A.
Takfir
Takfir
berasal dari kata kufur sebagai antonim kata Islam.
Kufur dipahami sebagai orang yang melihat dan menyaksikan kebenaran namun
menutup kebenaran itu dengan perbuatan yang sebaliknya. Kafir adalah orang yang
menginkari ketuhanan, tauhid dan risalah. Kata takfir berarti
tindakan mengkafirkan orang Islam.
Istilah takfiriyah sudah
muncul sejak awal Islam khususnya pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan berkembang hingga saat ini. Penyakit takfiriyah adalah
fenomena yang berpotensi melahirkan banyak dampak destruktif baik dalam
kehidupan sosial, politik, dan akhlak. Penyakit ini dapat mematikan karakter,
saling curiga, melemahkan kekuatan ummat Islam, dan merusak ukhuwah Islamiyah.
B.Tafsir
Surah al-Nisa[4] : 94.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَىٰ إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ
مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ مَغَانِمُ
كَثِيرَةٌ ۚ كَذَٰلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam”
kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang
banyak. begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya
atas kamu, Maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Tafsir
Ibnu ‘Abbas:
Kalian
keluar/bepergian – pada medan perang – maka tabayyunlah, dan mencari kebenaran
sehingga jelas bagi kamu siapa yang beriman dan siapa yang kafir – dan
janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan “salam” kepadamu – terhadap orang yang
memperdengarkan kepadamu lâ ilâha illal lâh Muhammadun rasûlullâh,
sambil mengucapkan salam – “anda bukan mukmin”, maka kamu membunuhnya – karena
kalian mengharapkan harta ganimah/rampasan dari padanya – pahala yang banyak
bagi orang yang meninggalkan membunuh seorang mukmin – maka demikianlah kalian
menjamin keamanan kaum mukmin dari Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan sahabatnya melalui lâ ilâha illallâh – sebelum hijrah –
maka Allah subhanahu wa ta’la memberi nikmat kepada kalian dengan
berhijrah meninggalkan orang-orang kafir itu – maka teguhlah kalian dengan mencegah
sehingga tidak membunuh seorang mukminpun – Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan, seperti membunuh dan selainnya.
“Orang
mukmin jika kedaerah kafir untuk berperang maka wajib hati-hati dan teliti
(tabayyun) jika menemui orang kafir, lebih-lebih jika yang ditemui itu
mengucapkan salam ”Assalâmu ‘alaikum” maka orang tersebut dilarang menuduhnya
“kafir,”sebagai alasan untuk membunuhnya, lebih-lebih jika sudah mengucapkan
syahadat “lâ ilâha illallâh,Muhammadur Rasûlullâh“.
Allah subhanahu
wa ta’la memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mengadakan penelitian
lebih dahulu sebelum membunuh seseorang yang dianggapnya musuh, agar jangan
sampai membunuh seseorang yang telah menganut agama Islam. Apalagi jika
pembunuhan itu dilakukan hanya karena keinginan untuk memiliki harta bendanya.
Allah subhanahu wa ta’la memperingatkan bahwa orang-orang mukmin tidak
boleh berbuat demikian, sebab Dia telah menyediakan rahmat yang banyak bagi
orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mematuhi segala
ketentuan-ketentuan-Nya.
Sesudah
itu Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan pula kepada orang mukmin
bahwa merekapun dahulunya, pada masa awal mereka memeluk agama Islam,
menyembunyikan imannya. Tetapi mereka mengucapkan salam “Assalâmu
‘alaikum” bila berjumpa dengan orang-orang mukmin yang telah lebih
dahulu memeluk agama Islam. Dan hal itu mereka lakukan untuk memberitahukan
bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, mereka mengharapkan
keamanan diri, keluarga dan harta benda dari kaum muslimin yang telah masuk
Islam lebih dahulu.
Apabila
mereka dulunya telah berbuat demikian, dan Allah subhanahu wa ta’ala
telah memberikan keamanan yang mereka inginkan itu, maka sewajarnya pulalah
mereka menghormati orang-orang yang berbuat semacam itu terhadap mereka, dan
tidak tergesa-gesa menuduh seseorang sebagai musuh Islam, lalu membunuhnya, dan
merampas harta bendanya.
Pada
akhir ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan bahwa Dia
senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya dan Dia akan memberinya
balasan yang setimpal, baik atau buruk.
C. Asbâb
al-Nuzûl
1. Bukhari,
Tirmizi, Hakim dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbâs, katanya:
“Seorang
laki-laki dari Bani Salim lewat didaerah para sahabat nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sambil menghalau kambingnya. Ia memberi salam kepada
mereka, tetapi jawab mereka: “Ia memberi salam itu tidak lain hanyalah untuk
melindungi dirinya terhadap kita. Mereka pun mendatanginya lalu membunuhnya,
dan membawa kambing-kambingnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka turunlah ayat surah al-Nisa [4]: 94.
Bazzar
mengungkapkan dari jalur lain dari Ibnu Abbâs, katanya : “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim suatu ekspedisi tentara yang didalamnya
terdapat Miqdad. Ketika mereka sampai pada tempat yang dituju, mereka dapati
orang-orangnya telah cerai-berai dan hanya tinggal seorang laki-laki dengan
harta yang banyak. Kata laki-laki itu:“Asyhadu an lâ ilâha
illallâh: Tetapi Miqdad tetap membunuhnya, maka sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:“Apa katamu nanti terhadap ucapan syahadatnya itu?” Maka
turunlah ayat al-Nisa [4]: 94.”
Ahmad,
Thabrani dan lain-lain mengungkapkan dari Abdullah bin Abu Hudud Al-Aslami,
katanya:“Kami dikirim oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama
satu rombongan kaum muslimin dimana didalamnya terdapat Abu Qatadah dan Mahlam
bin Jastsamah. Kebetulan lewatlah dihadapan kami Amir bin Adhbath Al-Asyja’i
lalu ia memberi salam kepada kami. Tetapi Mahlam menyerangnya lalu membunuhnya.
Dan tatkala kami sampai di tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
menceritakan peristiwa itu, maka turunlah pada kami surah al-Nisa 94.
Juga Ibnu
Jarir mengetengahkan yang sama dengan itu dari hadis Ibnu Umar. Dan
diriwayatkan oleh Tsa’labi dari jalur Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbâs
bahwa nama orang yang terbunuh itu ialah Mirdas bin Nuhaik dari warga Fadak,
dan bahwa nama si pembunuhnya itu ialah Usamah bin Zaid sedangkan nama pemimpin
ekspedisi itu Ghalib bin Fudhalah al-Laitsi. Tatkala kaumnya telah kalah,
tinggallah Mirdas seorang diri dan maksudnya hendak melindungi kambingnya ke
sebuah bukit. Maka sewaktu berjumpa dengan kaum muslimin itu dibacanyalah lâ
ilâha illallâh Muhammadun Rasûlullâh dan assalâmu`alaikum. Tetapi Usamah bin
Zaid membunuhnya, dan ketika mereka telah kembali turunlah ayat di atas.
Ibnu
Jarir mengetengahkan pula yang serupa dengan itu dari jalur Suda, sedangkan
Abdun dari jalur Qatadah. Dan Ibnu Abu Hatim mengeluarkan dari jalur Ibnu
Luhaiah dari Abu Zubair dari Jabir, katanya:“Ayat berikut ini surah al-Nisa
[4]: 94, diturunkan mengenai Mirdas, dan ia adalah seorang syahid yang baik.”
Ibnu Mandah mengetengahkan dari Juzin bin Hadrajan, katanya: “Saudara
saya, Miqdad, berangkat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
seorang utusan dari Yaman. Kebetulan ia berjumpa dengan utusan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, maka dia berkata: “Saya ini seorang mukmin.” Tetapi
mereka tak mau menerimanya, hingga membunuhnya. Berita itu sampai ke telinga
saya, maka pergilah saya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka
turunlah ayat surah al-Nisa [4]: 94. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memberi saya diat dari saudara saya itu.”
Ibnu
Sirin mengungkapkan bahwa yang membunuh itu ialah Muhallim bin Jastsamah, dan
yang terbunuh itu ialah ‘Amir bin Adhbath. Maka Nabi memanggilnya dan Muhallim
bin Jastsamah hanya hidup tujuh hari sesudah membunuh,dia pun dikubur, tetapi
bumi tidak mau menerimanya, kemudian dikubur pada kali yang kedua, tetapi bumi
tetap tidak mau menerimanya, kemudian dikubur pada kali yang ketiga maka tanah
tidak mau menerimanya juga, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya
tanah itu pasti akan menerima orang yang lebih jahat dari dia (terbunuh itu)”.
Maka
Hasan berkata: “Adapun tanah itu mencegah orang yang lebih jahat dari dia ,
tetapi nabi mewasiatkan agar tidak mengulang perbuatan Muhallim bin Jastsamah
itu.”
Ibnu
Majah meriwayatkan dari Imran bin Hushain, dia berkata : “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengutus pasukan ke perkampungan orang-orang musyrik, maka
terjadilah perang yang hebat. Kamudian kaum muslim menemui seorang yang sedang
membawa kekayaan, terus mengucapkan syahadat dan menegaskan, bahwa aku seorang
muslim, tetapi tetap saja dia dibunuh. Tatkala sampai kepada Nabi, dia mengadu:
“Ya
Rasulullah, saya telah binasa”
“Apa yang
engkau perbuat?”
Maka dia
menjawab: “Dua kali membunuh orang yang sudah mengucapkan salam dan syahadat,
karena aku anggap itu siasat saja”, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Kenapa
engkau tidak membelah perutnya, sehingga engkau mengetahui kandungan hatinya ?”
Maka
berkatalah orang itu kepada Nabi:
“Kalau
aku membelah perutnya apakah aku akan mengetahui apa kandungan hatinya ?”
Maka Nabi
bersabda: “Tidak,maka engkau akan mengetahui apa yang engkau ucapkan
dengannya, dan engkau tidak mengetahui apa yang ada dalam hatinya.”
Maka Nabi
berdiam diri sampai pembunuh itu mati, dan bumi tidak mau menerimanya.
Dalam
sebuah riwayat, pembunuh itu ialah Usamah bin Zaid dan yang terbunuh iru ialah
Mirdas bin Nahik al-Ghathafani, terus Al-Fazari dari Bani Murrah, dari penduduk
Fadak. Ibnu Kasim dari Malik berkata : ”Mirdas bin Nahik sudah masuk Islam pada
malamnya dan telah menyampaikan kepada keluarganya, maka Nabi menyampaikan
kepada Usamah agar bersumpah tidak akan membunuh lagi orang yang telah
mengucapkan “lâ ilâha illallâh”. Riwayat lain, yang membunuh itu ialah Abu
Qatadah, dan riwayat lain Abu Darda.
2. Adapun
ayat: “Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam”
kepadamu” Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)”,
Imam
Bukhari menyatakan bahwa اَلسَّلَمُ وَالسَّلاَمُ, itu satu arti, sebagaimana diungkapkan oleh Allah pada surah
al-Nahl [16]: 28 :
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ ۖ فَأَلْقَوُا السَّلَمَ مَا كُنَّا نَعْمَلُ مِن سُوءٍ ۚ بَلَىٰ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Yaitu
orang-orang yang dimatikan oleh para Malaikat dalam keadaan berbuat zalim
kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); “Kami
sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatanpun”. (Malaikat menjawab): “Ada,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang telah kamu kerjakan”.
3. Seorang
muslim bila bertemu dengan orang yang sudah mengucapkan lâ ilâha illallâh, maka
haram membunuhnya, sebagaimana hadis riwayat mutawatir Hakim:
“Aku
perintahkan membunuh manusia sampai mereka berkata : lâ ilâha illallâh, dan
jika mereka mengucapkan (lâ ilâha illallâh), maka terjagalah daripadaku
darah-darah mereka,dan harta-harta benda mereka , kecuali dengan cara yang
hak”.
4. Ayat
ini dijadikan dalil, bahwa iman itu adalah perkataan dengan lâ ilâha
illallâh, sebagaimana ditegaskan pada hadis riwayat Hakim diatas.
Muslim
itu apabila ditanya didalam kubur, maka dia bersaksi dengan “asyhadu an lâ
ilâha illallâh, wa anna Muhammadan rasûlullâh, maka itu yang dimaksud dengan
surah Ibrahim [14]: 24 -Hr. Bukhari Muslim an Ashhab al-Sunan.
Itu
menunjukkan, betapa syahadatain itu merupakan inti dan
landasan keislaman seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.
Betapa
besar dosa menuduh kafir terhadap orang yang sudah mengucapkan DUA KALIMAH SYAHADAT,
sehingga:
1. Ketika
meninggal, tanah kuburan tidak mau menerimanya.
2. Nabi
memohonkan ampun kepada Allah dan membayarkan diat (denda/kifarat)
3. Nabi
menyuruh bersumpah kepada sahabatnya untuk tidak mengulang perbuatan dosa besar
itu.
Wahbah
al-Zuhaili dalam tafsirnya menyatakan bahwa sebab ayat ini turun ialah:
Riwayat
Bukhari dan Turmidzi dan Hakim serta yang lainnya bahwa Ibnu ‘Abbâs
meriwayatkan : “Lewat seorang laki-laki dari Bani Sulaim disamping rombongan
sahabat-sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dimana dia sedang
memperdagangkan kambing, terus dia mengucapkan salam kepada mereka, maka para
sahabat menduga, bahwa salamnya itu hanya karena takut, dan berlindung agar
tidak diapa-apakan, maka mereka membunuhnya dan kambing-kambingnya disampaikan
kepada Nabi, maka turunlah ayat ini (al-Nisa [4]: 94.)
Qs. Ibrahim
[14]: 27:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ
الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah
meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”.
Qs.Ibrahim
[14]: 24: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit”,
Didalam
Tafsir Mahâsin al-Takwîl, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi mengungkapkan, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang muslim
apabila ditanya didalam kubur, dia bersaksi dengan syahadatain,
maka itu yang dimaksud dengan ayat surah Ibrahim [14]: 27.
Ini
menunjukkan, betapa syahadatain ini landasan seorang muslim untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan hal ini jadi dalil, haramnya mengkafirkan
seorang muslim.
D.
Perpecahan ummat Islam.
Kalau
kita amati situasi dan kondisi ummat Islam sekarang ini, maka kita akan melihat
perbedaan dan sudah mengarah kepada perpecahan yang sumbernya:
Pertama: Perpecahan dalam bidang
pemikiran.
Perkembangan
ilmu, teknologi serta pemikiran Islam, telah melahirkan isu fundamentalis dan
liberal, sehingga di Indonesia muncul istilah JIL (Jamaah Islam
Liberal). Sejalan dengan perkembangannya, muncul pula istilah yang
dinamakan Islam Fundamentalis, yang melahirkan istilah yang diberikan nama oleh
mereka, al-Qaidah, bahkan sering muncul dengan istilah Teroris.
Kedua: Perpecahan dalam bidang
Ushuluddin, I.Tauhid, I.Kalam, Ilmu Aqaid.
Perbedaan
yang menyolok antara Jabariyah dan Qadariyah, antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah,
antara Sunni dan Syiah. Dalam bidang Ushuluddin ini juga telah melahirkan issue
Wihdatul Wujud, muncul dari bidang filsafat, menimbulkan aliran Tashawuf dalam
Islam, yang melahirkan 200 Tarekat Mu’tabarah diseluruh dunia, sedang sebagian
menuduhnya sesat dan bid’ah.
Ketiga: Perpecahan dalam bidang
Politik.
Isu
klasik yang tidak habis-habisnya ialah perpecahan dalam bidang ini, apakah
kepemimpinan Islam itu Imamah atau Khilafah ?
Disinilah sumber perpecahan Sunni-Syiah, yang telah menelan korban nyawa
manusia sejak wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai
saat ini, dan sekaligus dijadikan alat yang ampuh oleh musuh-musuh Islam untuk
mengadu domba kaum muslimin.
Keempat: Perpecahan dalam bidang fikhi.
Perpecahan
dalam bidang fikhi ini adalah juga masalah klasik yang tidak habis-habisnya
muncul ditengah masyarakat, terutama dikalangan orang awam.
Kelima : Perpecahan dalam bidang
akhlak.
Disinilah
sumber kehancuran ummat Islam, karena nilai-nilai moral dan akhlak telah
hancur, walaupun mereka ahli shalat, puasa dan haji. Da’wah kesana kemari,
bukan mengajarkan dan menyebarkan al-Quran, bukan pendidikan akidah, ibadah dan
akhlak, tetapi yang ditaburkan dan disebarkan adalah fitnah, kebohongan dan
provokasi. Yang disebarkan bukan keshalehan sosial, bukan peningkatan
nilai-nilai ibadah, tetapi menaburkan bibit-bibit perpecahan ditengah
masyarakat dengan penuh kebohongan.
Mengamati
fenomena ini, maka takfiri, yaitu mengkafirkan orang lain tanpa tabayyun, hanya
karena fanatik mazhab, atau karena ilmu dan wawasan yang sempit, atau jadi alat
Kaum Zionis, maka bahayanya luar biasa:
I. Perpecahan
ummat yang dapat mengarah kepada perang, sebagaimana yang terjadi di dunia
Islam saat ini.
II.
Hancurnya silaturrahim.
III. Terbukanya
kesempatan bagi musuh Islam, masuk dan mengadu domba ummat Islam, sehingga
mereka cukup bertepuk tangan, dan kaum muslimin menjadi lemah atau hancur.
IV. Bakal
muncul intelektual dan tenaga-tenaga potensial dan professional yang gagal
dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat untuk kepentingan umum oleh
gelombang stigma kafir dan sesat yang membuat mereka terkucil dan ini merupakan
program Zionis menghancurkan Islam.
V. Kaum
awam menjadi bingung dan bisa mengarah kepada meninggalkan Islam yang diliputi
provokasi, intimidasi, caci-mencaci, sesat-menyesatkan, bid’ah-membid’ahkan,
mencari-cari dan membuka aib sesame muslim.
Sejak
Awal, aL-Qur ân Sudah Mengungkap Bahaya Aktor Perpecahan/Adu Domba.
1.
Qs.Ali ‘Imran [3]: 100-101:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ
اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ ۗوَمَن يَعْتَصِم
بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang
diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir
sesudah kamu beriman – Bagaimanakah kamu sampai menjadi kafir, padahal
ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di
tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada agama Allah, maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Ayat ini
turun, mengungkapkan peran Syas bin Qais yang pura-pura masuk Islam, tetapi
berusaha mengadu domba kaum muslimin, dan muncul sebagai Aktor Perpecahan.
Aktor
Perpecahan dan adu domba akan muncul setiap tempat dan zaman.
2. Qs.al-Baqarah
[2]: 109:
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ
إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُمُ الْحَقُّ ۖفَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ
يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kebahagian
besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.Maka ma’afkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
3.
Qs.al-Baqarah [2]: 120:
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ
مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن
وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar”.
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan
datang kepadamu.Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
4.
Qs.al-Baqarah [2]: 217:
… وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن
دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَـٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَـٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“…mereka
tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari
agamamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di
antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal didalamnya.”
5.
Qs.Ali ‘Imrân [3]: 69:
وَدَّت طَّائِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يُضِلُّونَكُمْ وَمَا
يُضِلُّونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Segolongan
dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka sebenarnya tidak
menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.”
6.
Qs.Ali ‘Imrân [3]: 72:
وَقَالَت طَّائِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنزِلَ
عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ
“Segolongan
lain dari ahli kitab berkata kepada sesamanya: “Perlihatkanlah seolah-olah kamu
beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat
Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka
(orang-orang mukmin) kembali kepada kekafiran”.
Mengamati
ayat-ayat ini maka kaum muslim hendaknya:
1. Waspada
dan hati-hati menghadapi Aktor Perpecahan dan adu domba dari pengaruh dan dana
dari:
a. Zionis
dan Imperialis.
b.
Ulama-ulama Istana / Kerajaan.
c.
Membendung dan waspada terhadap mass media berupa artikel, buku, tulisan,
buku-buku dan tulisan-tulisan bohong yang 90% dikuasai Zionis Kapitalis dan
Imperialis.
2. Memberikan
wawasan yang luas tentang Islam, baik dalam akidah, fikhi, akhlak dan pemikiran
Islam, terutama “Muqâranah al-Fiqhi”/ Perbandingan mazhab.
3. Memberikan
wawasan tentang Islam yang universal, bahwa suku-suku dan bangsa-bangsa itu
untuk saling kenal-mengenal, dan setiap muslim muncul sebagai Rahmatan lil
‘Alamin, tidak fanatik suku dan bangsa.
E.
Al-Qur ân
Al-Qurân
menjelaskan orang-orang yang sesat, yaitu :
·
orang-orang yang menyekutukan Allah (Qs. al-Nisa’
[4]: 116)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ
لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan
Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.’
·
orang kafir (Qs. al-Nisa’ [4]: 136)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن
قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
·
orang murtad alias menjadi kafir setelah beriman
(Qs. Ali ‘Imrân [3]: 90
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا
لَّن تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ
“Sesungguhnya
orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali
tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat.”
·
orang yang membunuh anak-anak mereka karena
kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah
berikan kepada mereka semata-mata demi mendustakan Allah (Qs. al-An’am [6]:140
قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلَادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ ۚ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا
مُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya
rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak
mengetahui , dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezkikan kepada
mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka
telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”
·
berputus asa dari rahmat Tuhannya (Qs. al-Hijr
[15]: 56)
قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Ibrahim
berkata: Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali
orang-orang yang sesat".
·
orang yang telah dikuasai oleh kejahatannya (Qs.
al-Mu’minun [23]:106)
قَالُوا رَبَّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنَّا قَوْمًا
ضَالِّينَ
“Mereka
berkata: Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah
kami orang-orang yang sesat.”
·
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, yaitu memilih yang
lain dalam suatu perkara, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
keputusan dalam perkara tersebut (Qs. al-Ahzab [33]: 36)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.”
·
orang kafir, yaitu orang yang lebih menyukai
kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat serta menghalang-halangi manusia
dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok (Qs. Ibrahim
[14]: 2-3.)
اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَوَيْلٌ لِّلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ
وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا ۚ أُولَـٰئِكَ فِي ضَلَالٍ
بَعِيدٍ
“Allah
yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah bagi
orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai
kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu
berada dalam kesesatan yang jauh.”
·
Termasuk bagian dari kesesatan (al-dhalâlah) adalah
perilaku berhukum kepada thaghut (Qs. al-Nisa’ [4]: 60)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا
أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ
ضَلَالًا بَعِيدًا
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut , padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya.”
·
serta mengambil musuh Allah dan musuh kaum Muslim
sebagai wali, karena rasa kasih sayang (Qs. Mumtahanah [60]: 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ
أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم
مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ
وَمَا أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad),
karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada
mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
·
dan sebagainya.
Berdasarkan
semua itu, secara syar’i, al-dhalâl bisa didefinisikan sebagai
penyimpangan dari Islam dan kufur terhadap Islam (inhirâf ’an al-islâm
wa kufr bihi). Dengan demikian, semua bentuk penyimpangan dari Islam
merupakan bagian dari kesesatan. Akan tetapi, tidak semua bentuk penyimpangan
dari Islam itu menjadikan pelakunya bisa divonis kafir. Al-Qurân sendiri
menjelaskan bahwa perbuatan berhukum pada hukum thâghût (hukum selain dari yang
diturunkan oleh Allah) merupakan perbuatan kufur. Namun, tidak semua pelakunya
divonis kafir, tetapi ada juga yang dinilai fasik atau zalim.
Penyimpangan
dari Islam itu bisa berupa kesalahan, yaitu kekeliruan pemahanan dan praktik
yang terkait dengan perkara syariah yang konsekuensinya adalah maksiat. Namun,
penyimpangan bisa juga dalam bentuk kesalahan pemahaman yang terkait dengan
perkara akidah atau syariah, tetapi diyakini kebenarannya, yaitu yang merupakan
perkara qath’i atau bagian dari perkara yang ma’lûm min ad-dîn bi
adh-dharûrah, yang konsekuensinya adalah kekufuran. Hal yang sama berlaku
juga dalam hal pengingkaran.
Dengan
demikian, penyimpangan dan pengingkaran yang berkonsekuensi penganut atau
pelakunya bisa dinilai sesat adalah penyimpangan atau pengingkaran dalam
perkara ushûl, bukan dalam perkara furu’. Perkara ushul
adalah perkara yang berkaitan dengan akidah, sedang dalam bidang furu’ tidak
termasuk dalam kafir akidah, tetapi kafir ‘amali.
Sebagai
contoh, ketika tahun yang lalu mengunjungi Turki, maka saya memperoleh
informasi bahwa penduduk Turki 99% muslim yang perinciaannya sebagai berikut :
1. 30
% yang shalatnya 5 kali sehari semalam.
2. 30
% yang shalatnya 1 kali sepekan hanya Jum’at saja.
3. 20
% yang shalatnya 2 kali setahun hanya ‘Idain ( ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adhha
saja.
4. 19
% tidak pernah shalat kecuali ketika mati dishalatkan.
Dikalangan
mazhab Hanafi, syahadat 1 kali seumur hidup, ketika meninggal wajib di
shalatkan, karena mengingkari shalat itu hanya kafir ‘amali/amal, bukan kafir
I’tiqadi /iktikad. Di Indonesia tidak akan jauh dari contoh di Turki.
F.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam hal
ini MUI telah memberikan kriteria suatu paham atau aliran bisa dinilai sesat,
yaitu apabila memenuhi salahsatu dari kriteria berikut:
1.
Mengingkari salah satu dari Rukun Iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada
Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan
Qadar; serta Rukun Islam yang 5 (lima), yakni: mengucapkan dua kalimah
syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan
dan menunaikan ibadah haji.
2.
Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syariah
(al-Qurân dan al-Sunnah)
3.
Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qurân.
4.
Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qurân.
5.
Melakukan penafsiran al-Qurân yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6.
Mengingkari kedudukan nadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7.
Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.
8.
Mengingkari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan
Rasul terakhir.
9.
Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan
oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardhu tidak 5 waktu.
10.
Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya
karena bukan kelompoknya, atau hanya karena berbeda mazhab.
G. Petikan Deklarasi Perwakilan Ulama Sedunia di Amman Yordania (27 Ramadhan/9
Novenber 2004).
“Siapa
saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah
(Syafi’I, Hanafi, Maliki, Hanbali) dan mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab
Ibadhi dan mazhab Zhahiri adalah MUSLIM. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah
seorang dari pengikut /penganut mazhab-mazhab yang disebut diatas. Darah,
kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut /penganut mazhab-mazhab
yang disebut diatas tidak boleh dihalalkan”.
H.
Pandangan para Ulama Terdahulu.
Kriteria-kriteria
ini bukan hal baru. Para ulama sejak dulu telah membahasnya. Meski demikian,
siapapun tidak boleh gampang mengatakan orang lain sesat. Penilaian sesat itu
serupa dengan penilaian kafir. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa saja yang berkata kepada
saudaranya (yang Muslim), “Hai kafir,” maka sungguh tuduhan itu berlaku kepada
salah seorang dari keduanya, jika memang tuduhan itu benar; jika tidak, tuduhan
itu kembali ke pihak penuduh” – Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad.
Justifikasi
sesat itu harus dilakukan melalui proses pembuktian (tabayyun). Jika sudah
terbukti sesat dengan bukti-bukti yang meyakinkan, maka harus dikatakan sesat,
seperti Ahmadiyah. Kemudian penganutnya didakwahi agar bertobat dan kembali
pada yang haq, yaitu Islam.
Wallâhu
a’lam bi al-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar