PENGANTAR
Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku “Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah”, buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf Arab pego, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah.
Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku “Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah”, buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf Arab pego, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah.
KH.
Bisri Mustofa adalah menantu dari KH. Cholil Harun Kasingan Rembang. KH. Cholil
Harun sendiri adalah termasuk salah satu guru dari KH. Mahrus Ali Lirboyo dan
KH. Aqiel Cirebon (orang tua dari KH. Said Aqiel Siroj, PBNU). KH. Bisri
Mustofa sendiri adalah paman dan orang tua angkat dari Ibu Nyai Chasinah binti
KH. Chamzawi Umar isteri dari pengasuh Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang,
KHA. Masduqi Machfudz. Semoga risalah ini bermanfaat.
PERTANYAAN-PERTANYAAN:
BETULKAH PINTU IJTIHAD PINTU SUDAH TERTUTUP?
Permasalahannya bukan
sudah tertutup atau belum tertutup akan tetapi memandang telah lama
(beratus-ratus tahun) pintu tidak pernah dimasuki orang.
MENGAPA KITAB MADZHAB SYAFI’I MENYEBUT IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI
LANDASAN HUKUM?
Berdasarkan hadits:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا
كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى
Maka landasan hukum
di dalam Islam itu hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengapa di dalam
kitab-kitab madzhab Syafi’i ada dua masukan sebagai landasan hukum, ijma’ dan
qiyas?
Kalau menurut prinsip
dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat
digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga
madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum
itu, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits
sendiri juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Kami
persilahkan baca Al-Qur’an ayat 115 di dalam surat An-Nisa’:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
اْلهَدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ اْلمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيْرًا.
“Barang siapa
menentang Rasul sesudah terang petunjuk baginya dan menuruti selain jalannya
orang-orang mu’min, maka Allah membiarkan akan dia bersama apa yang dia sukai,
dan Allah akan memasukkan dia di dalam neraka jahannam, sejelek-jelek tempat
kembali.”
Hadits Shohihain:
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَتِى ظَاهِرِيْنَ عَلىَ اْلحَقِّ
لاَ يَضُرُّهُمْ خِلاَفُ مَنْ خَالَفَهُمْ.
“Tidak henti-hentinya
segolongan dari umatku, selalu terang-terangan bersama-sama membela hak
(kebenaran), tidak mempengaruhi mereka tentangan orang-orang yang menentang
kepadanya.”
Kami persilahkan baca
ayat surat Al-Hasyr:
فَاعْتَبِرُوْا يَا اُولِى اْلأَبْصَارِ
“Maka ambil contohlah
engkau, hai orang-orang yang mempunyai pengertian.”
Surat Amirul Mu’minin
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang ditujukan kepada Abi Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu :
الْفَهْمَ اَلْفَهْمَ فِيْمَا اَدَّى إِلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ
فِى قُرْآنٍ وَلاَ فِى سُنَّةٍ، ثُمَّ قِسِ اْلأُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ
“Pahamilah!
Pahamilah! Di dalam apa yang datang kepadamu, daripada yang tidak ada di dalam
Al-Qur’an dan sunah Rasul, kemudian kiaskanlah perkara-perkara itu ketika
perkara-perkara itu tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits.”
MENGAKU TAQLID KEPADA IMAM SYAFI’I, PADAHAL HANYA TAHU SULAM
SAFINAH, FATHUL QORIB DAN FATHUL MU’IN
Orang-orang
ahli taqlid mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal mereka hanya tahu Sulam
Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Apakah itu dapat dibenarkan?
Kitab-kitab Sulam
Safinah, Fathul Qorib, dan lain sebagainya itu adalah kitab-kitab bermadzhab
Syafi’I, mengapa tidak dapat dibenarkan?
Tetapi
kadang-kadang Fathul Mu’in itu, di dalamnya terdapat keterangan-keterangan yang
tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam kitab Al-Um (Imam Syafi’i)?
Saudara jangan
mengira bahwa kitab Imam Syafi’i itu hanya al-Um saja, tetapi ada lagi yang
lain. Yaitu Al-Imla’ dan Al-Buwaity. Lain daripada itu, Imam Syafi’i juga
mempunyai qoidah-qoidah yang qoidah-qoidah itu adalah poros daripada Al-Qur’an
dan Hadits sehingga kalau ada sesuatu masalah yang tidak terdapat nashnya di
dalam kitab-kitab Imam Syafi’i, masalah itu dapat diselesaikan dengan
qoidah-qoidah Imam Syafi’i oleh para mujtahid madzhab, dan atau mujtahid
fatwanya.
ADZAN JUM’AT DUA KALI TIDAK MENGUBAH SUNAH RASUL?
Di
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu
‘anhuma, adzan Jum’at itu terdapat hanya sekali. Tetapi di zaman Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu, menjadi dua kali. Apakah itu tidak mengubah sunah
Rasul?
Dua kali itu artinya
sekali ditambah sekali, bukan? Apakah saudara dapat menunjukkan dalil yang
melarang menambah adzan satu kali?
Betul.
Akan tetapi ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا
(Al-Asyr
ayat 8)
Memerintahkan
supaya kita mengambil apa yang diberikan oleh Rasul kepada kita.
Kita sudah
menjalankan satu kali. Itu adalah yang diberikan Rasulullah kepada kita, dengan
tambahan satu kali. Tambahan satu kali ini meskipun tidak diperintahkan, apakah
dilarang? Bukankah perbuatan itu ada yang dilarang, ada yang diperintahkan dan
ada pula yang tidak dilarang, dan juga tidak diperintahkan. Sehingga di dalam
istilah mantiq disebut “Maani’ul jam’i jaizul kholwi” saudara harus
dapat membedakan antara ibarat
1. ambilah
yang hijau, dan tinggalkan yang merah,
2. ambilah
yang hijau, dan tinggalkan yang lainnya.
Ibarat
ke-1 adalah ibarat maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan merah tidak mungkin
kumpul, tetapi mungkin benda itu tidak hijau dan tidak merah).
Sedang ibarat yang
ke-2 adalah maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan yang lainnya tidak mungkin
kumpul, dan juga tidak mungkin benda itu tidak hijau dan tidak yang lain dari
pada hijau).
Lalu
sebaiknya bagi kita ini ikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah
ikut Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu?
Kita ikut Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu itu juga berarti ikut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sebab Rasulullah telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ.
Apalagi adzan kedua
yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu itu, sama
sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian daripada sahabat di kala itu.
Jadi menurut istilah ushul fiqh sudah menjadi ijma’ sukuti.
BAGAIMANA TENTANG BEDUK ITU? APAKAH TERMASUK SUNNAH?
Kalau sunnah itu
tidak. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
melarang memukul beduk, kalau saudara melarang itu namanya keterlaluan.
SUNAHKAH TAMBAHAN SAYYIDINA DALAM SOLAWAT?
Pada
waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, bacalah “Allahumma Sholli
‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid
selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?
Fathul Mu’in hanya
menerangkan:
لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّد
“Tidak ada bahayanya
dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.”
Adakah pada saudara
dalil yang melarang tambahan sayyidina?
لاَ تَسَوِّدُنِى فِى الصَّلاَةِ
Bukankah
hadits itu melarang membaca sayyidina di dalam shalat?
Di manakah saudara
dapat hadits itu? Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu
سَيَّدَ – يُسَيِّدُ
di dalam lughoh tidak
atau belum pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu
sawwada-yusawwidu.
سَوَّدَ – يُسَوِّدُ
Jadi termasuk fi’il
yang wawiyyul ‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid
‘ala wazni Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و) diganti dengan
Ya’ (ي)
kemudian ya’ awal di-idghomkan pada ya’ tatsniyah, berdasar:
إِنْ يَسْكُنِ السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ وَيَا*
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.
Adapun masdarnya
siyadatan itu asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan ya’, seperti
qiyam asalnya Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan:
ذَا أَيْضًا رَوَوْا فِي مَصْدَرِ اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا
Lihat al-Khulashoh
bab Ibdal. Apakah saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu asalnya
Tusawwidu? Kemudian sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika demikian
apakah dasarnya? Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar Tusayyidu itu
asalnya Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca Sayyidina. Sebab arti
harfiahnya (letterlijk) adalah “Jangan engkau mempertuan aku di dalam shalat”.
Kami membaca “sayyidina” itu, tidak kami maksudkan mempertuan, akan tetapi
sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai Sayyidu Waladi Adam.
Bukankah
kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam bahasa Arab (Jawa) bendoro?
Tidak selamanya
kalimat sayyidina itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya:
yang mulia, yang terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah
ayat 55 surat Yusuf.
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى اْلبَابِ.
TARAWIH DI ZAMAN UMAR BIN KHATTAB MENJADI
DUA PULUH RAKAAT, BAGAIMANAKAH ITU?
Shalat
tarawih di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar
As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu terdapat hanya delapan rakaat, tetapi di zaman
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi dua puluh rakaat, bagaimana itu?
Dua puluh rakaat itu
adalah delapan rakaat ditambah dua belas rakaat, adakah pada saudara itu dalil
yang melarang tambahan dua belas rakaat.
Lalu
bagiamanakah yang lebih baik ikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu?
Kami telah mengikuti
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam yang menjalankan
delapan, dan mengikuti sunnah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu di
dalam tambahan dua belas rakaat. Dan kami mengikuti sunah Umar bin Khottab radhiyallahu
‘anhu itu juga dengan dasar perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebab Rasulullah bersabda:
اِقْتَدُوْا بِالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِى اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ.
“Ikutilah dua orang
sesudah aku, Abu bakar dan Umar.” (HR. Ahmad).
BAGAIMANA HUKUMNYA TAHLIL?
Mengapa saudara
tanyakan hukumnya tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala
yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan.
Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung
itu.
Tahlil menurut
istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru
adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah, Subhaana Allah wa bi Hamdihi,
Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain
dan sebagainya apakah saudara juga masih tanya hukumnya?
Apakah
pahala tahlil itu pasti sampai kepada orang yang ditahlilkannya?
Pasti sampai itu
tidak, kami dan saudara sama-sama tidak tahu. Akan tetapi si pembaca tahlil
itu, memohon kepada Allah hendaknya pahala tahlil yang disampaikan kepada yang
ditahlilkannya.
Apakah
yang demikian itu tidak bertentangan dengan ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Bahwa
manusia itu tidak mendapat pahala kecuali pahala hasil amalnya sendiri.
Sehingga
seseorang tidak dapat menerima manfaat dari orang lain.
Itu memang wajar.
Juru tulis tidak mendapat gaji kecuali gaji sebagai juru tulis, dan tidak
mendapat gajinya gubernur. Juga yang bukan juru tulis dia tidak akan bisa
mendapatkan gajinya juru tulis. Demikian pula orang yang membaca kalimat
Thoyyibah, dia tidak bisa mendapat pahala, kecuali pahalanya sebagai pembaca
kalimat Thoyibah, dan tidak bisa mendapatkan pahalanya membaca Al-Qur’an 30
Juz. Juga yang tidak dapat membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak dapat mendapat
pahalanya membaca kalimat Thoyyibah. Akan tetapi soalnya kita memohon kepada
Allah yang Maha Murah, agar pahala tahlil kita disampaikan kepada orang-orang
yang dimaksud. Apa salahnya memohon? Sebagaimana halnya orang-orang yang
berdosa besar selain syirik, untuk dihapus dosanya, dia harus bertaubat, tetapi
kita memohon kepada Allah Ta’ala:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ
عَنْهُ
Kalau memang orang
itu diberi ampunan oleh Allah Ta’ala itu yang kita harapkan. Kalau tidak, itu
adalah semata-mata kekuasaaan Allah sendiri. Saya kira saudara ada lebih baik,
tidak mempersempit rahmat Allah yang sangat besar, lagi maha luhur itu. Lain
dari pada ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Itu adalah ayat ‘Amah
Makhshushoh. Saudara saya persilahkan baca tafsir-tafsir yang Mu’tabar.
Masalah-masalah yang dikeluarkan dari ayat ini banyak sekali. Yaitu
masalah-masalah dimana orang dapat menerima manfaat dari amalnya orang lain.
Sebagai contoh:
- Mayit
dapat manfaat sesuatu, karena do’anya orang lain
) اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ(
- Rasulullah
dapat memberi syafaat kepada Ahlil Mauquf Fi Al Hisab.
- Rasulullah
dapat memberi syafaat kepada orang yang berdosa besar sehingga mereka
dapat dikeluarkan dari neraka. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa
seseorang menerima manfaat dari amalnya orang lain?
- Malaikat
memohonkan ampun kepada penghuni Bumi.
- Allah
Ta’ala dapat mengeluarkan dari neraka, orang-orang yang sama sekali tidak
pernah beramal baik, dan dimasukkan di dalam surga dengan rahmat Allah.
Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang telah menerima manfaat
tidak dari hasilnya sendiri?
- Anak-anaknya
orang mu’min yang belum sampai umur, mereka dapat masuk surga tidak karena
amalnya sendiri, akan tetapi sebab amalnya orang-orang tua mereka.
- Dua
anak yatim yang diceritakan di dalam kisah Nabi Allah Khidir, Allah Ta’ala
bersabda:
وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا
Kisah ini memberikan kesimpulan bahwa
dua anak yatim ini, mendapat manfaat, sebab kebaikan ayahnya, bukankah ini
keluar daripada jiwa:
وَأَنَّ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
- Mayit,
dapat menerima manfaat Bis Shodaqoh Anhu Wa Bil ‘Atiq, dengan nash sunnah
dan Ijma’
- Haji
dapat gugur dari mayit, dengan amal hajinya salah satu dari walinya bi
Nash assunnah.
- Haji
Nadzar atau puasa nadzar dapat gugur dengan amalnya orang lain, bi Nash
assunnah.
- Ada
orang mati di zaman Rasulullah, orang itu banyak mempunyai hutang, pada
waktu itu Rasulullah tidak mau menshalatkan. Sehingga Abu Qotadah membayar
hutangnya mayit itu. Baru Rasulullah mau menshalatkan. Bukankah ini
terang-terangan bahwa si mayit mendapat manfaat berupa shalatnya
Rasulullah atasnya, sebab amal orang lain, yaitu qotadah yang telah
membayar hutang si mayit.
- Rasulullah
melihat ada orang shalat munfarid. Beliau berkata : ”Tidakkah ada
seseorang yang mau shodaqoh kepada orang itu, yaitu mau shalat bersama
dia, agar banyak hasil fadlilah jama’ah.”
- Seorang
yang banyak hutang, dia dapat bebas dari tanggungannya apabila hutangnya
dibayar lunas oleh orang lain.
- Orang
yang ikut duduk di dalam majlis ahli dzikir, dia turut mendapat rahmat,
meskipun dia tidak turut dzikir.
- Jama’ah
shalat yang lebih besar jumlahnya, pahalanya ada lebih besar daripada jama’ah
yang kecil jumlahnya. (bukankah kebesaran pahala itu disebabkan amal orang
lain?)
- Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَاكَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ
“Tidaklah Allah itu
menyiksa mereka sedang engkau berada di tengah-tengah mereka.”
Bukankah manfaat tidak diturunkannyya
siksa kepada mereka itu sebab orang lain?
- Rasulullah
bersabda:
لَوْلاَ عِبَادٌ ِللهِ رُكَّعٌ وَصِبْيَةٌ رُضَّعٌ وَبَهَائِمٌ
رُتَّعٌ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ اْلعَذَابُ صَبًّا
“Andaikata tidak ada
orang-orang yang ibadah kepada Allah yang sama ruku’ dan anak-anak yang masih
menyusui dan binatang-binatang yang sama mencari makanan, maka dituangkan atas
kamu sekalian siksaan, benar-benar dituangkan.” (HR. At-Thabrani dan
Al-Baihaqi)
Bukankah manfaat tidak diturunkannya
siksa Allah ini, sebab orang lain? Dan masih banyak lagi. Kalau saya terangkan
semua satu persatu maka bisa menghabiskan halaman.
SEMUA BID’AH SESAT, MENGAPA ADA BID’AH HASANAH DAN BID’AH
SAYYIAH?
Saya
pernah dengar hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua
bid’ah itu sesat
Tetapi
saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada
bid’ah sayyiah, mana itu yang benar?
Kalau bid’ah Dholalah
itu lafadnya umum, tiap-tiap lafad umum yaitu biasanya kemasukan takhsis,
contohnya:
Hadits:
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ
“Segala sesuatu itu
dibikin dari air.”
Apakah malaikat juga
dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
“Segala yang
memabukan itu khomer, dan semua khomer itu haram.”
Kecubung itu
memabukan, apakah itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram
hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
“Semua kamu itu
penggembala, dan semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya.”
Apakah orang gila dan
orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu dijawab tidak?
Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini maka saudara
sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang
memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu yang menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca
Barzanji yang isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok
pesantren dan madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak
dholalah. Apalagi kalau menurut riwayat yang diriwayatkan oleh Ad Dailamy Fi
Musnadil Firdausi, hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ
Kami persilahkan
melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah 39.
Bagaimana
kebenaran hadits berikut?
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا َليْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ
Hadits itu memang
benar diceritakan oleh Bukhori wa Muslim wa Abi Dawud wa Ibnu Majah dari
Aisyah, akan tetapi perhatikanlah benar-benar terjemahannya! “Barang siapa
mengada-ada (menimbulkan) di dalam agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber
darinya, maka ia ditolak”. Lalu apalagi yang saudara maksud? Kalau kita
mengerjakan shalat shubuh empat rakaat, atau shalat mayit pakai ruku’, sujud,
itu memang ditolak, sebab yang demikian itu tidak ada sumbernya dari agama.
Adapun yang ada sumbernya dari agama, sebagaimana masalah-masalah yang disebut
dimuka (adzan jum’at dua kali, tarawih dua puluh rakaat dan lain sebagainya) ia
tidak termasuk yang ditolak.
Sesungguhnya
apakah yang disebut bid’ah itu?
Memang arti Bid’ah
ini sesungguhnya harus ditanyakan terlebih dahulu, sebelum disodorkannya
hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Bid’ah itu ada dua
macam:
1. Bid’ah
syar’iyah
2. bid’ah
lughowiyah.
Tiap-tiap
ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan kebenarannya oleh
ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu Bid’ah Mardudah.
Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas. Ini pula yang
disebut Bid’ah Syar’iyah.
Adapun Bid’ah
lughowiyah, yaitu segala yang belum pernah terjadi pada zaman Rasululah shallallahu
‘alaihi wasallam. Bid’ah lughowiyah terbagi menjadi lima:
- Bid’ah
Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat
masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.
- Bid’ah
Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang
bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
- Bid’ah
Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti mendirikan
madrasah-madrasah untuk memudahkan cara-cara memberi pelajaran agama
kepada murid-murid.
- Bid’ah
Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang
berlebih-lebihan.
- Bid’ah
Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan dan minum.
ISLAM TIDAK MENGENAL SELAMATAN, MENGAPA TIDAK DIBERANTAS?
Selamatan-selamatan
model Budha seperti ambengan, kupat lepet, bubur (jenang) mirah, dan lain
sebagainya itu apakah tidak seharusnya diberantas? Sebab sudah terang di dalam
Islam tidak ada?
Shodaqoh itu pada
prinsipnya adalah anjuran Islam.
وَفىِ اْلحَدِيْثِ: اَلصَّدَقَةُ أَفْضَلُ مِنَ الصِّيَامِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ
مِنَ النَّارِ.
“Shodaqoh lebih utama
dari pada puasa, dan puasa itu sebagai tameng dari pada neraka.” (HR. Addailamy Fi
Musnadihi Al Firadus)
الَصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا تُطْفِئُ الْمَاءُ
النَّارَ
“Shodaqoh itu dapat
memadamkan kesalahan, laksana air memadamkan api.” (HR. Addailamy Fi
Musnadihi Al Firadus).
Dan masih banyak
lagi. Kemudian macam apa, dan berupa apa shodaqoh itu, Islam tidak menentukan,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata,
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمَرَةٍ
“Shodaqohlah kamu,
meskipun hanya berupa sebutir kurma.” (HR. Al Bukhori). Hadits ini
menunujukkan bahwa shodaqoh itu, berupa apa saja dan berapa saja jumlahnya,
Rasulullah tidak menentukan. Berupa bubur (jenang), berupa panggang ayam,
berupa kupat lepet, berupa ambeng, pendek kata berupa apa sajalah, meskipun
hanya dengan sebutir kurma, cukuplah buat shodaqoh.
Adapun shodaqoh di
Jawa dilaksanakan berupa ambeng, jenang, kupat lepet, dan lain sebagainya itu
adalah halnya adat yang tidak bertentangan dengan Islam. Memang wali sembilan
di zaman dahulu ( ± lima ratus tahun yang lalu) di dalam menyiarkan agama Islam
di Jawa, caranya amat bijaksana. Yaitu tiap-tiap adat yang tidak bertentangan
dengan Islam sama sekali tidak diberantas. Baik adat itu cara berpakaian, cara
berumah tangga, cara bersosial dan lain sebagainya. Apalagi adat di dalam
pelaksanaan selamatan di Jawa ini memang mengandung hikmah-hikmah yang dalam.
Sebagai misal umpamanya:
- Ambengan.
Akhir-akhir ini telah banyak terjadi diganti dengan takiran (nasi kotak). Coba bandingkan. Jika yang diundang selamatan sebanyak 20 orang, persediaan takiran juga 20 buah, kemudian karena suatu hal yang hadir 30 orang. Bagaimana caranya mengatasi nasibnya kelebihan undangan yang sepuluh orang? Tetapi kalau dengan cara ambeng mudah sekali. Yang dipanggil selamatan 20 orang, pesediaan ada 30 ambeng. Kemudian yang datang ada 30? Baiklah, sekarang tiga buah ambeng untuk tiga puluh orang.
Saudara mungkin akan berkata, “Dengan
takiran juga mudah, yaitu yang tidak membawa surat undangan ditolak.”
Menurut kami cara demikian itu tidak cocok dengan kepribadian orang-orang
Timur, terutama orang Jawa. Perasaan orang timur itu sangat halus. Kalau dia
mengundang tetangganya untuk hadir dalam upacara khitanan umpamanya, kemudian
turut datang juga beberapa orang yang tidak diundang, maka dia tidak sampai
hati untuk menolak mereka. Di sini, inilah letak faedah daripada ambengan.
- Bubur
(jenang).
Sudah menjadi watak bagi manusia,
terutama orang-orang Indonesia bahwa disamping mereka itu senang menerima
pemberian, juga senang memberi kepada orang lain, meskipun kiranya kalau mereka
itu hanya selalu diberi, tetapi tidak pernah memberi. Malu agaknya mereka itu
kalau mereka itu hanya selalu dundang selamatan, tetapi tidak pernah mengundang
selamatan. Agar supaya orang-orang yang tidak memberi itu juga dapat turut
menikmati amal perbuatan memberi, maka dianjurkanlah pemberian itu berupa bubur
(jenang), sebab bubur itu kecuali kelihatan pantas, juga modalnya sederhana
sekali. Kalau beras sekilo itu apabila dijadikan nasi hanya cukup buat enam
orang, tetapi kalau dibagikan bubur bisa cukup buat lima belas orang sampai dua
puluh ornag. Belum lagi dihitung pengantarnya. Kalau nasi sekurang-kurangnya
harus diantar oleh lauk pauk, tetapi bubur cukup dihantar dengan kelapa tua dan
gula jawa.
- Kupat
atau ketupat.
Ketupat itu bahannya sederhana sekali.
Ketupat yang agak lumayan besarnya itu bisa cukup dua sendok beras. Lain
daripada itu, kalau tiap setahun sekali kita selamatan ketupat itu berarti kita
memberikan peringatan kepada tetangga kita supaya tetap bersatu. Kalau dua
sendok beras yang dapat bercerai berai itu dapat dipersatukan, sehingga kumpul
menjadi satu merupakan benda berat yang sedang ia tidak berakal, mengapa
manusia yang berakal tidak dapat disatukan dalam satu rangka ketupat? Saya rasa
tiga contoh ini cukup.
MENGAPA ORANG YANG MEMEGANG ATAU MEMBAWA
AL-QUR’AN HARUS BERWUDHU’ DAHULU?
Di
dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
Yang
maksudnya bila kamu sekalian akan berdiri shalat, maka basuhlah mukamu (dan
seterusnya).
Jadi
jelas bahwa ada perintah wudhu’ itu digantungkan pada apabila orang akan shalat.
Tetapi
mengapa kyai-kyai selau mengatakan orang yang akan memegang Al-Qur’an atau
membawa Al-Qur’an dia harus ambil air wudhu’ dahulu. Dan kalau tidak berwudhu’
maka haram menyentuh, memegang/membaca Al-Qur’an?
Kalau demkian caranya
saudara memahami ayat Al-Qur’an maka bisa terjadi hukum itu menjadi kacau,
sebab ayat-ayat yang bentuknya semisal ayat yang saudara sebutkan itu banyak sekali.
Sebagai contoh umpamanya
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَاْلفَتْحُ وَرَأَيْتَ الناَّسَ
يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ اَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
وَاسْتَغْفِرُهُ
“Apabila datang
pertolongan Allah, dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk di dalam
agama Allah secara berbondong-bondong, maka bacalah tasbih dengan memuji
Tuhanmu Dan mohon ampunlah.”
Apakah saudara juga
akan berkata, “Mengapa kyai-kyai membaca Subhanallah Wabihamdihi? Astaghfirullah!
Toh pertolongan Allah belum datang, kemenangan juga belum datang?”
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرُ اَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لهَمُاَ اُفٍّ
“Kalau salah satu
daripada bapak ibu, atau kedua duanya telah sampai umur tua, berada pada
sisimu, maka jangan kamu bentak-bentak.“ (Surat Al Isra’ ayat 23)
Jelas bahwa orang
yang membentak kepada bapak ibu itu, digantungkan pada: kalau bapak ibu sudah
berumur tua dan berkumpul dengan anaknya.
Apakah saudara juga
akan berkata, “Mengapa kyai-kyai itu selalu melarang saya membentak bapak
ibuku, sedang bapak ibu tuh masih muda-muda dan tidak berkumpul bersamaku?”
Masih banyak contoh-contoh lain.
Adapun para ulama’
berfatwa, bahwa orang yang tidak berwudhu’, maka dilarang menyentuh atau
membawa Al-Qur’an, itu dasarnya adalah Ijma’ Al Aimatul Arba’ah, disamping
memang ada haditsnya yaitu: hadits yang diriwayatkan oleh Hakim ibnu Hazm:
إِنَّ النَّبِي صَليَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَمَسَّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Jangan engkau menyentuh
al-Qur’an kecuali engkau suci.”
(HR. At Thabrani Dan ad Darruquthni dan Al Hakim).
(HR. At Thabrani Dan ad Darruquthni dan Al Hakim).
Juga ayat
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
Kalau
ayat
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
Ini
saya kira tidak dapat digunakan sebagai dasar, sebab yang dimaksud adalah
Al-Qur’an pada waktu masih di Lauhil Mahfudl, dan Muthohharun adalah malaikat.
Jadi artinya kalam Allah di Lauhil Mahfud itu tidak dapat disentuh kecuali oleh
malaikat yang suci.
Saudara saya
persilahkan membaca ayat sesudahnya, yaitu:
تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
Jadi jelas bukan
Al-qur’an (Lauhil Mahfud). Tetapi Al-Qur’an yang diturunkan. Kalau yang
dimaksud dengan Muthoharun itu malaikat yang suci-suci berarti ada malaikat
yang tidak suci, padahal semua malaikat adalah suci. Lain dari pada itu kalam
Allah (Lauhil Mahfudl) itu tidak ada huruf dan suaranya, bagaimana itu bisa
disentuh? Baiklah, kalau saudara tidak mau menerima ayat tadi sebagai dasar
hukum, apakah haditsnya Hakim Ibnu Hazm juga tidak dapat dijadikan sebagai
dasar hukum?
BAGAIMANA HUKUMNYA TALQIN MAYIT, SETELAH MAYIT SELESAI DIKUBUR?
Talqin mayit, kalau
mayitnya muslim mukallaf, para ulama’ Ahlu Sunnah wal Jama’ah menetapkan
hukumnya sunnah. Dengan dasar ayat:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرى َتَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ
“Berilah peringatan,
sesungguhnya peringatan itu, manfaat bagi orang-orang mu’min.” (QS. Adz-Dzariyat
ayat 55)
Dan hadits yang
diriwayatkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ اْلمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ
اِسَتَغْفِرُوْا ِلاَخِيْكُمْ وَاسْئَلُوْا اللهَ لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ
اْلآنَ يُسْئَلُ
“Adalah Rasulullah
itu manakala selesai dari menanam mayit, maka berhentilah beliau di atas kubur
mayit itu (sejenak) Dan berkata, ”Mohon ampunlah kamu untuk saudaramu dan
mohonlah kepada Allah ketabahan bagi saudaramu, karena dia sekarang ini sedang
ditanya.”
(Hadits hasan HR. Abu Dawud)
Apa
gunanya orang sudah mati dan telah berada di dalam qubur mesti diperingatkan?
Sebab pada waktu itu,
dia sangat membutuhkan peringatan dan doa dari teman-teman yang masih hidup,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan Hadits tersebut.
Adakah
Hadits yang menerangkan bahwa pelaksanaan talqin itu sebagaimana yang berlaku
di kampung-kampung sekarang ini?
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang amat panjang. Oleh sebab itu
saudara saya persilahkan melihat sendiri di dalam haditsnya Thabrani ini atau
I’anatut Tholibin juz Tsani shohifah 14 (HR. At Thabrani)
عَنْ
أَبِي أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اِذَا اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي
كَمَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نَصْنَعَ
بِمَوْتَانَا. اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ
فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ
فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ
فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوْى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ
فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشَدَنَا يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ
لَاتَشْعُرُوْنَ فَلْ يَقُل اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا
شَهَادَتَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
وُاِنَّكَ رَصَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِااْلاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ
نَبِيًّا وَبِااْلقُرْاَنِ اِمَامًا فَاِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا
عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلَ اللهِ فَاِنْ
لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ اِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ: بَا فُلَانُ
بْنُ حَوَاءَ (رواه الطبرني في المعجم كبير،٧٩٧٩، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه احكام تمني ٩ بدون اي
تعليق
Dari
Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Jika aku kelak telah
meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita, seraya
bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan
tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada
bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulan”. Orang
yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka
tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi,
“Wahai fulan bin fulan”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam
kuburannya. Orang yang berada diatas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin
fulan”, maka si mayyit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan
selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku
rasakan disini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri diatas kuburan
itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar kealam dunia, engkau telah
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam adalah hamba serta Rosul Allah. (Kamu juga telah bersaksi)
bahwa engkau akan selalu ridho menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai
agamamu, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabimu, dan al –
Qur’an sebagai imam (penuntun jalan )mu. (Setelah dibacakan talqin ini )
malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah
kita kembali, apa gunanya kita duduk ( untuk bertanya) dimuka orang yang
dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki –
laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai
Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab,
“(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin
Hawa.”(HR. al – Thabrani dalam al – Mu’jam al – Kabir : 7979. Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam
Tamanni al – Mawt hal. 9 tanpa ada komentar dari para Ulama Hadits)
Apakah
Hadits yang diriwayatkan Thabrani itu tadi bukan Hadits dha’if?
Hal itu terserah pada
penilaian saudara. Akan tetapi meskipun dha’if tidak ada halangannya hadits itu
dipergunakan sebagai landasan, sebab masalah talqin itu termasuk Fadhoil A’mal.
Imam Ahmad Hambali wa
Ghoirihi minal aimmati pernah berkata, “Manakala kami meriwayatkan di dalam
soal-soal halal dan haram, maka kami perkeras penelitian kami, dan manakala
kami meriwayatkan di dalam Fadhoil maka kami peringan penelitian kami.”
Tadi
dibawa-bawa ayat di dalam surat Dzariyat. Bukankah yang dimaksud mukmin ini,
orang-orang mukmin yang masih hidup?
Apakah yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan mu’min itu orang-orang mu’min yang masih
hidup? Apakah bapak-bapak kita yang telah wafat itu tidak dapat disebut
orang-orang mu’min?
Bukan
begitu maksud saya. Maksud saya kalau orang-orang yang sudah mati itukan tidak
ada gunanya diperingatkan, sebab mereka sudah tidak dapat mendengar.
Saudara saya
persilahkan baca tarikh, pada waktu selesai perang badar, dan beberapa gembong
musyrikin telah dimasukkan ke dalam sumur, pada waktu itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mendekati sumur kemudian memanggil nama-nama
gembong-gembong tadi satu persatu dan kemudian berkata:
أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ أَطَعْتُمُ اللهَ
وَرَسُولَهُ )إِلَى أَخِرِ
مَا قَالَ(
Mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memanggil bangkai orang-orang musyrik itu, shahabat Umar
bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apa artinya berbicara dengan
bangkai-bangkai yang telah tidak bernyawa itu?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ
لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ. لَكِنَّكُمْ لاَيَسْتَطِيْعُونَ جَوَابًا
“Demi Allah, tidaklah
kamu itu lebih dapat mendengar apa yang kamu katakan daripada mereka, tetapi
mereka tidak dapat menjawab.”
Kalau
tarikh itu betul, apakah tidak bertentangan dengan ayat:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمَعٍ مَنْ فِى القُبُوْرِ
Tidaklah
engkau Muhammad, dapat memberikan pendengaran orang-orang yang berada di dalam
kubur
إِنَّكَ لاَتُسْمِعُ المَوْتَى
Sesungguhnya
engkau tidak dapat memberikan pendengaran kepada orang-orang yang mati
Ayat ini, tersebut
dalam surat Fathir ayat 22. Sebaiknya di dalam memahami sesuatu ayat, hendaknya
ayat sebelum dan sesudahnya, saudara datangkan pula, agar tidak menyalahkan
paham. Lain daripada itu, juga harus menggunakan tafsir yang mu’tabar. Baiklah
ini saya datangkan ayat-ayat itu berikut dengan tafsirnya:
)وَمَا يَسْتَوِى
الأَعْمَى وَالبَصِيْرُ(
al kafir wa Mu’min
)وَلاَالظُّلُمَاتُ(
al kafir
)وَلاَالنُّورُ(
al Iman
)وَلاَالظِّلُّ
وَلاَ الحَرُوْرُ(
al Jannah wa an Nar
(وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ وَلاَ
الأَمْوَاتُ)
al Mu’min wal Kuffar.
(إنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ)
هِدَايَتَهُ فَيُجِيبُهُ
بِالإِيِمَانِ (وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى القُبُورِ) اي الكُفَّارِ شَبَّهَهُمْ بِالمَوتَى فِى عَدَمِ الإِجَابَةِ (إنْ أَنْتَ
إِلاَّ نَذِيْرٌ)
Dengan tafsir ini
jelas bahwa (Man fil Qubur):
Orang-orang yang di
dalam qubur itu artinya orang-orang kafir yang disamakan dengan orang-orang
yang ada di dalam qubur, sama di dalam tidak menjawab panggilan Rasululah shallallahu
‘alaihi wasallam. Orang-orang kafir mendengar ajakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tetapi tidak menyambut baik. Abu Jahal dan kawan-kawannya
yang dimasukkan ke dalam sumur di Badar, juga mendengar panggilan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Tetapi mereka tidak dapat menjawab.
Ayat (An Nahl ayat
80):
إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ المَوتَى
Saya tuliskan ayat
itu berikut kelanjutan serta tafsirnya.
قَالَ الجَلاَلُ : ثُمَّ ضَرَبَ أَمْثَالَهُمْ )اي لِلْكُفَّارِ (
بِالمَوتَى وَبِالصُمِّ وَبِالعُمْيِ
فَقَالَ )إِنَّكَ
لاَتُسْمِعُ المَوتَى وَلاَ تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوا مُدْبِرِيْنَ)(وَمَا أَنْتَ بِهَادِى العُمْيِ عَنْ ضَلاَلَتِهِمْ إِنْ(مَا)تُسْمِعُ( سَمَاعَ إِفْهَامٍ وَقَبُولٍ )إِلاَّ مَنْ يُؤْمِنُ بِأَيَاتِنَا (القُرْآنِ )فَهُمْ
مُسْلِمُونَ(مُخْلِصُونَ بِتُوحِيدِ اللهِ.
Jelas bahwa yang
dimaksud dengan maut adalah orang-orang kafir. Mereka sesungguhnya mendengar
ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi tetap tidak iman.
Disamping itu coba perhatikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang ziarah qubur berikut ini:
وَعَنْ بُرْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المَقَابِرِ أَنْ يَقُولَ
قَائِلُهُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ
وَالمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّ إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ
لَنَا وَلَكُمْ العَافِيَةَ. رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Buraidah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu
memberikan pelajaran kepada orang-orang manakala mereka keluar ke qubur,
hendaknya salah satu dari mereka mengucapkan: “Assalamu’alaikum hai keluarga
desa dari orang-orang mukmin dan muslim. Sesungguhnya kami, Insya Allah, akan
menyusulmu. Kami memohon kepada Allah ta’ala keselamatan untuk kami dan untuk
kamu”.
Tolong pikirkan
sejenak kawan! Kalau sekiranya orang-orang mati itu tidak mendengar, apa
gunanya diberi salam. Doanya menggunakan kalimah Walakum (dlomir khitob), tidak
walahum (dlomir ghoibah). Apa itu artinya?
SHALAT HARI RAYA ITU SEBAIKNYA DILAKSANAKAN DI MASJID KAH ATAU
DI LAPANGAN?
Shalat hari raya itu
dilaksanakan di masjid boleh, di musholla atau di lapanganpun boleh. Tentang
mana yang lebih afdlol itu ada tafsil/perinciannya. Kalau masjid setempat
sempit, tetapi diantara umat Islam setempat terdapat orang-orang dloif/lemah,
sebab sudah tua agak sakit-sakitan sehingga berat untuk hadir di lapangan, maka
disamping shalat hari raya di lapangan juga diadakan di Masjid, untuk menampung
teman-teman yang dloif. Yang tersebut tadi kalau tidak kebetulan hujan. Kalau
terjadi hujan, maka shalat hari raya dilaksanakan di Masjid.
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أصَابَنَا
مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِى مسْجِدٍ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: “datang hujan pada kami sewaktu hari raya, maka
Rasulullah shalat dengan kami di dalam Masjid.”
Kalau Masjid setempat
luas, sehingga dapat menampung pengunjung shalat ied, maka dilaksanakan di
Masjid adalah lebih afdlol. Itulah sebabnya sejak dahulu hingga sekarang shalat
ied di Makkah dan Madinah selalu dilaksanakan di Masjid, karena Masjid adalah
lebih mulia dan lebih bersih daripada lapangan.
APAKAH SAH DAN TIDAK BID’AH UNTUK MENGUCAPKAN NIAT SHALAT PADAHAL
MESTINYA NIAT DENGAN HATI?
Niat
itu tempatnya di hati, dan memang seharusnya niat itu dengan hati, akan tetapi
saya dengar orang-orang bersembahyang di Masjid, niatnya dengan ucapan Ushalli
fardlo dzuhri dst. Sahkah itu?
Niat itu memang
tempatnya di hati. Kalau hanya ucapan Ushalli fardlo dzuhri dan seterusnya saja
itu namanya bukan niat.
Kalau
demikian, lalu apa gunanya baca Ushalli?
Gunanya untuk
menolong agar hati kita itu ingat mensahajakan, sebab manusia itu tempatnya
lupa. Apalagi di dalam niat itu, kita harus Ta’ridh dan Ta’yin. Untuk ingat
mensahajakan shalat berikut ta’ridh dan Ta’yin adalah tidak mudah.
Bagaimana
hukumnya kalau orang shalat tidak baca ushalli, tetapi sudah niat hati? dan
bagaimana hukumnya baca ushalli padahal juga juga niat dengan hati?
Shalat dengan niat
yang mencakup syarat, tanpa baca ushalli ila akhirihi hukumnya sah. Melengkapi
dengan bacaan ushalli ila akhirihi hukumnya mandub. Menurut keterangan
kitab-kitab fiqih yang menjadi pegangan para ulama’ seperti Fathul Qorib, Fathul
Mu’in dan lain sebagainya.
Tetapi
saya pernah membaca majalah berbahasa Indonesia. Di sana diterangkan bahwa
bacaan Ushalli ila akhirihi itu tidak baik, bahkan termasuk bid’ah yang sesat.
Hal itu terserah
kepada saudara. Kami dan saudara sama-sama mempunyai pegangan. Kami mempunyai
pegangan kitab-kitab Fathul Mu’in dan sebagainya. Dan saudara sama-sama
mempunyai pegangan. Saudara juga mempunyai pegangan majalah. Sayangnya ada
sedikit perbedaan yaitu Fathul Mu’in mengatakan bahwa tidak membaca Ushalli
juga boleh, dan tidak sesat, tetapai majalah yang saudara sebutkan mengatakan
bacaan Ushalli tidak baik dan sesat. Jadi Fathul Mu’in tidak menganggap salah
kepada orang yang tidak membaca Ushalli dan majalah tersebut mengangggap salah
kepada orang yang membaca Ushalli.
Sebabnya
dikatakan sesat dan dikatakan salah, karena menambah aturan-aturan di dalam shalat.
Keterangan saudara
itu tidak benar, karena shalat itu dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam. Jadi sebelum waktu takbir itu namanya belum shalat, sedang bacaan Ushalli
itu dilakukan sebelum Takbirotul Ihrom. Itu dengan kata-kata lain diucapkan di
luar shalat, dan sama sekali tidak mengganggu tata tertibnya shalat.
BAGAIMANA HUKUMNYA BACA MANAQIB?
Mengertikah saudara
arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod
manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak
perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib,
artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab
itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar
bin Khattab, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani,
manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada
orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau
demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya
manaqib?
Betul
tetapi cerita di dalam manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu
berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi
dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan,
diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara
melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syaikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang
bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita
tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari
unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa ‘alaihis
salam menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang
semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau
keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani
itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?
Baik Nabi Allah
maupun Syaikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang
tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara
dapat menghalang-halangi?
Apakah
selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang
menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat,
dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.
Adakah
dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan
hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan saudara
membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman ‘alaihis
salam yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ
بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى
لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ
فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi
di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para
roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan,
apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil
untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak
ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau
pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.
Akan tetapi kalau
dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak
ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts)
kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah
yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan
perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh,
dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha
Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui
Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada
atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang
demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang
ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping
mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya
kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti
itu.
Kalau saudara ingin
contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu,
seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu
tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah
Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah
aku maka akan Aku sambut kepadamu. (QS. Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka
sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (QS.
Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan
orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (QS. Al
Furqon: 68)
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi
kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian
sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di
bawah ini:
Saudara mempunyai
majikan yang kaya raya yang mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal
baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin
diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya
ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan
perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang
ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan
bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini
adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba
perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak
saudara menghadap majikan besar itu?
Ada dua orang
pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua
anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi
baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih
mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang
kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya
pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah
pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu
meminta?
Semoga
kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin,
terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar