Pages

Bid'ah

Masalah bid'ah  adalah satu masalah yang sulit dan rumit karena menyangkut banyak bidang dalam masalah agama. Ia ada sangkut pautnya dengan banyak hadits yang termaktub dalam beberapa kitab hadits dan bertalian pula dengan banyak amalan sahabat Nabi radhiyallahu anhum. Ada orang mengatakan, "ini bid'ah, ini sesat", padahal dia belum/tidak mendalami, bahkan ta'rif atau definisi bid'ahpun tidak tahu. Hal ini sama dengan pribahasa yang mengatakan,"Banyak orang yang mendengar bunyi lonceng, tetapi sedikit sekali yang mengatahui dimana letaknya anak lonceng itu."
Dalam hubungannya dengan bid'ah ini ada beberapa hadits Nabi yang memberikan ancaman bagi ahli bid'ah, sehingga ada hadits mengatakan bahwa ahli bid'ah itu anjing neraka. Para ulama Islam tahu betul perkara ini karena tertulis dalam kitab hadits yang mu'tabar, sehingga tidak ada seorang ulama ahlus sunnah wal jama'ah dimanapun (termasuk ulama yang bermadzhab Syafi'i yang ada di Indonesia) yang menganjurkan ummat Islam untuk membuat bid'ah karena para ulama ini tahu akan akibat dan bahayanya bid'ah.
Misalnya ada orang yang mengatakan bahwa Imam Nawawi rahimahullah (wafat tahun 667 H) menganjurkan ummat Islam membuat bid'ah dan dia ahli bid'ah, hanya karena memfatwakan sunnat membaca ushalli sebelum takbiratul ihram, maka tuduhan seperti itu sangat tidak ilmiyah dan dusta. Kita tahu bahwa Imam Nawawi merupakan seorang ulama besar dalam madzhab Syafi'i, pengarang kitab fiqih "Syarah Muhadzab" dan pakar atau ahli hadits dengan mensyarahkan kitab "Sahih Muslim". Beliau juga pengumpul hadits-hadits seperti dalam karyanya "Riadush Shalihin" dan Al Adzkar" serta banyak lagi kitab karangannya.
Namun akhir-akhir ini beberapa diantara ummat Islam yang mengaku ulama atau pakar dalam ajaran Islam, sehingga menisbatkan dirinya sebagai pengikut para ulama salaf dan mengaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Dengan gagah berani dan penuh kebanggan, mereka mengajak ummat Islam supaya mengikuti jejak langkah  atau sunnah para ulama salaf yang saleh dengan cara yang primitif, penuh kebodohan, fanatisme buta/taklid, dengan pemahaman yang dangkal dan dengan dada (pengertian) yang sempit. Bahkan mereka juga memerangi setiap suatu yang baru dan mengingkari suatu penemuan baru yang baik dan bermanfaat, hanya karena dinilai -oleh pemahaman mereka yang sempit- sebagai bid'ah. Dalam pemahaman mereka, tidak ada sesuatu yang bid'ah kecuali pasti menyesatkan. Mereka menutup mata dan tidak mau melihat adanya realitas yang menuntut adanya pembedaan antara bid'ah hasanah dan bid'ah dlalalah -yang menyesatkan. Padahal ruh Islam menghendaki adanya pembedaan antara berbagai bid'ah yang ada, yang menjadi tuntutan akal yang cerdas dan pemahaman atau pandangan yang cemerlang.
Itulah yang telah ditahqiq atau diakui kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh para ulama yang pakar dalam ushul (fiqih) dari kalangan ulama’ yang saleh, seperti Imam Izzuddin bin Abdissalam, Imam Nawawi,  Jalaluddin As Suyuthi, Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Ibnu Hajar Asqalani rahimahumullah ta'ala. 
Untuk menghindari kesalahpahaman hadits-hadits nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam maka perlu ditafsiri sebagian hadits dengan sebagian yang lain, dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadits lainnya pula. Hadits Nabi dipahami secara cermat dan teliti, komprehensif dan menyeluruh; tidak dipahami secara partial atau sepotong-sepotong. Yang lebih penting lagi harus dipahami dengan ruh Islam dan sesuai dengan pendapat para ulama salaf yang saleh. Lebih jelasnya, untuk memahami hadits-hadits Nabi diperlukan kecemerlangan akal, kecerdasan intelektual, pemahaman yang mendalam dan disertai hati yang bersih dan sesnsitif, yang pemaknaan dan pemahamannya didasarkan pada "lautan syari'ah Islam" dengan memperhatikan kondisi dan situasi ummat Islam dalam berbagai kebutuhannya. Namun situasi dan kondisi ummat Islam memang harus selaras dengan batasan-batasan kaidah Islam dan teks-teks Al qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak boleh keluar dari padanya. 



Oleh karena itu nash syariat yang banyak kita temukan itu mesti dipahami dengan akal orang-orang yang berakal, pemikiran cerdas, pemahaman yang tepat, hati yang mampu merasakan aliran ruh syariat seiring dengan perhatian kita terhadap kondisi, dan kebutuhan umat serta sinkronisasinya dengan kaidah-kaidah, batasan-batasan dan nash-nash dari al Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh keluar dari semua ini. 

1. Disebutkan di dalam hadits :
لا صلاة لجار المسجد الا فى المسجد
"Tidak ada (tidak sah) shalat seorang yang bertetangga dengan masjid, kecuali di masjid."
Jika dipahami secara tekstual nash hadist ini, tanpa memahami nash yang lain, maka kita akan mengatakan bahwa orang-orang yang rumahnya dekat dengan masjid wajib shalat di masjid. Tidak sah shalat fardhu yang dilakukannya di rumahnya. Tapi apakah benar demikian? Tidak ada ulama’ yang mengatakan tidak sah shalat seorang muslim di rumahnya! Maka dipahami maksud dari hadits ini adalah tidak sempurna shalat fardhu seseorang yang bertetangga dengan masjid, kecuali di masjid, meskipun sah shalatnya.

2. Dalam hadits lain dinyatakan:
لا صلاة بحضرة الطعام
Artinya : "Tidak ada (tidak sah) shalat dengan tersedianya makanan."
Orang yang lapar dan sudah dihidangkan (disediakan) makanan, apabila sudah masuk waktu shalat, akan menyebabkan kekhusyu`annya terusik, sehingga dianjurkan untuk makan terlebih dahulu. Ini bisa berakibat terhadap kurang sempurnanya pelaksanaan shalat secara dzahir dan kurang terpenuhinya syarat diterima secara bathin, yaitu kekhusyu`an shalat. Oleh karena itu hadits ini ditafsirkan oleh ulama’ menjadi tidak sempurna shalat seseorang, ketika telah dihidangkan makanan.

3. Dalam hadits dinyatakan pula :
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya : “Tidak beriman- dengan keimanan yang sempurna -salah seorang diantaramu, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

4. Begitu juga hadits berikut :
وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ  وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ  وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ, قِيْلَ:مَنْ يَارَسُوْلَاللهِ؟ قَالَ: مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ  
Artinya : “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman-dengan keimanan yang sempurna-. Ada yang bertanya,”Siapakah- yang tidak sempurna keimanannya itu –wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda : “Orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya.”
Masih banyak contoh di dalam Al Qur`an dan hadits yang lain, sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.     Tidak boleh memahami Al Qur`an dan hadits secara parsial, mengambil sebagian dan melupakan (meninggalkan) sebagian yang lain.
2.     Tidak boleh kaku dengan pemahaman tekstual. Pergunakanlah akal, karena antara akal (‘aqli) dan naqli (nash) saling membutuhkan. Ketika berdalil dengan naqli, mesti dengan melakukan pendalaman, perenungan, penelitian dan berfikir cerdas menggunakan akal. Dan dalil-dalil ‘aqli tidak akan diterima secara syar`i, kecuali apabila berpijak kepada naqli.
Oleh karena itu ketika memahami hadits mengenai bid’ah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut :
...كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
Artinya : "...Setiap yang baru adalah bid`ah dan setiap yang bid`ah adalah sesat dan setiap yang sesat berada di dalam api neraka."
Maka hadits ini tidak bisa dipahami secara tesktual, tetapi perlu dipahami dengan hadits yang lain. Jikalau kaku dalam memahami hadits ini, maka kita akan jumud dalam menghadapi segala pembaruan dan akan banyak bertentangan dengan ayat al qur’an dan hadits lain. Arti yang dapat dipahami dari hadits ini menurut ulama’ adalah setiap yang baru adalah bid’ah dan sebagian atau tidak setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat berada di dalam api neraka. Keumuman kandungan dari berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat Nabi mengesankan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits “setiap ? bid’ah adalah dhalalah”, maksudnya adalah bid’ah sayyiah (bid’ah yang buruk), yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran Islam.
Cobalah perhatikan pula hadits ini :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَاوَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَاإِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ....
Artinya : Barangsiapa yang menetapkan atau melakukan suatu kebiasaan (sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.....
Betapa besar pahala yang diberikan oleh Allah, hanya dengan melaksanakan suatu perbuatan yang baik, yang dasar atau pokoknya berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, maka dia akan mendapat pahala yang mengalir terus selama orang yang mencontoh kebaikan tersebut mengerjakannya. Kita bayangkan, betapa besar pahala Umar radhiyallahu anhu, dimana beliau berijtihad dengan menjadikan shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah. Sejak dari zaman beliau sampai hari ini, berapa milyar orang yang telah mengikuti contoh beliau, sehingga hari ini masih dikerjakan orang, dan Insya Allah sampai hari kiamat. Subhanallah!!! 
Untuk memahami arti yang demikian, silahkan dibaca dengan cermat dan penuh perhatian serta pemikiran yang mendalam mengenai arti bid’ah menurut bahasa dan syariat Islam, pada penjelasan selanjutnya.
Para sahabat radhiyallahu anhum ajma’in, ulama’-ulama’ salafush sholeh hingga ulama’ zaman sekarang, mengetahui dan memahami betapa buruk perbuatan bid’ah dan ahli bid’ah, dimana Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memberi ancaman yang sangat keras, sebagaimana hadits di bawah ini.
1. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
أَبىَ اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Artinya : Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah, kecuali kalau ia sudah meninggalkan bid’ahnya itu (HR Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah I hal 25)
Menurut bunyi hadits ini, amal ibadah seorang pembuat bid’ah tidak diterima oleh Allah. Bukan saja amal yang bid’ah, tetapi seluruh amalannya tidak diterima oleh Allah, kecuali kalau sudah berhenti dari bid’ahnya. Hadits yang sangat keras ancamannya bagi ahli bid’ah.
2. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
لاَ يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَ عَدْلاً. يَخْرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَايَخْرُجُ الشَّعْرَةُ مِنَ الْعَجِيْنِ
Artinya : Allah tidak menerima amal ibadah ahli bid’ah, baik puasanya, shalatnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya dan tebusannya. Ia keluar dari Islam sebagaimana keluarnya sehelai bulu dari tepung.
3. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَافَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengerjakan amal ibadat yang tidak kami perintahkan, maka amalnya ditolak. (HR. Imam Muslim, dalam Syarah Muslim XII, hal 16  dan juga HR Bukhari dalam Syarah Bukhari IV, hal 189)
Hadits ini menerangkan bahwa seluruh ibadat yang tidak diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam akan ditolak atau tidak diterima oleh Allah. Imam Nawawi dalam komentar hadits ini mengatakan bahwa pengertian ditolak itu adalah batal atau batil, tidak masuk hitungan.
4. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِىْ أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. (HR Muslim, dalam Syarah Muslim XII, hal 16).
5. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu berkata bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada kami sesuatu yang menggetarkan hati dan meneteskan air mata. Kami berkata kepada beliau bahwa pengajaran itu seolah-olah sebagai pengajaran pamitan. Kemudian beliau memberi kami nasihat : “Saya beri wasiat kamu sekalian supaya kamu bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada ulil ‘amri, walaupun ulil ‘amri itu orang berkulit hitam sekalipun. Siapa yang hidup lama diantara kamu sesudah aku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Pada ketika itu hendaklah kamu mengikut Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang dapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena semua yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Abu Dawud 4, hal 201)
Hadits ini oleh Imam Nawawi dimasukkan dalam kumpulan hadits Arba’in,  hadits ke 40.
6.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
قاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَنْ أَحْيَ سُنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ أُمِيْتَتْ بَعْدِىْ فَلَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئاً وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَتُرْ ضِى اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانِ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِالنَّاسِ شَيْئًا
Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang dimatikan orang setelah aku tidak ada, maka bagi orang itu pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya. Tidak sedikitpun dikurangi seperti orang yang mengamalkan sunnah. Dan barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang sesat dan tidak diridhoi Allah dan Rasulnya, maka ia mendapat pula dosa-dosa yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun. (HR Imam Tirmidzi 10, hal 147)
Ternyata menurut hadits ini bahwa barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah, maka ia berdosa dan ia mendapat pula sebanyak dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu sampai hari kiamat.
7. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاهُمُوْهُ انْتِزَاعًاوَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُوْنَ بِرَاءْيِهِمْ فَيَضِلُّوْنَ وَيُضِلُّوْنَ
Artinya : Bahwasanya Allah tidak menanggali (mencabut) ilmu agama begitu saja dari ummat, tetapi Dia mengambil ilmu itu dari ummat bersamaan dengan wafatnya ulama-ulama bersama ilmunya. Maka tinggallah manusia-manusia yang bodoh. Orang-orang yang bodoh ini dimintai fatwa agama, maka mereka berfatwa dengan pendapat mereka saja. Maka tersesatlah mereka dan mereka menyesatkan orang lain pula. (HR Imam Bukhari, dalam Sahih Bukhari IV, hal 185)
Dari hadits ini dinyatakan bahwa fatwa-fatwa yang dibuat oleh orang-orang ahli bid’ah dengan berdasarkan pendapat semata-mata dan tidak berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits, Ijma’ dan Qias, maka fatwa itu sesat dan menyesatkan.

البدعة لغة : الْمُخْتَرَعُ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
Artinya : Menurut bahasa Arab, kata bid’ah berarti sesuatu yang diadakan tanpa contoh sebelumnya/yang terdahulu.
Dalam beberapa kamus Bahasa Arab :
a.  Al Muhith, karangan Syirazi III, hal 3 :
اَلْأَمْرُ الَّذِىْ يَكُوْنُ أَوَّلاً
Artinya : Sesuatu barang/urusan yang pertama adanya
b.   Muhtarush Shihah, karangan Ar Razi, hal 379 :
اِخْتَرَعَهُ لاَعَلَى مِثَالٍ
Artinya : Mengadakan sesuatu tidak menurut contoh
c.   Al Mu’tamad, hal 28
اِخْتَرَعَهُ وَأَنْشَأَهُ لاَعَلَى مِثَالٍ
Artinya : Diciptakan tanpa contoh
d.  Munjid, hal 27.
مَاأُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثاَلٍ سَابِقٍ
Artinya : Menciptakan/membuat sesuatu tanpa contoh yang terdahulu
Seluruh kamus mengatakan bahwa bid’ah dalam bahasa Arab adalah suatu barang/amalan baru yang dibuat tidak dengan contoh terlebih dahulu. Yang menciptakan dinamakan Mubdi’ atau Mubtadi’.
Syeikh Raghib al Asfahany rahimahullah di dalam kitab Mufradat al Qur`an menulis sebagai berikut : ”Kalimat الابداع (al ibda`) berarti mengadakan/membuat sesuatu, tanpa ada contoh dan ikutan sebelumnya. Apabila kalimat ini digunakan untuk menyebutkan perbuatan Allah, maka maksudnya adalah Allah mengadakan sesuatu tanpa butuh alat, bahan mentah, juga tidak butuh waktu dan tempat. Dan hal itu tidak mungkin terjadi kecuali hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala semata. Kalimat البديع (al badi`) diistilahkan juga untuk maksud المبدِع "yang menciptakan (subjek)".
Contoh :
Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضِ ...
Artinya : Tuhan yang menciptakan (tanpa contoh) langit dan bumi …(QS Al Baqarah : 117); lihat pula QS Al An’am : 101.
Langit dan bumi juga dikatakan bid’ah, karena keduanya diciptakan oleh Allah tanpa contoh sebelumnya. Allah dinamai Badi’i  yang artinya pencipta.
Kadang bid`ah juga diistilahkan kepada المبدَع (al mubda`) "apa-apa yang diciptakan (objek)", seperti kalimat ركية بديع (rakiyah badi`) yang berarti "tempayan buatan". Demikian juga kalimat البدع (al bid`u) yang juga dimaksudkan untuk kedua makna sebelumnya, yang bermakna "sebagai subjek" dan juga bermakna "sebagai objek".

Contoh :
Allah berfirman mengenai Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bukan Nabi bid’ah, yaitu Nabi yang tidak ada contoh sebelumnya :
قُلْ  مَا كُنْتُ بِدْعًامِنَ الرُّسُلِ ...
Artinya : Katakanlah olehmu (wahai Nabi) : Saya bukanlah Rasul yang belum ada contoh terlebih dahulu... (QS Al Ahqaf : 9)
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam memang bukan satu-satunya Nabi dan Rasul, tetapi sebelum beliau sudah banyak Nabi-nabi dan Rasul seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi dan lainya.
Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa arti bid’ah adalah suatu ciptaan baru dan yang mengadakan dinamakan pencipta.
Sedangkan Al Fayyumi rahimahullah di dalam kitab Misbah al Munir mengatakan :
Allah telah menciptakan makhluk dengan penciptaan yang baru, yaitu menciptakan mereka bukan dengan contoh sebelumnya. Kalimat
ابدعت (abda`at) dan ابدعته (abda`athu) bermakna استخرجته واحدثته  istakhrajat-hu wa ahdasat-hu "mengeluarkannya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang baru". Oleh karena itu setiap perkara yang berseberangan/menyalahi dinamakan dengan bid`ah. Kalimat bid`ah merupakan bentuk isim dari kalimat الابتداع (al ibtida`), seperti kalimat رفعة (rif`ah) yang berasal dari kalimat الارتفاع (al irtifa`). Kemudian secara umum kalimat bid`ah ini dipakai untuk untuk semua hal yang menunjukkan adanya kekurangan dalam pelaksanaan agama atau terjadi penambahan. Akan tetapi hal-hal tersebut terkadang sebagiannya tidak makruh (tidak dibenci), maka dinamakan dengan bid`ah mubah, yaitu hal-hal yang sejenis dengannya telah diketahui memiliki dasar dari syariat, atau dilakukan karena adanya maslahat yang akan menghilangkan segala bentuk mafsadah (kerusakan). Seperti para khalifah yang mengadakan hijab (perantara untuk bertemu dengan khalifah), agar tidak terjadi interaksi langsung antara rakyat dengan khalifah.

5. Pengertian Bid`ah menurut Syara’
Perlu diketahui oleh semua orang, bahwa definisi BID’AH menurut SYARI’AT ISLAM tidak didapatkan didalam AL QUR’AN dan tidak didapatkan pula didalam AL HADITS. Hal ini lumrah, karena Al Qur’an dan Al Hadits tidaklah bertugas untuk membuat definisi atau ta’rif. Tugas Al Qur’an dan Al Hadits hanyalah membawa dakwah Islamiyah untuk bertauhid kepada Allah yang Maha Esa, dengan jalan mengamalkan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Nabi juga bukan diutus untuk membuat definisi, tetapi hanya menjelaskan isi Al Qur’an dan untuk menyampaikan syari’at Islam.
Yang membuat definisi atau ta’rif hanyalah ulama-ulama yang benar-benar ahli, setelah memperhatikan persoalan-persoalan yang akan diberinya definisi atau ta’rif itu dalam Al Qur’an dan Al Hadits, Atsar-atsar sahabat Nabi dan lain-lain. Oleh karena itu tidaklah heran kalau terdapat perbedaan definisi atau ta’rif dalam masalah agama, karena pendapat orang juga berbeda-beda. Setuju!
Di bawah ini akan dinukilkan definisi bid’ah menurut ulama’ yang bermadzhab Syafi’i berdasarkan Al Qur’an, Hadits dan Sejarah. Kalau dibuka dalam kitab para ulama’ madzhab, maka akan dilihat bahwa bid’ah dibagi dua, yaitu bid’ah yang baik dan bid’ah yang tercela. Di sini hanya akan dibahas dari beberapa ulama’ yang mu’tabar saja.
1. Syeikh Izzuddin bin Abdis Salam, seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i (wafat 660 H), menerangkan dalam “Qawaidul Ahkam” :
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِىْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ
Artinya : Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Maksudnya bahwa setiap pekerjaan keagamaan yang belum atau tidak dikenal pada zaman Rasulullah adalah bid’ah, sekalipun pekerjaan itu baik. Misalnya mengumpulkan ayat Qur’an dalam satu mushaf (kitab), membukukan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam, membukukan tafsir Qur’an dan fiqih, membukukan ilmu ushuluddin atau aqidah, membangun madrasah dan pondok pesantren, merayakan maulid Nabi dan isra’ mi’raj, naik haji dengan kendaraan mobil, kapal laut dan pesawat udara, dan sebagainya, maka semua ini dinamakan bid’ah. Karena semua itu belum atau tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Demikian pula pekerjaan yang jelek dari segi keagamaan. Misalnya pelajaran keagamaan dicampur dengan falsafah Yunani, bermusik dan bersuling dalam perayaan maulid Nabi, masuk dan keluar puasa tidak berdasarkan ru’yah, khutbah selain bahasa Arab, shalat jum’ah di rumah saja, adzan dengan kaset atau radio, semuanya ini masuk dalam bid’ah yang tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.
2.  Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi rahimahullah, juz. II halaman 86-87 mengatakan :  Imam Syafi’i rahimahullah berkata, bahwa bid’ah itu terbagi dua, yaitu : Bid’ah mahmudah (terpuji), yaitu bid’ah yang sejalan dengan sunnah, dan Bid’ah madzmumah (tercela), yang tidak sejalan dengan sunnah. Ada dua riwayat penjelasan Imam Syafi’i, yaitu :
a.  Abu Nu’im rahimahullah meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ. فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ, وَمَاخَالَفَهَافَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Artinya : Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah tercela yang tidak sesuai atau menentang Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b.  Imam Baihaqi, seorang ahli hadits yang terkenal, juga menerangkan dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” :
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَااُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًاأَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًافَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَلِفُ شَيْئًامِنْ ذَلِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
Artinya : Pekerjaan yang baru ada dua macam, yaitu 1. Pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Al Qur’an, atau sunnah Nabi, Atsar Sahabat dan Ijma’, maka ini dinamakan bid’ah dlalalah, 2. Pekerjaan keagamaan yang baik yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut di atas, dinamakan bid’ah juga, tetapi tidak tercela. (lihat juga Fathul Bari XVII, hal 10).
Imam Syafi’i membagi bid’ah dua macam, yaitu :
1.   Bid’ah dlalalah, yaitu bid’ah sesat dan tercela, merupakan pekerjaan keagamaan yang menentang Kitabullah, menentang Sunnah Rasul, menentang Atsar Sahabat, dan menentang Ijma’ Ulama’.
2.    Bid’ah hasanah, yaitu pekerjaan keagamaan yang baik yang tidak menentang Kitabullah, menentang Sunnah Rasul, menentang Atsar Sahabat, dan menentang Ijma’ Ulama’.
Imam Syafi’i berpendapat seperti itu, setelah beliau memperhatikan sekalian hadits Nabi, dan Atsar/perbuatan Sahabat yang berhubungan dengan bid’ah. Dasar pendapat Imam Syafi’ akan dikemukakan dua hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. :
a.    Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِىْ أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. (HR Muslim, dalam Syarah Muslim XII, hal 16)
b.    Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِى الْاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ, وَ مَنْ سَنَّ فِى الْاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ.
Artinya : Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik), kemudian sunnah itu diamalkan oleh orang lain, diberikan kepadanya pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakan tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang yang mengerjakannya.  Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah (sunnah yang buruk), kemudian sunnah itu diamalkan oleh orang lain, diberikan kepadanya dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakan tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa orang yang mengerjakannya. (HR Muslim, dalam Syarah Muslim XIV, hal 226)
Dalam hadits ini kita perhatikan secara seksama, ternyata setiap muslim DIBOLEHKAN DAN BAHKAN DIANJURKAN supaya mengadakan “SUNNAH HASANAH” (SUNNAH YANG BAIK), dan dilarang keras mengadakan sunnah sayyiah (sunnah yang buruk).
c.       Dalam Kitab Sahih Bukhari diterangkan :
Artinya : Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata,”Saya keluar bersama Umar bin Khattab radhiyallahu anhu (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam pada bulan Ramadhan di masjid Nabawi. Didapati dalam masjid itu didapati orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada yang shalat dengan beberapa orang di belakangnya. Kemudian Umar radhiyallahu anhu berkata “Saya berpendapat akan menyatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang Imam, maka sesungguhnya ini lebih baik dan serupa dengan shalat Rasulullah.” Maka beliau menyatukan orang-orang itu di belakang seorang Imam, namanya Ubai bin Ka’ab. Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke masjid lalu kami melihat orang shalat berkaum-kaum atau berjamaah di belakang seorang Imam. Umar radhiyallahu anhu berkata, نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِartinya Ini adalah bid’ah yang baik.” (Shahih Bukhari, hal 242). Hadits ini juga terdapat dalam kitab Muwatha’ oleh Imam Maliki, Juz I hal 136-137.
Ternyata dari riwayat ini kita ketahui bahwa shalat tarawih secara berjama’ah terus menerus yang dikerjakan pada bulan Ramadhan adalah pekerjaan bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tetapi pekerjaan atau amalan itu dikatakan oleh Umar radhiyallahu anhu sebagai bid’ah yang baik atau bid’ah hasanah.
Berdasarkan ketiga hadits diatas muncullah pendapat Imam Syafi’i bahwa bid’ah itu terbagi dua, yaitu bid’ah dlalalah dan bid’ah hasanah.
- Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi) memberikan penjelasan mengenai hadits: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : “setiap yang baru adalah Bid’ah, dan setiap yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang di maksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
3.  Imam Suyuthi rahimahullah, seorang ulama besar dalam lingkungan madzhab Syafi’i, pengarang kitab “Tanwirul Halik Syarah Muwatha’ Malik”, Syarah Sunan Nisai, dan seperdua dari Tafsir Jalalain, berkata :
أَصْلُ الْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِى الشَّرْعِ عَلَى مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَىْ مَالَمْ يَكُنْ فِى عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلَى الْاَحْكَامِ الْخَمْسَةٌ.
Artinya : Maksud yang asal dri perkataan bid’ah adalah suatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah merupakan lawan dari sunnah, yaitu suatu yang belum ada pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang lima. (Tanwirul Halik, juz I, hal 137).
Bisa disimpulkan dari paparan sebelumnya : Bahwa setiap yang baru adalah bid`ah, menurut bahasa dan syara`. Dan bid`ah yang dikenal secara syara` itu ada dua: mahmudah (terpuji) dan mazmumah (tercela). Dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin maju dan komplek, maka ulama’ membagi bid’ah mengikuti hukum fiqih yang lima, sebagaimana penjelasan di bawah ini.

6.  Bid’ah terbagi pada Hukum Fiqih yang Lima.
Di dalam syariat islam asal pengambilan hukum yang disepakati oleh ummat adalah; Al Quran, sunnah Nabi, ijma`, qiyas (selain Ibnu Hazm). Dan sumber hukum yang diperselisihkan sangat banyak sekali, diantaranya qaul atau fatwa sahabat, istishab, istihsan, dan lainnya yang dijelaskan secara rinci didalam kitab-kitab Ushul Fiqh.
Di dalam pelbagai kitab Ushul Fiqh dijelaskan bahwa : Hukum Allah adalah: khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan seluruh perbuatan mukallaf, dengan bentuk tuntutan atau pilihan (untuk mengerjakannya). Maksudnya adalah: hukum itu merupakan seluruh kalam Allah yang ditujukan kepada manusia yang berhubungan dengan perbuatan mereka, yang bersifat :
1.    Tuntutan kepada mereka untuk mengerjakan perbuatan tersebut secara tegas (wajib) atau tidak (sunnah).
2.    Tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan tersebut secara tegas (haram) atau tidak (makruh), atau
3.    Diberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkannya (mubah).
Seluruh perbuatan manusia pasti termasuk ke dalam lingkup hukum Allah, apapun yang dilakukan manusia pasti ada hukum dan konsekuensinya secara syar`i. Makanya tidak boleh dikatakan; pemilu, berpolitik, golput, beraktifitas ekonomi, aktif budaya, bergelut di dunia sastra, menonton film, browsing di internet, mendownload, berolahraga, dan sebagainya bukan urusan agama! Bukankah semua itu adalah bentuk pekerjaan manusia? Jikalau semua itu bentuk pekerjaan manusia, maka akan masuk ke dalam lingkup hukum syar`i!
Sebagai penjabaran dari pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh tadi, dipahami bahwa hukum Allah itu ada 5 :
1.    Wajib/fardhu: Apa saja yang diberi pahala pelakunya dan diberi dosa orang-orang yang meninggalkannya. Contoh: Jujur, mengerjakan sholat, puasa, zakat, dan sebagainya.
2.    Haram: Apa saja yang diberi dosa pelakunya dan diberi pahala orang-orang yang meninggalkannya. Contoh: melakukan riba, zina, meminum minuman memabukkan, mengkonsumsi narkotika, mengambil hak orang lain, dan sebagainya.
3.    Sunnat: Apa saja yang diberi pahala pelakunya dan tidak diberi dosa orang-orang yang meninggalkannya. Contoh: melakukan shalat sunnat, dan sebagainya.
4.    Makruh: Apa saja yang diberi pahala orang-orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa pelakunya. Contoh: shalat di jalanan yang ada keramaian, karena akan menyebabkan shalat terganggu dan tidak khusyu`, dan sebagainya
5.    Mubah: Apa saja yang tidak diberi pahala orang-orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa pelakunya. Seperti makan makanan yang baik, berdagang, bergaul, dan sebagainya.
Inilah hukum syar`i yang ada di dalam syariat islam. Tidak ada hukum selain ini. Makanya tidak boleh menyatakan sebuah hukum selain ini, kecuali ada dalil yang menjelaskan. Hal seperti ini sudah merupakan ijma’ ulama’ dari seluruh madzhab dan merupakan ma`lum min al din bi al dharurah (perkara-perkara agama yang sudah diketahui secara umum oleh seluruh muslim), bukan hanya ulama saja.
Mengenai Ijma’ Ulama’ (kesepakatan para ulama’) ini, Imam Syafi’i rahimahullah menulis dalam Ar Risalah begini :
أَخْبَرَنَاسُفْيَانُ عَنْ عَبْدِالْمُلْكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ بْنِ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَضَّرَ اللهُ امْرَأَسَمِعَ مَقَالَتِىْ فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا وَأَدَّهَا فَرُبَّ حَامَلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلىَ مَنْ هُوَأَفْقَهُ مِنْهُ, ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَالنَّصِيْحَةُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
Artinya : “Mengabarkan pada kami Sufyan (bin Uyainah) diterimanya dari Abdul Malik bin Umar, diambilnya dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, diambilnya dari bapaknya yaitu Abdullah bin Mas’ud (seorang sahabat Nabi) bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Mencemerlangkan Allah akan manusia yang mendengar ucapan-ucapanku, maka dipeliharanya, disimpannya dan disampaikannya kepada orang lain. Banyak orang pembawa fiqih tapi ia tidak ahli fiqih, diberinya kepada orang yang lebih fiqih daripadanya. Ada tiga soal yang tidak bisa dikhianatinya oleh hati orang Islam, yaitu : a. Keikhlasan amal untuk Allah, b. Memberi nasehat sesama Muslim dan c. Menepati kesepakatan mereka. Maka ajaran-ajaran mereka mengikat orang-orang yang datang di belakang mereka.” (lihat Ar Risalah : 402)
Jelas dalam hadits ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kita untuk menetapi apa yang disepakati oleh Ummat Islam, dalam hal ini tentu Imam-imam Mujtahidnya.
Dan ada lagi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi
لاَتَجْتَمِعُ أُمَتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ
Artinya : ”Ummatku tidak akan bersepakat atas kesalahan.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini merupakan jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kesepakatan ummatnya itu tidak akan bisa tersalah, karena itu wajib diikuti.
Dalam Al Quran termaktub pula :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya : ” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An Nisa’ : 115)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa barangsiapa yang tidak mau melaui jalan yang telah ditetapkan atau digariskan oleh ummat Islam maka ia akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka. Dengan kata lain boleh dikatakan, “Siapa saja diancam akan disiksa oleh Allah subhanahu wa ta’ala nanti, kalau ia melanggar ketetapan yang telah disepakati oleh ummat Islam, yang dalam hal ini Imam-imam Mujtahid.” Oleh karena itu kita wajib menerima Ijma’ (kesepakatan).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Baari juz IV halaman 318 menulis sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”. Beliau menulis dalam kitabnya Fathul Bari pada halaman lain begini :
وَقَسَمَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ الْبِدْعَةَ إِلَى الْاَحْكَامِ الْخَمْسَةِ وَهُوَ وَاضِحٌ
Artinya : Dan membagi sebagian ulama tentang bid’ah ini kepada hukum yang lima. Ini terang sekali (ya begitu). (Fathul Bari Juz XVII, hal 10).
.     Imam Jalaluddin As Suyuthi rahimahullah, seorang ulama besar dalam lingkungan madzhab syafi’i, pengarang kitab “Tanwirul Halik Syarah Muwatha’ Malik”, Syarah Sunan Nisai, dan seperdua dari tafsir jalalain, berkata :
أَصْلُ الْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِى الشَّرْعِ عَلَى مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَىْ مَالَمْ يَكُنْ فِى عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلَى الْاَحْكَامِ الْخَمْسَةٌ.
Artinya : Maksud yang asal dari perkataan bid’ah adalah suatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah merupakan lawan dari sunnah, yaitu suatu yang belum ada pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang lima. (Tanwirul Halik, juz I, hal 137).
Jalaluddin As Suyuthi rahimahullah juga menulis perkara yang sama mengenai bid’ah terbagi pada hukum yang lima ini dalam Risalah “Husnul Maqashid fi ‘Amalil Maulid” dan “Al Mashabih fi Shalatit Tarawih”. Pendapat yang senada dengan Imam Suyuthi dan Al Hafizh Ibnu Hajar ini juga diungkapkan oleh Ulama’-ulama’ lain yang terkenal sebagai pakar dalam ilmu hadits dan fiqih, seperti Izzuddin bin Abdis salam rahimahullah dalam “Al Qawa-idul Ahkam”, Az Zarqani rahimahullah dalam “Syarah Muwatha’”, Asy Syaukani rahimahullah dalam “Nailul Authar”, Mulla Ali Qari’ rahimahullah  dalam “Syarhul Miskat”.
Dr. As Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki Al Hasani rahimahullah, seorang ulama’ Al Haramain Asy Syarifain (Masjid Al Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah) yang wafat tahun 2004 M, dalam makalahnya yang berjudul “Haulal Ihtifal bil Maulidin Nabawi Asy Syarif”(Sekitar Peringatan Maulid Nabi yag Mulia), menulis bahwa Imam Nawawi rahimahullah juga membagi bid’ah dalam lima bagian sebagaimana dalam “Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim” Juz VI hal 154-155.
Dengan demikian bid'ah itu ada : a.   Bid’ah yang haram, b.   Bid’ah yang makruh, c.   Bid’ah yang wajib, d.   Bid’ah yang sunnat dan e.   Bid’ah yang mubah atau boleh atau jaiz.

7.  Contoh Bid’ah yang Takluk Kepada Hukum yang Lima

1.   Bid’ah Yang Haram (Dhalalah)
a.   Dalam I’tiqad
-   Kepercayaan bahwa masih ada Nabi sesudah Nabi Muhammad shallallahu alahi wasallam.
-   Kepercayaan bahwa Khalifah pertama adalah Ali radhiyallahu anhu.
-   Kepercayaan bahwa Imam-imam menerima wahyu sebagaimana Nabi menerima  wahyu.
-   Kepercayaan bahwa Khalik dan makhluk adalah satu.
-   Kepercayaan bahwa hukum agama hanya Al Qur’an saja.
-   Kepercayaan bahwa Allah tidak mempunyai sifat.
-   Kepercayaan bahwa takdir tidak ada.
-   Kepercayaan bahwa manusia yang mengadakan pekerjaannya.
-   Kepercayaan bahwa Kalamullah adalah makhluk. Kepercayaan bahwa Allah tidak bisa dilihat dalam surga.
-   Kepercayaan bahwa Mi’raj Nabi Muhammad hanya mimpi.
-   Kepercayaan bahwa adzab kubur tidak ada.
-   Kepercayaan bahwa syafaat Nabi Muhammad tidak ada
-   Kepercayaan bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai mu’jizat kecuali Al Qur’an
-   Kepercayaan bahwa berdo’a dengan tawassul adalah syirik.
-   Kepercayaan bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy seperti duduknya manusia di atas kursi.
-   Kepercayaan bahwa Allah turun pada malam hari seperti turunnya manusia dari tangga.
-   Kepercayaan bahwa yang menentukan baik dan buruk adalah akal, bukan syariat
-   Kepercayaan bahwa syurga dan neraka tidak kekal
-   Dan sebagainya.
b. Dalam Syari’at dan Ibadat.
-   Menambah ayat dalam kitab Al Qur’an
-   Membuat foto atau gambar Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
-   Menafsirkan Al Qur’an hanya dengan pendapat saja.
-   Shalat dalam hati saja
-   Shalat Jum’at sendirian saja di dalam rumah, tidak ke Masjid.
-   Shalat bukan dengan bahasa Arab.
-   Naik haji tidak ke Makkah.
-   Puasa terus menerus sepanjang tahun.
-   Puasa pada hari raya Idul Fitri dan Qurban.
-   Mengumpulkan zakat untuk membuat masjid, pabrik, perbaikan jalan dan sebagainya.
2. Bid’ah Yang Makruh.
-   Shalat dhuha dengan berjama’ah.
-   Menghiasi Masjid dengan ukir-ukiran.
-   Membayar zakat fitrah berlebih-lebihan, misalnya yang harus dibayar 4 liter tetapi membayar 4 karung.
-    Menetapkan dzikir pada waktu tertentu saja, misalnya baca istighfar pada hari Sabtu saja, membaca Shalawat Nabi pada hari Ahad saja, baca qur’an pada hari Senin saja dan sebagainya.
-   Dzkir pada waktu di kamar mandi atau bersetubuh dengan istri.
-   Dzikir ketika mengantuk.
-   Dan sebagainya.
3. Bid’ah Yang Wajib.
-   Membukukan kitab suci Al Qur’an karena takut hilang berserakan, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar radhiyallahu anhum.
-   Memberi titik dan baris pada ayat Qur’an, karena khawatir nanti orang akan salah membaca dan salah pengertian.
-   Membukukan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk memelihara syariat agar tidak hilang, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan, Imam Muslim, Imam tirmidzi dan lainnya.
-   Membuat dan mengarang kitab Tafsir agar orang mengerti maksud dan makna Al Qur’an.
-   Membukukan kitab fiqh agar hukum-hukum dalam agama dapat berjalan baik.
-   Mengarang buku, tulisan atau kitab guna membantah orang yang salah dalam ijtihad dan ibadahnya.
-   Belajar ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, ma’ani untuk memahami maksud dan makna Al Qur’an.
-   Dan sebagainya
4. Bid’ah Yang Sunnat.
-   Adzan pertama pada Shalat jum’at, yang dilakukan pertama kali pada zaman Utsman radhiyallahu anhu.
-   Membikin menara masjid untuk mengumandangkan adzan dan iqamat.
-   Adzan di atas menara.
-   Membuat madrasah agama Islam dan pondok pesantren.
-   Mengadakan peringatan Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj.
-   Qiyam ketika mendengar kisah Maulid Nabi.
-   Mengadakan kumpulan pengajian untuk membahas masalah agama.
-   Mendirikan rumah peribadatan, mushalla atau langgar.
-   Bersalaman sesudah shalat berjama’ah
-   Memukul bedug sebelum adzan untuk memberi tanda agar orang yang bekerja berhenti dari pekerjaanya dan memenuhi panggilan shalat berjama’ah.
-   Dan sebagainya
5. Bid’ah Yang Mubah.
-   Membuat makanan yang lezat dan beraneka warna.
-   Memakai pakaian yang bagus-bagus.
-   Memakai kendaraan yang mahal.
-   Membuat rumah tempat tinggal yang besar dan luas.
-   Mengadakan kantor-kantor untuk pengurusan administrasi.
-   Naik haji dengan kapal laut atau pesawat terbang.
-   Dan sebagainya
Dengan demikian memakai tasbih dalam berdzikir, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik, dan sebagainya.

8. Perlu Pembedaan antara Bid’ah Syar’iyyah dan Bid’ah Etimologis.

Dr. Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani dalam karyanya “Mafahim Yajib An Tushahhah” mengatakan bahwa ada sebagian ummat Islam yang mengaku pakar, mengkritik secara pedas adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Mereka mengingkari dengan sangat keras setiap orang yang menerima pembagian bid’ah seperti itu, dan bahkan diantara mereka ada yang menuduh fasik dan sesat. Mereka menuduh demikian karena adanya sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bahwa “Setiap Bid’ah adalah sesat.”  Secara redaksional, hadits tersebut mengisyaratkan KEUMUMAN MAKNA HADITS (bukan hanya bid’ah tertentu) dan dengan tegas menyifati bid’ah sebagai perbuatan yang sesat dan menyesatkan (lihat hadits-hadits di depan dalam 2. Ancaman terhadap Bid’ah dan Ahli Bid’ah). Oleh karena itu, mereka berani mengatakan ”Apakah dibenarkan atau dapat diterima, setelah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai penetap syariat yang menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, kemudian muncul seorang fakih, setinggi bagaimanapun tingkatannya dan berpendapat “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat, tetapi sebagiannya ada yang sesat dan sebagiannya lagi ada yang bagus, serta ada juga yang sayyiah (buruk).
Dengan pendekatan seperti itu banyak ummat Islam yang tertipu. Mereka bersama-sama berteriak menyatakan pendapatnya dan mengingkari pendapat yang lainnya. Ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak memahami tujuan atau maksud ajaran Islam (maqashid al syar’i) dan belum merasakan ruhnya.
Selang beberapa saat, mereka TERPAKSA MENCARI JALAN KELUAR DARI BERBAGAI PROBLEMATIKA  KONTRADIKTIF DAN BERBAGAI MACAM KESULITAN yang dihadapinya, untuk memahami realitas yang akan dilaluinya. Mereka berusaha mencari jalan agar bisa menemukan penemuan baru atau inovasi baru dengan membuat suatu perantaraan atau washilah. Sebab tanpa washilah, mereka tentunya tidak dapat makan dan minum, tidak kuasa mendapatkan tempat tinggal, tidak dapat berpakaian, tidak dapat bernafas, tidak dapat bersuami atau beristri, dan bahkan tidak dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, dengan saudaranya serta masyarakatnya. Perantaraan yang dimaksud adalah MEMUNCULKAN SUATU DEFINISI BARU TENTANG BID’AH, bahwa “Sesungguhnya bid’ah itu terbagi dua yaitu BID’AH DINIYYAH (berkaitan dengan agama) dan BID’AH DUNYAWIYYAH (berhubungan dengan urusan duniawi).
Subhanallah! Mahasuci Allah ! Orang yang suka main-main ini berani sekali membolehkan dirinya menemukan penemuan baru berupa pembagian semacam itu atau paling tidak menemukan penamaan baru atau definisi baru mengenai bid’ah. MEREKA  SELALU MENGATAKAN AGAR MENGIKUTI JALAN SALAFUSH SHALEH, FIRQATUN NAJIYAH, dan selalu mengatasnamakan kembali kepada Al Qur’an dan al Hadits. Padahal pembagian atau klasifikasi bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan dunyawiyyah ini tidak dikenal sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai sekitar tahun 600 – 700 H, dan secara pasti tidak pernah ada pada masa tasyri’. Lalu darimana klasifikasi itu muncul atau darimana penamaan itu baru timbul?
Penemuan baru mereka tentang klasifikasi bid’ah itu, kalau kita kategorikan sebenarnya juga termasuk bid’ah. Mereka hanya ingin menyelamatkan diri dari definisi bid’ah yang dibuat sendiri, sehingga ketika mereka mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat dan menyesatkan dan kemudian melihat saudara muslim lainhya berbeda dalam definisi bid’ah dengan dirinya, maka dikatakan saudara muslim lainnya itu sesat dan menyesatkan. Maka kembalilah kata sesat dan menyesatkan itu kepada diri mereka sendiri.
Mari kita perhatikan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  yang menegaskan bahwa ”SETIAP BID’AH ITU SESAT ATAU KESESATAN”. (Nanti kita akan membahas sabda Nabi ini secara jelas, bagaimana makna yang sesungguhnya, Insya Allah). Coba kita lihat, sabda Nabi ini begitu mutlak, tanpa syarat apa-apa, tetapi mereka berkata : “Betul, bahwa setiap bid’ah itu sesat”. Tetapi kenapa mereka membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah diniyyah yang merupakan kesesatan dan bid’ah dunyawiyyah yang dibolehkan? Oleh karena itu dipandang penting untuk menjelaskan problema dalam hubungannya dengan bid’ah ini. Dengan cara ini semoga segala yang musykil dan sulit akan dapat terpecahkan dan segala keraguan akan sirna, dengan mengharap pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Para Ulama’ Ushul memahami bahwa setiap muslim boleh melahirkan pendapat-pendapat baru dalam keduniaan. Sebagaimana firman Allah :
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَفِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا
Artinya : Dialah (Allah) yang menjadikan untukmu seluruh yang ada di muka bumi ini. (QS Al Baqarah : 29)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
أَعْلَمُ أَنْتُمْ بِأَمْرِدُنْيَاكُمْ
Artinya : Kamu lebih tahu (dari saya) tentang urusan dunia kamu (HR Imam Muslim, dalam Syarah Muslim XV, hal 118)
Dalam masalah keduniaan, misalnya membuat rumah dengan bentuk yang baik dan kokoh dari batu berbeton, membuat mobil dan mengendarainya, irigasi yang baik, sawah yang baik dan waktu panennya dan sebagainya, membuat dan memakai listrik, memakai sarung dan peci/songkok, semuanya walaupun belum dikenal pada zaman Nabi, tetapi diberi izin untuk membuat dan memakainya. Oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam diserahkan urusannya kepada ummatnya yang cocok dan sesuai dengan kemaslahatannya tetapi tidak ada larangan dari Allah dan RasulNya”.
Ketahuilah, perkara bid’ah ini adalah dari syari’,  penetap syariat yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Lidahnya adalah lidah syara’ yang sangat bijaksana. Oleh karena itu diperlukan pemahaman tentang bid’ah ini menurut pertimbangan syara’ yang dibawanya. Jika kita telah mengetahui bahwa definisi bid’ah asalnya adalah setiap yang baru atau inovasi yang tidak ada contoh sebelumnya, maka jangan sampai kita melupakan bahwa penambahan atau penemuan baru yang tercela (dalam konteks bid’ah) ini adalah penambahan dalam urusan agama supaya menjadi urusan agama, dan penambahan dalam masalah syariat supaya menjadi bentuk syariat. Selanjutnya akan menjadi suatu bentuk syariat yang diikuti oleh ummat Islam dan disandarkan pada pemilik syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Yang demikian itulah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya :
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَافَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengerjakan amal ibadat yang tidak kami perintahkan, maka amalnya ditolak. (HR. Imam Muslim, dalam Syarah Muslim XII, hal 16  dan juga HR Bukhari dalam Syarah Bukhari IV, hal 189) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِىْ أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang menambah-nambah atau mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. (HR Muslim, dalam Syarah Muslim XII, hal 16)
Jadi batasan intinya dalam konteks bid’ah ini adalah هَذَا فِىْ أَمْرِنَا (fii amrinaa haadzaa) artinya dalam urusan agama kami ini”. Atas dasar inilah, sebenarnya pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, hanyalah pembagian secara etimologis atau lughawy atau bahasa. Ia sebetulnya hanya sekedar penemuan dan penambahan yang baru (ikhtira’ dan ihdats). Dengan demikian pengertian bid’ah secara syara’ ini tetap tanpa keraguan yaitu suatu yang menyesatkan dan fitnah tercela, ditolak dan dimurkai. Kalau sekiranya mereka mau memahami makna atau pendapat seperti ini, insya Allah akan ada titik pengompromian berbagai pendapat, dan pendapat mereka tidak akan terlalu jauh dengan pendapat lainnya. Inilah yang dikehendaki oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, agar ummatnya satu hati, saling tolong menolong dengan perasaan kasih sayang. Perbedaan pendapat sesama muslim tidak menyebabkan perpecahan sehingga saling menyesatkan dan mengkafirkan pihak lain.
Perbedaan yang terjadi dalam masalah bid’ah ini hanya dalam wujud syakl atau bentuk. Namun mereka yang mengingkari pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, ternyata membagi bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah. Sama saja. Dan kalau dilihat secara ilmiyyah atau secara syar’iyyah, dapat kita pahami bahwa pembagian bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan bid’ah dunyawiyyah itu tidak cermat dan tidak teliti dalam mengungkapkan apa yang mereka pahami dan mereka yakini. Ketika mereka menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan agama itu menyesatkan, dan itu jelas benarnya, lalu mereka berkeyakinan dan menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan dunia tidak apa-apa, sebetulnya mereka telah melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Dan ini sangat membahayakan, karena perkataan ini jelas mengandung fitnah, bencana dan musibah besar. Oleh karena itu perlu rincian yang jelas, bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada yang baik dan ada pula yang buruk, sebagaimana kita saksikan secara nyata yang tidak akan diingkari oleh siapapun kecuali oleh orang hatinya buta dan bodoh.
Untuk memenuhi pemahaman seperti itu, agaknya cukuplah mengikuti pendapat bahwa bid’ah terbagi kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, karena pembagian bid’ah ini hanya dari sisi kebahasaan atau lughawiyyah atau etimologis belaka, atau bagi mereka yang mengingkarinya diyakini sebagai bid’ah dunyawiyyah. Agaknya seperti inilah pendapat yang sangat hati-hati dan benar. Pendapat ini menghendaki sikap hati-hati dalam mengapresiasi dan merespon setiap urusan duniawi yang baru, dan menyelaraskan dengan hukum syariat Islam dan kaidah-kaidah agama. Pendapat ini juga mengharuskan ummat Islam menyesuaikan dan menimbang setiap hal duniawi yang baru dengan syariat Islam. Dengan cara demikian, akan jelas peran hukum Islam berkenaan dengan hal-hal duniawi yang baru, betapapun karakteristik bid’ahnya. Makna dan pemahaman bid’ah yang seperti itu tidak dapat terpenuhi kecuali melalui pembagian bid’ah yang baik yang dapat dipertanggungjawabkan dari para imam ushul fiqh.
9. Memahami Perkataan “Setiap Bid’ah itu Sesat dan Setiap Kesesatan berada dalam Neraka”.
Apakah yang dimaksud dengan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan berada dalam  neraka?, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ...
Artinya : ...“Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan berada dalam di neraka”.
Untuk membahas dan memahami perkara ini tidak mudah, sebagaimana membalikkan telapan tangan. Diperlukan suatu pengkajian dan pendalaman, dengan membuka seluruh ayat al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ditambah lagi dengan berbagai riwayat para sahabat radhiyallahu anhum ajma’in, dan berbagai ijma’ para ulama’ dan sebagainya. Hanya ulama’ yang telah meluangkan seluruh waktunya, dan pakar dalam berbagai disiplin ilmu seperti ilmu bahasa Arab, tafsir, hadits, ushul, fiqih, tasawwuf dan cabang-cabangnya, yang mampu untuk memahaminya dengan benar. Hanya Allah yang Maha Pemberi Petunjuk.
Di bawah ini akan dinukilkan pendapat para ulama’ pakar, ditinjau dari sudut pandang Ilmu Balaghah dan Ilmu Mantheq, untuk menguji kebenaran arti كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ.
a. Pembahasan “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍmenurut Ilmu Balaghah.
Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, dan sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas. Dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Artinya : “Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
Artinya : “Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan.
Contohnya : Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا
Artinya ; “Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (QS. Al-Kahfi : 79).
Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

b. Pembahasan “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ ” secara Ilmu Mantheq.

Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan, 
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
Artinya : “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan radhiyallahu ‘anhuma ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Artinya : “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578)
Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat beberapa pandangan di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini adalah“bid’ah yang buruk itu sesat” . Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar).
Menurut istilah Ilmu Mantheq kalimat kullu, ada dua arti :
1. Kullu Kuliiyyah,  yang artinya tiap-tiap atau semuanya,
Misalnya dalam Firman Allah :
 كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya : Tiap-tiap orang  (yang berjiwa) merasakan mati.
Semua orang meyakini secara pasti dan membenarkan bahwa bahwa tiap-tiap atau semua orang (semua yang berjiwa) pasti akan merasakan mati.
2.  Kullu Kully,  yang artinya sebagian
Sebagaimana contoh dalam Al Qur'an dan Al Hadits berikut  :
Allah berfirman dalam Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya : “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ : 30).
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini :

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

Artinya : “Dan Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. (QS. Ar-Rahman : 15).
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah menciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ setiap mata berzina” (Musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan atau semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam ushul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syari’at.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam.( Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488).
Ketiga, dalam hadits di atas dikatakan bahwa setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat). Kemudian timbul pertanyaan, kenapa ulma-ulama dalam madzhab Syafi’i membagi bid’ah menjadi lima macam, yaitu bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh dan bid’ah mubah (jaiz).
Apakah semuanya tidak bertentangan dengan hadits di atas? Jawabnya : Tidak, tidak bertentangan. Keterangannya begini : Hadits ini adalah “HADITS UMUM” yaitu setiap (sekalian) dan hadits ini sudah ditakhsiskan (dikecualikan). Banyak ayat Qur’an dan hadits Nabi yang sifatnya umum, tetapi sudah ditakhsiskan (dikecualikan). Misalnya :
1.  Allah Berfirman :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ  الَّتِىْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الِّرزْقِ
Artinya : Katakanlah (wahai Nabi),”Siapakah yang berani mengharamkan hiasan Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hambaNya dan rezeki yang baik”. (QS Al A’raf : 32).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu tiap-tiap atau semua perhiasan (pakaian) dan seluruh makanan yang baik adalah halal bagi manusia. Tidak ada hak bagi sesiapapun untuk mengharamkannya. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan oleh hadits Nabi, yakni dikecualikan emas untuk pakaian laki-laki, sebagaimana hadits berikut :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِى يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ:يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَافِى يَدِهِ
Artinya : Bahwasanya Nabi melihat sebuah cincin mas pada jari seorang laki-laki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu berkata :”Mengambil seorang darimu sepotong api dan ia letakkan ditangannya”. (HR Imam Muslim, dalam Syarah Muslim, XIV, hal 65).
Dengan demikian, QS Al A’raf ayat 32 sudah ditakhsiskan yaitu semua pakaian itu halal kecuali cincin mas bagi laki-laki.
2.  Allah berfirman :
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Artinya : Diharamkan atasmu (memakan) mayat. (QS Al Maidah : 3).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu setiap mayat tidak boleh dimakan. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan oleh hadits Nabi :
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَاالْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَابِهِ عَطِشْنَاأَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُوْرُمَاؤُهُ, الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya : Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah,maka ia berkata :”Wahai Rasulullah, kami memakai kendaraan laut dan kami membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu’, maka kami bisa kekurangan air minum. Apakah boleh kami memakai air laut untuk berwudhu’?” Nabi menjawab :”Air laut dapat digunakan untuk bersuci dan mayat dalam laut halal untuk dimakan.” (HR Imam Tirmidzi, dalam Shahih Trirmidzi, I, hal 88).
Maksud mayat di laut adalah mayat atau bangkai ikan. Jadi QS Al Maidah ayat 3 ditakhsiskan oleh hadits di atas menjadi : “Diharamkan atasmu memakan mayat, kecuali mayat/bangkai ikan”.
3.       Allah berfirman :
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ للِذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
Artinya : Allah memberi wasiat kepada kamu (tentang pembagian pusaka kepada anakmu), bahwa untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan. (QS An Nisa : 11).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh anak laki-laki mendapat sama banyaknya dengan yang didapat oleh dua orang anak perempuan. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan/dikecualikan kepada anak-anak yang kafir, dimana anak yang kafir atau menjadi kafir tidak mendapat pusaka sama sekali dari harta bapaknya yang muslim, sesuai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرُ وَلاَالْكَافِرُ الْمُسْلِمُ
Artinya : Tidak mempusakai orang muslim akan orang kafir dan tidak mempusakai orang kafir kepada orang muslim.” (HR Bukhari dan Muslim, dalam Shahih Bukhari, IV, hal 120).
Jadi ayat 11 dari Surat An Nisa’ sudah ditakhsiskan menjadi “Bagi anak laki-laki mendapat 2/3 bagian, kecuali anak-anak yang kafir tidak mendapatkan waris sama sekali. Dalam istilah ushul fiqh disebut Kitab ditakhsiskan dengan Sunnah.
4.  Allah berfirman :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَ قُرُوءٍ
Artinya : Wanita yang diceraikan suaminya ber-iddah tiga quru’ (tiga kali suci). (QS Al Baqarah : 228).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu wanita yang diceraikan suaminya ketika bersih atau ketika hamil. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan dengan ayat lain :
وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : Dan wanita-wanita yang hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan anak” (QS. At Talaq : 3).
Ayat ditakhsiskan dengan ayat, sehingga artinya menjadi “Wanita yang diceraikan suaminya dan ber-iddah tiga kali quru’, kecuali wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan.”
5.  Telah diriwayatkan dalam hadits :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ
Artinya : Sekalian yang diairi dengan air hujan maka zakatnya 10% (sepuluh persen). (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadits ini memerintahkan agar tumbuh-tumbuhan yang diairi dari air hujan, maka hasilnya harus dikeluarkan zakatnya sebanyak 10 %. Hadits ini telah ditakhsiskan dengan hadits riwayat lain :
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Artinya : Kalau hasilnya kurang dari 5 (lima) ausuq tidak wajib zakat” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarah Muslim VII, hal 50).
Maka hadits yang telah ditakhsiskan menjadi “Setiap tumbuh-tumbuhan yang diairi dengan air hujan, zakatnya 10 %, kecuali kalau hasilnya kurang dari 5 ausuq maka zakatnya tidak ada sama sekali.” Dalam ilmu ushul fiqh disebut sunnah ditakhsis dengan sunnah. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Kembali kepada hadits tentang bid’ah : 
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Maka artinya akan menjadi :
“Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat masuk neraka, kecuali bid’ah dalam urusan dunia yang sesuai dengan syariat Islam, kecuali bid’ah hasil ijtihad para Imam Mujtahid, kecuali bid’ah yang diadakan oleh Khulafaur Rasyidin, kecuali sunnah-sunnah yang baik yang selaras dengan syariah Islam yang diadakan oleh orang Islam, kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan sangat dibutuhkan oleh agama Islam.
Mudah-mudahan keterangan ini dapat dengan mudah dipahami, walaupun belum pernah mengkaji tentang ushul fiqh.