Alhamdulillah kita telah berada di Bulan Dzulhijjah yang mulia.
Dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah menetapkan bahwa Hari Raya Idul Adha pada
hari Jum’at, 26 Oktober 2012.. Tidak ada perbedaan yang
muncul dalam Sidang Isbat Penentuan awal Dzulhijjah 1433 H sehingga bisa
dipastikan kita ummat muslim di Indonesia akan merayakannya bersama-sama di hari
Jum’at.
Namun ada sebuah persoalan yang selalu menjadi materi pertanyaan
dan pembicaraan ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’at
masih dihukumi wajib?
Sebetulnya tidak ada pembahasan khusus terkait hari raya, baik
Idul Fitri maupun Idul Adha, yang jatuh pada hari Jum’at. Hari raya adalah satu
hal, dan hari Jum’at adalah hal lain. Akan tetapi ketika kita membicarakan
seorang yang rumahnya sangat jauh dari masjid, apakah ia harus kembali lagi
untuk menunaikan shalat Jum’at setelah di pagi harinya ia telah menunaikan
shalat hari raya?
Seperti di zaman awal Islam, ada sahabat yang jarak rumahnya
dengan Madinah sejauh 4 km, bahkan lebih dari itu, dan harus ditempuh melewati
padang pasir dan ditempuh dengan jalan kaki. Apakah ia harus kembali lagi ke
Madinah tanpa kendaraan untuk menunaikan shalat Jum’at? Kalaulah ia harus
kembali menempuh perjalanan dari rumah ke masjid dan sebaliknya, sungguh
melelahkan. Pertanyaan berikutnya apakah Islam tidak memberikan solusi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga pendapat di kalangan
ulama madzhab empat.
Pertama, pendapat madzhab al-Syafi’i yang mengatakan, bahwa ketika hari
raya jatuh pada hari Jum’at, maka penduduk kampung yang mendengar panggilan
shalat id boleh pulang dan meninggalkan shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan
shalat Jum’at tersebut berlaku, ketika mereka mengikuti shalat hari raya, dan
seandainya mereka pulang ke rumah mereka, maka mereka tidak akan dapat
mengikuti shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at bagi mereka
semata-mata karena rukhshah, keringanan dan dispensasi. Oleh karena itu, ketika
penduduk desa itu tidak menghadiri shalat id, maka mereka jelas wajib
menghadiri shalat Jum’at. Disamping itu, kebolehan penduduk desa itu
meninggalkan shalat Jum’at, disyaratkan pulang dari shalat id itu sebelum masuk
waktunya Jum’at, yaitu waktu zhuhur. Demikian pendapat golongan Syafi’iyah.
Kasus di Madinah di awal Islam itu bisa dijadikan alasan, tetapi
apakah kita di Indonesia benar-benar mengalami nasib seperti itu?
Hal seperti itu hanya di wilayah yg padanya hanya ada satu masjid,
sebagaimana masa lalu muslimin berdatangan dari wilayah perkampungan dan
wilayah jauh, maka mereka melakukan shalat id saja, dan jika harus kembali lagi
untuk jum’at maka akan sangat melelahkan, maka diudzurkan jum’at dihari itu.
Beda dimasa kini yang masjid sudah ada dimana mana, maka tak ada
udzur untuk meninggalkan jum’at. Bagi kaum Muslimin di Indonesia, hampir di
setiap dusun ada masjid, rata-rata kurang dari 1 km dan tidak melewati padang
pasir.
Mengenai udzur tersebut adalah hadits riwayat Musnad Ahmad dan Ibn
Khuzaimah bahwa Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam menjelaskan jika hal ini terjadi maka Rasul shallallahu ‘alaihi
wasallam memberi idzin rukhsah/kemudahan untuk tidak melakukan jum’at, dan
barangsiapa yg ingin melakukan keduanya maka lakukanlah keduanya” (Shahih Ibn
Khuzaimah)
Dan diperjelas pada riwayat shahih bahwa Nu’man bi Basyir radhiyallahu
‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca
surat sabbihisma rabbikal a’la dan Hal ataaka pada shalat jumat dan Ied, dan
jika bersatu Ied dan Jumat pada satu hari maka membaca dua surat itu pada
keduanya” (Shahih Muslim Bab Maa yaqra’ filjum’ah, Shahih Ibn Khuzaimah,
Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, dan banyak lagi).
Kedua, pendapat madzhab Hanafi dan Maliki. Menurut kedua madzhab ini,
apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id
tetap tidak dibolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Al-Imam al-Dusuqi berkata,
baik mereka yang menghadiri shalat id di kampungnya atau di luar daerahnya.
Ketiga, pendapat madzhab Hanabilah. Menurut madzhab Hambali, apabila
hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id dan
melakukan shalat zhuhur, boleh meninggalkan shalat Jum’at, dalam artian shalat
Jum’at gugur bagi orang tersebut. Menurut golongan Hanabilah, gugurnya shalat
Jum’at itu hanyalah gugurnya menghadiri Jum’at, bukan gugurnya kewajiban
Jum’at. Sehingga posisi orang yang menghadiri shalat id itu sama dengan
orang-orang yang punya udzur seperti orang sakit, atau punya kesibukan yang
membolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Namun kewajiban shalat Jum’at tidak
gugur bagi orang tersebut, dalam artian, orang itu dapat menjadi sebab sahnya
shalat Jum’at dan sah menjadi imam Jum’at. Akan tetapi menurut golongan
Hanabilah ini, menghadiri shalat Jum’at jelas lebih utama. Walahu a’lam.
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 27, hal. 208).
Bisa
kita lihat pula didalam kitab-kitab madzhab
Menurut
3 madzhab yaitu madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i, bahwa melakukan shalat Jum’at
adalah tetap wajib karena shalat Id tidak berarti mengugurkan shalat Jum’at.
Menurut Madzhab Maliki tetap wajib sebagaimana termaktub dalam kitab Syarh
Mukhtashar Khalil oleh al-Kharshi Juz 2 P. 93:
أو شهود عيد أضحى
أو فطر إذا وافق يومها لا يباح التخلف عنها ولو أذن الإمام في التخلف وسواء كان مسكن
من شهد العيد داخل المصر أو خارجه
Madzhab
Hanafi terdapat di dalam kitab Tabyin al-Haqa'iq oleh al-Zaila'i Juz 2 P. 224:
وفي الجامع الصغير
عيدان اجتمعا في يوم واحد فالأول سنة والثاني فرض ولا يترك واحد منهما
yaitu
shalat yang pertama (Shalat Id) adalah sunnat dan shalat kedua (Shalat Jum’at) adalah
fardhu.
Sedangkan
menurut madzhab Syafi'i terdapat dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin oleh
Ba'alwi :
)مسألة)
: فيما إذا وافق يوم الجمعة يوم العيد ففي الجمعة أربعة مذاهب ، فمذهبنا أنه إذا حضر
أهل القرىوالبوادي العيد وخرجوا من البلاد قبل الزوال لم تلزمهم الجمعة وأما أهل البلد
فتلزمهم.
Kesimpulan
dalam madzhab Syafi'i, yaitu bagi orang
perdalaman yang jauh dari masjid Jami' maka mereka dapat keringanan untuk
meninggalkan Shalat Jum’at, sedangkan bagi yang tinggal di bandar atau dekat
dengan masjid Jami' maka shalat Jum’at tetap diwajibkan karena tidak susah
baginya untuk melakukan perjalanan ke masjid untuk menunaikan kedua shalat
tersebut.
Sedangkan
yang memperbolehkan meninggalkan Jum’at adalah madzhab Hambali seperti yang
diriwayatkan oleh Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni Syarah al-Kabir Juz 2 P.
105 :
"وإن
اتفق عيد في يوم جمعة , سقط حضور الجمعة عمن صلى العيد , إلا الإمام , فإنها لا تسقط
عنه إلا أن لا يجتمع له من يصلي به الجمعة".
Kesimpulan,
dengan hadirnya shalat Id, berarti menghilangkan kewajiban menghadiri shalat
Jum’at, tapi bukan menghilangkan kewajiban shalat pada siang tersebut. Oleh
karena itu, mereka tetap mewajibkan shalat Jum’at.
Dalil
menurut Mayoritas ulama yang mewajibkan shalat Jum’at adalah karena umumnya
ayat dan khabar tersebut. Lebih-lebih lagi kedua shalat tersebut dianggap
wajib, maka salah satunya tidak boleh mengugurkan yang lain pula, seperti shalat
Id tidak dapat mengugurkan shalat Jum’at.
Sedangkan
dalil madzhab Hambali adalah hadits riwayat Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami :
"شهدت
معاوية يسأل زيد بن أرقم، هل شهدت مع رسول الله صلّى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في
يوم واحد؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد، ثم رخص في الجمعة فقال: « من شاء
أن يصلي فليصل » أو « من شاء أن يجمّع فليجمِّع". »
("Saya
melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu bertanya kepada Zaid
bin Arqam radhiyallahu anhu., "Apakah ketika bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu
hari?" Zaid bin Arqam radhiyallahu anhu menjawab, "Ya,
saya pernah mengalaminya". Mu'awiyah radhiyallahu anhu bertanya
lagi, "Apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
ketika itu?" Dia menjawab, "Beliau melakukan shalat Id dan
memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Barangsiapa ingin melakukan shalat Jum’at maka
lakukanlah." Atau riwayat lain "Barangsiapa yang ingin
mengumpulkan maka kumpulkanlah"). Riwayat Abu Daud dan Ahmad.
Dari
sini menunjukkan secara jelas bahwa keguguran Jum’at di sini adalah mengugurkan
kehadiran bukan mengugurkan kewajiban Jum’at itu sendiri. Maka hukumnya di
sini seperti orang yang sakit yang ada udzur atau kesibukan yang memperkenanan
meninggalkan Jumaat. Bukan berarti mengugurkan kewajibannya.
Juga
ada riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu :
عن رسول الله صلّى
الله عليه وسلم قال: « اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمّعون »
(Dari
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Pada
hari ini telah bertemu dua hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan
shalat Jum’at, maka shalat Id ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan
tetap menunaikan shalat Jum’at."). Riwayat Ibnu Majah.
Walau
bagaimanapun, ketentuan ulama Syafi'i yang memperkenankan orang perdalaman
untuk meninggalkan Shalat Jum’at adalah untuk balik ke rumah mereka sebelum
masuknya waktu Jum’at, karena kalau mereka berada di Masjid Jami' ketika
dikumandangkan adzan Jum’at, maka tentu mereka wajib menghadiri Shalat Jum’at.
Illat sebenar diperbolehkan meninggalkan Jum’at adalah karena meringankan
mereka yang terpaksa datang jauh untuk shalat Id, lalu kalau pulang, dan ingin
berangkat kembali untuk shalat Jum’at maka ditakutkan terlepas waktu lagi. Maka
kalau mereka meninggalkan perjalanan pulang ke perdalaman, maka hukumnya tetap
seperti hukum asal yaitu wajib melaksanakan Jum’at. (Buka Bujayrami ala
al-Khatib Juz 2 P. 167 dan al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah Juz 27 P. 209).
Sesuai
dengan kondisi kita yang berada di Indonesia, maka kita tetap melakukan shalat
Jum’at walaupun kita sudah melakukan shalat Id. Ini berpegang pada kaedah
"الخروج
من الخلاف مستحب" (keluar dari kontroversi adalah dianjurkan). Pernyataan
ini juga seperti yang termaktub di al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: " والأفضل
له حضورها خروجا من الخلاف" (Yang lebih afdal baginya adalah menghadiri Shalat Jum’at
karena keluar daripada khilaf).
Wa
Allahu a'lam...
Sumber:
- Ustadz Muh. Idrus Ramli, Islam Teduh dan Menyejukkan
- Habib Munzir Al-Musawa, www.majelisrasulullah.org
- KH Munawir Abdul Fattah, NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar