Dari
Musyawarah Indonesia Nizamuddin Tahun 2006
TA’ZHIM WAL IHTIRAM.
Dalam
setiap bayan ini yang Allah mau adalah bukan hanya mendengarkan tetapi juga
dilakukan atau diamalkan. Kita dengarkan lalu kita amalkan, ini yang Allah mau.
Di dalam Al Quran Allah menyindir bahwa mereka mengatakan, “Kami mendengarkan”,
padahal mereka tidak mendengarkan. Ilmu itu tuntutannya adalah taat pada Allah.
Oleh karena itulah hakekat mendengarkan ini adalah bagaimana semua yang kita
dengarkan ada dalam kehidupan kita. Yang kita dengar ini bukan untuk
pengetahuan, tetapi untuk diamalkan. Apa yang didengarkan untuk diamalkan.
Kadang-kadang kita beramal dan kita tahu fadhilah amalan tersebut sangat besar,
namun ada kalanya kita beramal tetapi kita tidak tahu fadhilahnya, ini sangat
sayang sekali.
Contoh
hari ini adalah hari jum’at, apa fadhilahnya Mandi Jum’at? Dengan Mandi Jum’at,
maka akan mengeluarkan dosa-dosa kita dari ujung-ujung rambut kita yang tumbuh,
bahkan dari akar-akarnya rambut ataupun bulu-bulu di tubuh kita akan keluar
dosa-dosa. Padahal akar-akar rambut ini tidak mengeluarkan dosa, namun kalaupun
ada akan keluar juga, dosa-dosa kita berguguran.
Kita
sudah lakukan ini semua, tetapi fadhilahnya kita tidak tahu. Amal yang
dilakukan tanpa Fadhilah tidak akan ada Ihtisab. Ihtisab itu apa ? Yaitu
harapan pada Allah. Kita melakukan suatu amalan, tetapi tidak memperhatikan
fadhilahnya, maka ini hanya akan menjadi adat
kebiasaan saja. Kita beramal karena suasana saja, kita terbawa dalam
amal oleh suasana saja, tanpa Ihtisab. Kita sedang shalat, tiba-tiba ada
non-muslim mengikuti kita ikut shalat berjamaah. Kita tanya, “kenapa kamu ikut shalat berjamaah?” Dia
jawab, “Saya ingin melakukan apa yang
kamu lakukan.” Begitu saja jawabannya, tanpa memahami maksudnya dan
fadhilahnya. Ini namanya terbawa suasana. Bukan seperti ini yang diinginkan,
dimana beramal karena adat ataupun karena terbawa suasana. Yang diinginkan
adalah bagaimana orang itu beramal dengan merubah semua yang tadinya hanya
sebagai adat atau kebiasaan menjadi Ibadah. Bagaimana merubah adat atau
kebiasaan menjadi ibadah ? Caranya adalah dengan menghadirkan Ihtisab, Ikhlas,
dan Ihsan.
Ibadah
harus dilakukan dengan sifat. Apa sifatnya ? Sifatnya adalah Ihtisab, Ikhlas,
dan Ihsan. Inilah sifat ibadah. Jadi dalam beribadah harus ada pengharapan,
keikhlasan dan ihsan. Apa itu ihsan ? Bagaimana seseorang yang melakukan amal,
dan didalamnya ada Allah. Setiap beramal merasa melihat Allah atau tertuju
kepada Allah. Setiap beramal pandangan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ini nantinya akan mendatangkan khusyu. Ini
akan memperindah amalan kita. Seseorang mengatakan ingin bertemu dengan Allah.
Maka untuk dapat mencapai itu, dalam ibadahnya hendaknya dia jangan sekutukan
sesuatu dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
Apabila orang keliling dunia dan dia ingin mendapatkan Allah subhanahu wa ta’ala, maka ibadah dan
amalnya akan mendatangkan kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, selama ada ketawajjuhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan tawajjuh
kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dalam setiap ibadah, maka semua akan menjadi dzikir. Apabila dalam ibadah tidak
ada tawajjuh kepada Allah subhanahu wa
ta’ala, maka akan ada ghaflah (lalai). Ibadah-ibadah yang ghaflah tanpa
ketawajjuhan, akan menjadi kebiasaan. Amal dilakukan seharusnya menjadi ibadah
bukan menjadi kebiasaan. Maka perlu sebelum kita melakukan amal, hadirkan
fadhilahnya. Lalu kalau mau melakukan dosa, maka fikirkan, bayangkan, siksanya
di akhirat nanti. Setiap mau melakukan maksiat fikirkan, “Bagaimana ini kalau maksiat kuat tidak menahan adzabnya nanti di
akhirat ?” Begitu juga kalau mau melakukan kebaikan, fikirkan pahalanya dan
balasannya di akhirat nanti. Inilah yang seharusnya kita lakukan yaitu membawa
amal pada janji Allah subhanahu wa ta’ala.
Janji Allah dan AncamanNya.
Kebanyakan
dari kita beramal tapi kosong dari fadhilah, sehingga amal lewat begitu saja.
Beramal yang dilakukan hanya sebagai adat atau kebiasaan dan tidak ada
pengharapan kepada Allah. Begitu juga ketika melakukan maksiat, tidak ada
sangkutan pada ancaman, sehingga ketika melakukan maksiat santai saja, tidak menganggap
bahwa itu akan mendatangkan ancaman besar di akherat. Oleh karena itu, kita
berupaya bagaimana dalam setiap amalan, kita hadirkan fadhilahnya. Kita jadikan
setiap amalan ini menjadi dzikir. Apa itu dzikir ? Yaitu tawajjuh kepada Allah
dalam hati. Jika dalam setiap amalan ini ada ketawajuhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hati, maka
setiap amal ini akan menjadi dzikrullah.
Kita
berdzikir dengan lisan maksudnya apa ? Hal ini agar ada ketawajuhan dalam hati.
Begitu juga ketika kita mendengarkan bayan ini, ceramah ini, diperlukan
ketawajjuhan agar menjadi dzikir. Bagaimana ketika kita mendengar bayan ini
menjadi dzikir? Caranya telinga ini dzikirnya adalah dengan mendengar. Oleh
karena itu ketika kita membaca Al Quran pahalanya lebih tinggi dengan melihat
dibanding hanya dengan mendengar, karena matanya pun ikut berdzikir, bukan
telinga saja. Jadi dzikir mata ini adalah dengan melihat. Ketika kita membaca
Al Quran ini kita melihat langsung dan mendengar langsung, mata dan telinga ada
ketawajjuhan, inilah dzikir mata dan telinga. Beda kalau hanya dengan mendengar
bacaan Al Qur’an saja. Ketika kita membaca Al Quran, mata kitapun digunakan
untuk berdzikir. Jadi melihat itu dzikir mata, mendengar itu dzikir telinga,
dan membaca didzahirkan secara lisan itu dzikir mulut. Hanya dengan membaca Al
Quran kita mendapatkan tiga keutamaan dzikir dari mata, mulut, dan telinga.
Bagaimana
kita gunakan seluruh anggota tubuh kita ini untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, inilah yang
dinamakan dengan Ahli Dzikir. Kita fikirkan bagaimana setiap anggota tubuh kita
ini ada ketaatan pada Allah subhanahu wa
ta’ala, sehingga setiap geraknya menjadi dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka ketika
kita mendengarkan bayan saat ini kita jadikan dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala yaitu dengan
ketawajjuhan. Apabila kita bisa mendengarkan dengan tawajjuh, maka nanti Allah
akan memberikan hidayah. Kita mendengar sekarang ini supaya kita dapat hidayah.
Mendengar untuk dapat hidayah. Allah subhanahu
wa ta’ala menjadikan hidayah bagi orang yang mendengarkan dengan penuh
tawajjuh. Maksudnya mendengarkan dengan penuh perhatian. Apa yang sekarang kita
dengarkan ini akan menjadi dzikrullah, dan apa yang kita dengarkan kita niatkan untuk diamalkan. Tabligh itu
bukan hanya sekedar untuk menyampaikan saja. Tidak! Tabligh itu untuk apa ?
Untuk diamalkan. Tabligh itu bukan untuk belajar bayan atau takrir, tetapi
untuk belajar amal. Orang yang ahli takrir dan ahli bayan itu berarti ahli
tabligh, bukan itu yang diinginkan, tetapi ahli takrir dan ahli bayan itu
seharusnya ahli amal. Ahli Tabligh itu adalah Ahli Amal. Takrir itu sama dengan
Ta’lim yaitu kita mengajarkan amal pada ummat. Menta’limkan orang dengan
praktek, yaitu bagaimana ta’lim itu seharusnya dilakukan.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya mengajarkan dengan praktek, dengan amal. Bagaimana kita melakukan
ta’lim ? Yaitu dengan amal. Menta’limkan pembicaraan itu dengan apa ? Dengan
amal, dengan praktek. Oleh karena itu, Tabligh dilakukan semuanya dengan Amal
bukan dengan pembicaraan. Seorang yang menyampaikan amalan, maka dilakukan dengan amalan itu pula. Menularkan
amalan itu kepada orang lain, bukan hanya dengan bicara saja, tetapi dengan
amal. Jika kita mengamalkan, maka orang lain akan tertular untuk mengamalkan.
Maka dalam dakwah perlu kita tekankan pengamalan, sehingga muncul keyakinan
terhadap amal. Apabila kita terus berada dalam amalan-amalan, maka nanti akan
Allah munculkan Hakikat dalam Hati, yaitu Keyakinan dalam Hati. Barang siapa yang
bersungguh-sungguh di jalan Allah subhanahu
wa ta’ala, maka nanti Allah subhanahu
wa ta’ala akan berikan dia hidayah. Dengan sungguh-sungguh dan amal yang
lurus, baru Allah berikan hidayah :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.”(QS.
Al Ankabut : 69)
TASHDIQ WAL YAKIN.
Hidayah
dijanjikan oleh Allah akan diberikan kepada orang yang serius atau
bersungguh-sungguh dalam dakwah. Kita ini bertabligh dengan amalan, sehingga
hakikat atau keyakinan ini masuk dalam hati. Sangat penting untuk kita
sampaikan pertama kali dalam setiap pembicaraan adalah tentang keimanan, yaitu
mendakwahkan kalimat “Laa ilaaha
illallaah”. Tanpa Iman :
•
Amal tidak mungkin istiqamah
•
Amal tidak akan mendapatkan pahala.
•
Amal tidak akan diterima.
•
Apa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan
disempurnakan.
Janji-janji
Allah akan disempurnakan, pahala besar akan diberikan, amal akan mendatangkan
qabuliat (penerimaan), dan amal akan istiqamah, syaratnya adalah Iman. Makin
baik Iman kita, makin banyak Ihtisab (pengharapan). Makin banyak Ihtisab,
maka makin banyak pahala. Orang yang tidak ada ihtisab dalam amal, maka dia
tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal tidak akan mendapatkan pahala tanpa
ihtisab, karena dalam amal tidak ada pengharapan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Amal yang tidak
berpahala adalah amal yang tidak disertai dengan pengharapan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas janji-janji
Allah subhanahu wa ta’ala.
Sejauhmana
keimanan ini bisa mendatangkan keikhlasan? Perlu diketahui bahwa tanpa iman
tidak akan dapat ikhlas. Orang tidak beramal, karena lemahnya iman. Orang
melaksanakan suatu amal, karena adanya iman. Buahnya iman, hasilnya adalah
keistiqamahan, karena pandangannya tertuju kepada yang paling tinggi, paling
atas, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang beramal sedikit, pandangannya bukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang riya’
ketika beramal, maka amalnya akan sedikit sebab pandangannya bukan tertuju
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang
yang riya’, dzikirnya tidak kepada Allah, sehingga amalnya akan sedikit dan
pandangannya tertuju bukan pada Allah, sehingga amal yang dilakukannya pada
selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Semakin lemah iman seseorang, semakin kecil kemungkinan hakikat masuk dalam
hati. Karena lemahnya iman, maka amalan ini akan kemasukan riya’. Karena
lemahnya iman, maka yang dilihat bukan Allah. Iman semakin bertambah atau
meningkat, maka khidmat juga akan bertambah atau meningkat, kalau tidak maka
akan kemasukan riya’.
Dalam
hadits dikatakan bahwa “Riya yang paling
rendah itu adalah Syirik”. Namanya syirik itu dosa dan Allah tidak
mengampuni dosa syirik. Syirik itu membawa seseorang kepada Jahannam, sedangkan
iman ini membawa seseorang ke surga. Amal yang ada syiriknya akan membawa
seseorang kedalam neraka. Semua bentuk kesyirikan akan menjatuhkan dia kedalam
neraka. Oleh karena itu, perlu diperhatikan amal yang lurus. Ada yang namanya
syirik yaitu menyembah berhala. Ini jenis syirik yang semua orang tahu yaitu
syirik berhala. Jenis syirik ini semua orang tahu bahwa dia beribadah dan
menyembah kepada selain Allah. Syirik berhala ini, kita dapat melihat wujud
penyembahannya kepada patung atau sejenisnya. Anak kecilpun bisa mengetahui hal
ini, bahwa yang disembah bukan Allah, yang disembah selain Allah. Semua orang
islam tahu bahwa syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lain. Namun ada
jenis syirik lain, yang namanya syirik amali atau syirik amalan. Syirik amalan
ini berawal dari riya’, dan syirik amalan ini ada dalam kehidupan orang islam.
Apakah
sebabnya seseorang mampu beramal ? Disinilah letak perbedaannya, apakah dia
tawajjuh kepada Allah atau beramal untuk selain Allah. Kalau dia beramal untuk
selain Allah inilah yang namanya syirik amalan, itulah riya’. Caranya bagaimana
menjaga amalan ? Kita beramal dengan niat hanya kepada Allah, dan kita berharap
Allah terima amal kita. Orang yang beramal tanpa niat, dianggap tidak ada
amalan.
Macam-macam Syirik.
Dengan
iman kita luruskan niat kita. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam katakan syirik itu ada 2 macam :
•
Syirik Berhala : Beribadah kepada
selain Allah subhanahu wa ta’ala.
•
Syirik Amal : Beribadah untuk selain
Allah subhanahu wa ta’ala.
Apa
maksudnya beribadah untuk selain Allah ? Yaitu jasadnya seakan-akan beribadah
kepada Allah, tapi hatinya kepada selain Allah. Amalnya itu tujuannya untuk
mendapatkan ridho selain Allah. Inilah tanda riya’, dan orang beramal dengan
riya’ ingin di puji oleh selain Allah. Seharusnya dalam beramal hanya
mengharapkan pujian dari Allah. Padahal ketika kita beramal, merupakan bantuan
dari Allah, tanpa pertolonganNya tidak mungkin bisa beramal. Yang diinginkan,
ketika beramal memuji Allah, dan setelah selesai beramal juga memuji Allah,
sebab dia bisa beramal karena karunia dari Allah. Sedangkan orang riya’, dia
beramal ingin dipuji selain Allah. Beramal untuk mahluk, dengan keinginan
mendapatkan pujian dari mahluk.
Amal
ini akan mendatangkan pahala jika ada iman. Tanpa iman tidak akan ada ihtisab,
pengharapan kepada Allah. Yang ada adalah ghaflah (lalai). Qabuliat
(dikabukannya) amal terjadi jika ada iman. Amal itu dikabulkan karena ada
ikhlas. Ikhlas ini juga didapatkan dengan iman. Jika ada iman, maka akan ada
keistiqamahan.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah
pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu.” (QS. Fushilat: 30)
Kehormatan
ayat ini Allah berikan kepada siapa ? Kepada orang yang yakin pada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang meyakini
semua perkataan Allah subhanahu wa ta’ala adalah benar. Orang yang dalam setiap keadaan
selalu mendahulukan Allah. Orang yang meyakini bahwa segala sesuatu ini milik
Allah dan kerja Allah subhanahu wa ta’ala.
Semua yang terjadi ada dalam genggaman dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Umumnya ketika melihat kekuasaan, maka
orang-orang akan melihat bahwa ini adalah perintah dari pemerintah. Namun orang
yang yakinnya pada Allah ketika melihat kekuasaan, maka dia akan segera
mentawajjuhkan dirinya kepada Allah, bahwa semua kekuasaan ini adalah milik
Allah. Ketika orang pada umumnya mendapatkan perintah dari pemerintah, maka dia
akan merasa terpaksa mengerjakannya. Orang pada umumnya melihat keadaan, ahwal,
bukan melihat perintah, dan ini keliru. Ketika orang tersebut mengerjakan
perintah, maka dia mengerjakan dengan terpaksa.
Kenapa ? Karena keadaan. Hal ini disebabkan karena keyakinannya yang
kurang kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
sehingga dalam beramal yang dilihat ahwal (keadaannya), bukan perintah Allah
dalam keadaan pada waktu itu. Akibatnya kebanyakan orang pada umumnya
akan ikut pada pemerintah dalam beragama. Inilah yang kebanyakan terjadi hari
ini. Padahal seharusnya pemerintah ikut pada agama bukan agama mengikuti
pemerintah.
Jadi
orang akan bisa istiqamah sesuai dengan kekuatan imannya. Istiqamah ini hanya
bisa dilakukan dengan keyakinan. Jika ada keyakinan maka keistiqamahan akan
datang. Mengapa demikian ? Orang yang imannya kuat maka pengharapannya pada
Allah akan besar, dan sangkaannya akan kuat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Ia akan berprasangka yang kuat bahwa Allah
akan memenuhi janjiNya. Orang berani meninggalkan perintah Allah, karena dia
tidak meyakini dalam perintah Allah ini ada kejayaan. Padahal Allah subhanahu wa ta’al memberi sesuai dengan
prasangkaan hambaNya. Orang yang mempunyai iman, maka dia akan berprasangka
yang kuat terhadap Allah, sedangkan yang lemah iman tidak akan mempunyai
prasangka yang kuat terhadap Allah subhanahu
wa ta’ala.
Kisah Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu :
Suatu
ketika terjadi kebakaran di sekeliling rumahnya Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu diberitahu bahwa rumahnya terbakar. Abu
Darda’ katakan, “Tidak mungkin rumah saya
terbakar, saya tidak percaya kalau rumah saya kebakaran.” Kemudian datang
lagi orang memberitahu, “Wahai Abu Darda
rumah kamu terbakar.” Abu Darda’ radhiyallahu
‘anhu kembali katakan, “Saya tidak
percaya rumah saya terbakar, tidak mungkin rumah saya terbakar.” Tiga orang
datang menyampaikan kepada Abu Darda’ bahwa rumahnya terbakar tetapi semuanya
di nafikan oleh Abu Darda’ radhiyallahu
‘anhu. Orang-orang bertanya kepada Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “kenapa
kamu tidak percaya rumah kamu terbakar.”Hal ini dikarenakan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu lebih meyakini khabar
dari Allah subhanahu wa ta’ala
dibanding pandangan mahluk. Inilah ujian keimanan ketika Allah mempertemukan
khabar dan pandangan dari mahluk, kemana kita lebih condong. Khabar dari Allah
sedangkan pandangan dari mahluk, yang nampak oleh mahluk.
Mengapa
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu begitu
yakin rumahnya tidak akan terbakar ? Ini dikarenakan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mendapatkan amalan
yang diberikan oleh Rasullullah shallallahu
‘alaihi wasallam, yang jika dibaca dipagi hari akan terselamatkan dari
segala musibah hingga sore hari, dan jika dibaca disore hari akan terlindungi
dari segala musibah hingga pagi hari. Inilah khabar yang diyakini oleh Abu
Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Begitulah
keyakinan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu
dan prasangkanya yang kuat atas khabar dari Allah melalui rasulNya. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu lebih kuat
prasangkanya terhadap Allah dibanding pandangan mahluk mengenai rumahnya. Dan
ternyata memang rumahnya Abu Darda’ radhiyallahu
‘anhu tidak terbakar sedikitpun, sedangkan rumah di sekitarnya terbakar.
Kemudian Maulana Saad membacakan do’a Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, berikut ini :
”Allaahumma anta rabbi, laa ilaaha
illaa anta ‘alaika tawakkaltu wa anta rabbul ‘arsyil ‘adziim. Maa syaa-allaahu
kaana wamaalam yasya’lam yakun, walaa hawla walaa quwata illaa billaahil
‘alaiyyil ‘adziim. A’lamu annallaaha ‘alaa kulli syay-in qadiir, wa annallaaha
qad ahaatha bikulli syay-in ‘ilmaa. Allaahumma innii a’uudzubika min syarri
nafsii, wamin syarri kulli dabbatin anta aakhidzun binaashiyatihaa. Inna rabbi ‘alaa shiraatim
mustaqiim.(Dibaca
setelah shalat shubuh dan setelah shalat ashar)
“Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Kepada-Mu aku bertawakkal, dan
Engkau Tuhan 'Arsy yang Agung. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan
apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Tiada daya upaya dan
tiada pula kekuatan kecuali hanya kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Aku yakin, bahwasanya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan ilmunya Allah
meliputi segala sesuatu.Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau
dari kejahatan diriku dan dari kejahatan segala makhluk yang melata, Engkaulah
yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku senantiasa di jalan yang
lurus.”(HR.
Ibnu Sunni)
Hari
ini kita baca doa, tetapi keyakinannya tidak ada sama sekali, kalaupun ada tapi
keyakinannya pada asbab. Doa pada Allah, tetapi asbab yang diyakini. Padahal
kita membaca doa ini untuk mendapatkan qabuliat, terutama doa-doa masnunat
dalam setiap amal. Celakanya kita hari ini, berdoa saja kita tidak mau
membacanya, tidak mau belajar. Padahal tidak ada yang lebih diyakini daripada
doa-doa masnunat ini, yaitu doa yang memiliki qabuliat jika kita meyakini. Kita
belajar doa-doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Tidak ada satu orangpun yang mengajarkan doa sebanyak ini
melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Nabi-nabi lain tidak ada yang mengajarkan doa sebanyak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dulu waktu
kita keluar di awal dakwah, kita rajin sekali mempelajari dan menghafal
doa-doa masnunah. Bagaimana dengan sekarang ? Sudah lupa semua belajar doa.
Keluar dijalan Allah lagi dan lagi, tetapi perkara ini sudah di tinggalkan,
inginnya di anggap sebagai orang lama, sebagai penanggung jawab.
Abu
Darda’ radhiyallahu ‘anhu pagi-pagi
sudah baca doanya, orang datang mengatakan rumahnya terbakar,dan apa kata Abu
Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Aku tidak percaya, tidak mungkin
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan aku doa untuk terhindar
dari musibah, namun rumahku tetap terbakar, ini perkara yang tidak mungkin”.
Allah akan penuhi janji pada seseorang apabila orang ini yakinnya sempurna.
Prasangka kita terhadap Allah ini bisa mendatangkan kekuatan yang besar, apa
itu ? Mendatangkan qudratullah dalam diri kita. Orang yang sangkaannya kuat
terhadap Allah berarti dia ada maa-iyatullah (kebersamaan dengan Allah).
Setelah
padam apinya yang membakar rumah tetangganya, maka orang datang kepada Abu
Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Abu Darda’ tadi ada kebakaran
disekitar rumahmu, namun hampir saja api mengenai rumahmu, namun tidak jadi
terbakar.” Apakah ini hanya kebetulan ? Bukan kebetulan, tetapi dengan
amalan dan doa tadi yang diajarkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Apabila dalam setiap amal kita yakini janji Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah penuhi
janjinya. Amal ini akan sempurna apabila ada yakin pada janji Allah, tidak
dengan ragu-ragu. Lihat orang-orang munafik, mereka ini ciri-cirinya beramal
lihat keadaan, lihat ahwal. Sedangkan orang beriman ini ketika beramal yang
dilihatnya adalah apa perintah Allah pada saat itu.
Perang Khanddaq ( parit )
Allah
subhanahu wa ta’ala berjanji melalui
lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apa janjinya ? Allah berfirman melalui Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, bahwa kalian para sahabat radhiyallahu ‘anhu, akan menaklukkan istana-istana Kaisar dan
Kisra. Ini sudah berjalan dan sudah terjadi. Apa kata orang munafik ketika itu,
“lihat itu dengarkan perkataannya
Muhammad dengan pengikutnya. Dalam keadaan kelaparan membuat parit, mengatakan
akan mengalahkan Kaisar dan Kisra.” Semua orang mendengar janji Allah subhanahu wa ta’ala pada waktu itu.
Namun orang Munafiq ketika itu mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan semuanya, kecuali tipuan.
Orang-orang Munafiq mengatakan, “Ini
semua palsu saja, mengapa kalian susah-susah membuat parit jika semua itu pasti
menang, bahwa kaum muslimin akan menaklukkan Kisra dan Kaisar.”
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (٢٢) مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا (٢٣)لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (٢٤(
“Dan ketika
orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka
berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.Dan benarlah
Allah dan Rasul-Nya.Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman
mereka.Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
mengubah (janjinya).Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar
itu karena kebenarannya, dan mengazab orang munafik jika Dia kehendaki, atau
menerima tobat mereka.Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab :
22-24)
Allah
subhanahu wa ta’ala menyampaikan
janji tersebut melalui lisan Rasullullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Ini adalah ujian untuk orang beriman juga. Ujian iman
bagi orang beriman. Secara dzahirnya janji Allah ini seperti tidak sesuai
dengan yang terlihat.
Isra Mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam
Mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
ini juga ujian untuk melihat siapa yang percaya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan siapa
yang tidak percaya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Ini namanya tashdiq
wal yakin. Perjalanan bumi saja dibutuhkan waktu sebulan ke masjidil Aqsa,
ketika itu tidak ada pesawat terbang, sedangkan perjalanan kelangit ? Tentunya
perkara ini tidak terjangkau, tidak ada batasnya, tidak akan bisa ditempuh oleh
manusia. Namun perjalanan bumi yang satu bulan dan langit yang tidak ada
batasnya, semua dilakukan dalam semalam saja oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Paginya Abu Jahal berkata dengan nada
mengejek, “Ada apa ini, ada apa ini ? Hai
Muhammad ada berita baru apa lagi sekarang ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Jahal, “Semalam aku dibawa ke Baitul Maqdis,
kemudian saya dibawa kelangit, paginya saya sudah sampai disini lagi.” Begitu
pula orang munafiqin yang mendengar, mereka ketawa-ketawa saja dan
mengolok-olok, sebab mereka tidak ada keyakinan. Kaum kafirin ketika mendengar
itu langsung mengolok-ngolok Nabi dan menganggap sebagai berita bohong dan
palsu. Mereka yang yakinnya lemah ketika mendengar mereka juga ragu-ragu.
Jadi orang yang tidak ada keyakinan, pasti mendustakan berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berita
isra’ miraj Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang sangat luar biasa tersebut, yang tidak bisa dijangkau oleh
akal manusia, membuat orang yang imannya lemah jadi murtad. Mereka yang imannya
lemah menjadi murtad, karena mereka mengukur pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari
akalnya, bukan dari yakinnya atau hatinya. Ciri-ciri orang yang lemah iman atau
yang yakinnya lemah adalah mengukur pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini dengan akalnya bukan dengan
yakinnya. Sedangkan akal manusia ini lemah, dangkal, sangat kecil kemampuannya.
Akal manusia biasa dibanding dengan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sangat jauh sekali perbedaannya.
Hal ini disebabkan karena akal Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sempurna, melebihi kemampuan akal manusia. Karena itulah
ukuran standard janji Allah ini bukanlah akal manusia. Akal manusia ini terlalu
dangkal untuk dapat menerimanya, tidak akan sanggup. Akal manusia ini bukanlah
suatu standard untuk menilai syariat dan hakikat. Jika akal ini digunakan
sebagai standard, maka orang macam ini akan merubah-rubah ketentuan agama.
Orang macam ini akan meletakkan agama bedasarkan akal pikirannya saja.
Hari
ini rusaknya agama di seluruh dunia terjadi disebabkan oleh akal-akal manusia,
mereka berkata, “Ajaran apa ini? Ini
tidak masuk akal….. ini semua sudah beda jamannya, tidak logis lagi.” Ini
perkataan mereka yang menjadikan akal sebagai ukuran beragama. Padahal akal
manusia ini dibanding dengan kemapuan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini tidaklah sebanding. Akal manusia
ini terlalu kecil kemampuannya dibanding akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
مَآ أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍۢ}٦٨:٢{
“Berkat nikmat
Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (QS. Al Qalam : 2)
Ulama
mengatakan bahwa Allah membagi akal 100 bagian. Dari 100 bagian, maka 1 bagian
Allah bagikan ke seluruh mahluk, dari ulama, fuqaha, ilmuwan, dokter, dan
berbagai profesi manusia dari jaman nabi Adam ‘alaihis salam sampai manusia yang terlahir terakhir kali menjelang
kiamat. Dari sini kira-kira setiap orang dapat berapa persen dari 1 akal yang
Allah bagikan kepada seluruh manusia. Sangat kecil sekali kemampuan akal
manusia ini. Sedangkan 99 bagian lain, Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika keadaannya seperti itu, apakah
sebanding kemampuan akal manusia dibanding dengan akalnya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Tidak
mungkin sebanding. Buktinya apa ? Ya syariat itu sempurna. Syariat yang dibawa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam ini
sempurna. Kesempurnaan syariat yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai bukti kesempurnaan akal
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga syariat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menghapus syariat yang lain termasuk yang dibawa oleh Nabi-nabi
terdahulu. Pada waktu Mi’raj pun Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menjadi imam shalat dari seluruh Anbiya’. Semua nabi-nabi
mengikut Rasullullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Syariat yang lalu dan yang akan datang hanya mengikuti syariat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jadi standard agama ukurannya bukan akal manusia.
Contoh
: Menurut akal manusia zakat itu mengurangi harta, dan riba itu menambah
harta. Padahal menurut agama dengan zakat harta bertambah, dan dengan riba
harta berkurang. Inilah yang namanya Yaqin atau Iman. Karena itulah ukuran
agama ini bukan akal tetapi perintah Allah subhanahu
wa ta’ala. Khabar dari Allah ini erat hubungannya dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan akal manusia
ini erat hubungannya dengan ahwal (keadaan). Akal manusia ini hanya bisa
melihat ahwal bukan perintah Allah subhanahu
wa ta’ala. Sudah menjadikan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Allah subhanahu
wa ta’ala tidak menjadikan akal sebagai standard hukum syariah. Sebab akal
hanya melihat ahwal.
Ketika
kita mendengarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu kita berpegang teguh, itulah yang namanya iman. Kita
yakini dan kita pegang teguh sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, itulah yang namanya Iman Yaqin. Ketika Allah datangkan
ahwal yang bertentangan antara akal dan perintah Allah, maka akal berkata, ini
untuk apa ? Untuk membedakan, mana yang yaqin pada Allah dan mana yang tidak.
Jadi untuk menguji keyakinan manusia ini, maka Allah subhanahu wa ta’aladatangkan ahwal-ahwal yang bertentangan. Allah subhanahu wa ta’alahendak menguji dan
menentukan mana yang yaqin dan mana yang tidak. Janji Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini banyak
bertentangan dengan ahwal yang nampak.
• Kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membeli Kuda.
Suatu
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
membeli kuda dari seorang Badui, setelah mencapai kesepakatan, maka mereka
melakukan ijab kabul penjualan. Lalu beberapa saat kemudian sebelum kuda itu
diberikan, datang orang menawar harga kuda yang telah dibeli Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari si Badui.
Oleh si Badui harga tersebut disetujui. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam protes, “Bukankah kuda ini sudah saya beli, kamu sudah jual kepada saya, dan
saya telah beli, kenapa di jual lagi ke orang lain.” Maka si Badui katakan,
“Belum saya jual, belum, kapan saya
katakan seperti itu ? Demi Allah belum saya jual kuda ini.” Si Badui ini
begitu yakin karena ketika pembelian terjadi mereka hanya berdua saja, Cuma ada
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan si Badui tadi. Lalu kata si badui, “Begini
saja, kalau memang kamu ada saksi, bawa kemari, nanti saya kasih kuda ini.”
Pada waktu itu tidak ada orang ketiga, hanya ada mereka berdua yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan si
Badui. Ketika terjadi perdebatan, datanglah seorang sahabat, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang mendengar
pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan si Badui. Mendengar permintaan dari si Badui tadi, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalau begitu saya saksinya….. Saya jadi
saksi bahwa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini betul-betul telah
membeli kuda dari kamu.” Orang Badui minta saksi, kini saksi telah ada, ini
kan sudah sesuai.
Secara
keimanan tidak ada persaksian yang lebih kuat dari persaksian Hudzaifah radhiyallahu’anhu, sebab apa ? Ini
karena persaksiannya berdasarkan berita dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Persaksian atas dasar keimanan bukan
karena penglihatan, yaitu atas dasar berita dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hudzaifah
berkata, “Aku menjadi saksi atas berita dari
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka tidak ada persaksian yang
lebih kuat daripada persaksian Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu. Beginilah sahabat radhiyallahu
‘anhu belajar keimanan. Seandainya waktu itu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu katakan, “Wah
saya tidak bisa jadi saksi, kan saya waktu itu tidak ada, bagaimana bisa jadi
saksi.” Ini namanya sudah ragu-ragu dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan ragu
lagi, tapi tidak percaya. Maka iman sudah keluar ketika kita tidak percaya perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Na’udzubillah min dzalik.
Allah
subhanahu wa ta’ala mendatangkan
keadaan bersama Rasullullah shallallahu
‘alaihi wasallam, ini untuk apa ? Untuk menguji iman umat. Di situ akan
terlihat apakah seseorang itu yakin pada perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau ragu atau tidak percaya. Padahal
beritanya ini ghaib dan bertentangan dengan akal manusia. Maka imtihan bagi
para sahabat radhiyallahu ‘anhu ini
berat-berat. Ketika Hudzaifah ini bersaksi, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Hudzaifah, bagaimana kamu bisa bersaksi, padahal kamu tidak ada
disitu pada waktu itu, tidak melihat kejadiannya.” Melalui pertanyaan ini,
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam
ingin menguji daripada keimanan Hudzaifah. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguji bukan ragu. Apa jawab
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu :
“Ya Rasullullah engkau menceritakan
kepada kami tentang Surga, tentang Neraka, tentang Mahsyar, tentang Kubur,
tentang Malaikat, yang kami belum pernah lihat. Semua yang engkau sampaikan
kami percaya walaupun kami belum pernah melihat. Apabila berita yang
besar-besar ini saja kami bisa percayai dan kami yakini, bagaimana dengan
berita-berita kecil macam pembelian kuda ini.”
Inilah
ciri-ciri orang yang yakin pada berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berita Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan dipegang teguh dengan penuh
keyakinan. Maka apa kata Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, “Setelah hari ini
persaksian Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini sama dengan persaksian yang
dilakukan oleh 2 orang nilainya.” Sebab kejujurannya sudah dibuktikan oleh
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Inilah yang namanya keyakinan yaitu 100% percaya pada khabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Iman
bil Ghaib apa maksudnya ini ? Yaitu kita mengambil saksi atas dasar berita
ghaib sumbernya. Hari ini Fadhilah Amal tidak dibaca, Muntakhab Ahadits tidak
dibaca, bagaimana mau belajar iman ? Dengan menceritakan yang
ghaib-ghaib, maka iman bil ghaib akan datang kepada kita. Kejadian seperti
kisah Hudzaifah ini sangat banyak sekali, namun kalau kita tidak baca bagaimana
akan tahu. Akhirnya pergerakan dakwah ini hanya tinggal pergerakan saja,
menjadi organisasi, pengaturan saja. Padahal iman itu ada tandanya. Kisah
Hudzaifah adalah contoh iman bil ghaib.
Orang yang percaya setelah melihat bukan iman bil ghaib namanya. Kalau
sudah melihat adzab Allah subhanahu wa
ta’ala, itu bukan iman namanya.
Iman
bil ghaib ini adalah azas. Bagaimana mendatangkannya yaitu dengan menceritakan
yang ghaib-ghaib. Janji Allah ini semuanya ghaib, dari kubur, mahsyar, shirat,
surga, dan neraka, ini semuanya ghaib. Yakin pada Janji dan Ancaman, Selamat
masuk surga ataupun disiksa di neraka.
TA’ASHUR FIL QALB.
Bahan
Bakar Neraka
Dalam
pembicaraan dengan sahabat radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallambersabda bahwa :“Kayu Bakar
Neraka itu adalah Manusia dan Batu”. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَإِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْاوَلَنْ تَفْعَلُوْافَاتَّقُواالنَّارَالَّتِيْ وَقُوْدُهَاالنَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ
“Maka jika kamu
tidak dapat membuat, dan sekali-kali kamu tidak akan dapat membuat, maka
takutlah kamu kepada neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang
disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 24).
Salah
seorang sahabat duduk di batu yang besar, dia bertanya kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kayu bakarnya dari batu ? Berarti
batu-batunya besar sekali. Apakah batu-batunya sebesar-besar batu di dunia ?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Satu Batu di neraka itu lebih
besar daripada seluruh gunung di dunia.”
Maka
begitu ta’ashurnya para sahabat radhiyallahu ‘anhu, sehingga keyakinan
mereka tambah kuat. Keyakinan akan bertambah ketika ada ta’ashur. Ta’ashur ini bukan sekedar pengetahuan.
Pengetahuan yang tidak ada ta’ashurnya,
maka tidak akan mendatangkan kesan. Ta’ashur
akan ada, apabila ada keyakinan. Sebab kalau hanya pengetahuan, orang muslim
dan non muslim sama saja, kedua-duanya bisa belajar dan mengetahui. Begitu
sahabat mendengar, langsung di ingat dan di hayati. Sahabat radhiyallahu ‘anhu, ketika mendengar
kayu bakar neraka adalah manusia dan batu, dan batu-batunya melebihi
gunung-gunung di dunia, goncang dia dan langsung pingsan. Jantungnya masih
berdetak, kemudian oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallamditalqinkan dengan kalimat“Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasuullullaah”. Setelah sahabat
tersebut mengikuti dan mengucapkan talqin Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, “Kamu adalah ahli surga”, lalu sahabat tersebut meninggal dunia.
Sahabat radhiyallahu ‘anhu yang lain,
yang melihat kejadian itu merasa iri dan mengatakan,“Wah enak sekali, di talqinkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
terus masuk surga.” Para sahabat radhiyallahu
‘anhu yang disitu bertanya, “Ya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam janji ini hanya untuk dia saja atau
untuk kita semua.” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallamsabdakan : “Janji
Allah ini hanya untuk orang yang takut menghadap kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Maka janji ini untuk dia.”
Oleh
karena itu 4 hal ini : Qabuliat, Pahala, Istiqamah, dan Janji Allah subhanahu wa ta’ala ini, hanya bisa
didapatkan apabila ada Iman. Tatkala ada iman, maka semua amalan dilakukan
dengan Yaqin. Tanpa iman maka keyakinan akan keluar dari kehidupan kita. Hari
ini dakwah dunia berjalan melalui iklan-iklan. Hari ini orang bersusah payah
dan bersabar untuk dunia. Demi dunia umat hari ini rela menahan penderitaan dan
hinaan. Sedangkan menahan penderitaan dan hinaan untuk agama, hari ini kita
tidak bisa. Orang rela menahan penderitaan dan hinaan untuk dunia, namun untuk
agama tidak bisa. Kita untuk dunia segala macam hinaan siap ditanggung. Namun
untuk agama ? baru di ganggu sedikit sudah tidak kuat. Padahal orang yang siap
menahan penderitaan demi agama, maka Allah akan muliakan dia dan Allah akan
gunakan dia terus menerus untuk agama.
Kisah Abdullah bin Hudzafahradhiyallahu ‘anhu.
Abdullah
bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhuketika
membawa rombongan tertangkap oleh pasukan Romawi, kemudian beliau dibawa
menghadap Raja. Raja katakan kepada Abdullah bin Hudzafah, “Kalau engkau mau masuk kedalam agama Nasrani, maka kamu akan aku
berikan separuh dari kerajaanku.” Namun apa kata Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu, “Walaupun kamu bisa memberikan seluruh kerajaanmu ditambah dengan
seluruh kerajaan yang ada di Arab, sekejap matapun aku tidak akan pindah dari
Islam.”
Masyaikh
katakan jika ada seseorang yang mau bersusah payah menahan penderitaan demi
agama, Allah akan muliakan dia. Orang yang siap bersusah payah di jalan Allah,
maka Allah akan berikan dia istiqamah. Hari ini untuk perkara kecil saja, ada
orang yang rela meninggalkan agama, padahal sahabat dahulu walaupun hanya sekejap
mata dengan janji diberikan separuh kerajaan, tidak mau tinggalkan agama. Hari
ini sudah biasa orang muslim menikahkan anaknya dengan muslim, karena cinta,
agama ditinggalkan. Meninggalkan agama untuk kepentingan dunia, ini bukanlah
hal aneh lagi sekarang.
Tatkala
umat ini meninggalkan dakwah, maka merubah-rubah syariat,
menggampang-gampangkan agama, menjadi mudah dalam kehidupan manusia. Setiap
orang akan membuat pernyataan masing-masing tentang agama. Agama di logikakan
berdasarkan keadaan dan akal manusia. Sehingga agama tidak menjadi seperti
seharusnya, sudah ditinggalkan dan tidak lagi dipegang secara kuat. Semua jadi
serba dimudah-mudahkan, ingin ini diambil, ingin itu diperbolehkan, lalu
dihubung-hubungkan dengan agama lain. Akhirnya menerima agama lain menjadi
mudah, amalan agama lain menjadi seakan-akan amalan kita juga. Inilah fakta
kerusakan dalam kehidupan ummat hari ini. Maka untuk menjaga agama ini
bagaimana caranya ? Yaitu mendakwahkan agama.
Abdullah
bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhuditawarkan
separuh kerajaan, namun apa yang dikatakannya walaupun diberikan seluruh
kerajaan ditambah dengan seluruh kerajaan di arab, berapa menit ? Sekejap mata
sekalipun tidak akan dilakukan. Raja menawarkan harta, Abdullah bin Hudzafah
menolak, maka sekarang Raja merubah strateginya dengan mengancam nyawa Abdullah
bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Raja
katakan, “Wah orang ini rupanya bukan
orang yang tama’. Kalau begitu saya bunuh aja kamu.” Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu tidak gentar dan
berkata, “Silahkan lakukan saja apa yang
kamu mau. Kalau mau bunuh saya, bunuh saja silahkan.” Raja memanggil
pasukan pemanah untuk berbaris, siap memanah Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Raja memerintahkan
para pemanah agar memanah Abdullah bin Hudzafah, namun panah-panahnya sengaja
ditargetkan di atas kepalanya, diantara kakinya, disebelah lehernya dan
tangannya.Tidak ada yang mengenai tubuh Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu Raja
kembali menawarkan kepada Abdullah bin Hudzafah, setelah menakut-nakutinya
dengan pemanah tadi, “Bagaimana,kamu
sudah mau pindah ke Nasrani ?”Namun Abdullah Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak, “Tidak
saya tidak akan mau pindah ke Nasrani.”
Raja
tidak kehabisan akal, berikutnya beliau diancam dengan air panas yang mendidih.
Di jejerkan beberapa orang tawanan, lalu di cemplungkan ke dalam air yang
mendidih,sehingga mereka meninggal dunia. Raja katakan, “Kalau kamu tidak mau mati maka pindah saja ke Nasrani beres kamu tidak
perlu mati.” Ketika Abdullah bin Hudzafah berada di depan air mendidih yang
siap merebus badannya, dia menangis. Melihat Abdullah bin Hudzafah menangis,
Raja berpikir mungkin dia ketakutan hingga menangis, sepertinya sekarang
Abdullah bin Hudzafah sudah mau merubah pendiriannya menerima Nasrani. Raja
kembali menawarkan,“Bagaimana kamu sudah
mau menerima Nasrani sebagai agamamu, tidak perlu takut, kalau kamu pindah kamu
tidak perlu mati?” Abdullah bin Hudzafah katakan, “Oh bukan, bukan karena takut mati, saya
menangis karena andaikan saya punya nyawa sebanyak bulu dibadan saya, hingga
setiap mati hidup lagi, lalu saya ceburkan mati lagi, lalu hidup lagi,
maka semuanya akan saya korbankan. Sehingga setiap kematian Allah berikan
pahala. Sayang sekali nyawa saya hanya satu.” Inilah keyakinan Abdullah bin
Hudzafah terhadap janji Allah, sehingga rela mengorbankan segalanya untuk
agama. Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu
‘anhu sadar, bahwa ini adalah takaza (tawaran) dari Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga jika punya
nyawa yang banyak satu demi satu akan dia keluarkan dan dikorbankan untuk
takaza ini.
Melihat
sikap Abdullah bin Hudzafah yang memiliki keyakinan yang teguh, Raja makin
bingung, “Orang yang demi agamanya,
nyawanya saja tidak dia pedulikan, apalagi dengan harta. Seseorang yang begitu
mencintai agamanya, bagaimana dia bisa cinta padaku.” Melihat hal seperti
ini akhirnya Raja membuat penawaran terakhir, “Bagaimana jika kamu mencium kepala saya, maka saya akan lepaskan
kamu.” Inilah bukti orang yang bisa menahan penderitaan untuk agama, maka
Allah akan berikan dia kemuliaan. Apa kata Hudzafah radhiyallahu ‘anhu, “Saya
akan cium kepala kamu dengan syarat semua orang islam yang menjadi tahanan kamu
bebaskan.” Raja bilang, “Baik kalau
kamu cium kepala saya, maka saya akan bebaskan semua tahanan orang islam.”
Abdullah bin Hudzafah sadar bahwa kepala yang akan dia cium adalah kepala musuh
Allah, ini merupakan suatu penderitaan untuk mencium kepala musuh Allah. Namun
jika ini dilakukan bisa membebaskan semua orang islam dari tahanan, maka
Abdullah bin Hudzafah maju dan mencium kepala Raja. Setelah itu, semua orang
islam dibebaskan dari tahanan dan dibawa kehadapan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Amirul
Mukminin mendengar laporan dari Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu, Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu langsung berkata, “semua orang islam wajib mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, dimulai
dari saya dulu.” Ini kemuliaan diberikan karena apa ? Tatkala ada susah
payah menahan penderitaan demi agama. Selain kemuliaan, bagi orang yang sanggup
menahan penderitaan demi agama, maka Allah subhanahu
wa ta’ala akan berikan istiqamah. Bahkan Allah berikan pahala pembebasan
orang-orang islam dari penjara. Ini asbab dia menahan penderitaan yang sedikit
dengan mencium kepala Raja.
Hari
ini orang diseluruh dunia siap menahan penderitaan untuk dunianya, tetapi untuk
agamanya tidak bisa. Apa yang dia dapatkan dari pengorbanannya untuk dunia ?
Bukannya mendapatkan kemuliaan, yang didapatkan justru penderitaan dan
kehinaan. Padahal dia sudah menahan penderitaan untuk mendapatkan kemuliaan
dunia, namun akhirnya dia tidak dapat apa-apa selain kesusahan demi kesusahan.
Inilah pentingnya dakwah agar mereka tidak tertipu oleh dunia.
Apabila
kita dakwahkan agama, maka keyakinan akan datang. Setelah keyakinan datang baru
berikutnya Ikhlas. Keikhlasan ini akan mendekatkan kita kepada Allah. Yakin
pada Allah ini salah satunya adalah Yakin pada Al Quran. Apa maksudnya yakin
pada Quran ? Yaitu apa yang diperintahkan kita kerjakan dan apa yang dilarang
kita tinggalkan, ini baru namanya Yakin pada Qur’an. Mengamalkan apa yang
diamanatkan oleh Qur’an itulah yang namanya Yakin pada Qur’an.
Ghibah
Kita
harus fikirkan tanda-tanda iman itu apa ? Kita menyesal karena berbuat dosa,
juga merupakan tanda-tanda iman. Hari ini orang islam melakukan dosa, tetapi
tidak ada penyesalan, kenapa ? Karena sesuatu yang dilarang atau diharamkan
oleh agama, sudah bersifat umum atau sudah biasa dilakukan. Tidak ada hewan
yang memakan daging manusia sebanyak manusia memakan daging manusia lain, siapa
itu ? Yaitu orang yang berghibah. Orang suka ghibah,mereka inilah yang
dikatakan memakan daging manusia melebihi hewan yang memakan daging manusia.
Manusia memakan daging manusia, begitu banyak yang hewanpun tidak bisa
memakannya. Orang ghibah itu pasti makan daging orang islam, dan ini susah
tobatnya. Dosa zina ada bentuknya dan tobatnya tapi kalaughibah ini tidak ada
bentuk dan susah tobatnya, hanya Allah saja yang tahu.
Rasullullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
sampaikan :“ghibah itu lebih besar daripada
zina”. Zina adalah dosa besar sekali, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan :“Orang berzina sama seperti
orang yang menyembah berhala.”
Ini
dikarenakan orang berzina imannya telah keluar dari hati. Setelah iman keluar
baru dia bisa berzina. Para sahabat merasa heran bahwa perbuatan zina begitu
besar dosanya, namun ternyata ghibah yang nampaknya perbuatan yang ringan dan
mudah diucapkan dengan sengaja atau tidak sengaja lebih besar lagi dosanya.
Dosa besar yang telah dilakukan secara umum, maka akan dianggap seperti dosa
kecil. Dosa besar akan menjadi seperti dosa kecil, karena apa ? Hal ini
disebabkan karena sudah menjadi umum dilakukan, dianggap biasa saja. Ketika
dosa besar dipraktekkan secara besar-besaran dan rutin, maka akan menjadi
seperti dosa kecil. Para sahabat radhiyallahu
‘anhumsangat heran bahwa dosa ghibah dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih besar
dari dosa zina. Sahabat bertanya, “Ya
Rasullullah, bagaimana dosa ghibah ini bisa lebih besar daripada zina ?”Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
sampaikan :“Dosa zina ini masih bisa
dimaafkan disisi Allah, tapi ghibah tidak bisa dimaafkan disisi Allah subhanahu
wa ta’ala.”
Orang
berzina bisa bertaubat, bahkan orang syirikpun bisa taubat. Orang taubat dari
syirik masih bisa Allah bisa maafkan. Orang yang syirik asal dia bertaubat dan
doa minta dimaafkan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala, masih bisa dimaafkan. Tetapi kalau ghibah ini adalah bagian dari
hak manusia, haknya hamba Allah. Misalnya orang merampas barang dari toko orang
lain, maka dia harus mengembalikan barang curiannya dan minta maaf kepada
pemiliknya.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallamsabdakan
:“Orang yang ghibah minta maaf dulu
kepada orang yang di ghibah”.Ghibah merupakan hak hamba Allah, bukan hak
Allah, untuk memaafkan. Inilah sebabnya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan bahwa dosa ghibah itu lebih
besar daripada dosa zina. Dosa ghibah tidak secara langsung Allah bisa
memaafkan.Berbeda dengan zina kalau bertaubat kepada Allah,maka Allah bisa
memaafkan, sedangkan kalaughibah Allah tidak bisa langsung memaafkan. Sahabat
datang ke masjid lalu berbuat ghibah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan kepadanya : “Kamu ini telah mempermainkan Al Quran.”
Sahabat itu mengatakan, “Saya
beriman kepada Al Qur’an.”Namun Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam katakan :“Orang yang
tidak meninggalkan larangan Allah, maka dia tidak beriman kepada Al Quran.”
Kita
perlu selalu memikirkan apa itu tanda iman ? Kalau kita tahu tandanya, maka
kita akan tahu kondisi iman kita. Orang bergembira atas ketaatan yang dilakukan
dan bersedih jika melanggar perintah Allah, maka ini sebagian dari tanda Iman.
Jika ada perasaan gembira dalam beramal dan sedih ketika bermaksiat, ini bagian
dari tanda keimanan. Namun kalau kita lemah iman, maka meninggalkan perintah
Allah dan melakukan perbuatan dosa akan menjadi biasa saja, tidak ada
kekhawatiran sama sekali. Kondisi seperti ini akan menyebabkan keyakinan
terhadap agama akan keluar dari hati. Jika kita mendakwahkan agama, maka
keyakinan akan masuk kedalam hati. Mengamalkan agama ini harus ada keyakinan
dalam hati. Apabila agama jauh dari keyakinan, maka akan mudah ditinggalkan.
Hari banyak orang berilmu, tapi berkelakuan seperti orang-orang bodoh tanpa
ilmu. Banyak orang yang punya ilmu, tapi tidak beragama. Dia tahu perintah dan
larangannya dalam agama, tapi tidak diamalkan. Ini karena apa ? Karena tidak
ada keyakinan. Maka untuk merubah ini semua, kita harus mendakwahkan agama.
Dengan dakwah, keyakinan akan datang. Inilah kekhususan amal dakwah, yaitu
mendatangkan keyakinan. Dengan dakwah, keyakinan terhadap dunia akan semakin
berkurang hingga hilang sama sekali dan yakin pada agama makin tumbuh bahkan
menjadi sempurna. Semua kerusakan di muka bumi ini terjadi karena keyakinan
manusia terhadap dunia. Manusia yakin pada dunia, sehingga meninggalkan agama.
Agama hilang karena tidak adanya keyakinan dalam diri manusia.
Rahasia
manusia adalah apa yang diyakini oleh dirinya, maka itulah yang diutamakan.
Orang mau mendirikan shalat karena ada keyakinan dalam shalat, sedangkan yang
tidak shalat karena tidak ada keyakinan pada shalat. Orang mau beramal, karena
yakin pada yang ghaib, tetapi kalau yakinnya pada yang dilihat, maka amal akan
ditinggalkan. Hari ini karena asbab, banyak orang meninggalkan shalat. Orang
yang shalat karena asbab, Allah akan merusak asbab tersebut,sehingga dengan
shalat, Allah akan merusak asbab. Disebabkan karena asbab orang merusak shalat,
maka Allah akan merusak asbab dengan shalat. Orang yang menjadikan asbab antara
dia dengan Allah, maka amalnya tidak akan nampak dan tidak ada bekasnya. Orang
yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, maka amalannya tidak akan bisa
terjaga. Orang muslim mempunyai asbab yang sama dengan non muslim, mereka juga
ada perdagangan, pertanian, pekerjaan, dan profesi lainnya. Lalu yang
membedakan itu apa ? Yang membedakan adalah kalau orang islam itu dalam asbab
menjaga perintah Allah, kalau orang kafir tidak. Orang islam dalam menjalankan
asbab menjaga perintah Allah, tapi kalau orang kafir tidak, semuanya cara
dihalalkan dan dibolehkan. Jadi antara kita dengan Allah ini bukanlah asbab,
tetapi agama, perintah-perintah Allah. Apa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala hanya dengan
perintah-perintah Allah. Didalam keduniaan ini tidak ada janji Allah dan
Qudratullah. Janji Allah ini dengan amal bukan dengan keduniaan atau akal
manusia. Qudratullah Allah berikan dengan janji, janji bagaimana ?
إِيَّاكَ نَعْبُدُوَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Kepada engkau
kami menyembah dan kepada Engkau kami mohon pertolongan.”(QS. Al Fatihah :
5)
Allah
subhanahu wa ta’ala satukan ibadah
dengan doa. Sedangkan orang-orang berpikiran menyatukan asbab dengan do’a. Ada
asbab baru doa, ini pendapat orang-orang pada umumnya. Orang-orang
berkata setiap ada masalah bahwa diusahakan dahulu dengan asbab baru dengan
doa. Muamalah Allah subhanahu wa ta’ala
dengan orang muslim bukan seperti itu, bukan melalui asbab, kalau melalui
asbab, itu muamalah Allah subhanahu wa
ta’ala dengan non muslim. Orang non muslim bersandar pada asbab, maka
ketika Allah berikan, semuanya beres. Allah berikan asbab-asbab kepada orang
non muslim, Allah penuhi keinginan mereka, sehingga mereka makin lupa pada
Allah subhanahu wa ta’ala dan
akherat. Hingga hari ini Allah siap menolong kita, tapi kita penuhi cara yang
Allah mau. Kita menjadikan asbab antara kita dengan Allah, maka ini
bertentangan dengan ketentuan Allah. Ketentuan Allah tidak seperti itu dengan
orang muslim, asbab ini hanya bagi orang non muslim. Bagi orang non muslim,
kamu siapkan asbab, nanti Aku yang bereskan. Orang non muslim itu yakinnya pada
asbab : pada perdagangan, pada kekuasaan, pada harta, maka yang seperti itu
oleh Allah dipenuhi usahanya. Sedangkan para Nabi ‘alaihis salam oleh Allah tidak diberikan asbab, agar umat ini
belajar tanpa asbabpun,maka Allah bisa memberikan pertolongan. Namun kalau para
Nabi ada asbab, maka mereka nanti yakinnya karena ada asbab baru ada
pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sahabat radhiyallahu ‘anhukarena
yakinnya pada Allah, dia ambil pangkal kurma dan bisa berubah menjadi pedang
dalam peperangan. Batang kurma kecil tapi dipegang sahabat radhiyallahu ‘anhu bisa berubah menjadi pedang. Kisah-kisah seperti
ini bukan hanya sekedar untuk diceritakan saja.
Orang
hari ini meyakini kalau ada senjata pasti menang, padahal janji Allah subhanahu wa ta’ala bukan dengan asbab.
Mereka bilang, kita harus siapkan senjata agar musuh menjadi takut, padahal
janji Allah ini bukan pada asbab, melainkan pada sunnah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam
kisah Hayatus Sahabahradhiyallahu ‘anhu,
dikisahkan asbab pasukan islam ini bersiwak, musuh menjadi ketakutan hingga
lari. Para musuh yang tidak bisa dikalahkan dengan senjata, malah ketakutan
hingga lari hanya asbab siwak. Dengan apa pasukan musuh dikalahkan ? Dengan
sunnah Rasullullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dengan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, maka Allah akan datangkan ketakutan pada pihak musuh.
Allah akan buat musuh-musuh ini takut, asbab Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahabat malah heran ketika itu,
kenapa orang islam ini tidak bisa menang, amal apa yang kurang ? Sedangkan
pihak musuh, orang-orang non islam, yang dilihat adalah asbabnya, apa yang
kurang ? Apakah senjatanya ? Apakah perlengkapan perangnya ? Beginilah cara
berpikir orang non islam.
Jadi
perbedaan dalam pemikiran orang islam dengan orang non islam ketika datang
suatu keadaan adalah :
•
Orang islam akan melihat amal dalam
setiap keadaan
•
Orang non islam akan melihat asbab
dalam setiap keadaan
NIYYATUL AMAL WA TABLIGH.
Ketika
kemenangan bagi orang islam ini tertahan, maka sahabat mencontohkan untuk
mengevaluasi amal-amalnya, apakah sudah sempurna ? Apakah amalnya sesuai dengan
tertib ? Amalnya dulu yang dikoreksi oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhu. Ada masalah, maka fikir sahabat adalah koreksi
amalan. “Oh mungkin ada amalan saya yang
kurang ? Mungkin ada amalan saya yang salah, sehingga pertolongan Allah tidak
datang ? Atau pasti ada sunnah yang tidak sempurna dilaksanakan ?.”
Beginilah fikir sahabat setiap ada masalah. Maka kita penting bermuhasabah,
mengevaluasi, kekurangan dari amal-amal dalam setiap masalah yang kita hadapi.
Sekarang
siapa yang bisa membuat keputusan seperti itu ? Yaitu hanya orang-orang yang
menjadikan amal atau perintah Allah subhanahu
wa ta’ala antara dia dengan Allah subhanahu
wa ta’ala, bukan orang-orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang
menjadikan asbab antara dia dengan Allah, tatkala ada masalah dia akan
disusahkan dikarenakan kurangnya asbab. Dia akan berpikir, “Bagaimana ini,
asbab ini tidak ada, asbab itu tidak ada”, sehingga dia akan merasa hidupnya
penuh dengan kesusahan. Beda dengan orang yang menjadikan amal antara dia
dengan Allah. Tatkala kesusahan datang maka dia akan kembali kepada Allah dengan
amal dan doa. “Ya Allah cukupilah diriku,
Engkaulah pemberi Rizky.” Mudah saja bagi orang beriman, ini karena
gantungannya hanya kepada Allah, bukan kepada asbab. Merupakan penyakit
berbahaya, jika seseorang menjadikan asbab sebagai gantungan antara dirinya
dengan Allah, sementara Allah tidak menjadikannya seperti itu. Jika Allah tidak
menjadikan asbab antara hambaNya dengan Allah, kenapa kita justru menjadikan
asbab antara kita dengan Allah ?
Bagaimana
orang beriman bisa menyelesaikan suatu masalah ? Yaitu dengan shadaqah.
Shadaqah ini bisa memancing pertolongan Allah. Namun apa yang terjadi hari ini,
orang islam menyelesaikan masalah dengan menyogok. Ada masalah fikirnya
menyogok orang agar tidak dikenakan masalah, ini namanya menyelesaikan masalah dengan
masalah. Padahal jika dia bershadaqah, 1 rupiah saja jika Allah terima, sudah
mencukupi untuk mendatangkan pertolongan Allah, dibanding memberi uang banyak
tapi untuk menyogok. 1 rupiah saja, Allah hargai bila untuk shadaqah, tetapi
jika untuk menyogok, maka yang didapat adalah murka Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Memberikan shadaqah kepada orang muslim
dengan tangan sendiri, maka akan menjauhkan musibah yang datang tiba-tiba.”
Inilah
yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, ketika memberikan shadaqah langsung kepada orang miskin dengan
tangannya sendiri. Hari ini orang kaya begitu sibuknya tidak ada kesempatan
mencari orang miskin, sehingga tidak bisa memberikan shadaqah langsung pada
orang miskin dengan tangannya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi ? Kesibukan
mengurus harta menyebabkan tidak punya waktu untuk orang lain. Hari ini kita
cari counter-counter pelayanan zakat, tidak mau bersusah-susah. Padahal
perintahnya : “Bagi yang berzakat carilah
orang miskin sebagaimana orang yang mau shalat mencari air wudhu.”
Orang
yang mau shalat ini harus mencari wudhu, untuk melaksanakan shalat, maka orang
berzakatpun juga begitu, harus mencari orang miskin terlebih dahulu agar bisa
berzakat. Shalat ini fardhu, begitu juga zakat, merupakan amal fardhu, tidak
ada bedanya. Itulah sebabnya Amirul Mukminin Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kepada orang yang tidak mau membayar zakat
akan aku perangi.”
Inilah
kepentingannya antara shalat dan zakat, yang sama-sama fardhu, tidak boleh
dibeda-bedakan, yang membedakan akan diperangi. Inilah keputusan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah.
Hari ini kemana kita membayar zakat ? Ke badan orgsanisasi, ke yayasan-yayasan.
Mestinya orang yang berzakat (Muzaki), mecari orang miskin atau orang yang
berhak menerima zakat (mustahiq), sebagaimana orang yang mau shalat mencari
air. Orang mencari air itu susah payah, supaya bisa shalat, begitu juga zakat.
Sesuatu yang pasti ini, harus kita kerjakan. Zakat dan Doa ini, ada janji Allah
subhanahu wa ta’ala yang pasti,
tetapi kebanyak orang tidak melakukan, dan yang dilakukan justru menyogok,
padahal itu jelas dosa.
Kisah Hikmah
Ada
seorang anak buah Raja yang ketahuan disogok untuk menyelesaikan
masalah-masalah seorang pengusaha. Maka ada yang melapor kejadian ini kepada
Raja. Raja katakan kepada anak buahnya, “Sudah,
mulai hari ini kamu tidak usah kerja lagi.” Maka orang itu katakan, “Saya ini mau melakukan apa ? Saya ini ahli
membuat perhitungan. Kalau saya tidak menghitung, maka otak saya bisa rusak.”
Kemudian Raja katakan, “Kalau kamu memang
ahli hitung-hitungan, maka sekarang kamu hitung didepan saya, ini ada
hitungannya, dari pagi sampai sore, berapa air yang dibutuhkan kerajaan. Lalu
nanti kamu beritahukan.” Sore harinya si ahli hitung ini melaporkan kepada
Raja, bahwa air yang dibutuhkan ada sekian banyak. Maka berikutnya ada yang
melapor lagi bahwa si ahli menghitung masih mengambil uang suap. Ini sudah 3 –
4 hari begini, ada kapal mau lewat tetapi tidak bisa lewat. Namun tertahan
asbab si ahli menghitung jumlah air, dari tempat kapal itu lewat. Si ahli
menghitung bilang kepada nahkoda kapal, “Jangan
lewat disini, kapal tidak boleh lewat karena saya harus menghitung jumlah air
di sungai ini.” Maka yang punya kapal katakan, “Ya sudah saya beli airnya sekian, agar kapal bisa lewat.” Akhirnya
si ahli hitung ambil suap lagi. Inilah penyakit yang ada dalam kehidupan
manusia hari ini. Kemunafikan selalu bersatu dengan penyakit, sedangkan
keimanan selalu bersatu dengan kesehatan.
Jadi
yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana antara diri kita dengan Allah,
dihubungkan oleh amal. Kerusakan keyakinan yang masuk dalam hati kita,
disebabkan karena yakin pada asbab. Oleh karena itulah antara kita dengan Allah
yang harus diusahakan adalah keyakinan pada amal. Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah memberikan janji dengan asbab.
Asbab tidak bisa mendatangkan janji
Allah dengan Qudratnya. Suatu hal yang harus kita yakini untuk bisa
mendatangkan janji Allah dengan Qudrahnya adalah yakin pada amal. Yakin dengan
shalat, maka Allah akan jadikan shalat sebagai asbab terselesainya segala
masalah. Kita harus meyakini dengan shalat masalah kita akan selesai. Kita
yakin pada shalat, karena perintah bukan atas janji. Hari ini orang shalat
fikirnya, saya shalat supaya ada keberkahan, supaya urusan dunia saya beres,
ini salah. Orang yang shalat demikian lebih cenderung untuk cinta pada
dunia, bukan kepada Allah.
Perlu
diperhatikan bahwa orang yang memilih jalan hidup agama, untuk menjauhkan dari
kesusahan dunia, maka akan terjadi suatu saat tatkala masalah dunianya sudah
beres, maka agamanya akan ditinggalkan lagi. Inilah orang-orang yang
menggunakan agama, supaya dunianya menjadi baik. Suatu yang tidak mungkin,
karena niatnya saja sudah salah. Ini namanya kerusakan niat. Kerusakan niat
adalah menggunakan agama untuk menjaga dunianya. Padahal yang diperintahkan
Allah itu apa ? Untuk dunia ini, Allah perintahkan menggunakan agama, maka
Allah perbaiki dunia ini. Hari ini yang terjadi adalah orang mengamalkan agama
untuk memperbaiki dunianya. Lihatlah kenyataan hari ini yang amal dunianya
paling baik, dialah yang paling jauh dari agama. Semakin baik dunianya
kebanyakan makin jauh dari agama. Dia berpikir, “saya sekarang sudah baik, kenapa harus membuat diri saya bersusah
payah kembali.”
Orang
yang tidak beragama meyakini bahwa orang yang ahwal dunianya tidak baik, itu
tanda kemurkaan Allah. Orang berpikir jika dunia datang kepada dia, berarti
Allah sayang pada dia. Padahal yang sebenarnya ketika dunianya makin baik, dia
semakin jauh dari agama, semakin sulit mengamalkan agama, ini sebenarnya tanda
kemurkaan Allah, dan itu pasti. Tanda-tanda Allah murka pada hambanya, maka
hambanya ini semakin sulit mengamalkan agama. Dengan datangnya keduniaan,
seseorang akan semakin sulit mengamalkan agama, inilah kenyataan. Agama tidak
diamalkan dan dunia semakin baik, itulah tanda kemurkaan Allah. Padahal yang
dikehendaki oleh Allah adalah seseorang mengamalkan perintah Allah dalam segala
keadaan.
Ada
orang yang berpandangan bahwa ketika diberi kekayaan oleh Allah berarti Allah
cinta sama dia, dan ketika diberi kemiskinan oleh Allah berarti Allah benci
sama dia, padahal yang benar bukan seperti itu. Itu hanya suatu keadaan saja.
Allah menhendaki agar ketika mendapat musibah tetap mengamalkan agama, dan
ketika mendapatkan kebaikan dan tidak ada musibah tetap mengamalkan agama.
Bukan ketika ada musibah, dia mengamalkan agama tetapi ada musibah ataupun
tidak, tetap mengamalkan agama. Dalam keadaan mendapatkan kesusahan, dia tetap
mengamalkan perintah Allah, maka orang yang seperti ini Allah akan ridho.
Ada
juga orang yang berpandangan bahwa ketika seseorang diberikan kemiskinan dan
mendapatkan musibah, hal itu sebagai tanda kemurkaan Allah, padahal yang benar
bukan seperti itu. Cinta dan murka Allah, bukanlah dengan asbab dunia. Kita
beramal agama, supaya berkah hartanya, bukan seperti itu. Akhirnya orang
beramal agama untuk mendapatkan keuntungan dunia. Jika seperti ini, agama bisa
hilang dari kehidupan. Agama memang bisa mendatangkan keberkahan, tapi kita
mengamalkan agama bukan untuk mendapatkan keberkahan dunia.
Memberikan
pahala ini adalah hak Allah subhanahu wa
ta’ala. Seandainya seluruh kekasih Allah dikumpulkan, dari sahabat radhiyallahu ‘anhum sampai para anbiya ‘alaihis salam, dan mereka semua ingin
menahan seseorang yang sudah diputuskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala masuk kedalam neraka, maka tidak ada seorangpun
diantara mereka yang bisa menahannya. Perkara inilah yang harus dipahami oleh
kita, yaitu apa itu hak Allah ? Begitu pula seseorang yang mengamalkan agama untuk
mendapatkan keberkahan, juga merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Allah mengirim seseorang tanpa
kesalahan apapun, kemudian dimasukkan kedalam neraka, itupun juga hak Allah subhanahu wa ta’ala, dan terserah Allah subhanahu wa ta’ala. Kehidupan begitu
juga, berhajat kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Jangan hanya mengira kalau mengamalkan agama, dunianya akan jadi
bagus, tidak harus seperti itu, ini adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Seseorang
melaksanakan sujud dari lahir hingga mati, dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian dia menganggap bahwa amalnya tidak
ada apa-apanya, sangat kecil sekali. Ini karena apa ? Karena merasa bahwa semua
amalnya, sepenuhnya adalah hak Allah subhanahu
wa ta’ala. Orang yang lemah iman, dia beristigfar untuk asbab dunianya,
sedangkan orang yang shaleh istighfarnya untuk amal kebaikan yang dilakukan.
Beramal baik tetapi masih istighfar, ini ciri-ciri orang shaleh. Sedangkan
orang awam beristighfar atas dosa-dosanya, dan hal itu memang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mengapa orang
shaleh beristighfar atas kebaikan yang telah dilakukannya ? Karena semua
kebaikan yang dikerjakan, sepenuhnya adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu merupakan
sahabat yang kesholehannya paling tinggi diantara para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Setelah Rasullullah
shallallahu ‘alaihi wasallam,
siapakah yang paling mendekati keshalehannya ? Tentu jawabannya adalah Abu
Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Tatkala minta diajarkan doa, yang diberikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah agar beliau memperbanyak
istighfar. Orang yang beristighfar dengan amal baiknya, maka Allah akan
sempurnakan amalnya. Sedangkan orang yang tidak beristighfar dengan amalnya,
maka akan ada kebanggaan dan kesombongan dalam amalnya, dan amal seperti ini
tidak akan diterima oleh Allah. Bangga terhadap amal sendiri, tidak disukai
oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang-orang yang berdakwah terhadap diri sendiri, maka Allah tidak suka.
Bagaimana dikatakan bahwa orang mendakwahkan diri sendiri ? Yaitu ketika dia
mengatakan saya sudah melakukan amal ini dan saya sudah melakukan amal itu.
Artinya orang yang suka memamerkan amal
kebaikan dirinya sendiri.
Agama
ini adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala
sepenuhnya, terserah Allah mau menunaikan atau tidak, itu hak-hakNya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada kewajiban
apapun terhadap hambaNya, dan ini yang seharusnya kita renungkan. Orang masuk
surga bukan karena amalnya, melainkan karena kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala, dan bukan karena
kewajiban Allah subhanahu wa ta’ala.
Setelah melakukan amal, Allah wajib memasukkannya ke dalam surga, bukan seperti
itu. Amal kebaikan memang perintah Allah untuk dikerjakan, namun masuk
surga bukan karena amal, tetapi karena karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada keharusan bagi Allah, untuk
memasukkan seseorang ke dalam surga karena amalnya, melainkan masuk surga itu
dengan karunia dan kasih sayang (rahmat) Allah subhanahu wa ta’ala.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Wahai Aisyah tidak ada satu amalpun yang
bisa menyebabkan seseorang masuk surga.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berpikir, kalau amal-amal tidak bisa menyebabkan
masuk surga, bagaimana dengan Rasullullah shallallahu
‘alaihi wasallam ? Aisyah radhiyallahu
‘anha bertanya, “Kalau untuk engkau,
bagaimana ya Rasullullah ?” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Sayapun
juga demikian, sama saja, yang menyebabkan saya masuk surge, bukan karena amal
saya, melainkan karena karunia dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.”
Seluruh
manusia di akherat nanti akan dibangkitkan dalam keadaan penuh ketakutan.
Bahkan para anbiya sekalipun ketika dimintakan syafaat, mereka para anbiyapun
juga dalam keadaan ketakutan. Para Anbiya akan mengatakan, “Pergi ke Nabi yang lain, coba minta kepadanya.” Semua manusia
dalam ketaktukan termasuk orang-orang shaleh sekalipun. Pada hari itu Allah subhanahu wa ta’ala begitu murka, yang
murkanya tidak pernah seperti itu. Bahkan setiap Anbiya akan memukul kepalanya
sendiri ketakutan, “Bagaimana
ini….bagaimana ini…” Setiap Anbiya akan menghitung kesalahannya
masing-masing, semuanya merasa banyak dosa :
•
Nabi Adam ‘alaihis salam dimintai syafaat, dia akan berkata, “saya tidak bisa, saya sudah melakukan dosa
besar. Saya sudah memakan buah yang terlarang.”
•
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam juga begitu, “Saya
tidak berani, saya sudah melakukan dosa besar.”
•
Nabi Musapun ‘alaihis salam juga begitu, “Saya
tidak bisa, sayapun telah melakukan dosa besar.”
Siapa
Ibrahim ‘alaihis salam ? Siapa Musa ‘alaihis salam ? Mereka adalah ulul
azmi, Nabi yang utama atau yang paling dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Namun bagaimana keadaan mereka ? Ketakutan.
Semua Nabi mengatakan hal yang sama ketika manusia datang kepada mereka mohon
syafaat, agar selamat dari murka Allah subhanahu
wa ta’ala. Semua anbiya ketakutan tidak ada yang berani memberikan
syafaat. Setelah tidak ada satu anbiyapun yang berani, maka mereka akhirnya
datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk meminta syafaat. Pada waktu itu hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja, yang
mampu memberikan syafaat.
Dengan
mengetahui keadaan para anbiya di akhirat, seharusnya kita yang bukan anbiya
perlu menyesali dosa-dosa. Bahkan jangan dosa-dosa saja yang kita sesali,
amalpun kita patut disesali. Menyesali dosa itu sudah suatu keharusan dan
pasti, namun amalpun juga harus kita sesali. Di mahsyar bahkan para anbiya
sekalipun mengecilkan amalnya dan membesarkan dosanya dihadapan Allah. Jadi
jangan kita bangga dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Orang yang suka
menyesali amalnya, maka akan disempurnakan amalnya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Orang suka
menyesali amalnya, ditandai dengan fikirnya, “Kenapa amal saya kurang sekali mutunya
? Kenapa amal saya lemah sekali ? Kenapa amal saya tidak maksimal saya kerjakan
? Bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala
mau menolong saya, sedangkan amal saya jelek begini ?” Amal yang di dakwahkan
dengan penyesalan terhadap diri sendiri, maka dia tidak akan menuntut
keberkahan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Ini yang benar, yaitu beramal tapi tidak menunut keberkahan, kenapa
? Karena ada penyesalan dalam amalnya. Orang yang menyesal dari dosa ataupun
amalnya, maka Allah akan sempurnakan amalnya. Ini harus dipahami. Jangan salah
paham, bahwa jika ada seseorang secara keduniaan dia kurang, dia lagi susah,
berarti Allah lagi murka, dan orang yang keduniaannya dan keadaannya baik
berarti Allah sayang pada dia, tidak, bukan seperti itu.
Kisah Hikmah.
Ada
seorang anak bayi sedang menetek meminum susu ibunya. Tiba-tiba si ibu melihat
ada seorang perempuan sedang dipukuli dan diseret orang-orang dan dihinakan, “Dasar Pencuri…… dasar Penzina….”.
Melihat keadaan ini, si ibu berdoa, “Ya
Allah, jangan jadikan anakku seperti wanita pencuri dan penzina itu.”
Mendengar doa ibunya, anaknya melepaskan susuannya, lalu berdoa, “Ya Allah jadikanlah aku seperti wanita yang
disakiti itu.” Si anak setelah berdoa kembali menetek lagi. Beberapa saat
kemudian lewatlah seorang kaya raya dan berwibawa. Maka si ibu berdoa, “Ya Allah jadikanlah anakku seperti dia
(orang kaya itu).” Lalu si anak melepaskan susuannya kembali dan berdo’a, “Ya Allah, jangan jadikan aku seperti orang
ini (si kaya tersebut)”. Kenapa si ibu berdoa seperti itu dan si bayi
berdoa yang bertentangan dengan doa ibunya. Hal ini karena si ibu berdoa
berdasarkan pandangan yang dia lihat, padahal apa yang sebenernya tidak seperti
yang terlihat. Ternyata si wanita yang disiksa tadi adalah wanita yang shalehah
dan si orang kaya tadi rupanya seorang yang dzalim. Inilah yang di minta dan
yang dimohon perlindungan oleh si bayi tadi.
Orang
musyrikin Quraisy, kenapa tidak mau menerima dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ? Hal ini karena keadaan dzahir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kacau dan tidak enak dilihat.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
sampaikan ketika berdakwah : “Wahai Hatib
bin Hasyim, apakah engkau tidak mau menerima dakwah saya, karena kemiskinan
saya.”
Janji
Allah subhanahu wa ta’ala bukan
maksud, tapi maw’ud, dijanjikan,
bukan dimaksudkan. Keberkahan adalah maw’ud,
dijanjikan, bukan dimaksudkan. Orang yang menjadikan janji Allah ini sebagai
maksud bukan maw’ud, maka Allah
jadikan orang tersebut meninggalkan agama. Perkara ini patut kita fikirkan dan
direnungkan. Kalau surga yang abadi selamanya itu hanya dijadikan maw’ud saja, yang dijanjikan, bagaimana
mungkin dunia yang fana dan sementara ini dijadikan maksud. Padahal surga itu
yang begitu tinggi tingkatannya dibandingakan dunia, dan itupun bukan dijadikan
maksud, tapi maw’ud, apalagi dunia ?
Jadi maksudnya apa ? Maksudnya adalah Allah subhanahu
wa ta’ala. Maksudnya Allah subhanahu
wa ta’ala, Maw’udnya adalah
surga. Jadi surga ini yang dijanjikan bukanlah maksud, tetapi maw’ud. Jika tidak begini, maka orang
mengamalkan agama untuk dunia saja. Agama atas dasar suasana ketaatan ini
sementara semua. Orang yang mengamalkan agama untuk ahwal, ini seperti obat
untuk orang sakit. Tatkala sakit obat ada, lalu ketika sembuh obat ditinggalkan.
Hari ini begitu pula, orang mengamalkan agama karena ahwal-ahwal saja, tatkala
ahwalnya sudah bagus agama ditinggalkan. Kita beramal agama bukan untuk
memperbaiki keadaan, tetapi kita beramal agama untuk mentaati perintah Allah.
Dalam keadaan apapun perintah Allah akan kita lakukan. Jadi agama ini bukan
mengikuti ahwal, tetapi ahwal yang mengikuti agama. Oleh sebab itu ketika mau
mengamalkan agama, pertama kali yang harus kita luruskan adalah meluruskan niat kita.
Kita,
semua orang, diperintahkan Allah untuk beribadah dan berdakwah. Dakwah dan ibadah adalah perintah Allah
subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala sudah memerintahkan
kita untuk beribadah dan berdakwah. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman :
وَاعْبُدْرَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah
Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (kematian).” (QS Al Hijr : 99)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah kepada
jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui
siapa yang sesat di jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat
petunjuk”
(QS. An Nahl : 125)
Ayat
tersebut perintah dari Allah untuk siapa ? Untuk semuanya. Orang mau beramal
dan tidak beramal, dakwah ini merupakan perintah Allah. Mau dia beramal dan
tidak beramal, Allah perintahkan mereka untuk beramal. Dakwah itu untuk
perbaikan diri sendiri. Sebagian orang mengatakan, “saya tidak mau berdakwah karena saya sendiri belum mengamalkan.”
Padahal tidak ada syarat dalam berdakwah harus diamalkan dulu, bukan syarat
yang seperti itu. Kita amalkan dulu baru kita dakwahkan, bukan seperti itu yang
diminta. Memang benar orang yang berdakwah itu hendaknya mengamalkan apa yang
dia dakwahkan. Tetapi jangan dibalik, belum mengamalkan tidak boleh
mendakwahkan, ini pernyataan tidak ada di Al Quran dan tidak ada di hadits,
tidak ada larangan seperti itu. Orang yang mau beramal sedikit, maka jika
seperti itu, yang mau berdakwah bisa lebih sedikit lagi.
Dakwah ini diperintahkan untuk semua
orang, karena dakwah ini untuk menghidupkan amal agama. Supaya hidup
amal agama dengan dakwah. Jadi kalau syaratnya dakwah ini harus amal berarti
yang bisa berdakwah hanya orang-orang yang beramal saja terutama orang-orang
tempatan saja yang nampak.
Rasullullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan
: “Dakwahkan kebaikan, walaupun kalian
belum bisa mengamalkannya”
Ada
dalam hadits dan ayat Al Quran, dikatakan, “Mengapa
kamu bicara padahal kamu belum mengamalkan ?” Sehingga asbab dalil ini
banyak orang tidak mau berdakwah, sebelum mengamalkan. Padahal maksud ayat dah
hadits ini bukan seperti itu. Ayat dan hadits tersebut berlaku bagi orang-orang
yang berdakwah untuk memperbaiki orang lain. Pedagang berdakwah tentang
dagangannya itu sebenarnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk pembeli. Si
pedagang berdakwah mengenai dagangannya untuk kepentingan dirinya, bukan untuk
kepentingan si pembeli. Oang yang punya hutang banyak lalu dia berdagang, maka
dia akan bilang kepada orang-orang, “Beli
ini…beli ini..” sebab kenapa ? Dia berdagang untuk membayar hutang, bukan
karena untuk membantu pembeli, bukan seperti itu. Jadi kita dakwah untuk diri
sendiri, terserah mereka mau terima atau tidak, mau percaya atau tidak.
Orang
bilang inikan ada ayatnya, main dakwah-dakwah saja, belum tahu ayatnya sudah
dakwah-dakwah saja. Padahal terjemahannya tidak seperti itu dan maksudnya juga
tidak seperti itu.
Kamu
memerintahkan saya untuk mengamalkan ini tapi kemudian kamu sendiri tidak
mengamalkan, inilah terjemahan yang sebenarnya. Kenapa kamu katakan, “saya mau
berjihad” tetapi kamu tidak berangkat berjihad. Maka kalian mengatakan sesuatu
yang kalian sendiri tidak akan melakukan.
Tidak
disangsikan lagi, bahwa adanya perbedaan antara kata dan realita adalah salah
satu hal yang sangat berbahaya. Itulah sebab datangnya murka Allah, sebagaimana
firman-Nya dalam surat Shaff ayat 2 dan 3.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوالِمَ تَقُولُونَ مَالاتَفْعَلُونَ . كَبُرَمَقْتًاعِنْدَاللَّهِ أَنْ تَقُولُوامَالاتَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang
yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Allah
juga mencela perilaku Bani Israil dengan firman-Nya,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّوَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاتَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu
suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Kisah Nabi Isa ‘alaihis salam.
Orang-orang
berbicara kepada Nabi Isa ‘alaihis salam,
“Nanti kalau dimintakan perang kita akan
perang.” Tetapi setelah diminta, malah duduk semua, tidak ada yang mau.
Atas perkara ini Allah ingatkan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman untuk mengingatkan mereka. “Bukankah kalian dulu berjanji, jika ada
perintah berjihad, maka kalian mau berjihad, sekarang sudah ada perintah
berjihad kenapa kalian tidak mau berjihad !” Itu hubungannya kesana.
Namun
sekarang orang salah menafsirkan. Kalau belum beramal kok berani mendakwahkan,
ini lain maksudnya. Jadi tidak ada larangan, belum beramal tidak boleh
berdakwah. Tidak ada larangan orang yang melakukan maksiat, dia tidak boleh
melarang maksiat, tidak ada aturannya seperti itu. Jika seseorang belum bisa
mengamalkan amal baik, tidak ada larangan untuk mendakwahkan amal tersebut.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan
: “Perintahkan kebaikan walaupun kamu
belum bisa mengamalkan semuanya, cegah kemungkaran walaupun kamu belum bisa
meninggalkan semuanya.”
Saya
belum shalat tahajjud, bagaimana saya bisa mengajak orang agar melaksanakan
shalat tahajud ? Saya masih melakukan dosa, bagaimana saya bisa melarang orang
berbuat dosa ? Saya ini masih banyak melakukan dosa, bagaimana saya bisa mendakwahkan
agama ?
“Orang yang tidak mau berdakwah
karena dia belum beramal, adalah seperti orang yang tidak mau berpuasa karena
dia belum shalat.” Maksudnya
apa ? Ini dua perintah yang berlainan. Puasa itu suatu perintah, dan
shalat itu juga suatu perintah yang lain. Kalau seorang tidak shalat, lalu
tidak berpuasa, maka dua-duanya ditinggalkan. Ini sama saja meninggalkan 2
perintah Allah. Apakah karena tidak shalat, sehingga ada izin untuk tidak puasa
? Tidak seperti itu, itu dua perintah yang berbeda. Inilah tafsir dalam Kitab
Ma’riful Quran oleh Ummu Syafirah, dia meluruskan : “Orang yang tidak beramal, kemudian dia tidak mau mendakwah amal, maka
hal ini sama seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia belum shalat.”
Padahal
ini perintah yang lain, satu sama lain : shalat perintah tersendiri, dan puasa
juga perintah tersendiri. Menjalankan perintah dengan mencegah kemungkaran
adalah suatu perintah. Bukan berarti belum beramal lalu kemungkaran di diamkan
saja, tidak mau dakwah, tidak bisa begitu, rusak nanti umat. Kita niatkan bahwa
kita berdakwah untuk diri kita sendiri. Buktinya apa ? Kita berdiri, niat keluar di jalan Allah.
Bersedia
Insya Allah……………..4 bulan keluar di jalan Allah !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar