي النَّارِ. قِيْلَ يَا رَسُولُ اللهِ مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : الْجَمَاعَة
“Dari
’Auf bin Maalik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya
umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, satu golongan
masuk surga dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka”. Beliau
ditanya : ”Ya Rasulullah, siapakah satu golongan itu ?”. Beliau menjawab : ”Al-Jama’ah”. (HR. Ibnu
Majah nomor 3992, Ibnu Abi ’Ashim 1:32 nomor 63)
Hampir saja apa yang telah dijanjikan kita itu
terwujud dan senantiasa ada pada usia mudaku, yaitu ketika aku menginjak usia
remaja sebelum meningkat kepada usia dua puluh tahun sampai sekarang. Dan
ketika usiaku sudah mencapai lima puluh tahun lebih, aku mengarungi intinya
lautan yang dalam lalu aku menyelam ke dalamnya bukanlah seperti seorang
pengecut yang sangat penakut, tetapi aku menelusuri setiap sisi yang amat gelap
dan aku serang setiap ada rintangan kemusykilan, aku hamburkan diriku pada
setiap tanah berlumpur, dan saya memeriksa setiap akidah masing-masing
golongan. Semuanya itu aku lakukan demi mengetahui dan menyingkap berbagai
rahasia madzhab setiap kelompok supaya nantinya aku bisa membedakan antara yang
terhapus dan yang yang tak terpakai, antara yang berdasarkan sunnah dan yang
hanya berdasarkan bid’ah, dan setiap aku bertemu dengan ahli kebatinan maka
aku senang untuk meneliti sampai pada kepercayaan kebatinannya, dan juga ketika
berpapasan dengan ahli dzahir, akupun kepingin mengorek keberhasilan faham itu.
Demikian pula jika aku berjumpa dengan seorang ahli
filsafat niscara aku berkeinginan untuk mengetahui secara mendalam tentang
filsafatnya, begitu pula jika bertemu dengan seorang ahli Kalam (ahli ilmu
teologi) maka aku uji dan aku selidiki secara mendalam pada pokok-pokok
ajarannya serta berdebat dengannya. Dan apabila bertemu dengan seorang ahli
tasauf, maka aku telusuri inti dan berbagai rahasia tasaufnya. Apabila bertemu
dengan seorang ahli ibadah (Muta’abbid) niscara meneliti apa tujuan akhir dari
keberhasilan ibadahnya. Dan jika berjumpa dengan seorang zindiq yang atheis,
maka aku menelusup dibaliknya untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan
keberaniannya dalam kekafiran serta kezindikannya.
Menghadapi masalah-masalah seperti itu benar-benar
sudah merupakan kegemaranku sejak aku kecil, yaitu menyelidiki dan membuat
perbandingan guna menemukan berbagai hakikat. Dan hal itu sekaligus merupakan
bakat pembawaanku sebagai fitrah yang telah dianugerahkan Allah pada
perangaiku, dan bukannya hasil usaha dan jerih payahku sendiri. Sehingga pada
akhirnya tertukarlah segala ikatan taklid dan berantakanlah berbagai akidah
warisan yang ada padaku pada usiaku yang masih muda. Sebab saya telah melihat
bahwa anak-anak Kristen tidaklah hidup kecuali mengikut kekristenannya, dan
anak-anak Yahudi juga tidaklah hidup melainkan mengikuti ajaran Yahudinya,
demikian pula anak-anak Islam tidaklah tumbuh kecuali menganut ajaran Islam,
dan saya telah mendengar sebuah hadits yang diceritakan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dimana beliau bersabda :
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ.
فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَرَأَيْتَ لَوْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ
“اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
“Dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun
seorang musyrik.” Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana
pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab: “Allah lebih
tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.” (HR. Muslim)
Maka tergeraklah hatiku untuk memperoleh hakikat
fitrah yang asli itu dan hakikat kepercayaan-kepercayaan yang berada dari orang
tua dan para guru. Sedangkan membedakan antara berbagai taklid ini dan beberapa
permulaannya memerlukan beberapa bahan kajian dan dalam menentukan apa yang
benar dengan yang batil dari beberapa taklid itu terdapat beberapa perbedaan
dan perselisihan pikiran.
Oleh karena itu aku berkata kepada diriku sendiri :
“Pertama-tama sasaran yang aku cari adalah mengetahui tentang beberapa hakikat
perkara, sehingga aku harus mencari apa hakikat ilmu yang sebenarnya itu?
Kemudian berhasil aku temukan bahwa Ilmu Yakin-lah yang dapat menyibak perkara
yang sudah diketahui (ma’lum) yang sama sekali tidak meninggalkan keraguan,
tidak dibarengi dengan kemungkinan salah dan terlepas dari campuran khayalan
yang tidak dapat diterima oleh fikiran sehat. Dan hati tidak mampu
mengira-ngirakan hal itu, bahkan keamanan dari kekeliruan sudah seyogyanya bila
berbarengan dengan yakin dengan suatu perbandingan andaikata saha ada orang
yang berani menyatakan kesalahan—umpamanya saja—seorang telah berhasil merubah
batu menjadi emas dan tongkat menjadi seekor ular naga, niscaya hal itu semua
tidak menimbulkan sedikitpun keraguan serta ketidakpercayaanku.
Sebab aku sudah tahu bahwa sepuluh itu lebih banyak
dari pada tiga. Dan andaikan saja terdapat seseorang yang berkata, “Tidak,
tetapi tiga bilangan yang lebih banyak daripada sepuluh berdasarkan bukti bahwa
saya bisa merubah tongkat menjadi ular dan aku juga menyaksikannya, maka aku
tidak lalu menjadi ragu-ragu karena aku juga tidak menjadi kagum atas bagaimana
caranya dia memiliki kemampuan atas hal itu. Adapun keraguan terhadap apa yang
telah menjadi pengetahuanku maka itu tidak mungkin terjadi, sebab segala
sesuatu yang tidak aku ketahui dan tidak aku yakini dalam segi ini berarti dia
merupakan ilmu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan sekaligus tidak bisa
dijamin keamanannya, padahal setiap ilmu yang tidak bisa dijamin keamanannya
tidaklah bisa dikatakan Ilmu Yakin.
Pembicaraan tentang Aliran Pengajaran dan Berbagai
Bahayanya Setelah aku rampung mengkaji, mendapatkan, memahami ilmu filsafat dan
mengatakan palsu mana yang mesti perlu dikatakan palsu, tahulah aku bahwa semua
itu belumlah cukup mencapai sasaran secara sempurna, sebab akal secara sendirian
tidaklah akan mampu menguasai semua persoalan secara menyeluruh dan tidak mampu
menyingkap segala tabir kesulitan. Telah muncul kemasyhuran “Aliran Pengajaran”
dan telah tenar pula dikalangan manusia akan perlawanannya terhadap pengetahuan
tentang makna beberapa perkara ditinjau dari segi “Imam yang ma’shum” yang
berdiri pada garis kebenaran, sehingga aku tertarik untuk membahas makalahnya
untuk sekadar menilik catatan dan isi yang terkandung di dalam kitab-kitabnya.
Kemudian secara kebetulan aku mendapat perintah resmi
dari Yang Mulia Khalifah untuk mengarang sebuah kitab yang mengungkap tentang
aliran mereka, sehingga aku tidak kuasa lagi untuk menolak perintah Khalifah,
lalu hal itu menjadi suatu yang dianggap baik dari pihak luar batinku yang sesuai
dengan dorongan asli dari batinku. Aku mulai mencari kitab-kitab mereka lalu
kukumpulkan makalah mereka, dan sementara kata-kata mereka yang merupakan hasil
fikiran mereka telah sampai kepadaku di mana kata-kata itu melahirkan beberapa
kekhawatiran terhadap penduduk masa itu, sebab tidak menempuh cara-cara yang
telah dirintis oleh golongan pendahulu (Ulama Salaf).
Kemudian aku berhasil mengumpulkan kata-kata itu lalu
saya urutkan dengan cara yang sedemikian rupa apiknya dan masih dibarengi
dengan kecermatan dan ketelitian. Tak lama aku juga berhasil membikin sebuah
jawabannya sehingga sebagian “Ahli Haq” tidak mempercayai keterlaluanku dalam
menetapkan argumentasi kepada mereka dan katanya: “Ini merupakan suatu usaha
untuk mengalahkan mereka, sebab masih merasa tidak mampu untuk menolong aliran
mereka dalam menghadapi syubhat-syubhat ini, andaikan saja kecermatan serta
ketertiban anda terhadap hujjah (argumentasi) itu tidak ada. Pengingkaran ini
jika dipandang dari satu segi memang benar.
Ahmad bin Hambal telah mengecam Al-Harits Al-Muhasibi
terhadap kitab karangannya tentang bantahannya terhadap Golongan Mu’tazilah.
Harits berkata: “Membantah atas perkara bid’ah itu hukumnya fardhu”.
Lantas Ahmad bin Hambal menjawab: “Ya, tetapi anda harus kemukakan untuk
pertama kalinya kesyubhatan mereka, barulah kemudian anda menjawabnya sehingga
anda tidak merasa aman jika dia menelaah syubhat dari konteks jawaban anda itu
dengan memahaminya, dan tidak berpaling atau melihat kepada jawaban anda dan
tidak memahami hakikatnya”.
Apa yang telah disebutkan oleh Ahmad bin Hambal memang
merupakan sesuatu yang benar, akan tetapi kebenaran itu masih dalam kesyubhatan
yang belum tersebar dan terkenal di kalangan orang banyak. Apabila kesyubhatan
yang telah disebutkan tadi sudah tersebar secara umum, maka syubhat itu wajib
ditanggapi, dan tanggapan itu tidak mungkin dilontarkan keculi sesudah
dikemukakannya faktor apa yang menyebabkan kewajiban ditanggapinya syubhat.
Ya seyogyanya syubhat itu tidak dibebankan kepada
mereka di mana syubhat itu tidak mampu mereka pikul dan aku pun tidak akan
membebani hal itu, tetapi aku sendiri telah mendengar syubhat itu dari salah
seorang temanku yang tidak sependapat sesudah dia bertemu dengan mereka dan
menyelami aliran mereka. Lalu dia bercerita bahwa mereka sama mentertawakan
berbagai karangannya para pengarang yang membuat sanggahan atas mereka sebab katanya
mereka sama sekali tidak faham sesudah mereka melontarkan argumentasi; lalu dia
pun menceritakan dan menyebutkan argumentasi itu dari mereka, sehingga aku
tidak rela jika dia menganggapku sebagai orang yang teledor dari pokok
argumentasi mereka. Oleh karena itu aku menyebutkannya.
Di samping itu aku pun tidak rela apabila dia
menyangkaku tidak faham terhadap argumentasi itu kendati pun aku sudah
mendengarnya, oleh karena itulah sekalian aku tetapkan hujjah (argumentasi)
itu. Sedangkan maksud dan tujuanku ialah menjelaskan kepada mereka akan
kemungkinan yang paling jauh, kemudian baru aku tujukan kekeliruannya. Walhasil
tidak ada suatu keberhasilan pun bagi mereka ini dan juga tidak ada keunggulan
bagi omongan mereka. Andaipun tidak ada buruknya pertolongan seorang teman yang
bodoh, niscara bid’ah itu yang disertai dengan kelemahannya tiada akan sampai
kepada derajat ini. Akan tetapi karena hebatnya fanatismelah yang mendorong
argumentasi ini melenceng dari kebenaran menuju kepada memperpanjang
perselisihan dengan mereka di dalam mukaddimah-mukaddimah omongan mereka dan
untuk selalu mengingkari dan menentang setiap apa yang mereka ucapkan, sehingga
pada akhirnya mereka saling bantah satu sama lainnya tentang dakwaan mereka
yang membutuhkan kepada pengajaran dan kepada seorang guru dan dakwaan mereka
bahwa setiap guru haruslah terdiri dari guru yang ma’shum.
Argumentasi mereka nampak sekali dalam menampilkan
kebutuhan kepada pengajaan dan guru serta lemahnya sanggahan orang-orang yang
mengingkari dalam rangka menentangnya, sehingga dengan demikian ada sekelompok
orang yang sudah terbujuk lalu mereka mengira bahwa hal itu timbul karena
kuatnya aliran mereka dan lemahnya aliran orang yang menentangnya, sedangkan
mereka tidak memahami bahwa itu timbul karena lemahnya sanggahan kebenaran
serta ketidak-tahuannya tentang metoda menyanggah. Mestinya yang benar adalah
mengakui kebutuhan kepada seorang guru dan hal itu tidak bisa ditawar lagi, dan
hendaknya seorang guru itu seorang yang ma’shum, akan tetapi guru kita yang
ma’shum hanyalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka apabila mereka berkata: “Beliau telah mati”,
kita jawab saja: “Guru kalian sedang tidak ada”. Jika mereka berkata: “Guru
kita telah mengajar para da’i dan telah menyebar mereka di berbagai negeri dan
dia sedang menanti pemeriksaan terhadap mereka jika terjadi perselisihan atau
terjadi suatu kemusykilan yang sedang mereka alami”, maka kita jawab saja: “Guru
kita telah mengajar kepada para da’i dan menyebar mereka di berbagai negeri dan
dia telah berhasil menyempurnakan pengajarannya,” sebab Allah ta’ala telah
berfirman :
...الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ...
“...Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.…” (QS. Al-Maidah : 3).
Sesudah pengajaran itu dianggap sempurna, kematian
seorang guru tidak akan membawa dampak apa-apa seperti halnya kepergian atau
ketidak adaan guru tidak akan mengundang dampak apa-apa, sebab ucapannya masih
tetap ada. Setelah dihadapkan pada argumentasi seperti ini, mereka masih saja
berusaha mengemukakan sanggahan kepada kita: “Bagaimana mereka bisa
menetapkan hukum terhadap sesuatu di mana mereka tidak mendengarnya? Apakah
dengan nash, padahal mereka jelas tidak mendengarkannya langsung ataukah dengan
ijtihad dan pendapat (ra’yu) padahal hal itu masih merupakan sumbernya khilaf?”
Maka kita jawab saja: “Kita melakukan apa yang telah dilakukan oleh Muadz
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya pergi ke Yaman, atau
kita menetapkan hukum dengan dasar nash jika ternyata ada, dan dengan cara
ijtihad tatkala nash itu tidak ditemukan.”
Bahkan kita bisa memakai caranya beberapa da’i jika
mereka bertempat jauh dari pada Imam di pojok bumi sebelah timur, karena
nash-nash yang terbatas jumlahnya tidaklah mampu menjabarkan dan mengartikan
peristiwa-peristiwa yang tidak terbatas jumlahnya, di samping itu tidaklah
mungkin kembali ke negerinya Imam atau menempuh jarak yang sedemikian jauhnya
lalu kembali lagi membawa setiap masalah yang sedang terjadi, padahal orang
yang dimintai fatwa sudah mati, dan dengan demikian kita akan kembali dengan
tangan hampa.
Contoh lain yang perlu kita sodorkan adalah suatu
permasalahan: Jika ada seseorang yang kesulitan dalam menentukan arah kiblat,
maka tiada cara lain yang dia pakai kecuali dengan ijtihad. Sebab andaikata dia
pergi ke negerinya Imam untuk mengetahui arah kiblat, niscaya akan habislah
waktu shalatnya. Maka andaikata shalat dilakukan menghadap kepada selain
kiblat, berdasarkan atas “zhan” (sangkaan) dan katanya Ahli Ushul Fiqh: “Seorang
yang keliru dalam ijtihadnya, mendapatkan ganjaran satu, dan orang yang mengena
(benar) dalam ijtihadnya memperoleh dua ganjaran”, maka begitu pula dalam
semua bentuk ijtihad.
Demikian pula masalah memberikan zakat kepada seorang
fakir, barangkali dia akan menduganya sebagai orang fakir sungguhan berdasar
pada ijtihadnya, padahal sebenarnya dia merupakan seorang yang kaya dalam
batinnya dengan menyembunyikan hartanya. Oleh karena itu dia tidak akan disiksa
kendatipun dia bertindak keliru, sebab dia tidak akan dituntut kecuali memenuhi
persangkaannya.
Apabila dikatakan: “Persangkaan orang yang tidak
cocok dengannya sesuai dengan persangkaannya”, maka kita akan menjawab: “Dia
tetap diperintahkan mengikuti persangkaannya sendiri, kendatipun tidak sefaham
dengan orang lain”.
Permasalahan lagi; apabila ada seorang yang berkata: “Seorang
yang bertaklid kepada Abu Hanifah, Syafi’i atau lain-lainnya”, maka saya
akan mengatakan: “Orang yang bertaklid dalam masalah kiblat tatkala merasa
bimbang di mana para mujtahid saling tidak ada kecocokan, tindakan apa yang
akan dia perbuat? Dia hendaklah melakukan ijtihad untuk mengetahui mujtahid
mana yang lebih utama dan lebih tahu tentang petunjuk-petunjuk kiblat, sehingga
dia boleh mengikuti ijtihadnya, demikian pula dalam madzhab-madzhab yang lain,
sebab mengembalikan manusia kepada ijtihad merupakan suatu keharusan”.
Para Nabi dan para Imam yang masih disertai
kepandaiannya kadang-kadang masih saja keliru, bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri bersabda: “Saya menghukumi dengan yang lahir
saja, namun Allah jualah yang menguasai hati”. Artinya saya menghukumi
dengan persangkaan yang menang yang dihasilkan dari omongan yang nyata.
Dan terkadang mereka juga mengalami kesalahan sehingga
tidak ada cara lagi untuk menghindari dari kekeliruan itu bagi para Nabi
seperti dalam persoalan ijtihad ini. Dalam persoalan ijtihad ini, para mujtahid
mempunyai dua problem :
1.
Pendapat mereka
yang mengatakan bahwa ijtihad yang seperti di atas itu boleh, namun kalau
ijtihad itu terarah pada norma-norma akidah terang tidak boleh, sebab orang
yang melakukan kesalahan dalam ijtihad ini tidaklah mendapatkan kemaafan,
lantas perkembangan selanjutnya bagaimana cara mengatasinya. Saya
jawab : “Norma-norma akidah telah termuat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah,
sedangkan apa saja dari perkara yang berada di belakang itu yang terdiri dari
perinciannya serta masalah yang masih diperselisihkan itu bisa diketahui dengan
timbangan yaitu “Al-Qisthas Al-Mustaqim”, yaitu timbangan-timbangan yang telah
disebutkan oleh Allah ta’ala dalam Kitab-Nya, di mana perkara itu ada lima yang
telah saya sebutkan di dalam kitab “Al-Qisthas Al-Mustaqim”.
Andaikan ada yang berkata: “Lawan-lawan anda tidak
cocok dengan anda dalam timbangan itu”, maka langsung akan saya jawab:
“Tidak bisa digambarkan bagaimana cara memahami timbangan itu, kemudian bisa
tidak cocoknya dengannya, karena timbangan itu tidak akan ditentang oleh Ahli
pengajaran karena saya justru mengeluarkannya dari Al-Quran dan saya
mengajarkannya dari situ. Dan juga tidak akan ditentang oleh Ahli Mantiq
(logika) sebab dia telah sesuai dengan apa yang telah mereka syaratkan dalam
ilmu mantiq dan tidak bertentangannya dengannya. Di samping itu tidak akan
berselisih dengan Ahli Kalam sebab dia sesuai dengan apa yang telah mereka
sebutkan dalam dalil-dalil analisa, dan karenanya bisa diketahui suatu
kebenaran di dalam ketuhanan.”
Apabila ada seorang yang berkata: “Apabila anda
memiliki kekuasaan contoh pada timbangan ini, lantas kenapa anda tidak
menghilangkan khilaf di antara manusia?” Saya menjawab: “Andaikan mereka
mau mendengarkan secara seksama kepadaku niscara aku mau menghilangkan di
antara mereka, dan saya ingkatkan tentang caranya menghilangkan khilaf di dalam
kitab “Al-Qisthas Al-Mustaqim”, maka camkanlah agar anda tahu bahwa hal itu
merupakan perkara yang benar dan dapat menghilangkan khilaf secara pasti,
andaikan mereka mau mendengarkan dengan serius, padahal mereka seluruhnya
tidaklah mau mendengarkan dengan serius.”
Bahkan saya cenderung mengamati kepada salah satu
kelompok sehingga aku menghilangkan khilaf di antara mereka, sementara itu di
depan anda menghendaki tersirnanya suatu khilaf di antara mereka dengan tidak
disertai keseriusan mereka. Maka kenapa khilaf itu tidak terhapus sampai
sekarang, dan kenapa pula Ali radhiyallahu ‘anhu—padahal dia adalah seorang
pemimpinnya para imam—tidak menghilangkan khilaf atau dia mengakui sebagai
orang yang mampu membawa seluruh manusia untuk mendengarkan secara serius. Lalu
kenapa dia tidak mau membawa mereka sampai sekarang lalu sampai kapan masanya.
Adakah antara makhluk dikarenakan da’wahnya tiada
terjadi kecuali bertambahnya khilaf serta bertambahnya orang yang berselisih.
Ya memang demikian adanya, sebab yang dikhawatirkan dari timbulnya khilaf
adalah semacam kerusakan yang tidak akan berhenti sampai dengan mengalirkan
darah, menghancurkan negeri-negeri, membikin yatimnya anak-anak, mengadakan
aksi penghadangan di tengah-tengah jalan serta mengadakan penggarongan terhadap
benda lain. Dari barakahnya anda dapat menghilangkan khilaf, di dunia ini
terjadi sesuatu yang belum pernah anda alami.
2. Jika ada
seorang yang berkata: “Anda telah mengaku bisa menghilangkan khilaf yang
sedang melanda manusia, akan tetapi orang yang masih bingung tentang berbagai
madzhab (aliran) yang saling bertentangan dan beberapa perselisihan yang saling
berhadapan tidaklah harus mengundang keseriusan kepadamu apalagi musuhmu,
padahal anda memiliki beberapa musuh yang tidak seide dengan anda sehingga
akhirnya tiada lagi perbedaan lagi antara anda dan antara mereka.” Lantas
jawaban saya adalah: “Pertama-tama problema ini akan membalik kepada anda
sendiri.” Sebab jika anda mengundang orang yang ragu-ragu ini kepada anda
lantas orang ini bertanya: “Dengan apa anda bisa menjadi orang yang lebih
utama dari pada orang yang menentang anda, padahal kebanyakan ahli ilmu sama
tidak cocok lagi dengan anda maka alangkah mustahilnya, dengan apa anda
menjawab, apakah anda akan memberi jawaban dengan ucapan: “Di depanku terdapat
sesuatu yang telah di nash”. Kemudian kapan lagi dia akan membenarkanmu
dalam mengakui nash padahal dia tidak mendengar nash itu dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Dia hanya tidak mendengar pengakuanmu bersamaan dengan
kesepakatan ahli ilmu untuk mendustakanmu. Kemudian dia berusaha menyerahkan
nash kepadamu. Maka apabila dia masih ragu-ragu dalam asal-usul kenabian,
lantas dia berkata: “Di depan anda terpampang mu’jizatnya Isa”, maka dia
berkata: “Yang membuktikan atas kebenaranku adalah bahwa saya bisa
menghidupkan ayahmu”, sehingga ternyata dia bisa menghidupkannya, lalu
ayahmu itu bisa bicara kepadaku bahwa sayalah yang benar. Kemudian dengan
sarana apa aku mengetahui kebenarannya sedangkan semua manusia tidak mengetahui
kebenaran Isa dengan mu’jizat ini, bahkan dia masih menanggung berbagai
pertanyaan sulit yang belum bisa dipecahkan kecuali dengan cermatnya analisa
aqli, padahal analisa aqli tidaklah dapat dipertanggung jawabkan di depan anda,
di samping itu tidak bisa diketahui konotasi mu’jizat atas kebenarannya selagi
belum diketahui dulu hakikat sihir dan perbedaannya dengan mu’jizat dan selagi
belum diketahui bahwa Allah tidaklah menyesatkan hamba-hamba-Nya, sedangkan
pertanyaan penyesatan dan sulitnya jawaban tentang pertanyaan itu sudah
masyhur. Kemudian dengan apa semua itu bisa ditolak? Padahal di depan anda
tidak ada yang lebih utama untuk diikuti dari pada orang yang menentangnya
sehingga dia akan kembali kepada dalil analisa yang diingkarinya.
Dan penentangnya memaparkan contoh dalil itu dan lebih
jelas dari pada itu. Problema di atas ini mengundang revolusi besar-besaran
atas mereka andaikata orang-orang dahulu dan orang-orang yang akhir berkumpul
untuk mengadakan pembebasan dari pertanyaan (problema) tersebut sebagai suatu
jawaban niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, sebab kerusakan ini hanya
timbul dari kelompok lemah yang mendebat mereka, sehingga mereka tidak menyibukkan
dengan hatinya, tetapi dengan jawaban, padahal yang demikian itu termasuk
memperpanjang omongan dan tidak cepat memberi kefahaman sehingga tidaklah patut
untuk bisa mendiamkan dengan dalil-dalil.
Sekarang, jika seandainya ada seorang yang berkata: “Ini
adalah hati”. Lantas apakah hal itu sudah merupakan jawabannya. Kemudian
aku menjawabnya: “Ya, jawabannya adalah bahwa seorang yang ragu-ragu
berkata: “Saya bingung”, sedangkan dia tidak mau menjelaskan masalah
kebingungannya maka katakan saja kepadanya: “Anda seperti orang sakit yang
berkata: “Saya sakit”, tetapi tidak mau menyebutkan apa sakit yang
menimpanya lalu dia minta untuk diobati”. Oleh karena itu jalan satu-satunya
yang paling tepat adalah katakan saja kepadanya: “Tidak disediakan obat
untuk mengobati orang yang sakit secara mutlak, tetapi hanya disediakan obat
bagi orang yang terkena sakit tertentu, seperti kepala pening, mencret, dan
lain-lainnya”.
Begitu pula seyogyanya orang yang bingung hendaknya
menjelaskan apa yang menyebabkan kebingungannya. Sehingga apabila dia telah
menjelaskan masalah sebenarnya, maka masalah tersebut bisa diketahui
kebenarannya dengan timbangan yaitu “Al-Mawazin Al-Khams” (timbangan lima)—yang
tidak difahami oleh seseorang kecuali orang itu mengakui bahwa timbangan itu
merupakan timbangan yang benar yang bisa dipercaya setiap apa yang ditimbang di
situ, sehingga dia memahami timbangan itu, dari situ pula dia akan bisa
memahami kebenaran timbangan itu, seperti halnya seorang yang belajar ilmu
hitung akan bisa memahami hakikat ilmu hitung itu sendiri dan keadaan ahli
hitung yang mengajar itu pandai berhitung dan jujur kepadanya. Hal itu telah
aku jelaskan di dalam kitab “Al-Qisthas” di dalam ukuran dua puluh halaman,
maka sebaiknya camkanlah.
Maksudku sekarang tidaklah menjelaskan rusaknya aliran
mereka, sebab hal itu telah aku sebutkan di dalam kitab: “Al-Mustazhiri”
“Hujjatul Haq”, di mana kitab ini merupakan sanggahan yang diajukan kepadaku
ketika sedang berada di Baghdad. “Mufashshilul Khilaf” yang berisi dua belas
fasal yang merupakan sanggahan yang dilontarkan kepadaku sewaktu berada di
Hamadan. “Ad-Darjud Marqum bil Jadawil”, di mana kitab ini memuat sebagian
omongan mereka yang lemah. Konon omongan ini disodorkan kepadaku sewaktu berada
di Thus.
“Al-Qisthas”, di mana kitab ini merupakan kitab
tersendiri yang maksudnya adalah menjelaskan neracanya berbagai ilmu dan
ketidakbutuhan kepada imam bagi orang yang sudah mampu terhadap ilmu itu
sendiri. Bahkan maksud utama adalah menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki
sedikitpun obat yang dapat menyelamatkan dari berbagai kegelapan pendapat dan
pandangan, dan justru disertai kelemahan mereka dalam memasang dalil untuk
mendapatkan imam tertentu.
Sebenarnya telah lama apa yang telah kami
eksperimenkan kepada mereka akan kebutuhannya kepada pengajaran dan kepada
seorang guru yang ma’shum sehingga kami membenarkan kepada mereka akan hal itu,
dan bahwasanya hal itulah yang telah mereka tetapkan dan telah mereka nyatakan.
Kemudian kami bertanya kepada mereka tentang ilmu yang mereka pelajari dari
seorang guru yang ma’shum ini, lalu kami sodorkan kepada mereka akan berbagai
masalah yang sulit. Ternyata mereka tidak bisa memahaminya, apalagi berusaha
untuk memecahkannya. Maka tatkala mereka sudah tidak mampu, mereka usaha
mencari imam yang telah pergi (ghaib) dan mereka berkata: “Kami harus
berusaha mencarinya”, sedangkan yang selalu menjadi keheranan saya adalah:
kenapa mereka menyia-nyiakan umur mereka hanya sekadar mencari seorang guru dan
berhasil mendapatkannya, sedangkan mereka sama sekali tidak belajar ilmu
darinya seperti orang terlumuri najis di mana dia dengan susah payah mencari
air, hingga tatkala dia telah mendapatkannya maka dia tidak mau memakainya dan
dibiarkan dirinya masih terlumuri najis.
Di antara mereka ada seorang yang mengaku telah
terbasil memiliki sesuatu ilmu mereka. Padahal apa yang dia sebutkan hanya
sekelumit ilmu filsafatnya. Phithagoras (seorang filosof Yunani kuno) dan
alirannya merupakan aliran filsafat yang paling lemah. Telah diturunkan dan
disebutkan bahwa Aristoteles telah menganggap lemah dan menganggap rendah
omongannya, dan dialah yang telah bercerita di dalam kitab “Ikhwan ash-Shafa”
padahal kitab Ikhwan ash-Shafa merupakan kitab penting bagi ilmu filsafat.
Yang mengherankan bagi orang yang telah susah payah
menghabiskan umur dalam meraih ilmu kemudian dia hanya puas terhadap ilmu yang
sekecil itu dan dia menyangka bahwa dia telah berhasil meraih maksud-maksud
ilmu yang paling final. Mereka ini, juga kamu uji dan telah kami ukur serta
kami periksa lahirnya maupun hatinya, sehingga akhirnya kembalilah pada
kesimpulan bahwa ternyata mereka akan hanya memperdayakan serta menjerumuskan
orang-orang yang masih awam dan lemah-lemah akalnya, terbukti dengan masih
butuhnya mereka kepada seorang guru dan mendebat mereka dalam keingkaran mereka
yang membutuhkan kepada pengajaran dengan omongan yang kuat dan sulit dibantah,
sehingga tatkala ada seorang yang membantu mereka atas kebutuhannya kepada
seorang guru dan pembantu itu berkata: “Berikanlah kepada kami ilmu sang
guru itu dan kami akan mendapatkan faidah dari pengajarannya”, maka dia
hanya diam saja. Kemudian dia berkata” “Sekarang jika anda menyerahkan
masalah ini kepadaku, maka carilah ia, sebab penyodoranku hanyalah sekadar ini
saja”.
Sebab sudah diketahui andaikata lebih atas hal itu
niscaya terbongkarlah skandalnya dan niscaya dia akan tidak mampu memecahkan
berbagai kemusykilan yang paling rendah sekalipun, bahkan dia tidak mampu
memahaminya, apalagi menjawabnya. Demikianlah ini kondisi mereka yang
sebenarnya. Oleh karena itu berilah khabar tentang mereka. Maka tatkala kami
mengkhabarkan mereka maka kami melepaskan tanggung jawab dari mereka juga.
Golongan-golongan Ahli Filsafat dan Tanda Kekufuran
yang Mempengaruhi Mereka Perlu anda ketahui bahwa mereka, berdasarkan atas
banyaknya kelompok dan perbedaan aliran, terbagi menjadi tiga kelompok :
1. Kelompok Dahriyyun (skeptik).
2. Kelompok Thabi’iyyun (kealaman).
3. Kelompok Ilahiyyun (ketuhanan).
Kelompok Dahriyyun (Skeptik): Adalah suatu kelompok dari para filosof yang terdahulu di mana mereka
tidak percaya terhadap adanya Sang Pencipta Yang Mengatur alam ini dan Yang
Maha Kuasa. Mereka mempunyai dugaan kuat bahwa alam ini senantiasa telah ada
sejak dahulu seperti ini, tidak ada yang menciptakannya. Mereka juga
beranggapan bahwa hewan itu selalu tercipta dari air sperma, sedangkan sperma
itu berasal dari hewan, begitulah proses sudah dan akan terciptanya hewan untuk
selama-lamanya. Mereka ini adalah kelompok zindiq (skeptik atau atheis).
Kelompok Thabi’iyyun (Kealaman): Adalah suatu golongan filosof yang banyak menaruh perhatian kepada alam
natural dan banyak mengadakan penyelidikan tentang berbagai keajaiban hewan
serta tumbuh-tumbuhan. Mereka banyak menyelami (dalam) ilmu urai terhadap
anggota hewan sehingga di situ mereka melihat sebagian dari keajaiban ciptaan
Allah ta’ala dan keindahan hikmah-Nya sehingga terpaksa mereka bersama-sama
dengan ilmu itu mengakui Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana dan Yang
Mengetahui segala puncaknya beberapa perkara dan beberapa maksudnya.
Tidak seorangpun yang mau menelaah anatomi (ilmu urai)
dan berbagai keajaiban manfaat anggota hewan melainkan dia berhasil memperoleh
ilmu dharuri ini dengan gambaran yang sempurna bagi susunan tubuh hewan,
lebih-lebih susunan tubuh manusia, hanya saja golongan filsafat ini karena
saking banyaknya mengadakan penyelidikan terhadap tabiat maka nampaklah
pengaruh yang amat besar—karena sederhananya temperamen—pada sikap kekuatan
hewan, sehingga mereka menduga bahwa kekuatan (daya) berfikir dari manusia itu
ikut kepada temperamennya juga.
Mereka juga menduga bahwa daya berfikir itu bisa rusak
karena rusaknya temperamen manusia itu sendiri, lantas manusia itu akan musnah.
Kemudian bila manusia itu telah musnah tentu tidak mungkin mengembalikan
sesuatu yang telah musnah itu diterima oleh rasio. Oleh karena itu mereka
berpendapat: apabila jiwa telah mati maka dia tidak mungkin kembali, sehingga
pada akhirnya mereka tidak percaya adanya akhirat dan sama mengingkari surga,
neraka, kiamat dan hisab. Maka mereka berpendapat: kendatipun seseorang itu
berkelakuan baik dan selalu berbuat taat namun dia tidak akan menerima ganjaran
dan bagi orang yang berbuat durhaka nantinya pun tidak akan mendapat siksaan.
Dengan dasar pemikiran yang seperti ini maka
terlepaslah tali kekang hewani sehingga mereka mengumbar nafsu seks mereka
seperti halnya binatang. Dan mereka ini tergolong orang-orang zindiq, sebab
pangkal dari pada iman adalah iman kepada Allah dan Hari Akhir, sedangkan
mereka ini jelas tidak mengakui adanya Hari Akhir, kendatipun mereka beriman
kepada Allah beserta segala sifat-sifat-Nya.
Kelompok Ilahiyyun (Ketuhanan): Adalah golongan filosof yang percaya kepada Tuhan, mereka datang
belakangan. Di antara kelompok filosof ini terdapat Socrates gurunya Plato dan
Plato adalah gurunya Aristoteles. Aristoteles inilah yang berhasil menyusun
Ilmu Mantik (logika) dan yang telah merangkum ilmu ini sehingga menjadi suguhan
yang matang dan dia pulalah yang telah berhasil memperjelas ilmu-ilmu ini yang
belum gamblang. Kelompok Ilahiyyun ini pada garis besarnya membantah dua
kelompok pertama yaitu Kelompok Dahriyyun (Skeptis) dan Kelompok Thabi’iyyun
(Naturalis). Mereka membuka tabir kekeliruan serta berbagai cacat yang telah
ditempuh oleh para filosof terdahulu, hingga orang-orang bisa mengetahui dan
membedakan mana-mana yang baik dan mana-mana yang buruk. Allah ta’ala berfirman
:
.... وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ ۚ....
“...Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min dari
peperangan”... (QS. Al-Ahzab: 25).
Selanjutnya Aristoteles membuat sanggahan terhadap
Plato dan Socrates serta filosof-filosof sebelumnya dari Kelompok Ilahiyyun
dengan sanggahan yang tidak hanya dibuat-buat sehingga dia membebaskan diri
dari mereka, hanya saja dia masih memiliki beberapa sisa kehinaan kekufuran dan
bid’ah mereka yang tak perlu diikuti, malah sudah sewajibnya untuk mengkafirkan
mereka dan mengkafirkan para pengikut mereka dari para filosof Islam seperti
Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain-lainnya; sebab dalam memindah ilmunya Aristoteles
tiada seorang ahli filsafat Islam yang melakukan usaha seperti kedua orang ini.
Dan apa yang dipetik oleh selain dua orang ini sudah tidak luput dari
kekurangan dan kesimpang-siuran yang bisa mengganggu hatinya seorang yang
mengadakan penelaahan sehingga tidak bisa difahami dan sesuatu yang tidak bisa
difahami bagaimana caranya untuk bisa disanggah atau diterima.
Secara garis besar menurut pengamatan kami dari
filsafatnya Aristoteles mengingat pada petikan kedua orang ini, terbatas pada
tiga bagian: Satu bagian wajib dikafirkan. Satu bagian wajib dibid’ahkan.
Bagian yang terakhir tidak wajib diingkari sama sekali. Cobalah kita kupas dan
kita perinci bersama-sama. Pembicaraan tentang Golongan Sophistik dan Golongan
yang Mengingkari Terhadap Segala Ilmu Kemudian aku periksa ilmuku ternyata aku
mendapatkan diriku masih dalam keadaan kosong sama sekali belum terisi oleh
ilmu yang memiliki ciri-ciri seperti ini kecuali berbagai ilmu yang terdapat di
dalam beberapa indra dan berbagai ilmu dharuri (necessary).
Kemudian sekarang aku berkata sesudah mengalami
keputusasaan: “Tiada lagi ambisi untuk memetik kemusykilan kecuali dari
perkara-perkara yang sudah kelas yaitu ilmu-ilmu indrawi dan dharuri sehingga
mau tidak mau harus menentukan hukumnya atau bahkan tidak perlu. Akan aku
jelaskan bahwa kepercayaan diriku terhadap ilmu-ilmu indrawi dan ilmu-ilmu
dharuri merupakan bagian dari jenis keamananku yang sudah menjadi milikku
sebelumnya dalam berbagai ilmu taklid, dan merupakan bagian dari jenis keamanan
makhluk dalam berbagai ilmu analisa ataukan dia merupakan keamanan yang pasti
yang tidak perlu diberi alasan serta tidak memiliki titik optimal.
Aku tetap menghadapi dengan amat sungguh-sungguh, saya
mengangan-angan dalam ilmu-ilmu mahsus (yang dapat diindra) dan ilmu-ilmu
dharuri. Kemudian saya menganalisa apakah aku masih berkemungkinan untuk
meragukan diriku sendiri dalam ilmu-ilmu itu? Sehingga akhirnya rampunglah
lamanya keaguan diri sampai kepada ketidakmauan diriku untuk menyerahkan
keamanan di dalam ilmu-ilmu indrawi. Mulailah keragu-raguan itu meluas lagi
sehingga timbullah gagasan pertanyaan: “Dari manakah kepercayaan diri dengan
ilmu-ilmu mahsus (indrawi) padahal yang paling kuat adalah indra mata di mana
dia dapat dipakai untuk memandang kepada bayang-bayang sehingga anda dengan
jelas bisa melihatnya dalam keadaan berdiri tidak bergerak lalu anda bisa
menentukan hukumnya bahwa bayang-bayang itu tidak bergerak. Kemudian setelah
melalui eksperimen (percobaan) dan kesaksian sebentar anda baru tahu bahwa bayang-bayang
itu bergerak dan kadang-kadang juga tidak bergerak secara tiba-tiba dan secara
mendadak tetapi dia bergerak secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga anda
tidak lagi merasakannya. Lantas coba lihatlah bintang gemintangnya niscaya anda
akan melihatnya sebagai benda yang kecil sama besarnya dengan uang logam dinar,
kemudian setelah melalui bukti-bukti Ilmu Bangun (Geometri) ternyata bintang
itu lebih besar dari pada bumi dalam ukurannya.
Demikian ini dan yang semisal dengannya dari ilmu-ilmu
yang bisa diinra itu yang menentukan hukumnya adalah hakim indra, akan tetapi
dia tidak diakui oleh hakim akal (rasio) dan dibohongkannya di mana dia tidak
mampu untuk melawannya. Kemudian aku berpendapat: “Telah batallah kepercayaan
diri terhadap ilmu-ilmu indrawi, maka barangkali tidak terdapat yang dipercaya
lagi kecuali dengan beberapa ilmu akal (rasio) yang merupakan rumus-rumus
permulaan yang pernah diutarakan seperti ucapan bahwa sepuluh itu lebih banyak
dari pada tiga. Nafi (tidak ada) dan itsbat (ada) itu tidak bisa kumpul dalam
satu perkara, sedangkan perkara satu itu pasti tidak mungkin berupa sesuatu
yang baru sekaligus sebagai suatu yang qadim (dahulu), ada sekaligus tidak ada
dan wajib sekaligus muhal.
Ilmu mahsus (indrawi) berkata: “Sebab apa anda merasa
aman bila mempercayakan diri anda terhadap ilmu-ilmu aqli (rasional)
sebagaimana kepercayaan anda terhadap ilmu-ilmu indrawi padahal dahulunya anda
percaya kepadaku lantas datanglah hakim rasio lalu dia mendustakanku, dan
andaikan saja tidak ada hakim rasio niscaya anda akan terus membetulkan aku,
maka barangkali di balik pengetahuan rasio terdapat hakim lain yang apabila
kelihatan dengan jelas tentu dia akan mendustakan rasio dalam keputusannya
seperti halnya muncul hakim rasio yang telah mendustakan dan menyalahkan
keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim indra.
Adapun ketidak munculan hakim lain itu bukanlah
berarti ketidakadaannya. Untuk menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan yang
pelik di atas maka jiwaku diam sejenak. Saya kukuhkan kesulitannya di dalam
tidurku lalu diriku berkata: “Cobalah anda berfikir, di dalam tidur anda
percaya terhadap berbagai perkara (impian) lalu anda dapat membayangkan dan
mengkhayalkan berbagai hal dan anda tanpa ragu-ragu percaya dan mantap kepada
apa saja yang telah anda lihat dalam tidur, kemudian anda bangun sehingga anda
tahu bahwa semua khayalan dan keyakinan anda sama sekali tidak memiliki dasar
dan kekuasaan, lantas dengan alasan apa anda merasa aman jika semua apa yang
anda yakini di dalam keadaan terjaga yang telah diproses oleh indra atau akal
itu benar dengan hanya menyandarkan kepada keadaan anda? Tetapi mungkin saja
akan datang suatu keadaan yang memiliki ciri sama dengan keadaan jaga anda
seperti halnya kesamaan ciri jaga anda terhadap tidur anda dan jadilah jaga
anda merupakan tidur anda dengan menyandarkan nisbat tersebut.
Maka apabila anda telah benar-benar mendatangkan
keadaan itu niscaya anda menjadi yakin bahwa segala apa yang anda fahamkan
(fikir dengan tidak jelas) dengan rasio anda hanyalah merupakan
khayalan-khayalan yang tidak mempunyai buah, atau barangkali keadaan itulah
merupakan sesuatu yang diakui oleh kelompok tasawuf sebagai keadaan mereka
sebenarnya sebab mereka menduga kuat bahwa mereka bisa mengadakan musyahadah
terhadap keadaan mereka sendiri yang apabila mereka telah menyelami diri mereka
sendiri serta telah terlepas dari pancaindra mereka, maka mereka akan menemui
berbagai keadaan yang sesuai lagi dengan perkara-perkara yang tidak rasional
lagi, dan barangkali keadaan yang seperti itu yang dinamakan maut (kematian),
sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Manusia
itu tidur, maka apabila mereka sudah mati sadarlah mereka”.
Maka boleh jadi kehidupan dunia merupakan tidur, jika
dihubungkan dengan akhirat. Sebab tatkala seseorang telah mati maka tampaklah
berbagai perkara yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah disaksikan oleh
seseorang di waktu sekarang ini, dan dalam kesempatan itu perlu disampaikan
firman Allah ta’ala :
لَّقَدْ كُنتَ فِي غَفْلَةٍ
مِّنْ هَـٰذَا فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
“Sesungguhnya
kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu
tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaaf :
22)
Maka terbetik berbagai bahaya yang telah menghunjam di
dalam hati maka aku berusaha mengobati bahaya itu, namun ternyata tidaklah
mudah sebab tidak mungkin menyerang dan mengusirnya kecuali dengan dalil, dan
tidak mungkin memasang dalil kecuali dengan memiliki dasar-dasar ilmu yang
teratur, maka apabila aku tidak dapat mengajukan dalil-dalil tersebut niscaya
aku tidaklah mungkin bisa menjelaskan dalil-dalilnya secara nyata.
Penyakit itu menggerogoti dan bertahta di dalam hatiku
selama dua bulan di mana dalam waktu dua bulan itu aku terombang-ambing di
dalam madzhab/ aliran “Sophistik” yang hanya bisa menentukan langkah tindakan
saja, tak bisa menentukan langkah logika serta ucapan. Kemudian sesudah itu
Allah memberi kesembuhan kepadaku dari penyakit itu dan kembalilah hatiku sehat
dan normal seperti sediakala.
Kepastian-kepastian aqli bisa diterima kembali dan
bisa diakui kredibilitasnya. Datangnya kembali keyakinan itu tidaklah dengan
cara penyusunan pembuktian atau mengemukakan berbagai dalil yang tersusun rapi
dan apik akan tetapi berkat cahaya Allah yang telah Allah letakkan di dalam
dadaku. Cahaya itu sendiri merupakan kuncinya kebanyakan orang yang telah
memiliki ilmu ma’rifat. Barang siapa yang menduga bahwa “Kasyaf” itu hanya
terbatas pada dalil-dalil belaka, berarti orang ini telah menyempitkan arti
rahmat Allah yang amat luas itu.
Ketika suatu tempo Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya tentang kata “Asy-Syarh” beserta maknanya di dalam
firman Allah ta’ala :
فَمَن يُرِدِ اللَّهُ
أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ...
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam...
” (QS. Al-An’am: 125).
Maka beliau menjawab: “Itulah suatu cahaya yang
telah Allah ta’ala curahkan di dalam hati”. Kemudian beliau ditanya lagi: “Apa
tanda-tandanya”, beliau menjawab: “… menghindari dari negeri tipuan
(dunia) dan kembali menuju kepada negeri kekal (akhirat)”.
Berkenaan dengan masalah cahaya ini Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk ini
dalam kegelapan, kemudian Dia memerciki mereka dengan cahaya-Nya”.
Dari cahaya itu seyogyanya seseorang mencari
“Al-Kasyf”, sebab cahaya itu tersemburat dari kemurahan Ilahi pada sementara
waktu. Untuk mendapatkan itu seseorang haruslah mengincar terus terhadap cahaya
itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam : “Sesungguhnya Tuhanmu di dalam perjalanan hidupmu memiliki
beberapa pemberian, maka hendaknya anda ingat dan tunggulah kesempatan itu”.
Maksud dan tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah agar
seseorang beramal dengan penuh kesungguhan dalam mencari pemberian tadi,
sehingga benar-benar sampai kepada pencarian sesuatu yang tidak dicari lagi.
Sebab ilmu-ilmu dasar (awwaliyyat) tidaklah perlu dicari karena dia merupakan
ilmu yang hadir (kelihatan) dan sesuatu yang hadir itu apabila dicari maka dia
akan hilang dan tersembunyi, dan barang siapa yang mencari sesuatu yang tidak
dicari maka dia tidak akan dituduh berbuat seenaknya dalam mencari sesuatu yang
tidak dicari tersebut.
Hakikat Kenabian Perlu kiranya anda ketahui bahwa
elemen manusia menurut asal fitrahnya memang diciptakan dalam keadaan kosong
bersahaja (lugu) artinya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang
beberapa alamnya Allah ta’ala. Alam yang telah diciptakan Allah amatlah banyak
di mana tiada yang dapat dihitung kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala
seperti firman-Nya yang telah muncul dalam Al-Quran :
... وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ ۚ...
“...Tiadalah yang dapat mengetahui balatentara
Tuhanmu, melainkan Dia sendiri...” (QS. Al-Mudatstsir:
31).
Untuk mengetahui alam diperlukan perantara dan
perangkat intelijensi dan setiap intelijensi diciptakan untuk manusia guna
mengetahui alam yang terpampang di depan kita. Dan yang kami maksudkan dengan
alam di sini adalah berbagai jenis perwujudan yang ada di sekitar kita.
Permulaan sekali yang Allah ciptakan dalam diri manusia adalah indera peraba,
sehingga dengan indera ini manusia dapat mengetahui berbagai jenis perkara yang
terdapat di sekitar kita seperti panas, dingin, basah, kering, halus, kasar,
dan lain-lainnya. Indera peraba hanya terbatas pada hal-hal itu saja dan tidak
mampu menjangkau terhadap berbagai warna dan suara, bahkan seolah-olah warna
dan suara itu baiknya tidak ada saja menurut indera peraba.
Kemudian setelah itu Allah menciptakan indera penglihat,
sehingga dengan bantuan indera ini orang bisa mengetahui warna-warna dan
beberapa bentuk. Indera ini memang lebih luas jangkauannya dari pada peraba.
Sesudah itu Allah menitahkan indera pendengar, sehingga berkat indera ini orang
lantas bisa mendengar berbagai suara dan beberapa bunyi-bunyian.
Kemudian sesudah itu pula Allah menciptakan indera
perasa, dan berkat indera ini manusia bisa merasakan manis, pahit, kecut, getir
dan lain sebagainya, sampai manusia benar-benar telah melewati batas alam inderawi.
Kemudian proses selanjutnya Allah menciptakan manusia
sebagai menyandang predikat “tamyiz” yaitu masa sekitar umur tujuh tahun yang
merupakan periode lain dari pada sekian periode keberadaannya di dunia ini.
Dalam periode ini manusia bisa mengetahui perkara-perkara yang melebihi apa
yang pernah dia kenal di dalam alam inderawi, di mana dia belum pernah menemui
sesuatupun di dalam alam itu.
Sesudah itu manusia beranjak naik kepada periode lain,
sehingga pada akhirnya Allah menciptakan bagi manusia itu sebuah akal. Dengan
akal inilah manusia lantas bisa mengetahui berbagai perkara wajib, beberapa
perkara jaiz dan perkara-perkara yang mustahil serta langkah-langkah yang belum
pernah dia temui pada periode-periode sebelumnya. Di belakang akal ini terdapat
lagi periode lain yang di dalamnya tersingkat mata (penglihatan) lain yang
dapat melihat perkara yang ghaib dan apa saja yang akan terjadi mendatang dan
masih ditambah lagi perkara-perkara lain di mana akal tidak ikut campur dan
terpisah darinya seperti tersingkirnya kekuatan tamyiz dari mengetahui
perkara-perkara yang masuk akal, dan juga seperti tersingkirnya kekuatan
perasaan dari mengetahui artian tamyiz.
Sebagaimana sebuah contoh andaikata seorang yang
tamyiz disodori berbagai pengertian yang masuk akal, niscaya dia akan
menolaknya dan menjauhinya, demikian pula sebagian orang-orang berakal tentu
akan enggan dan tidak mau menerima pengertian-pengertian kenabian serta
menjauhinya. Dan tindakan yang seperti ini merupakan intinya kebodohan, sebab
mereka sama sekali tidak merupakan intinya kebodohan, sebab mereka sama sekali
tidak memiliki sandaran dan pancatan kecuali keengganannya itu hanya merupakan
suatu periode dan tahapan yang belum bisa dia capai dan belum ditemukan di
dalam dirinya, sehingga dia mempunyai dugaan bahwa hal itu tidak maujud (ada)
di dalam dirinya.
Seorang yang buta sejak lahir, andaikan dia belum
mengetahui beberapa warna dan bentuk lewat omongan orang-orang banyak ataupun
lewat mendengarkan lalu dia diberitahu tentang hal itu untuk pertama kalinya,
maka dia tidak akan memahaminya dan tidak akan mengaku kebenarannya. Allah
ta’ala telah memberi karunia kepada manusia dengan memberi kepada mereka akan
beberapa contoh dari khasiatnya kenabian yaitu tidur, sebab orang yang tidur
bisa mengetahui apa yang bakal terjadi dari perkara ghaib dengan secara jelas
atau masih dalam bentuk-bentuk perumpamaan (perlambang) di mana dia dapat
tersingkap dengan cara dijabarkan serta ditafsiri, demikian ini bila dia tidak
mampu untuk menjabarkannya sendiri. Dan ada orang yang berpendapat: “Seseorang
yang jatuh pingsan tidak sadarkan diri seperti orang yang sudah mati dan sudah
hilang perasaannya, pendengarannya dan penglihatannya, dia menjadi tahu perkara
yang ghaib dan tidak mengingkarinya”, lalu dia berkata: “Kekuatan perasaan
merupakan penyebab idrak (bisa mengetahui).
Oleh karena itu barang siapa yang tidak bisa
mengetahui berbagai perkara padahal perkara itu terdapat di sekitarnya dan
hadir di sisinya maka dia tidak dapat mengetahui sesuatu itu dalam keadaan
tidur lebih dikatakan masuk akal dan lebih utama serta lebih benar. Ini
merupakan suatu bentuk qiyas (analogi) yang bisa didustakan oleh wujud dan musyahadah.
Seperti halnya akal merupakan suatu kadar dan ukuran manusia yang di situ
terdapat mata yang bisa dipakai untuk melihat berbagai macam benda yang bisa
diterima akal di mana indera tersisih darinya, maka kenabian juga merupakan
suatu gambaran dari kadar dan ukuran yang di sana terdapat mata yang memiliki
cahaya yang dalam cahayanya itu nampaklah keghaiban beserta perkara-perkara
yang tidak bisa lagi diketahui oleh akal.
Ragu-ragu terhadap kenabian adakalanya terjadi karena:
Kemungkinan kenabian pada umumnya. Kewujudannya dan terjadinya, atau
Keberhasilannya bagi orang tertentu. Tentang bukti kemungkinannya ialah
wujudnya kenabian itu sendiri, dan dalil kewujudannya ialah wujudnya ilmu
pengetahuan tentang alam di mana sudah tak mungkin lagi bisa digambarkan oleh
akal bagaimana caranya ilmu pengetahuan itu bisa diraih dan dicapai, seperti
ilmu kedokteran dan ilmu bintang. Sebab orang yang menyelidiki dan membahas
kedua cabang ilmu ini, dia akan tahu dengan sendirinya tanpa difikir bahwa
kedua ilmu ini tidak bisa diketahui melainkan dengan ilham ilahi serta
pertolongan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada cara yang
bisa ditempuh dengan eksperimen.
Di antara hukum ilmu bintang terdapat sesuatu yang
tidak bakal terjadi kecuali sesudah setiap seribu tahun sekali, lantas
bagaimana caranya hal itu bisa diraih dan dicapai hanya sekadar dengan
eksperimen (percobaan)? Demikian pula dengan khasiat-khasiatnya obat-obatan.
Dengan bukti ini menjadi jelaslah bahwa di dalam “kemungkinan kenabian”,
terdapat cara untuk mengetahui perkara-perkara ini yang tak bisa ditangkap oleh
akal, dan inilah yang dimaksudkan dengan nubuwwah (kenabian) karena nubuwwah
merupakan suatu ibarat daripada perkara-perkara tersebut saja, bahkan
mengetahui jenis yang keluar dari penemuan akal merupakan salah satu khasiat
kenabian, di samping itu masih banyak khasiat lainnya.
Sedangkan apa yang sudah kami sebutkan hanya merupakan
satu tetes air di dalam lautan kenabian yang amatlah luas, di mana kami
menyebutkannya karena anda memiliki contoh darinya yaitu penemuan-penemuan anda
di dalam tidur, dan di samping itu anda juga memiliki berbagai ilmu yang
sejenis dengannya yakni yang terdapat di dalam ilmu kedokteran dan ilmu
bintang. Dan ilmu-ilmu inilah merupakan mu’jizatnya para nabi dan tidak akan
bisa diraih dan dicapai oleh orang-orang yang hanya mengandalkan akalnya saja.
Adapun khasiat-khasiat kenabian lainnya, hanya bisa
diketahui dengan dzauq (cita rasa) dari salah satu ajaran kaum sufi yakni
“suluk”, sebab ini hanya bisa anda fahami dengan suatu contoh yang telah
dikaruniakan kepada anda yaitu tidur, dan andaikan saja tidak ada tidur niscaya
anda akan bisa membenarkannya. Apabila seorang nabi memiliki suatu khasiat di
mana anda tidak memiliki contoh (padanan) sehingga anda tidak bisa memahami
sama sekali, lantas bagaimana anda bisa membenarkannya. Padahal pembenaran itu
bisa dilakukan setelah anda bisa memahaminya secara gamblang.
Contoh seperti itu bisa anda dapatkan dalam
permulaan-permulaan tarekat tasawwuf sehingga anda bisa memperoleh suatu bentuk
cita rasa dengan ukuran yang telah ditetapkan, dan suatu bentuk pembenaran yang
tidak bisa anda peroleh lewat jalan qiyas. Khasiat yang hanya satu ini yang
sudah cukup sebagai dasar untuk mempercayai pokok kenabian. Apabila di dalam
hati anda terbetik keraguan terhadap orang tertentu, apakah dia benar-benar
seorang nabi atau tidak? Maka anda tidak akan menjadi yakin kecuali setelah
anda mengetahui keadaan orang tersebut yang adakalanya dengan musyahadah,
khabar yang sudah tersebar luas atau dengan sekedar dengan-dengar saja. Sebab
bila anda telah mengenai ilmu kedokteran dan ilmu fikih, maka bisa saja anda
mengetahui ahli-ahli fikih dan beberapa dokter dengan hanya menyaksikan tingkah
laku mereka dan ucapan-ucapan mereka kendatipun anda tidak mengetahui sendiri
dengan mata kepala.
Anda juga tidak akan tak berdaya untuk mengetahui
keadaan Imam Syafi’i rahimahullah sebagai seorang yang ahli dalam ilmu
fikih, dan posisinya Jalinus sebagai seorang ahli dokter terkenal dengan
kenyataan sebenarnya bukan hanya sekadar ikut-ikutan terhadap orang lain, yakni
dengan cara anda mempelajari sedikit dari ilmu fikih dan ilmu kedokteran serta
menelaah buku-buku kedua orang tadi beserta karangan-karangannya, sehingga anda
mengetahuinya dan mendapatkannya secara otomatis tentang keadaan mereka berdua.
Demikian pula halnya jika anda memahami benar tentang
arti kenabian, lantas anda banyak mengadakan penelitian dalam Al-Quran dan
beberapa hadits, niscaya anda akan mendapat pengetahuan secara otomatis bahwa
kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berada pada puncak
derajat kenabian yang paling tinggi, dan yang paling kuat. Hal itu bisa
dibuktikan dengan apa yang beliau ucapkan dalam beberapa ibadahnya dan
pengaruhnya di dalam menjernihkan hati. Bagaimana beliau jujur dalam sabdanya :
من عمل بما علم ورثه
الله تعالى علم ما لم يعمل) رواه أبو نعيم(
“Barang siapa yang beramal dengan ilmu yang telah
diketahuinya, niscaya Allah akan mewariskan ilmu yang belum dia ketahui” (HR. Abu Nu’im).
Dan bagaimana pula beliau jujur dalam sabdanya : “Barang
siapa yang menolong orang yang bertindak zalim, maka Allah akan menguasakan orang
zalim itu padanya” (Al-Hadits). Serta bagaimana pula beliau berlaku jujur
dalam sabdanya: “Barang siapa yang menjadikan beberapa duka citanya menjadi
satu duka cita, niscaya Allah ta’ala akan mencukupkan duka cita dunia dan
akhirat” (Al-Hadits).
Maka apabila hal itu anda coba dan anda eksperimenkan
dalam seribu dan dua ribu bahkan dalam beribu-ribu kali, anda tentu akan
memperoleh ilmu yang bisa ditangkap secara otomatis yang tidak bisa dibantah
lagi. Dari cara yang seperti itu, carilah keyakinan tentang kenabian dan jangan
cara kebenaran tongkat yang bisa berubah wujud menjadi ular serta terbelahnya
rembulan. Sebab jika anda hanya melihat hal itu saja niscaya anda tidak akan
bisa mengumpulkan berbagai bukti dan karenanya yang banyak dan tidak bisa dihitung.
Barangkali anda nantinya akan menduga bahwa perubahan bentuk seperti di atas
merupakan sihir, imajinasi dan fatamorgana serta suatu yang menyesatkan dari
Allah, sebab Allah telah berfirman:
...كَذَٰلِكَ
يُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ...
“...Demikianlah Allah menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya...” (QS. Al-Mudatstsir: 31).
Akan sampai pula kepada anda tentang masalah mu’jizat,
sebab apabila pancatan kepercayaan anda kepada omongan yang sudah diatur di
dalam arah konotasi mu’jizat, maka akan menjadi kokohlah kepercayaan anda
kepada omongan yang telah diurutkan pada segi kemusykilan dan keraguan,
sehingga kejadian yang di luar adat seperti ini merupakan salah satu bukti
serta salah satu karena pada sejumlah analisa anda, sampai anda benar-benar
mendapatkan ilmu dharuri yang tidak perlu lagi anda menyebutkan dasar dan
pancatannya dengan jelas seperti orang yang menerima khabar mutawatir dari
sekelompok orang, di mana dia tidak mungkin menyebutkan bahwa keyakinan itu
bisa diambil faidahnya dari seorang tertentu, bahkan dia akan tidak tahu dari
mana dia mendapatkannya dan yang jelas khabar itu tidak akan keluar dari
sekelompok orang tersebut, tetapi dia tidak akan bisa memastikan satuan-satuan
orangnya. Maka yang demikian ini merupakan iman yang kuat dan didasarkan atas
ilmu.
Adapun dzauq (cita rasa), dia bagaikan musyahadah dan
memegang dengan tangan. Dan ini tidak bisa ditemukan kecuali di dalam cara
tasawuf. Kadar dari pada hakikat kenabian ini sudah saya anggap cukup dalam
mencapai sasaran yang aku maksudkan sekarang, dan akan saya sebutkan segi
kebutuhannya.
Pembicaraan tentang Keberhasilan Ilmu Filsafat.
Pembicaraan ini menyangkut Ilmu Filsafat yang perlu
dicela dan yang tidak perlu mendapat celaan, Ilmu Filsafat yang dikatakan kufur
bagi orang yang berbicara dengannya dan yang tidak dikatakan kufur yang
dianggap bid’ah dan yang tidak, dan juga menjelaskan apa yang telah mereka curi
dari omongan “Ahli Haq” lalu mereka campur adukkan dengan omongan mereka untuk
dikonstruksikan dengan kebatilan mereka, bagaimana caranya melarikan jiwa dari
kebenaran itu dan bagaimana caranya membebaskan diri dari pengelola
hakikat-hakikat yang benar dan murni dari kemelencengan serta keburukan, yaitu
dari sejumlah pembicaraan mereka.
Setelah aku rampung membicarakan Ilmu Kalam, maka
sekarang aku membicarakan Ilmu Filsafat. Aku tahu dengan yakin bahwa seorang
yang tidak tahu persis terhadap porosnya ilmu itu, maka dia tidak berani
mengatakan rusaknya suatu macam ilmu kecuali apabila ia telah memahami
benar-benar ilmu tersebut dengan sempurna, paling tidak harus mensejajarkan
diri dengan seorang ahli yang paling banyak ilmunya dalam hal pokok-pokok dasar
filsafat, kemudian dia mampu mengungguli dan melampaui derajat keilmuannya,
sehingga dengan mudah dia bisa menelaah terhadap masalah yang belum pernah
ditelaah oleh orang yang memiliki Ilmu Filsafat itu yang terdiri dari yang
buruk dan yang jelek, jika sudah demikian keadaannya maka dia sudah sepantasnya
apabila tuduhan yang dilontarkan terhadap rusaknya ilmu tertentu bisa diakui
sebagai tuduhan yang benar.
Akan tetapi sepanjang penglihatanku, tak seorang pun
ulama Islam yang menaruh minat dan perhatiannya kepada hal itu. Di dalam
kitab-kitab Ahli Kalam juga tidak aku temui pembicaraan mereka yang mengungkap
sanggahan atas Golongan Filsafat, kecuali hanya ada beberapa kalimat yang sulit
dimengerti, acak-acakan yang nyata sekali kontradiksi dan cacatnya yang sudah
tidak disangsikan lagi pasti mendatangkan kekeliruan bagi orang-orang awam,
lebih-lebih terhadap orang yang mengaku telah mempelajari ilmu-ilmu yang sulit.
Akhirnya aku tahu juga bahwa memberi sanggahan
terhadap suatu madzhab (aliran) sebelum faham benar dan menelaah kadarnya,
berarti dia telah terlempar di dalam ketidaktahuan, oleh karena itu aku
menyingsingkan lengan bajuku untuk meraih ilmu tersebut dari berbagai kitab
dengan sekadar menelaah tanpa minta bantuan dari seorang guru. Hal demikian itu
aku hadapi pada waktu-waktu senggangku dari mengarang dan mengajar ilmu-ilmu
syar’i, kala itu aku memang diuji dengan mengajar dan memberi faidah kepada
tiga ratus orang siswa di Baghdad.
Dengan hanya mengandalkan menelaah dalam waktu-waktu
senggang itu Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan kepadaku batas
optimal dari ilmu-ilmu mereka dalam waktu kurang dari dua tahun, kemudian
senantiasa aku berdisiplin untuk berfikir sesudah aku memahaminya, dengan hanya
menghabiskan masa satu tahun kurang sedikit aku mengulang-ulangnya serta
mengkajinya lagi lalu aku mencari berbagai kesulitan dan kemusykilan yang telah
hilang sehingga aku berhasil menemukan keculasan, kesimpang-siuran, kebenaran
dan imajinasi (pengkhayalan) dengan hasil penemuan yang tidak bisa diragukan
lagi.
Sekarang dengarkan cerita keberhasilan yang sudah
berhasil aku raih dan juga ceritanya buah Ahli-Ahli Filsafat. Sebab aku melihat
mereka terbagi menjadi beberapa golongan sedangkan ilmu-ilmu mereka juga
terbagi menjadi beberapa bagian. Pada garis besarnya golongan mereka berhak
mendapatkan tanda kekufuran dan ilhad (ingkar terhadap agama), kendatipun
antara kelompok/ golongan yang terdahulu dan golongan yang dulu, dan antara
golongan yang paling akhir dan golongan yang paling awal terdapat jenjang
keterpautan yang amat besar dalam masalah dekat dan jauhnya dari kebenaran.
Pembicaraan yang Menjelaskan tentang Maksud Ilmu Kalam
dan Hasilnya Selanjutnya aku mulai mengurai “Ilmu Kalam” sehingga aku telah
berhasil mendapatkannya, mengotak-atiknya dan telah menelaah berbagai Ahli
Tahqiq kemudian aku karang dan aku susun menurut apa yang menjadi kemauanku
yaitu menyusun suatu kitab selanjutnya aku berhasil menyusunnya sebagai suatu
ilmu yang sesuai dengan maksudnya tetapi belum sempurna dan sesuai dengan
maksudku.
Adapun maksud daripada Ilmu Kalam adalah menjaga serta
memelihara akidah Ahli Sunnah dari gangguan Ahli Bid’ah yang menyesatkan. Allah
subhanahu wa ta’ala telah memberi kepada hamba-hamba-Nya dengan
dihantarkan oleh lisannya utusan akan sebuah akidah yang benar di mana di
dalamnya terdapat suatu kemaslahatan terhadap agama dan dunia mereka yang semua
pengetahuannya tu telah termaktub dan diucapkan oleh Al-Quran dan Al-Hadits,
kemudian syetan melontarkan di dalam waswasnya Ahli Bid’ah tentang berbagai
perkara yang bertentangan dan tidak sesuai dengan As-Sunnah sehingga mereka
menjadi tersangkut padanya dan hampir saja mereka bisa mengecoh orang-orang
yang memiliki akidah yang benar.
Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala
menumbuhkan Golongan Mutakallimun (Ahli Tauhid) dan menggerakkan motivasi
mereka untuk membela As-Sunnah dengan omongan yang tersusun rapi dan
apik di mana dia dapat menyingkap kesimpang siuran Ahli Bid’ah yang
sengaja membikin hal-hal baru yang tidak cocok lagi dengan As-Sunnah yang sudah
teralisir. Maka dari situlah tumbuh Ilmu Kalam beserta Ahlinya. Telah bangkit
sekelompok Ahli Kalam dengan membawa amalan-amalan yang telah dianjurkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga mereka benar-benar memperbaiki
As-Sunnah dan berhasil membela akidah yang telah diterima dari ajaran-ajaran
asli Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian mereka mengadakan perubahan pada sisi yang
telah dirusak oleh Ahli Bid’ah, dan untuk mencapai usaha itu mereka berpancatan
kepada beberapa pendahuluan yang telah mereka terima dari pada lawan fahamnya
dan ternyata berhasil memaksa mereka untuk menyerah, yaitu bisa dengan taklid,
konsensus (ijma’) umat atau hanya sekadar menerima dari Al-Quran dan As-Sunnah,
sedangkan kebanyakan penyelaman mereka dalam usahanya mengeluarkan
argumentasi-argumentasi debatnya dan pengambilan mereka adalah dengan
mengandalkan bukti-bukti yang lazim, dan cara seperti ini sedikit sekali
manfaatnya dalam menghadapi orang-orang yang tidak mau menyerah sama sekali
kecuali terhadap dalil-dalil dharuri.
Oleh karena itu, Ilmu Kalam dalam pandanganku
tidaklah bisa banyak diandalkan dan juga tidak bisa menyembuhkan penyakit yang
telah aku keluhkan di atas. Ya, tatkala Ilmu Kalam itu muncul dengan
pesatnya dan banyak orang yang menaruh simpati padanya sehingga masa yang
seperti ini berlangsung lama, Ahli Ilmu Kalam mempunyai ide untuk maju
selangkah dari pemeliharaan terhadap As-Sunnah yaitu dengan mengadakan
pembahasan tentang berbagai hakikat perkara dan mereka mengadakan pendalaman
dalam membahas tentang beberapa elemen dan beberapa benda beserta hukum-hukumnya,
akan tetapi manakala hal itu tidaklah merupakan maksud ilmu mereka, maka
pembicaraan mereka tidaklah sampai pada batas optimal, sehingga tidak bisa
menghasilkan apa yang secara menyeluruh dapat menghapus berbagai kegelapan
terhadap beberapa perselisihan faham di dalam masyarakat.
Aku tidak memandang terlalu jauh dan tidak
mengesampingkan berbagai kemungkinan bila cara yang seperti itu bisa diterima
oleh orang selainku, namun saya juga tidak menyangsikan bila cara yang seperti
itu dapat diterapkan terhadap salah satu kelompok. Tapi perlu diingat bahwa
keberhasilan itu sudah sedemikian kaburnya dan telah bercampur aduk dengan
taklid dalam suatu perkara yang tidaklah merupakan dasar-dasar pertama. Tujuan
sekarang yang harus disampaikan adalah menceritakan keadaanku bukannya mencela
dan mengingkari terhadap orang yang minta kesembuhan sebab obat kesembuhan itu
berbeda-beda mengingat kepada perbedaan penyakit. Bukankah sudah banyak sekali
obat yang mujarab terhadap si sakit tertentu tetapi obat itu dapat mendatangkan
bahaya dan merupakan racun bagi orang lain.
Membahas Beberapa Bagian Ilmunya Para Filosof
1. Ilmu Mantiqiyyah (Logika): Ilmu ini juga sama sekali tidak ada konteksnya dengan agama, baik
ditetapkan atau tidak ditetapkan, bahkan dia hanya merupakan analisa tentang
cara-cara mencari dalil-dalil, cara mencari analog, cara mencari beberapa
syarat dalil pendahuluan dan cara merangkumnya, cara mencari beberapa syarat
definisi yang benar dan bagaimana cara mengurutkannya. Ilmu ini bisa terdiri
dari :
Ilmu Tashawwur, sedangkan
cara mengetahuinya adalah dengan mengetahui definisinya yang pas.
Ilmu Tasdiq, adapun cara
mengetahuinya adalah dengan mengemukakan dalil. Dalam masalah ini tidak ada
lagi sesuatu yang perlu untuk diingkari sebab dia merupakan jenis yang telah
disebutkan oleh Ulama ahli kalam (Teologian) dan orang-orang yang ahli
menganalisa dalam berbagai dalil. Hanya saja mereka berbeda cara mengutrakannya
dan cara memberikan istilah dan ditambah lagi dengan terlalu bertele-tele dalam
mendefinisikan dan mencabangkannya. Kita ambil saja sebuah contoh dari ucapan
mereka: “Jika telah ditetapkan bahwa setiap A pasti B, maka sudah seharusnya
bila sebagian B berarti A, dengan pengertian apabila setiap insan pasti hewan,
maka sudah sewajibnya bila sebagian hewan adalah insan”. Dari contoh di atas
ini mereka memberikan gambaran bahwa “Mujabah Kulliyyah”(*) berkebalikan dengan
“Mujabah Juz’iyyah”, lalu mana hubungan yang ada kaitannya dengan kepentingan
agama sehingga mesti harus diingkari dan tidak diakui. Maka apabila tidak
diakui, tidak membuahkan hasil apa-apa terhadap mantik (logika) yang paling
jelek itikadnya terhadap akalnya orang yang ingkar, bahkan dalam agamanya yang
telah mempunyai dugaan kuat bahwa agama itu hanya mandeg pada pengingkaran yang
seperti ini.
Ya, mereka memang memiliki semacam kezaliman dari ilmu
ini, yaitu mereka berkonsensus membikin beberapa syarat bagi sebuah dalil yang
bisa diketahui bahwa syarat-syarat itu menghasilkan suatu keyakinan yang tidak
bisa ditawar lagi, tetapi ketika mereka sampai kepada tujuan-tujuan agama,
ternyata mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu bahkan mereka menganggap
mudah sepenuhnya.
Barangkali mereka melihat di dalam ilmu Mantik juga,
akan adanya seseorang yang dia anggap baik lalu dia melihatnya sebagai yang
lebih menonjol dia menduga bahwa apa saja yang diambil dari mereka termasuk
perkara yang kufur sembari memperkuat dengan dalil-dalil itu. Oleh karena itu
dia tergesa-gesa melakukan kekufuran sebelum dia sampai kepada ilmu-ilmu
ketuhanan, sehingga hal ini merupakan bahaya juga.
2. Ilmu Thabi’iyyah (Alam): Ilmu ini membahas tentang benda-benda langit dan beberapa bintang serta
apa saja yang terdapat di bawahnya dari benda-benda tunggal seperti air, udara,
debu, dan api dan benda-benda yang memiliki bagian-bagian (susunan) seperti
hewan, tumbuh-tumbuhan dan pertambangan. Ilmu ini juga membahas tentang
sebab-sebab perubahan, peralihan, dan tabiat benda-benda itu. Semuanya itu
menyerupai pembahasan seorang dokter tentang badan manusia beserta
anggota-anggotanya yang pokok dan yang tidak pokok, dan juga membahas tentang
peralihan temperamennya. Seperti halnya tiada satupun syarat agama yang
mengharuskan untuk mengingkari “ilmu kedokteran”, maka tidak merupakan syarat
agama untuk mengingkari ilmu alam kecuali dalam beberapa masalah tertentu yang
kami sebutkan di dalam kitab “Tahafut al-Falasifah” dan masalah-masalah lain
selain masalah ini yang terus ditentang. Jika sudah diangan-angan, niscaya akan
menjadi jelaslah bahwa masalah-masalah itu sebenarnya tersusun rapi di bawah
ilmu alam, sedangkan garis besarnya haruslah diketahui bahwa ala mini
dikendalikan oleh Allah Ta’ala, jadi tidak bekerja dengan sendirinya, bahkan
alam ini dipekerjakan dari sisi Penciptanya. Matahari, bulan, dan bintang serta
unsure-unsur alam semesta adalah tunduk di bawah perintah-Nya, sehingga tiada
satupun benda yang bekerja dengan sendirinya tanpa perintah Allah subhanahu
wa ta’ala.
3. Ilmu Ilahiyyah (Teologi): Di dalam ruang lingkup ilmu ini terjadi banyak kesalahan yang diperbuat
oleh kebanyakan para filosof. Mereka tidak mampu menepati dalil-dalil yang
telah mereka syaratkan dalam ilmu mantik, sehingga dengan demikian banyak
terjadi berbagai macam perselisihan faham di kalangan mereka sendiri mengenai
ilmu ini. Mengenai ilmu teologi ini, aliran Aristoteles hampir menyerupai
alirannya orang-orang Islam menurut pendapat yang telah dinukil oleh Al-Farabi
dan Ibn Sina.
Akan tetapi semua kekeliruan pendapat mereka kembali
kepada dua puluh pokok permasalahan, yang tiga dari kedua puluh masalah itu
wajib mengkafirkan mereka, sedangkan yang tujuh belas wajib membid’ahkan
mereka. Demi menghapus aliran mereka dalam dua puluh masalah ini kami sengaja
mengarang kitab “Tahafut al-Falasifah”. Adapun masalah yang tiga itu memang
tidak disetujui oleh keseluruhan orang Islam, yaitu pendapat mereka yang mengatakan:
Sesungguhnya badan manusia tidak dibangkitkan di Padang Mahsyar. Yang mendapat
ganjaran serta siksaan itu hanyalah ruh saja atau badan ruh saja. Berbagai
siksaan itu sifatnya ruhani tidaklah jasmani.
Jadi mereka telah membenarkan dalam penetapan ruhani,
sehingga badan ruhani itu benar-benar ada juga tetapi mereka mendustakan
terhadp pengingkaran jasmani lalu mereka mengingkari syariah dalam
masalah-masalah yang mereka ucapkan.
Di antaranya adalah ucapan mereka: “Sesungguhnya Allah
Ta’ala hanya mengetahui perkara-perkara yang bersifat global dan tidak
mengetahui perkara-perkara yang sifatnya perincian (parsial)”. Maka ucapan
seperti ini juga merupakan kekufuran yang nyata. Sebab yang benar adalah apa
yang telah difirmankan Allah Ta’ala :
...
لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا
فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِن ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ
مُّبِينٍ
“...Tidak ada tersembunyi daripada-Nya
seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula)
yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab
yang nyata (Lauh Mahfuzh)" (QS. Saba :
3).
Di antaranya lagi adalah ucapan mereka: “Dunia ini
dahulu azali”. Sehingga tiak ada seorang Islam pun yang mempunyai pendapat
yang sesuai dengan salah satu dari masalah-masalah ini. Adapun masalah-masalah
yang di balik masalah di atas yang berupa perhatian terhadap sifat-sifat Allah
dan pendapat mereka bahwa Allah itu hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak
pernah dari itu dan apa yang yang berkisar pada zat itu sendiri maka aliran
mereka yang seperti ini mirip dengan aliran Mu’tazilah. Dan kita tidak boleh
mengkafirkan Mut’azilah sebab contoh yang seperti itu.
Di dalam Kitab “Faishal At-Tafriwah baina’l wa
Al-Zindiqah” telah kami sebutkan sesuatu yang menjelaskan rusaknya pendapat
seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan segala sesuatu yang bertentangan
dengan alirannya.
4. Ilmu Siyasiyyah (Politik): Semua pembicaraan mereka (para filosof) tentang ilmu ini kembali kepada hukum
kemaslahatan yang masih ada konteksnya dengan urusan-urusan kekuasaan dunia.
Mereka mengambilnya dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para
Nabi dan dari hikmah-hikmah (kata-kata mutiara) yang biasa dipakai oleh para
wali yang dahulu.
5. Ilmu Khalqiyyah (Etika): Seluruh pembicaraan para filosof mengenai masalah ilmu etika ini kembali
kepada pembatasan sifat-sifat jiwa dan beberapa pekertinya, menyebutkan jenis
dan macam ragamnya, bagaimana cara mengobatinya dan melatihnya. Mereka
mengambil ilmu ini dari golongan sufi yaitu golongan ketuhanan yang senantiasa
ingat kepada Allah ta’ala dan senantiasa memerangi hawa nafsu, menempuh jalan
untuk sampai kepada Allah dengan cara berpaling dari kelezatan duniawi. Dalam
melatih jiwa mereka ini, tersingkaplah dari etika jiwa, cacat-cacat jiwa, dan
berbagai pekerjaan jiwa akan sesuatu yang telah mereka jelaskan.
Kemudian cara yang seperti ini diambil oleh kelompok
filosof lalu mereka campur aduk dengan omongan-omongan mereka sebagai sarana
untuk menghias diri dengan teori yang telah dilakukan oleh golongan sufi guna
melariskan kebatilan mereka. Pada masa mereka, bahkan pada setiap masa terdapat
sekelompok ahli ketuhanan yang sengaja oleh Allah dunia ini tidak dikosongkan
dari mereka, sebab mereka merupakan paku-paku bumi yang dengan barakah mereka
turunlah rahmat kepada penghuni bumi ini sebagaimana pernyataan yang telah
disebutkan dalam hadits di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Sebab adanya mereka, penghuni bumi dituruni hujan, sebab mereka
pula penghuni bumi diberi rizki, dan di antara mereka pula terdapat penghuni
Gua (Ash-habul Kahfi). Konon mereka pada masa-masa dulu berdasarkan atas apa
yang telah diucapkan oleh Al-Quran sehingga dari percampur-adukan mereka ini
lahirlah omongan (perkataan) nubuwwah dan perkataan golongan sufi yang
dicatatan mereka terdapat dua afat (bahaya): bahaya pertama bagi orang yang
menerima sedangkan bahaya yang kedua bagi haknya orang yang menolak.
Bahaya 1: Bahayanya bagi
orang yang menolaknya amatlah besar, jika sekelompok orang yang lemah menduga
bahwa omongan itu, bila telah dibukukan di dalam kitab-kitab mereka dan telah
dicampur-aduk dengan kebatilan mereka sudah seyogyanya disingkiri dan tidak
perlu disebut-sebut, bahkan hendaknya tidak percaya kepada setiap prang yang
menyebut-nyebutnya. Sebab jika pertama kali mereka tidak mendengarnya kecuali
dari mereka, maka oleh akal mereka yang lemah itu akan timbullah kesan bahwa
omongan itu merupakan omongan yang batil, karena orang yang mengomongkannya
saja adalah orang yang batil.
Contohnya seperti orang yang mendengar dari orang
Nasrani akan ucapan: “Tiada Tuhan selain Allah, Isa adalah Rasul (utusan)
Allah”, lantas dia mengingkarinya dan berkata: “Ini adalah omongannya
seorang Nasrani” dan dia tidak ragu lagi tatkala dia mengangan-angan bahwa
orang Nasrani itu kafir menilik kepada ucapannya ini atau menilik kepada
pengingkarannya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka
apabila dia tidak kafir kecuali dengan menilik pada pengingkarannya terhadap
kenabian Muhammad, seyogyanyalah tidak menentang selain kekafirannya itu yakni
perkara yang ternyata benar pada dirinya, dan kendatipun baginya juga merupakan
perkara yang benar.
Demikian inilah kebiasaan orang yang lemah dan kerdil
akalnya di mana mereka membuat batasan kebenaran dipandang dari orangnya dan
tidak membikin suatu ukuran kebenaran terhadap orangnya. Seorang yang berfikir
secara rasional pasti dia akan mengikuti cara berfikirnya pemuka ahli fikir Ali
radhiyallahu ‘anhu di mana dia pernah mengatakan : “Janganlahlah kamu
mengenali suatu kebenaran dari manusianya, tetapi kenalilah apa kebenaran itu,
kemudian kamu baru akan dapat mengenali siapa yang memiliki kebenaran itu”.
Memang ada sekelompok orang yang belum meneliti secara
cermat akan rahasia berbagai ilmu dan belum mencoba menelusuri poin-poin
madzhab yang paling jauh, membantah sementara kata-kata paten di dalam
karangan-karangan kami tentang berbagai rahasia agama. Mereka menduga bahwa
kata-kata itu merupakan sebagian omongannya orang-orang filosof jaman dulu di
mana sebagiannya melahirkan berbagai kegentingan dan tidak ayal lagi akan
terjerumus di dalam lobang, sedangkan yang lainnya terdapat di dalam
kitab-kitab syariat dan kebanyakan kitab-kitab syariat ini maksudnya terdapat
di dalam kitab-kitab sufi yang kemungkinan tidak bakal ditemukan di dalam
kitab-kitab mereka. Maka apabila omongan mereka itu logis (bisa diterima akal)
dan diperkuat serta ditopang oleh dalil-dalil yang nyata serta tidak
bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunah, tidaklah seyogyanya apabila omongan
mereka itu disingkiri dan diingkari.
Andaikata kita membuka bab ini lalu kita mengambil
langkah menyingkiri setiap kebenaran karena didahuluinya orientasi kita pada
pemikirannya orang yang keliru, maka wajiblah bagi kita menyingkiri banyak
kebenaran dan haruslah kita menyingkiri sejumlah ayat Al-Quran, hadits-hadits
Rasulullah, hikayat-hikayat Ulama Salaf. Perkataannya para cerdik cendekia dan
orang-orang sufi, sebab pengarang kitab “Ikhwan Ash-Shafa” telah menurunkannya
di dalam kitabnya sembari mencari kesaksian dan memperdayakan hatinya
orang-orang bodoh dengan perantaraan hal-hal itu menuju kepada kebatilannya dan
kepalsuan yang dibuatnya, dan hal itu mengajak kepada usahanya orang-orang yang
senantiasa menyalahkan kebenaran dari tangan-tangan kita dengan menitipkan
omongan-omongannya di dalam kitab-kitab mereka. Setidak-tidaknya orang yang
yang memiliki pengetahuan akan bisa membedakan dirinya dari orang awam yang
dungu tidak berpendidikan, sebab orang-orang yang berpengetahuan tidaklah
bakalan mengatakan madu itu busuk tidak enak kendatipun dia menemukannya di
dalam tempat (bejana) pembekam, dan dia akan berkeyakinan bahwa bejana pembekam
itu tidak akan bisa merubah zat madu.
Sedangkan keengganan tabiat dari madu itu berdasar
atas kebodohan umum yang punya persepsi bahwa tempat (bejana) pembekan itu
hanya sengaja dibikin untuk tempat darah yang menjijikkan, sehingga ia
beranggapan bahwa darah itu menjijikkan karena ditempatkan dalam kaleng
pembekam dan dia tidak tahu bahwa darah itu mempunyai ciri yang menjijikkan
dengan sendirinya. Sebab tatkala sifat ini hilang pada madu itu maka keadaannya
di dalam tempatnya tidak menjadi masalah lagi bagi madu itu sehingga tidak
perlu dianggap busuk dan menjijikkan, dan anggapan yang semacam ini adalah
suatu anggapan yang keliru dan sudah merupakan anggapan yang lumrah bagi
kebanyakan makhluk.
Sedangkan omongan itu dinisbatkan dan disandarkan
kepada pembicara yang sesuai dengan keyakinan mereka maka mereka terima omongan
itu kendatipun omongan itu tidak benar. Dan jika omongan itu disandarkan dan
dilontarkan oleh orang yang tidak cocok lagi dan tidak berkenan di hati mereka,
niscaya omongan itu mereka tolak meskipun kenyataannya omongan tersebut
merupakan omongan yang benar.
Oleh karena itu selamanya mereka akan mengetahui bahwa
kebenaran itu tergantung kepada siapa yang berbicara dan mereka tidak akan
mengenali seseorang dari sisi kebenarannya, dan inilah kesesatan yang paling
final, di samping itu, ini juga merupakan bahayanya orang yang tidak mau
menerima omongan kaum filosof etik.
Bahaya kedua: Bahayanya orang
yang menerima omongan kaum filosof etik. Sebab orang yang telah melihat di
dalam kitab-kitab mereka seperti “Ikhwan As-Shafa” dan lain-lainnya lalu dia
melihat apa yang telah mereka campur aduk dengan omongan mereka dari
hikmah-hikmah kenabian serta kata-katanya golongan sufi, barangkali dia akan
menganggap bagus lalu menerimanya dan mempunyai itikad baik terhadap kaum
filosof etik ini sehingga dia akan tergesa-gesa menerima kebatilan mereka yang
telah diramu dengan dugaan baik dari hasil penglihatannya dan anggapan baiknya,
dan ini merupakan salah satu bentuk pemerdayaan ke arah kebatilan. Karena bahaya
inilah, wajib hukumnya melarang menelaah kitab-kitab mereka, sebab di sana
terdapat kecurangan dan tipuan.
Seperti halnya kita wajib menjaga orang yang tidak
pandai berenang dari licinnya tepi laut, kita juga wajib menjaga manusia dari
menelaah kitab-kitab itu. Contoh lain, juga wajib menjaga anak-anak dari usaha
memegang ular, maka kita wajib menjaga pendengaran dari campur aduknya
omongan-omongan mereka. Demikian pula seorang pawang ular wajib menyelamatkan
putranya yang masih kecil dari usahanya menjamah ular yang berada di dekatnya,
bila kenyataannya dia tahu bahwa anaknya itu akan menirunya seperti apa yang
dia lakukan karena setidak-tidaknya anaknya ini mempunyai dugaan akan bisa
melakukan seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya.
Oleh karena itu tindakan yang harus dilakukan adalah
menakut-nakuti anaknya untuk takut kepada ular tersebut di samping itu dia
sendiri harus berlaku hati-hati di depan ular pada saat anaknya berada di
sisinya. Begitulah semestinya keteladanan yang harus ditiru oleh seorang yang
alim yang amat mapan ilmunya. Seperti halnya sorang pawang yang telah mahir,
jika dia memegang seekor ular lalu dia bisa membedakan mana yang air penawar
dan mana yang bisa, sehingga karena keahiannya pawang ini bisa mengeluarkan air
penawar dan mensirnakan bisa.
Maka tindakan selanjutnya dia tidak perlu bertindak
bakhil untuk memberikan air penawar sebagai obat atas orang yang
membutuhkannya. Demikian pula seorang kasir yang cermat dan pengalaman, jika
telah memasukkan tangannya di dalam kantong yang berisi berbagai mata uang lalu
di sana dia bisa mengeluarkan emas yang murni dan dia tinggalkan yang palsu dan
yang tiruan maka dia tidak boleh bertindak bakhil tidak mau memberikan uang
emas yang masih murni lagi pula disenangi kepada orang yang membutuhkannya, dan
seperti demikian itulah mestinya seorang yang pandai mengambil suatu missal.
Demikian pula seorang yang butuh kepada air penawar
sebagai obat, jika dirinya tidak suka terhadap air penawar itu karena dia sudah
tahu bahwa air penawar tersebut berasal dari seekor ular yang merupakan
tempatnya bisa. Seorang kafir yang amat membutuhkan kepada harta, jika dia
berpaling dari emas yang telah dikeluarkan dari kantong yang berbagai macam
uang, maka dia harus diingatkan bahwa keengganannya menerima uang emas
merupakan suatu kebodohan yang menyolok yang sekaligus merupakan terdindingnya
dari keberhasilan yang sudah merupakan tuntunannya dan dia harus diberitahu
bahwa berkumpulnya emas murni yang murni dengan emas yang palsu tidaklah akan
menjadikan yang murni itu menjadi palsu, dan sebaliknya berkumpulnya emas yang
palsu dengan emas yang murni juga tidak bisa merubah yang palsu itu menjadi
murni.
Demikian pula berkumpulnya perkataan yang benar dengan
perkataan yang batil tidaklah bisa menjadikan perkataan yang batil itu menjadi
benar dan sebaliknya perkataan yang benar itu menjadi batil. Inilah ukuran yang
kami maksudkan dari bahayanya ilmu filsafat. (*) Susunan di dalam Ilmu Mantik
terdapat susunan mujabah (positif) dan susunan salibah (negatif).
Ilmu Riyadhiyyah (Matematika)
1. Ilmu Riyadhiyyah (Matematika): Ilmu ini ada konteknya dengan Ilmu Hitung. Ilmu Hindasah (Geometri) dan
Ilmu Bumi Alam. Tiada satupun dari ilmu-ilmu ini yang ada konteknya dengan
perkara-perkara agama, baik ditetapkan atau tidak ditetapkan, bahkan ilmu ini
hanya merupakan dalil-dalil belaka yang tiada cara lagi untuk mengingkarinya
sesudah terlebih dahulu faham dan mengerti secara jelas. Dari ilmu ini juga
lahirlah dua afat (bahaya):
a) Bahaya pertama: Siapa saja
yang menganalisis ilmu ini pasti dia akan merasa kagum betapa rumit dan
sulitnya ilmu ini, di samping itu dia juga merasa kagum terhadap jelasnya dalil
atau argumentasinya sehingga sebab kekagumannya itu dia percaya benar terhadap
ilmu filsafat lalu dia menduga bahwa semua ilmunya para filosof itu jelas dan
dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya seperti halnya ilmu ini.
Kemudian karena dia mendengar kekufuran mereka serta
keatheisan mereka dan kebiasaan mereka menganggap remeh terhadap agama, maka
mulutnya menjadi lancang sehingga dia berani mengatakan kufur terhadap taklid
makhdi (taklid murni), tambah lagi dia berani berkata: “Andaikan agama itu
memang benar-benar hak niscaya agama itu tidak akan samar bagi orang-orang
filsafat ini, sebab mereka memiliki pengetahuan yang mendalam dalam ilmu ini.
Maka apabila dia sudah tahu—berdasarkan pada
pendengaran mereka—kekafiran serta keingkaran mereka terhadap agama, niscaya
dia mengambil suatu bukti bahwa yang hak (benar) adalah kekafiran serta
pengingkaran terhadap agama itu sendiri. Beberapa yang sudah anda lihat dari
orang yang tersesat dari kebenaran sebab kedudukan ini dan sama sekali dia
tidak memiliki pancaran selain ilmunya ini.
Anggaplah misalnya ada seorang yang amat pandai dalam
bidang pekerjaan/ karya tertentu, belum tentu dia pandai dalam segala bidang
pekerjaan. Seorang yang ahli dalam ilmu fikih dan ilmu kalam belum tentu dia
ahli dalam ilmu kedokteran. Seperti halnya orang yang bodoh tentang ilmu
metafisika belum tentu dia bodoh tentang ilmu nahwu, bahkan bagi setiap
pekerjaan memiliki orang yang ahli di mana dia sudah sampai pada puncak
kepandaiannya kendatipun kebodohan dan ketidaktahuan senantiasa dimiliki
olehnya dalam bidang-bidang yang lain.
Orang-orang yang baru pertama-tama menyelami ilmu
matematika merupakan hal yang sifatnya berisi dengan dalil-dalil, sedangkan
orang yang baru pertama kali menyelami dalam ilmu ketuhanan (teologi) dia akan
terbentur dengan hal-hal yang sifatnya teka-teki. Tidak akan mengetahui hal itu
kecuali orang yang sudah mengadakan eksperimen dan menyelaminya.
Apabila seseorang telah terpaku hatinya mempercayai
dan menerima ilmu matematika (riyadhiyyah) maka dia tidak bisa mengelak dari
dalil itu, bahkan dia akan terbawa oleh dorongan hawa nafsu dan keinginan untuk
dipandang sebagai seorang yang jagoan dan ingin dipandang sebagai orang yang
cerdik yang senantiasa berbaik sangka terhadap para filosof yang pasti
menguasai segala ilmu. Tindakan yang seperti ini merupakan kerugian dan bahaya
besar, oleh karena itu sudah sewajibnyalah kita melarang atau mencegah setiap
orang yang menyelami ilmu itu. Sebab ilmu ini kendatipun tidak berkaitan dengan
urusan agama, akan tetapi tatkala seseorang dalam permulaan ilmu mereka sudah
berjalan kepada keburukan dan cacat mereka niscara sedikit sekali orang yang
menyelami ilmu filsafat itu kecuali dia keluar dan berbalik dari agamanya dan
terbebaslah tali kekang takwa dari kepalanya.
b) Bahaya kedua: Timbul dari
orang yang merasa dirinya tahu tentang Islam, namun sebenarnya dia tidak tahu
tentang Islam. Dia mempunyai keyakinan bahwa agama itu haruslah dibela dengan
mengingkari terhadap semua ilmu yang masih ada kaitannya kepada golongan
filosof, sehingga agama harus tidak mengakui semua ilmu mereka dan menganggap
mereka bodoh, sampai-sampai tidak diakuinya pendapat mereka tentang gerhana
Matahari dan gerhana Rembulan dan dia mempunyai dugaan kuat bahwa apa yang
mereka ucapkan benar-benar bertentangan dengan syara’.
Tatkala hal itu didengar oleh orang yang tahu persis
terhadap masalah itu dengan diperkuat oleh dalil yang pasti di mana dia sudah
tidak ragu lagi terhadap dalilnya, malah dia sudah punya keyakinan kuat bahwa
Agama Islam itu bertengger di atas kebodohan dan pengingkaran terhadap dalil
yang pasti, maka akan menambah kecintaannya terhadap golongan filsafat dan menambah
kebenciannya kepada Islam. Padahal sudah besar sekali teror dari orang yang
menyangka bahwa Islam memang ditopang oleh pengingkarannya terhadap filsafat.
Di dalam syara’ sendiri tidak menyinggung sama sekali
terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam ilmu-ilmu ini sama sekali tidak
menyinggung perkara-perkara agama. Adapun sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda
kebesaran Allah. Keduanya tidaklah bergerhana karena matinya seseorang dan
bukan karena hidupnya seseorang. Bilamana engkau melihat hal itu, maka
segeralah engkau ingat kepada Allah dan segeralah shalat”.
Maka jelaslah bahwa di dalam hadits itu tidak terdapat
adanya sesuatu pengingkaran terhadap Ilmu Hisab (aritmetika) yang bisa dipakai
untuk mengetahui perjalanan matahari dan bulan, kumpulnya dua benda tersebut
atau saling berhadap-hadapannya dua benda itu menurut cara yang tertentu.
Mengenai ucapan: “Akan tetapi Allah tatkala
menampakkan diri-Nya kepada sesuatu, maka sesuatu itu tunduk kepada-Nya”,
tidaklah ditemukan di dalam Kitab Ash-Shihah. Demikian itulah hikmahnya Ilmu
Matematika dan bahayanya.
Menyebarkan Ilmu
Ketika saya melakukan uzlah dan khalwat secara aktif
selama kurang lebih sepuluh tahun, nampaklah olehku di tengah-tengah
pekerjaanku dari sebab-sebab yang tidak bisa aku hitung lagi, sekali tempo
dengan dzauq dan sesekali dengan ilmu yang berdasar pada dalil dan suatu
kesempatan dengan iman yang bisa diterima bahwa sebenarnya manusia itu
dititahkan dari badan dan hati.
Yang saya maksudkan hati di sini adalah hakikat ruh di
mana dia merupakan tempat untuk mengetahui Allah subhanahu wa ta’ala,
bukannya daging dan darah yang bisa dimiliki oleh orang yang mati dan hewan.
Perlu diketahui bahwa badan memiliki sehat yang dengan kesehatan ini badan
menjadi bahagia, di samping itu badan juga mengalami sakit yang menjadikan
kehancurannya. Demikian pula hati dia memiliki kesehatan dan keselamatan, dan
tidak ada yang akan selamat kecuali “orang yang datang kepada Allah dengan hati
yang suci”. Dan hati juga mempunyai penyakit yang menyebabkan kehancuran abadi
dan bersifat ukhrawi, seperti apa yang telah Allah ta’ala firmankan :
فِي قُلُوبِهِم
مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ...
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu
ditambah Allah penyakit nya...”. (QS. Al Baqarah : 10)
Di tambah lagi bahwa tidak tahu kepada Allah merupakan
racun yang amat membahayakan, dan bahwasanya durhaka kepada Allah dengan
mengikuti hawa nafsu merupakan penyakit yang menyakitkan. Sebaliknya ma’rifat
(tahu) kepada Allah ta’ala merupakan air penawar yang bisa menghidupkan, dan
taat kepada Allah dengan tidak mengikuti hawa nafsu merupakan obatnya hati yang
menyembuhkan. Tiada jalan lain untuk mengobati hati guna menghilangkan
penyakitnya dan mencari kesehatannya kecuali dengan memakai berbagai obat, seperti
halnya tiada jalan lain untuk menyembuhkan badan kecuali dengan bermacam-macam
obat.
Seperti obat-obat badan bisa berpengaruh dalam upaya
memberi kesembuhan dengan khasiat yang terkandung di dalamnya di mana khasiat
itu tidak bisa ditemukan oleh orang-orang yang berakal dengan bagian akalnya,
bahkan di situ seseorang harus ikut kepada para dokter yang telah mengambil
khasiat itu dari nabi-nabi yang telah melihat khasiat kenabian atas
khasiat-khasiat berbagai perkara. Demikian pula dengan sendirinya tampaklah
olehku bahwa obat-obat ibadah dengan segala batasan dna ukurannya yang telah
ditentukan dari pihak nabi-nabi yang tidak bisa diketahui segi pengaruhnya
dengan bagian akalnya orang-orang yang berakal, tetapi seseorang diharuskan
mengikuti para nabi yang telah mengetahui khasiat-khasiat itu dengan cahaya
kenabian, bukannya dengan bagian akal. Seperti juga obat-obatan yang tersusun
dari macam dan ukuran, maka sebagian obat-obatan itu berlipat ganda atas
sebagian yang lain dalam timbangan dan ukurannya sehingga perbedaan berbagai
ukuran obat-obatan tersebut tak lepas dari rahasia di mana rahasia itu tercipta
dari arah khasiat.
Demikian pula halnya dengan ibadah-ibadah yang
merupakan obatnya penyakit hati yang tersusun dari beberapa pekerjaan yang
beraneka ragam bentuk dan macamnya serta beraneka ragamnya ukuran, sehingga
sujud merupakan penggandaan dari pada rukuk, dan shalat shubuh adalah separo
dari pada shalat ashar dalam ukurannya, dengan demikian dia tidak terlepas dari
suatu rahasia yang datangnya dari beberapa khasiat yang tidak bisa dilihat
kecuali dengan cahaya kenabian.
Sungguh amat bodoh dan sangat dungu sekali orang yang
hendak beristimbat (mengeluarkan khasiat) dengan cara akal di mana khasiat itu
memiliki hikmah atau dia menduga bahwa hikmah itu hanya bisa disebutkan secara
kebetulan saja dan bukannya lewat rahasia larangan yang terdapat di dalamnya
yang mengharuskan untuk memakai cara khasiat tersebut. Sebagaimana obat-obatan
itu memiliki beberapa pokok yang merupakan sendi-sendinya, dan memiliki
beberapa tambahan yang merupakan kesempurnaannya di mana masing-masing mempunya
pengaruh khusus dalam mengamalkan pokok-pokok khasiat tersebut, maka beberapa
nafilah dan beberapa kesunatan juga merupakan kesempurnaan untuk menyempurnakan
beberapa sendi ibadah.
Secara garis besarnya, para nabi merupakan dokternya
penyakit hati. Adapun faidah akal dan manfaatnya ialah supaya kita tahu akan
hal-hal yang disebutkan tadi dan bisa menyaksikan kenabian dengan mengakui
kebenarannya serta mengerti kelemahan dirinya untuk mengetahui sesuatu yang
dapat diketahui dengan mata kenabian dan mengambil dengan tangan kita lalu kita
menyerahkannya seperti penyerahannya orang buta kepada penuntunnya dan seperti
penyerahan orang sakit yang bingung kepada para dokter yang mengasihinya.
Nah, hanya sampai sejauh itulah yang bisa dicapai oleh
kekuatan akal. Ia terletak di seberang, terpisah dari sebagian yang lain yang
dapat difahami hanya yang ada pertaliannya dengan apa yang diberikan oleh
dokter kepadanya. Semua ini merupakan perkara-perkara yang telah kami ketahui
secara spontan yang berjalan pada jalur musyahadah yang aku alami selama aku
beruzlah dan berkhalwat. Kemudian aku amati adanya kelemahan serta kemunduran
pada sendi kenabian, kemudian pada hakikat kenabian, kemudian pada pengamalan
terhadap apa yang telah dijabarkan oleh kenabian (nubuwwat).
Kami membuktikan sendiri akan meluasnya hal itu di
tengah-tengah masyarakat, lantas aku menganalisa tentang sebab-sebab terjadi
lemahnya manusia serta lemahnya iman mereka ternyata aku bisa menyimpulkan
empat sebab: Karena ada hubungannya dengan mereka yang mendalami ilmu filsafat.
Karena ada kaitannya dengan mereka yang menyelami tarekat tasawuf. Karena ada
hubungannya dengan mereka mengaku diirnya sebagai kelompok ta’lim (pengajaran).
Karena pergaulan dengan orang-orang yang memiliki tanda sebagai yang berilmu di
kalangan manusia.
Lantas aku mengadakan pendekatan kepada manusia satu
demi satu di mana aku bertanya siapa di antara mereka yang seenaknya saja dalam
menjalankan hukum syara’, aku tanyakan tentang kebimbangannya dan aku selidiki
akidah serta rahasia pribadinya. Kemudian aku bertanya kepada salah seorang:
“Kenapa anda seenaknya saja dalam mengikuti hukum syara’? Jika anda benar-benar
percaya kepada kehidupan akhirat, kenapa anda tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapinya kelak, bahkan anda suka menjual perkara akhirat dengan perkara
dunia? Ini merupakan suatu tindakan yang bodoh sekali. Sebab anda tentunya
tidak akan menjual dua barang dengan satu barang. Lantas bagaimana anda menjual
perkara yang tidak ada akhirnya dengan hari-hari tertentu? Dan apabila anda
tidak percaya kepada kehidupan akhirat, berarti anda kafir. Maka aturlah diri
anda dalam upaya mencari iman lalu buatlah analisa apa yang menyebabkan kekafiran
anda yang khafi (tidak kentara) di mana dialah yang merupakan aliranmu yang
berada di dalam, dan dia yang menyebabkan keberanian anda kepada Allah di luar.
Jika anda tidak menjelaskannya dengan berbasa-basi
iman dan merasa mulia dengan menyebutkan syara’ niscaya akan ada orang yang
berkata, “Ini adalah suatu perkara, andaikata wajib dipelihara, niscaya
ulamalah yang lebih pantas untuk menganiaya”.
Si Fulan seorang yang terkenal di kalangan orang-orang
utama tidak melakukan shalat. Si Fulan minum arak. Si Fulan memakan harta wakaf
dan hartanya anak yatim. Dan Fulan memakan uangnya penguasa dan tidak mau
menjaga dirinya dari harta haram. Si Fulan suka menerima uang sogok dalam
pengadilan atau dalam persaksian dan masih banyak contoh lainnya yang sepadan dengan
hal-hal di atas.
Orang kedua berkata di mana dia mengakui berilmu
tasawuf dan menurut anggapannya sendiri bahwa dia telah sampai pada suatu
tingkatan yang sudah tidak membutuhkan lagi untuk beribadah.
Orang ketiga berkata dengan memberi alasan suatu
syubhat lain dari sekian syubhatnya ahli ibadah, mereka ini adalah orang-orang
yang tersesat dari tarekat tasawuf.
Orang keempat yang bertemu dengan ahli ta’lim berkata:
“Perkara yang hak (benar) itu musykil sedangkan jalan untuk menuju ke sana
tersumbat dan perbedaan pendapat tentang kebenaran amatlah banyak, sementara
itu sebagian aliran (madzhab) tidak ada yang lebih utama dari yang lainnya, dan
dalil-dalil akal saling bertentangan sehingga pendapatnya “Ahlur Ra’yi” tidak
bisa dipertanggung jawabkan lagi, orang yang mengaku “Ahlit Ta’lim” mengambil
hukum sendiri dan tidak memiliki argumentasi, lantas bagaimana aku dapat
mengusir keyakinan dengan keragu-raguan”.
Orang kelima berkata: “Saya melakukan hal ini tidaklah
semata-mata karena taklid, tetapi aku melakukannya karena aku telah membaca
ilmu filsafat lalu di sana aku menemukan hakikat kenabian, dan bahwa hasil
hakikat kenabian itu kembali kepada hikmah dan maslahah. Adapun maksud dari
pada pelaksanaan ibadah adalah membatasi dan mengekang orang-orang awam supaya
tidak saling bunuh-membunuh, tidak saling bertengkar dan tidak mengumbar hawa
nafsu. Tetapi saya bukan termasuk orang awam, sehingga aku harus masuk di dalam
kandang taklif, saya adalah termasuk cendekiawan yang selalu mengikuti hikmah,
dan saya tahu benar tentang seluk-beluk ibadah dan tidak lagi membutuhkan
taklid”. Inilah kesudahan imannya orang yang membaca “Aliran Filsafat
Ketuhanan” dan mempelajari aliran filsafat tersebut dari beberapa kitab
karangannya Ibnu Sina dan Abu Nasr Al-Farabi. Mereka itulah yang pura-pura tahu
benar tentang Islam. Dan bahkan terkadang anda akan menyaksikan dan melihat
bahwa salah satu di antara orang yang beraliran ini membaca Al-Quran,
menghadiri shalat jamaah, dan melakukan shalat-shalat fardhu, dan mengagungkan
syariat dengan lisannya, namun kendatipun demikian dia tidak meningalkan minum
arak dan beberapa bentuk kefasikan serta berbagai bentuk perbuatan mesum
lainnya.
Jika ditanyakan kepadanya: “Apabila kenabian itu tidak
benar, lantas untuk apa anda mengerjakan shalat?” Barangkali dia akan bilang:
“Untuk berolahraga, kebiasaan penduduk negeri ini dan menjaga harta serta
anak”. Dan barangkali dia akan berkomentar: “Undang-undang syara memang benar
dan kenabian juga merupakan sesuatu yang benar”. Kemudian tanyakan kepadanya:
“Lantas untuk apa anda meminum arak?”. Spontan dia akan menjawab: “Arak
dilarang dan haram untuk diminum karena ia bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian,
akan tetapi saya berkat hikmah (kebijaksanaan) yang aku miliki dapat terhindar
dari hal-hal itu semua, dan saya melakukan ini dengan tujuan menajamkan serta
mengarah pikiranku”.
Sampai-sampai Ibnu Sina telah menyebutkan di dalam
wasiatnya yang telah ditulisnya bahwa dia telah mengangkat janji kepada Allah
ta’ala untuk melakukan ini dan melakukan itu dan dia berjanji akan mengagungkan
siapa saja yang telah digariskan oleh syara dan tidak akan seenaknya saja dalam
melakukan ibadah agama (diniyyah) dan ibadah badan (badaniyyah) dan dia tidak
akan minum (arak) karena hanya senang-senang belaka, namun meminumnya karena
dipakai sebagai obat dan sebagai penyembuh. Sehingga kondisi final Ibnu Sina
dalam kejernihan serta kemurnian iman dan dalam menjalani ibadah adalah
mengecualikan minum arak demi tujuan penyembuhan. Gambaran seperti itulah,
gambaran imannya orang yang mengaku dirinya telah beriman dari golongan
“Filsafat Ketuhanan”.
Iman yang seperti ini beserta orang-orang yang sejalan
dengan aliran ini telah memperdaya sekelompok manusia dan ia tambah memperdaya
mereka dengan suatu tipu muslihat yang bisa melemahkan sanggahannya orang-orang
yang tidak sependapat tatkala mereka mengeluarkan sanggahannya dengan menentang
ilmu pasti, ilmu logika dan lain-lainnya yang terdiri dari sesuatu yang telah
mereka miliki secara otomatis, sebagaimana keterangan yang telah kami singgung
di muka.
Ketika aku melihat beberapa kelompok makhluk telah
mengalami lemah iman sampai pada batas ini dengan beberapa sebab ini pula dan
jiwaku saya lihat memang terpanggil untuk menyingkap ketidaktentuan ini,
sehingga aib dan cacat mereka itu sudah terasa begitu gampangnya bagiku dari
pada sekadar meminum air karena aku banyak menyelami ilmu mereka yakni golongan
sufi, golongan filsafat, golongan ta’limiyyah dan orang-orang yang tercatat
sebagai ulama, maka terpecahkan olehku bahwa hal itu bisa dipastikan
terwujudnya di saat ini. Maka tidak ada gunanya lagi anda melakukan khalwat
dan melakukan uzlah sebab penyakit benar-benar telah merata dan dokter-dokter
sama sakit dan manusia semuanya hampir terjerumus dalam kehancuran.
Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri: “Kapan
anda sendirian menyibakkan mendung dan mendobrak kegelapan ini? “Padahal
zaman ini adalah zaman fatrah (kosong mujaddid), periodenya adalah periode
kebatilan. Dan andaikata anda menyibukkan diri mengajak kepada manusia untuk
meninggalkan cara-cara hidup mereka menuju kepada kebenaran, niscaya anda akan
dimusuhi seluruh manusia pada zaman ini, lalu dari mana anda harus menentang
mereka?
Lantas bagaimana anda bergaul dengan mereka? Sedangkan
hal itu bisa sukses secara sempurna haruslah ditunjang dengan zaman yang
menolong dan penguasa yang benar-benar beragama kuat. Kemudian aku minta
keringanan kepada Allah ta’ala dengan tetap melangsungkan uzlahku sembari
beralasan karena tidak mampu untuk menampakkan kebenaran dengan argumentasi.
Lantas Allah ta’ala mentakdirkan dengan menggerakkan hatinya penguasa pada
waktu itu dari dirinya sendiri dengan tanpa ada yang menggerakkannya dari luar,
sehingga penguasa tersebut mengeluarkan perintah tegas kepadaku untuk segera
pergi ke Naisabur guna mengisi kekosongan ulama. Dan perintah tegas itu memang
sudah sampai pada batas yang sudah tidak bisa dibantah lagi, andaikata aku
bantah niscaya akan memuncak kepada keadaan yang membahayakan.
Kemudian terlintaslah di dalam benakku bahwa sebab
rukhsah (kemurahan) sudah benar-benar lemah, sehingga tidak seyogyanya apabila
pembangkit dan yang mendorongku untuk melakukan uzlah yang tidak ada henti-hentinya
adalah kemalasan dan ingin beristirahat, mencari kemuliaan diri dan menjaganya
dari gangguan makhluk, dan tidak mau menempatkan diri secara enak dengan
menghadapi kesulitan dan kekerasan manusia. Dan bukankah Allah ta’ala berfirman
:
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَن
يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ
الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabut: 1-3).
Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Rasul-Nya di mana
dia adalah makhluk-Nya yang paling mulia :
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ
رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ
أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ
اللَّهِ ۚ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِن نَّبَإِ
الْمُرْسَلِينَ
“Dan sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelum
kamu, maka mereka bersabar atas apa yang telah menyebabkan mereka didustakan
dan mereka disakiti sehingga datanglah pertolongan Kami kepada mereka. Tiadalah
bisa ditukar peraturan Allah. Sesungguhnya telah datang kepada engkau dari
pekabaran rasul-rasul itu” (QS. Al-An’am:
34).
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يس وَالْقُرْآنِ
الْحَكِيمِ إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ عَلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ تَنزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ لِتُنذِرَ قَوْمًا
مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَىٰ
أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ
أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ وَجَعَلْنَا مِن
بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا
يُبْصِرُونَ وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ
أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ
اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَـٰنَ بِالْغَيْبِ ۖ
فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
“Yaasiin. Demi Al-Quran yang penuh hikmah,
sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul (yang berada) di atas jalan
yang lurus (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka
belum diberi peringatan, karena itu mereka lalai”. Sesungguhnya telah pasti berlaku
perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak
beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan
mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan
di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup
(mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja bagi mereka apakah
kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan
kepada mereka, mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi
peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut
kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah
mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia” (QS. Yaasiin : 1-11).
Ayat-ayat tersebut di atas aku musyawarahkan bersama
dengan sekelompok ahli fikir dan orang-orang yang sudah mencapai tingkat
musyahadah. Kemudian mereka sepakat memberi isyarah untuk meninggalkan uzlah
dan keluar dari tempat menyepi. Dan hal itu masih diperkuat oleh beberapa
impiannya orang-orang shalih yang banyak sekali jumlahnya dan sudah mutawatir
di mana impian itu memberi kesaksian bahwa gerakan yang seperti ini merupakan
tonggak awal daripada kebaikan dan petunjuk yang telah ditakdirkan dan
digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada setiap penghujung seratus
tahun.
Dan Allah juga telah menjanjikan akan menghidupkan
agamanya, sehingga harapanku menjadi semakin kokoh saja dan “husnuzan” saya
menjadi menang disebabkan adanya kesaksian-kesaksian ini. Dan ternyata Allah
ta’ala memberi karunia kegampangan untuk bergerak ke Naisabur untuk
melaksanakan urusan penting ini pada bulan Dzulqa’dah tahun 2999 H, sedangkan
masa keluarku dari Baghdad pada bulan Dzulqa’dah tahun 488 H, sebab masa uzlahku
berlangsung sampai sebelas tahun. Ini merupakan suatu gerakan yang telah
ditakdirkan oleh Allah ta’ala, di samping itu gerakan ini merupakan salah satu
keajaiban takdir Allah yang belum terpecahkan di dalam hati selama menjalankan
uzlah, seperti halnya keluarku dari Baghdad dan meninggalkan keadaan-keadaan
seperti itu sama sekali tak pernah terlintas di dalam benakku.
Memang Allah-lah yang merubah dan membolak-balik
hatiku serta keadaanku, seperti yang ditandaskan oleh sabda Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam: “Hatinya orang-orang mu’min itu terletak di
celah-celah dua jari Ar-Rahman (Allah)”.
Saya tahu benar terhadap keadaanku, kendatipun aku
kembali menyebarkan ilmu namun aku tidak kembali kepada keadaan sebenarnya,
sebab kembali yang sebenarnya adalah kembali menjalankan kegiatan yang pernah
terjadi dan pernah saya alami pada zaman itu di mana aku pernah menyebarkan
ilmu demi meraih pangkat. Saya mengajak kepada ilmu itu dengan ucapan dan
amalku, dan itulah yang menjadi maksud dan niatku. Adapun keadaan sekarang ini
memang aku sedang mengajak kepada ilmu yang mengarah kepada suatu sasaran untuk
meninggalkan pangkat dan ilmu yang bisa dipakai untuk mengetahui betapa
rendahnya posisi pangkat. Tujuan seperti inilah yang merupakan niatku serta angan-angan
yang telah saya idam-idamkan. Allah tentu tahu hal itu dariku dan saya sangat
ingin memperbaiki diri serta gairahku. Saya tidak tahu apakah nantinya aku bisa
sampai kepada maksudku ataukah nantinya aku gagal dalam mewujudkan maksudku
tersebut, namun aku percaya sepenuhnya bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali
hanya dari Allah Yang Maha Agung, dan sesungguhnya aku tahu bahwa saya tidak
bergerak tetapi aku digerakkan oleh Allah.
Di samping itu aku juga tahu bahwa saya tidaklah
bekerja namun aku dibekerjakan Allah. Dengan demikian langkah yang aku ambil,
aku minta kepada Allah agar Dia sudi memperbaiki keadaanku, kemudian
memperbaiki apa yang ada padaku, Dia mau memberi petunjuk kepadaku sehingga aku
mendapatkan petunjuk. Dan hendaklah Dia mau memberi kekuatan kepadaku untuk
melihat perkara yang benar sebagai sesuatu yang benar. Dan hendaknya memberi
rizki kepadaku untuk bisa mengikuti perkara yang benar secara konstan.
Hendaknya Dia memperlihatkan suatu kebatilan kepadaku sehingga dengan demikian
aku bisa dan mampu untuk menjauhi serta menghindarinya.
Sekarang aku kembali kepada apa yang pernah aku
sebutkan dari berbagai sebab lemahnya iman dengan menyebutkan metoda pemberian
petunjuk dan penyelamatan mereka dari berbagai kerusakan. Sedangkan orang-orang
yang mengaku bingung terhadap apa yang pernah mereka dengan dari “ahli
pengajaran”, cara pengobatannya adalah uraian yang telah kami sebutkan di dalam
“Al-Qisthas Al-Mustaqim”, dan sengaja kami tidak membahas dan menguraikan
secara panjang lebar di dalam risalah yang sekecil ini.
Tentang hal yang dibingungkan Ahli Ibadah itu telah
kami ringkas kesyubhatan-kesyubhatan mereka di dalam tujuh macam dan kami
tuangkan serta telah kami ungkapkan di dalam kitab “Kaimiya As-Sa’adah”. Dalam
memberi sanggahan serta pengarah kepada orang-orang yang telah rusak imannya
karena mereka menempuh jalannya ahli filsafat sehingga orang-orang ini
mengingkari akan benarnya pokok-pokok kenabian, telah kami sebutkan hakikat
serta wujudnya kenabian dengan suatu bukti adanya ilmu khasiat-khasiat
obat-obatan, ilmu perbintangan dan lain sebagainya.
Kami kedepankan muqaddimah ini demi menunjang hal-hal
tersebut. Di samping itu aku juga menurunkan bukti-bukti dari khasiat-khasiat
ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan sebab bukti-bukti tersebut bersumber dari
ilmu mereka (Ahli Filsafat). Kami sendiri memberi penjelasan kepada setiap
orang yang alim (pandai) terhadap salah satu vak (disiplin) ilmu tertentu
misalnya, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu alam, ilmu sihir dan
ilmu perazimatan (tilsamah), dari ilmunya sendiri akan bukti-bukti kenabian.
Mereka yang menetapkan kenabian hanya dengan lisannya saja, tetapi kemudian
meletakkan peraturan-peraturan syara berdasarkan hikmah, maka orang-orang yang
seperti ini sudah jelas kafir terhadap kenabian, namun mereka percaya kepada
seorang yang bijaksana dan penelaah tertentu di mana penelaahaannya itu sudah
seharusnya untuk diikuti.
Ini sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai percaya
kepada kenabian, tetapi percaya kepada kenabian haruslah disertai ikrar dengan
menetapkan perkembangan di belakang akal yang di situ terbukalah mata yang bisa
mengetahui beberapa penemuan tertentu di mana akal tidak lagi berfungsi
terhadapnya, seperti tidak berfungsinya pendengaran untuk bisa mengetahui
berbagai warna, tidak berfungsinya penglihatan untuk bisa menangkap beberapa
suara dan tidak berfungsinya seluruh indera untuk bisa mengetahui segala sesuatu
yang didapat dari akal.
Jika sekiranya mereka tidak mau mengakui hal-hal ini,
terpaksa aku mengemukakan bukti-bukti atas kemungkinannya bahkan atas
kewujudannya. Dan bila mereka mau mengakui hal-hal ini, berarti telah
menetapkan dan meyakini bahwa di sana terdapat beberapa perkara yang disebut
dengan khasiat-khasiat yang sama sekali tidak bisa dijangkau oleh akal, bahkan
akal cenderung membohongkannya dan menghukumi dengan kemustahilannya. Sebab
seperenam dirham dari afiun merupakan racun yang mematikan, karena dia bisa
membikin darah membeku di dalam pembuluh-pembulhnya saking dinginnya pengaruh
yang dihasilkannya. Sedangkan orang yang mengaku tahu sedikit tentang ilmu alam
tentunya akan menduga bahwa susunan benda itu menjadi dingin hanya disebabkan
adanya dua unsur, yaitu unsur air dan unsur tanah, sebab keduanya merupakan dua
unsur dingin. Dan sudah tidak asing lagi bahwa sekian liter air dan sekian
liter tanah tidak bisa merasukkan kadar kedinginannya di dalam tubuh sampai
kepada batas ini.
Kemudian andaikata seorang ahli ilmu alam diberitahu
hal ini, tetapi dia belum mencoba dan membuktikannya, tentulah dia akan
berkomentar: “Ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi”. Adapun bukti
kemustahilannya bisa dilihat bahwa di dalam tubuh manusia terdapat unsur api
dan unsur udara, sedangkan unsur api dan unsur udara itu tidaklah bertambah
kedinginannya sehingga kita bisa memperkirakan semuanya sebagai air dan tanah.
Maka dengan demikian kesangatan dalam menimbulkan kedinginan itu tidaklah harus
terjadi. Maka apabila dua unsur panas bergabung di dalam diri manusia, sudah
barang tentu lebih tidak mendatangkan pendinginan darah yang sampai membeku,
dan ini dibilang sebagai suatu tanda bukti.
Pada dasarnya kebanyakan bukti ahli-ahli filsafat di
dalam ilmu alam dan ilmu ketuhanan bertumpu pada jenis ini, sebab mereka
membayangkan berbagai perkara itu hanyalah berdasar pada perkiraan sesuatu yang
telah mereka temukan dan yang sudah bisa mereka cerna dengan akalnya, sedangkan
perkara-perkara yang tidak bisa mereka jangkau dengan akal, maka mereka
perkirakan saja kemustahilannya. Andaikan saja tidak cepat tertolong oleh
impian yang benar lagi terkenal dan ada orang yang mengaku bahwa tatkala
seseorang itu tidur dapat melihat dan mengetahui perkara-perkara yang gaib,
niscaya orang-orang yang melakukan jalan pemikiran seperti ini akan tidak
mempercayainya.
Katakanlah kepada salah seorang: “Apakah mungkin
terjadi di dunia ini ada sesuatu benda yang ukurannya sebesar biji-bijian yang
diletakkan di suatu negeri. Kemudian tak antara lama sesuatu itu bisa menelan
segala apa saja yang berada di dalam negeri tersebut, dan tak antara lama dia
menghabiskan dirinya sendiri, sehingga tiada sesuatupun yang rupanya masih
tertinggal dan tersisa dari negeri tersebut berikut segala isinya dan benda
itupun sudah habis dan musnah sama sekali”, orang tersebut tentu akan
bilang: “Ini merupakan sesuatu yang mustahil terjadi, dan merupakan salah
satu dari bentuk cerita-cerita khayal yang dibikin-bikin saja”.
Padahal hal ini merupakan keadaannya api, dan sudah
barang tentu dia akan diingkari seseorang yang sama sekali belum pernah melihat
api seumur hidupnya tatkala dia baru mendengarnya. Dan kebanyakan dari pada
keajaiban-keajaiban akhirat memang senada dan searah dengan cerita di atas.
Kami katakan kepada seorang ahli dalam ilmu kalam: “Anda terpaksa mengakui
bahwa di dalam afiun terdapat khasiat yang berfungsi mendinginkan yang tidak
perlu menganalogikan kepada sesuatu yang bisa diterima akal. Jika demikian
halnya kenapa di dalam peraturan-peraturan syara tidak boleh terjadi adanya
khasiat dalam memberi pengobatan terhadap hati serta menjernihkan nya yang
tidak bisa diketahui oleh kebijaksanaan serta kecerdikan akal? Malah khasiat
itu tidak bisa dilihat kecuali dengan mata kenabian (fakta kenabian). Dan yang
paling aneh dan ajaib adalah bahwa mereka bisa mengakui berbagai khasiat yang
lebih aneh lagi daripada khasiat ini, yaitu suatu khasiat yang telah mereka
turunkan di dalam kitab mereka di mana khasiat tadi memberi petunjuk manjur
tentang bagaimana caranya mengobati seorang wanita hamil yang kesulitan dalam
melahirkan dengan sebuah skema tulisan seperti berikut ini:
ع ٩ ٢ د ط ب ٣ ٥ ٧ ج ه ز ٨ ١ ٦ ح ا
و
Petunjuk Penggunaan : Tulislah skema tersebut pada dua lembar kain yang belum dibasahi air
kemudian wanita yang hamil tadi suruhlah melihat pada dua kain yang telah
bertuliskan skema dengan kedua matanya, lalu taruhlah di bawah kedua telapak
kakinya, niscaya dia akan cepat melahirkan seketika itu pula. Ahli ilmu alam
itu mengakui dan mempercayai kebuktiannya hal-hal yang seperti itu dan mereka
tungkan di dalam kitab “Aja’ibul Khawwash”.
Skema tersebut terdiri dari sembilan ruang dengan
diberi angka-angka tertentu pada tiap-tiap ruang yang apabila dijumlah pada
setiap garisnya akan ketemu lima belas (15) di mana anda bisa membacanya ke
bawah maupun ke atas artinya vertikal maupun horisontal atau menyudut
(diagonal). Alangkah ruginya orang yang mempercayai akan hal itu, namun akal
fikirannya tidak mau membenarkan bahwa kepastian shalat subuh dua rakaat,
shalat zhuhur empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat mengandung berbagai
khasiat yang tidak bisa dicerna oleh akal fikiran dengan mengandalkan
kebijaksanaan serta kecerdasannya. Sedangkan sebab khasiat-khasiatnya justru
karena perbedaan waktunya. Dan barangkali khasiat ini bisa ditemukan dengan
menggunakan cahaya (nur) kenabian.
Yang aneh adalah andaikata kami merubah suatu gambaran
dengan gambarannya ahli-ahli perbintangan, tentulah mereka akan dapat mencerna
dengan akalnya tentang perbedaan waktu-waktu ini. Kemudian kami bisa
berkomentar: “Bukankah perbedaan waktu itu merupakan perbedaan hukum pada
tukang ramal dengan suatu gambaran matahari berada di tengah-tengah langit,
atau pada saat matahari terbit atau matahari di kala terbenam, sehingga mereka
mempunyai dasar yang kuat atas perkara ini dalam menentukan langkah-langkah
mereka terhadap perbedaan pekabaran yang belum jelas dan beberapa keterpautan
umur dan ajal. Dan tidak ada perbedaan antara kedudukan matahari tergelincir
(rembang) dan antara matahari berada di barat (tenggelam). Maka apakah untuk
membenarkan nya terdapat jalan kecuali bahwa hal itu hanya didengarnya dengan
gambaran seorang ahli perbintangan, barangkali dia telah menguji dan mencoba
kebohongannya seratus kali. Dan senantiasa anda akan mengulangi untuk
membenarkannya, sehingga andaikata seorang ahli perbintangan (astrolog)
berkata: “Jika matahari bercokol di tengah langit, lalu berhadapan dengan
bintang Anu sedangkan yang muncul adalah zodiak Anu, maka anda kebetulan
mengenakan baju pada waktu itu, niscaya anda akan mati di dalam pakaian
tersebut”.
Spontan adanya omongan tersebut, dia melepas pakannya
pada waktu itu pula, sekalipun dia akan merasakan kedinginan yang sampai
merasuk tulang dan kendatipun dia mendengar hal itu dari seorang ahli
perbintangan yang sudah terbukti dan sudah seringkali melakukan kebohongan
berkali-kali. Kasihan sekali!
Siapa yang mau melapangkan pikirannya untuk menerima
keanehan-keanehan ini dan terpaksa mau mengakui bahwa keanehan-keanehan
tersebut merupakan khasiat-khasiat yang bisa diketahui lewat mu’jizatnya
sebagian para nabi. Bagaimana dia bisa mengingkari hal-hal seperti ini menurut
apa yang dia dengar dari ucapan nabi yang senantiasa jujur lagi pula diperkuat
dengan kehadirannya berbagai mu’jizat di mana nabi itu sama sekali belum pernah
melakukan suatu kebohongan. Dan jika dia mau menganalisa tentang kemungkinan
khasiat-khasiat ini terdapat di dalam bilangan rakaat, dalam lemparan jumrah,
pada bilangan rukun-rukun haji dan ibadah-ibadah syara lainnya, niscaya dia
tidak akan menemukan antara khasiat-khasiat berbagai ibadah tersebut dan antara
khasiat-khasiat obat-obatan suatu perbedaan sama sekali.
Jika terdapat seseorang yang berkata: “Aku telah
mengadakan eksperimen sedikit dari ilmu perbintangan dan sedikit dari ilmu
kedokteran; sehingga aku telah berhasil menemukan sebagaimana sebagai suatu
yang benar, dan sebagai akibatnya terbetiklah suatu kepercayaan dalam diri saya
untuk membenarkannya tetapi hatiku menentukan untuk menjauhi serta berlari dari
padanya. Sedangkan yang ini belum pernah saya uji, lalu dengan cara apa aku
bisa mengetahui kewujudan serta kebenarannya, kendatipun aku telah mengakui
kemungkinan nya”, cukuplah aku katakan: “Sesungguhnya anda tidak cukup
hanya membenarkan apa yang telah anda eksperimenkan, tetapi anda juga harus
mendengarkan berita-beritanya orang-orang yang telah melakukan eksperimen dan
anda haruslah mengikuti mereka. Dengarkanlah ucapan-ucapan para wali, sebab
merekalah yang telah melakukan eksperimen dan benar-benar telah menyaksikan
kebenaran pada segala apa yang telah diturunkan oleh syara. Ikuti dan
berjalanlah di atas jalan yang telah ditempuh mereka, kelak anda akan menemukan
dan mengetahui sebagian perkara-perkara itu dengan penglihatan yang nyata
kendatipun anda tidak mengadakan eksperimen lebih dulu, sehingga dengan
sendirinya akal fikiran anda memutuskan dan bisa memastikan wajib membenarkan
dan mengikuti dengan tanpa bisa dibantah lagi. Andaikata kita berasumsi ada
seorang yang telah dewasa lagi pula berakal, namun dia belum pernah mengalami
takut, tanpa disangka-sangka sebelumnya ternyata dia jatuh sakit. Dan
kenyataannya dia masih memiliki seorang ayah yang sayang sekali kepadanya dan
pandai sekali tentang ilmu kedoktrean di mana dia sudah mendengar pengakuan
ayahnya yang terkenal pandai ilmu kedokteran semenjak dua mulai bisa berfikir.
Kemudian ayahnya meracik obat-obatan untuk dirinya sembari berkata: “Ini baik
sekali untuk mengobati sakitmu dan ini bisa menyembuhkan dari sakitmu”.
Maka keputusan apa yang akan dicetuskan oleh akal
fikiran anda, kendatipun obat tersebut terasa pahit di mulut dan tidak enak
rasanya, apakah obat tadi anda minum? Ataukah anda mendustakannya dan berkata: “Saya
tidak bisa mencerna dan menerima dengan akal fikiran saya akan segi persamaan
obat ini untuk bisa menghasilkan kesembuhan, sebab saya belum mencobanya?” Sudah
tidak diragukan lagi anda tentu akan mengatakan, orang yang berkata seperti itu
adalah orang yang dungu.
Demikian pula halnya, anda akan dikatakan dungu oleh
orang-orang yang telah mempunyai penglihatan hati (Ahlul Bashair) dalam ketidaktentuan
dan kepasifan anda. Jika anda menanyakan: “Dengan cara apa aku bisa
mengetahui belas kasih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan
mengetahuinya dengan mengkaitkannya kepada ilmu kedokteran?” Jawabannya
adalah: “Dengan cara apa anda bisa mengetahui kasih sayang ayahmu?”
Bukankah hal kasih sayang merupakan perkara yang tidak bisa diraba dengan
indera? Tetapi anda bisa mengetahinya lewat qarinah-qarinah tindak lakunya,
bukti-bukti perbuatan nya, dan lewat beberapa penampilannya di mana semuanya
itu bisa anda ketahui secara alami yang tidak perlu adanya latihan dan andapun
tidak akan bisa menyangkal kebenarannya.
Seorang yang mau memperhatikan dengan cermat terhadap
ucapan-ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah-sunnah yang
diturunkannya dalam tugas pentingnya memberi petunjuk kepada makhluk serta
kasih sayang beliau kepada sesama manusia yang telah beliau curahkan tanpa
pilih kasih sampai kepada pembentukan akhlak yang luhur serta usaha beliau
dalam membaikkan hubungan antara kedua orang yang bertengkar, dan pokoknya
secara keseluruhan usaha-usaha beliau yang mengarah kepada perbaikan umat di
dunia dan akhirat, itu bisa dia peroleh lewat pengetahuan yang sifatnya dharuri
(tak usah dicari) bahwa kasih sayang Nabi kepada umatnya itu lebih besar bila
dibanding dengan kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
Apabila seseorang mau menilik dan mau menganalisa
terhadap berbagai keajaiban suatu perkara yang nampak pada diri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, mulai dari tindakan-tindakannya, keajaiban-keajaiban
perkara ghaib yang telah dikhabarkan Al-Quran lewat omongannya, dan pada
berita-berita yang lain sampai kepada berita-berita yang telah beliau tuturkan
tentang keadaan akhir zaman sedangkan munculnya hal-hal tadi yang telah beliau
sebutkan bisa diketahui dengan spontanitas—bahwa perkara-perkara tersebut
memang telah sampai pada suatu tingkatan atau lingkungan yang berada di
belakang akal fikiran, sehingga terbukalah mata yang bisa menyingkap segala
tabir keghaiban di mana hal ini tidak bisa dilakukan kecuali olrah orang-orang
khusus, di samping itu tersingkap pulalah berbagai perkara yang tidak bisa
ditangkap oleh akal.Ini merupakan suatu jalan untuk menghasilkan ilmu dharuri
tentang kebenaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu ujilah dan renungkanlah Al-Quran dan
lihatlah hadits-hadits beliau niscaya anda akan mengetahui itu semua dengan
mata kepala. Kiranya uraian yang tidak begitu panjang ini mampu untuk
mengingatkan dan menyadarkan ahli-ahli filsafat, di mana uraian singkat ini
kami kedepankan mengingat perlu sekali di zaman yang sudah seperti ini. Adapun
sebab keempat adalah lemahnya iman dikarenakan buruknya perilaku para ulama,
sehingga penyakit ini perlu adanya pengobatan tiga perkara: Hendaknya anda
berkata bahwa seorang pandai (alim) yang telah anda duga bahwa dia memakan
makanan yang haram, pengetahuannya terhadap haramnya perkara yang haram itu
seperti pengetahuan anda terhadap haramnya khamar (tuak) dan harta riba, bahkan
terhadap keharamannya mempergunjing orang lain dan adu domba, padahal anda tahu
hal itu, tetapi anda melakukannya.
Alasannya bukan tidak percaya bahwa hal itu merupakan
tindakan durhaka, namun karena anda telah dikalahkan oleh nafsu anda sendiri.
Demikian pula hawa nafsunya juga seperti hawa nafsu anda, di mana hawa nafsu
itu telah berhasil menguasainya sebagaimana anda juga kalah oleh hawa nafsu.
Sedangkan pengetahuannya selain hal-hal ini berbeda sekali dengan anda di mana
pengetahuan tersebut tidak lagi berimbang bila hanya dikaitkan dengan sekadar
melarang untuk tidak melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh syara.
Berapa saja orang yang percaya terhadap ilmu
kedokteran namun dia tidak betah menahan dirinya untuk tidak makan buah-buahan
dan air kendatipun dia dilarang oleh seorang dokter untuk tidak memakannya. Dan
hal itu bukannya menunjukkan bahwa makanan dan minuman itu tidak membahayakan
atau bukannya menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap dokter itu tidak tulus,
namun hal ini sangat ditentukan sekali terhadap kekhilafan ulama itu sendiri.
Katakanlah kepada seorang yang masih awam: “Seyogyanya
anda menanam kepercayaan bahwa seorang yang pandai (alim) membikin ilmunya
sebagai simpanan untuk dirinya untuk diambil kelak di akhirat, dan orang alim
ini menduga bahwa ilmunya itulah yang nantinya akan bisa menyelamatkannya serta
menolongnya sehingga dia tenang-tenang serta enak-enakan dalam beramal karena
keutamaan ilmunya. Sekalipun kini mungkin akan menambah argumentasi bagi orang
awam tersebut, namun hal itu akan menambah derajat bagi seorang alim dan ini
sangat mungkin sekali. Sebab bagaimanapun juga andaikata dia (orang alim) tidak
melakukan amal sama sekali, namun dia masih punya cadangan ilmu. Tetapi kalau
anda, wahai orang awam, jika anda selalu menelitinya sedangkan anda sama sekali
tidak mempunyai imu niscaya anda akan rusak sebab buruknya amal anda dan anda
tidak memiliki penolong”.
Menurut kenyataannya orang alim itu tidak akan
senantiasa berbarengan dengan kemaksiatan, kecuali jika terjadi dengan tidak
disengaja atau khilaf. Di samping itu dia tidak akan selalu menjalankan
kemaksiatan-kemaksiatan, sebab ilmu hakiki (yang sebenarnya) adalah ilmu
yang bisa untuk melihat dan mengetahui bahwa maksiat merupakan racun yang
mematikan, bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia. Seseorang yang
telah mengerti demikian itu niscaya dia tidak akan mau menjual perkara yang
baik dengan sesuatu yang buruk. Ilmu yang seperti inilah yang tidak bisa
didapat dengan mengetahui berbagai macam ilmu yang digeluti oleh kebanyakan
manusia.
Oleh sebab itulah ilmu-ilmu tersebut tidaklah menambah
kepada mereka kecuali berani untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Adapun ilmu hakiki mempunyai ciri khas menambah takut dan takwa
bagi si pemiliknya, sehingga ilmu tersebut akan bisa merupakan benteng
antara dirinya dan maksiat kecuali kekhilafan-kekhilafan yang senantiasa
menempel pada diri setiap insan pada beberapa kesempatan, dan hal itu bukan
berarti menunjukkan kemahnya iman. Sebab seorang mu’min tentu terkena fitnah
lagi pula banyak taubatnya, dan dia sendiri tentunya dijauhkan dari
terus-menerus melakukan maksiat.
Demikian inilah sesuatu yang hendak aku sebutkan dalam
mencela ilmu filsafat dan Ta’lim beserta afat-afatnya serta berbagai afatnya
orang yang mengingkari kedua ilmu tersebut kecuali dengan metodologinya.
Akhirnya kami memanjatkan do’a dan pertolongan kepada
Allah Yang Maha Agung agar Dia mau menjadikam kami termasuk orang-orang yang
telah Dia beri petunjuk menuju ke jalan yang benar serta Dia beri petunjuk dan
selalu Dia beri ilham untuk senantiasa ingat kepada-Nya sehingga tidak akan
melupakan-Nya, dan Dia jadikan termasuk orang-orang yang Dia lindungi dari
kejahatan dirinya sendiri sehingga tidak ada yang bisa mempengaruhinya selain
Allah dan semoga Dia menjadikan kami termasuk orang yang Dia murnikan untuk
diri-Nya sendiri sehingga tidak akan menyembah kecuali kepada-Nya.
Pembicaraan tentang Metode Kaum Sufi
Tatkala aku sudah rampung membicarakan berbagai ilmu
ini, aku hadapkan cita-cita kuatku untuk membicarakan metodanya kaum sufi. Aku
telah tahu bahwa metoda mereka dapat tercapai dan terwujud dengan sempurna
hanya melalui ilmu dan amal. Sedangkan keberhasilan ilmu mereka adalah
menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkannya dari budi pekertinya yang
buruk dan sifat-sifatnya yang tidak baik, sehingga jiwa ini benar-benar akan
sampai kepada pengosongan hati dari selain Allah ta’ala serta menghiasinya
dengan dzikir kepada Allah.
Menurut pandanganku ilmu itu lebih mudah dari pada
amal. Oleh karena itu aku mulai dulu untuk mendapatkan ilmu mereka dengan
cara menelaah kitab-kitab mereka, seperti kitab “Qutul Qulub” oleh Abi Thalib
Al-Makki rahimahumullah dan beberapa kitabnya Al-Harits Al-Muhasibi
serta berbagai karangan terkenal yang berhasil dikarang oleh Imam Junaid, Asy Syibli,
Abu Yazid Al-Busthami dan lain-lainnya yang terdiri dari pembicaraan guru-guru
mereka, hingga aku benar-benar berhasil melihat dan menelaah secara mendalam
mengenai hakikat maksud keilmuwan mereka.
Di samping itu aku juga telah berhasil meraih apa yang
bisa aku dapatkan dari metoda mereka dengan cara belajar dan mendengarkan. Dan
nampaklah olehku untuk mengkhususkan orang-orang khusus mereka selagi tidak
sampai kepadanya kecuali dengan belajar bahkan dengan citarasa, keadaan dan
pergantian berbagai sifat. Kemudian berapa saja perbedaan untuk mengetahui
batasan sehat dan batasan kenyang disertai beberapa sebab dan berbagai
syaratnya serta perbedaan yang menjelaskan bahwa seseorang itu dikatakan sehat
dan dikatakan sebagai orang yang kenyang, dan perbedaan untuk mengetahui
batasan mabuk. Mabuk adalah suatu gambaran dari suatu keadaan di mana uap itu
membumbung naik dari perut besar menuju ke atas rongga fikiran. Dan bagaimana
keadaan seseorang yang sedang mabuk itu. Bahkan orang yang mabuk tidak akan mengetahui
batasan mabuk dan pengetahuan tentangnya. Akan tetapi orang yang sadar
sepenuhnya, dia akan tahu tentang batasan mabuk, sendi-sendinya dan keadaan
yang berkaitan dengan mabuk itu sendiri.
Seorang dokter dalam keadaan sakit, tentu tahu batasan
sehat, sebab-sebabnya serta obat-obatnya, padahal dia sendiri tidak dalam
keadaan sehat dan kehilangan kesehatannya. Demikian halnya perbedaan ada untuk
mengetahui hakikat zuhud, syarat-syaratnya dan sebab-sebabnya, dan antara
keadaan anda sebagai orang yang zuhud dan keterasingan diri anda dari dunia,
sehingga secara yakin anda akan tahu bahwa kenyataannya mereka merupakan
orang-orang yang banyak bertindak dan bukannya orang-orang yang hanya pandai
bicara.
Apa saja yang dapat diraih dengan cara ilmu, tentu sudah
aku raih dan tiada yang tersisa kecuali apa yang tidak bisa ditempuh dengan
cara mendengarkan, mempelajari bahkan dengan cita rasa dan suluk.
Keberhasilanku dari berbagai ilmu yang telah aku latih dan telah aku coba dan
beberapa suluk yang telah aku tempuh dan aku alami dalam rangka meneliti
tentang fak ilmu-ilmu syar’iyyah dan aqliyyah, merupakan keimanan yang yakin
terhadap Allah ta’ala, terhadap kenabian dan hari akhir.
Tiga pokok keimanan ini yang justru telah menancap
dalam jiwaku, bukan hanya sekadar dengan dalil tertentu, namun disertai pula
dengan berbagai sebab dan bukti-bukti konkrit serta berbagai eksperimen yang
tidak mungkin bisa diuraikan secara terperinci satu persatu.
Sampailah aku pada suatu kesimpulan bahwa tiada lagi
suatu ambisi dan angan-angan untuk meraih kebahagiaan akhirat kecuali hanya
dengan taqwa dan mencegah serta mengekang hawa nafsu. Sedangkan pangkal
dari hal itu semua adalah memutuskan kontaknya hati dengan dunia melalui cara
menjauhkan diri dari alam yang penuh tipu daya dan kepalsuan menuju kepada alam
yang kekal dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah ta’ala. Dan semua itu
tidak akan tercapai dan sempurna kecuali dengan memalingkan diri dari pangkat,
harta dan lari dari berbagai kesibukan serta kerepotan.
Kemudian aku mengadakan penelitian terhadap kondisiku,
ternyata aku menemukan diriku sedang terbenam dalam berbagai kesibukan. Saya
telah mengadakan liputan dan mengadakan pengamatan terhadap amal-amalku dari
berbagai sisi—sedangkan yang paling baik adalah bidang pengajaran dan
pendidikan—ternyata aku dihadapkan kepada ilmu-ilmu yang tidak penting dan
tidak bermanfaat dalam menempuh akhirat.
Kemudian aku berfikir tentang niatku dalam memberi
pengajaran, tetapi tak tahunya niat itu tidak lagi murni ke hadapan Allah subhanahu
wa ta’ala, bahkan pembangkit dan penggeraknya adalah usaha mencari pangkat
dan menyebarkan nama baik sehingga aku berkeyakinan bahwa saya benar-benar
sudah berada di bibir jurang yang membahayakan dan saya benar-benar telah
berada di pinggir neraka, jika saja aku tidak menyibukkan diri untuk menarik
keadaanku yang sudah seperti ini. Senantiasa aku berfikir mencari pemecahannya
selama beberapa waktu, untuk menentukan langkah dan arah secara mantap. Sesudah
itu barulah aku menemukan suatu kesempatan baik di mana aku sudah mempunyai
tujuan dan cita-cita kuat untuk keluar dari Baghdad dan berpisah dengan
beberapa pengaruh lingkungan.
Dalam cita-citaku yang demikian itu terbentur oleh
keragu-raguan yang kadang-kadang mau dan kadang-kadang mundur. Kesenanganku
mencari akhirat tidaklah menjadi bersih dan jernih pada pagi hari melainkan dia
terbawa oleh pasukan syahwat (keinginan) sehingga dia yang membikinnya lemah
dan letih pada waktu sore hari. Kemudian keinginan-keinginan dunia itulah yang
menyeretku dengan rantai-rantainya kepada suatu tempat. Adapun panggilan iman
selalu mengumandangkan: “Mengembara! Mengembara! Padahal umur yang tersisa
tinggal sedikit, sementara itu perjalanan yang terbentang di depan anda amatlah
panjang dan amal serta ilmu yang anda miliki hanya merupakan riya dan
imajinasi. Jika tidak mempersiapkan diri sejak sekarang untuk meraih akhirat,
lantas kapan lagi anda persiapkan hal itu. Dan jika anda tempuh sekarang,
lantas kapan anda menempuhnya? Setelah itu, terbetiklah ajakan serta teguhnya
pendirian untuk melarikan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.
Tetapi kemudian syaitan datang kembali seraya berkata:
“Ini adalah keadaan baru dan hendaklah anda jangan menyetujuinya, sebab dia
sebentar saja akan musnah dan sirna. Jika anda menurutinya lalu anda
meninggalkan pangkat serta jabatan yang penting ini ditambah kedudukan yang
sudah teratur dan sepi dari kesukaran serta kesulitan masih ditambah lagi
urusannya orang Islam yang sudah murni dan jernih dari pertentangan, maka
barangkali jiwa anda menjadi senang, namun anda tidak akan mudah untuk
mengulanginya lagi”.
Oleh karena itulah aku senantiasa ragu-ragu antara
terseret oleh keinginan-keinginan dunia dan dorongan-dorongan untuk meraih
akhirat selama kurang lebih enam bulan yang berawal dari bulan Rajab tahun 488
H. Dan dalam bulan inilah keadaannya memang benar-benar telah melampaui batas
kebiasaan sampai kepada batas dharurat (terpaksa), sebab Allah telah mengunci
lidahku sehingga aku benar-benar kesulitan untuk memberikan pengajaran serta
kuliah-kuliah. Dalam keadaan sudah seperti itu aku berusaha sekuat tenaga untuk
belajar sehari penuh guna menyenangkan hati yang sedang bentrok. Dan pada hari
itu lidahku tidak lagi bisa berkata sepatah pun danjuga tidak mampu untuk
mengatakannya sama sekali. Kemudian penderitaan yang berupa kegaguan lidahku
menimbulkan suatu kesusahan yang mengganggu pada pencernaan makanan serta
minuman, sehingga minuman tidak terasa segar lagi begitu pula suapan pun tidak
lagi bisa dicerna dan akhirnya berlanjut kepada lemahnya kekuatan jiwaku.
Sampailah pada suatu kesimpulan di mana para dokter
sudah memutuskan untuk mengobatiku. Mereka berkata: “Ini merupakan suatu
penyakit yang telah menyerang di dalam hati, dan dari sana penyakit itu
menjalar kepada suhu badan. Maka tidak ada jalan lain kecuali dengan
menghilangkan dan mengusir rahasia tentang kesedihan yang amat menyakitkan”. Ketika
aku telah merasakan ketidakmampuanku dan sudah gugur semua ikhtiarku, maka aku
berlindung diri kepada Allah ta’ala sebagaimana mestinya orang yang kepepet dan
sudah tidak ada tempat untuk menghindar lagi.
Maka tak antara lama permintaanku itu diijabahi oleh
Dzat yang memperkenankan permintaan orang yang terjepit bila dia mau meminta.
Kemudian dengan gampang hatiku berpaling dari pangkat, harta, keluarga, anak
dan beberapa sahabat. Saya sengaja menampakkan niatku untuk pergi ke Makkah, padahal
dibalik itu aku menyembunyikan diri akan pergi ke Syam, karena aku sendiri
khawatir bila ketahuan oleh khalifah dan sejumlah teman dan sahabatku atas
niatku menetap di Syam.
Kemudian aku mengadakan ramah-tamah dengan tipu muslihat
yang amat halus dalam usahaku keluar dari Baghdad dengan niat tidak akan
kembali lagi untuk selama-lamanya. Lantas aku menghadap dan sowan kepada
seluruh imannya penduduk Iraq, sebab di antara mereka tidak ada yang
membolehkan jika berpalingku dari apa yang sedang aku alami sekarang merupakan
sebab agama, karena mempunyai dugaan bahwa hal itu merupakan kedudukan yang
paling tinggi dalam agama. Dan kata mereka bahwa kedudukan itu merupakan
kedudukan yang paling puncak dari pada ilmu.
Kemudian di kalangan masyarakat timbullah kekacauan
dalam mengadakan dan mengeluarkan buah fikiran mereka dan dari kalangan
orang-orang Iraq timbul suatu anggapan bahwa hal itu merupakan peringatan dari
pihak penguasa. Adapun orang-orang yang kedudukannya dekat dengan penguasa
tentu mereka tahu dan benar-benar menyaksikan betapa para penguasa itu amat
menggantungkan dirinya kepadaku, tidak senang kepadaku, di samping itu mereka
juga menyaksikan bagaimana saya tidak memperdulikan mereka dan dari menengok
kepada ucapan mereka, sehingga mereka berkata: “Ini merupakan perkara samawi
(langit) dan tidak ada sebabnya kecuali mata yang telah mengena kepada pemeluk
Islam dan kelompok ilmu”.
Tak antara lama, aku meninggalkan Baghdad lalu aku
lepaskan semua yang pernah menjadi milikku yang terdiri dari harta benda dan
tidak ada yang aku simpan melainkan sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan
dan sekadar makanan pokoknya anak-anak dengan pertimbangan harta yang berada di
Iraq memang disediakan untuk kemaslahatan sebab dia merupakan harta yang telah
diwakafkan kepada orang-orang Islam. Karena saya tidak melihat di dunia ini
akan harta yang telah digunakan oleh seorang yang alim untuk mencukupi
keluarganya melebihi harta tersebut dalam hal kemaslahatannya.
Kemudian aku masuk negeri Syam lalu aku menempat di
sana kurang lebih dua tahun di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali
uzlah, khalwah riyadhah dan mujahadah dengan maksud utama membersihkan diri,
melatih dan mendidik akhlak dan memurnikan hati untuk berdzikir kepada Allah subhanahu
wa ta’ala sebagaimana petunjuk ilmu tasawuf yang telah berhasil aku kuasai.
Lantas aku mengadakan kunjungan ke masjid Damsyik
(Damaskus) dan aku melakukan I’tikaf di sana beberapa saat lamanya. Kemudian
aku naik di atas menara masjid sepanjang hari dan tak lupa aku mengunci
pintunya. Setelah aku selesai beri’tikaf di Masjid Damaskus, aku kembali
meneruskan perjalanan menuju ke Baitul Muqaddas kemudian aku melakukan tindakan
yang sama seperti di kala aku berada di Masjid Damaskus. Setelah beberapa lama
aku berada di Baitul Mmuqaddas, tergeraklah olehku keinginan dan panggilan
untuk menunaikan ibadah haji dan minta bantuan dari beberapa barakahnya Makkah
dan Madinah serta berziarah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
setelah rampung melakukan ziarah ke Al-Khalil Ibrahim ‘alaihis salam.
Kemudian aku melakukan perjalanan menuju Hijaz, tetapi
aku terseret oleh cita-citaku dan seruan anak-anakku untuk menengoknya, sesudah
sekian lama aku tidak kembali kendatipun tadinya aku sudah memutuskan tidak
akan kembali lagi untuk selama-lamanya. Lagi-lagi uzlah mendapatkan kedudukan
utama dan mendatangkan keinginan yang kuat untuk berkhalwat dan membersihkan
hati hanya untuk berdzikir kepada Allah.
Adalah berbagai kejadian dan peristiwa zaman,
tugas-tugas penting keluarga dan beberapa keharusan penghidupan yang justru
merubah tujuan yang sedang dicita-citakan serta mengganggu kejernihan khalwat,
sehingga keadaan tidak menjadi tenang dan jernih lagi kecuali dalam
waktu-wakatu yang berbeda-beda. Namun kendatipun demikian aku tidak akan
memutuskan keinginan untuk berkhalwat serta membersihkan hati tersebut.
Sehingga demi mencapai keinginanku itu aku harus menghadapi berbagai rintangan
dan kembali bertarung dengannya. Dan keadaan seperti itu berlangsung kira-kira
sepuluh tahun.
Di tengah-tengah khalwatku ini tersingkap beberapa
perkara yang tidak mungkin dihitung dan tidak mungkin diselidiki
sedalam-dalamnya. Sedangkan ukuran yang aku sebutkan yang sekadar untuk dipetik
manfaatnya adalah bahwa golongan sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah subhanahu
wa ta’ala saja dan perjalanan hidup mereka merupakan jalan yang paling
lurus, akhlak mereka merupakan akhlak yang paling bersih dan suci. Bahkan
andaikata akalnya orang-orang yang kreatif, kebijaksanaannya para cendekiawan,
ilmunya orang-orang yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syara’ yang
terdiri dari pada ulama mau merubah saja sedikit dari perjalanan hidup mereka
dan akhlak mereka lalu mereka menggantinya dengan yang lebih baik niscara tidak
mungkin akan bisa.
Sebab segala gerakan mereka dan ketenangan mereka di
dalam lahir dan batinnya memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu
kenabian, padahal di balik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak
lagi ditemukan cahaya yang bisa dipakai untuk menerangi. Secara globalnya saja,
lantas apa kata orang tentang terikat (cara) golongan sufi itu? Padahal syarat
utama dari pada tarikat ini adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari
selain Allah ta’ala sedangkan kuncinya yang menempati kedudukan keharaman dari
pada shalat adalah menenggelaman hati secara keseluruhan dengan berdzikir
kepada Allah.
Dan akhir dari pada syaratnya adalah melebur diri
secara keseluruhan kepada Allah, di mana ini merupakan bagian akhir bila
disandarkan kepada sesuatu yang hampir saja masuk di bawah ikhtiar dan kasab
sejak dari permulaan. Dan tarekat semacam ini menurut kenyataannya merupakan
permulaan tarekat, sedangkan apa yang sebelum itu hanya bagaikan koridor (gang
yang terdapat di dalam rumah) bagi seorang yang akan berjalan melewatinya. Dan
justru dari permulaan tarekat inilah mukasyafah (tersingkapnya segala tabir)
dan musyahadah (dapat melihat dengan jelas) dimulai, sehingga mereka dalam
keadaan terhadi dapat menyaksikan malaikat dan ruh-ruhnya para nabi ditambah
lagi mereka masih bisa mendengarkan suara-suara mereka lalu dari mereka pula
golongan tarekat ini dapat memetik berbagai faidah.
Kemudian keadaannya menjadi meningkat mulai dari
penyaksian terhadap beberapa gambar dan lukisan sampai kepada derajat yang
sulit untuk diucapkan oleh mulut dan sudah sulit lagi untuk digambarkan. Dan
kalaupun harus diucapkan niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang besar sekali
di mana sudah tidak mungkin lagi untuk dilindungi dan secara kesimpulannya
perkara yang demikian ini akan sampai kepada suatu tempat yang hampir saja
mendekati imajinasi yang telah digambarkan oleh “Kelompok Hulul”, “Kelompok
Ittihad”, dan “Kelompok Wushul”.
Sedangkan semua itu adalah keliru, di mana segi
kekeliruannya telah kami jelaskan di dalam “Kitab Al-Maqshad Al-Iqsha”, bahkan
orang telah mengena dan mengalami keadan yang semacam itu tidak seyogyanya
menambah atas apa yang telah diucapkan oleh syair : “Dan apa yang telah
terjadi termasuk sesuatu yang tidak perlu aku sebutkan, sebab dia disangka
baik, tetapi anda tidak bertanya dulu tentang khabar kebaikan itu”.
Sedangkan secara garis besar dapatlah disimpulkan
bahwa siapa saja yang tidak mendapat anugerah sedikit dari cita rasa,
niscaya dia tidak akan mampu mengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan
hanya sekadar mengena namanya saja, menurut kenyataannya beberapa
karamahnya wali merupakan langkah awal dari pada nabi, dan terbukti bahwa hal
itu merupakan keadaan permulaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tatkala beliau menuju Ke Gua Hira di mana di sana beliau menyadari serta
beribadah kepada Tuhannya sehingga bangsa Arab berkata : “Sesungguhnya
Muhammad sangat rindu kepada Tuhannya”.
Keadaan yang seperti ini hanya bisa diketahui secara
pasti dengan menggunakan cita rasa oleh orang yang biasa menggunakan cara yang
seperti itu. Maka barang siapa yang tidak dikarunia cita rasa niscaya dia akan
bisa menyakiti keadaan yang seperti itu dengan cara eksperimen (percobaan) dan
dengan cara dengar mendengarkan jika hanya dia banyak bersahabat dengan mereka
sehingga dia benar-benar faham dengan beberapa bukti keadaan. Lantas barang
siapa yang mau satu majlis dengan mereka niscaya dia akan dapat menyerap faidah
keimanan ini dari mereka. Sebab mereka merupakan suatu kaum di mana teman
duduknya tidak akan mengalami celaka. Dan barang siapa yang tidak mendapatkan
bagian menemani mereka, niscaya dia akan tahu kemungkinannya hal itu secara
yakin dengan saksi dalil-dalil sebagaimana yang telah kami sebutkan di dalam
“Kitab Ajaib Al-Qalb” yang kami sunting dari “Kitab Ihya Ulumiddin”.
Menegaskan dengan dalil merupakan suatu ilmu,
sedangkan mengenakan inti keadaan itu merupakan cita rasa, dan menerima dari
hasil dengan mendengarkan dengan husnuzan (baik sangka) merupakan keimanan.
Inilah tiga derajat, sebagaimana yang sudah tertuang di dalam firman Allah
ta’ala :
...
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ...
“...Niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa
derajat”... (QS. Al-Mujadalah: 11).
Di samping kaum sufi ini yang telah mencapai derajat
yang demikian tadi, banyak terdapat kaum yang dungu. Mereka inilah yang tidak
mengakui pokok dan asal hal itu di mana mereka mengagumi omongan ini, mereka
mendengarkan lalu mereka mengejek dan katanya: “Sungguh mengherankan,
bagaimana mereka bisa mengigau.”
Terhadap orang-orang yang berkomentar demikian ini
Allah ta’ala berfirman :
وَمِنْهُم مَّن
يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّىٰ إِذَا خَرَجُوا مِنْ عِندِكَ قَالُوا لِلَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا ۚ أُولَـٰئِكَ
الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan
perkataan sehingga apabila mereka ke luar dari sisimu mereka berkata kepada
orang yang telah diberi pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apa yang
dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka
oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Muhammad:
16).
Di antara latihan tarekat kaum sufi yang telah
berhasil aku kuasai dengan jelas adalah hakikat kenabian serta khasiatnya. Oleh
karena itu sudah seharusnya dikemukakan menurut aslinya, mengingat kepada
sangat pentingnya kebutuhan akan hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar