Imam Ahmad rahmatullah ‘alaih berkata
: “Jangan sekali-kali engkau berfatwa
pada suatu masalah yang tiadalah engkau padanya seorang Imam,
jika ada suatu masalah engkau tidak
menemukan perkataan seseorang ulama salaf,
maka berfatwalah engkau padanya dengan perkataan Imam Syafi’i.”
MUQADDIMAH
Dengan nama Allah. Segala puji hanya milik Allah, dan Shalawat dan Salam tercurah atas Rasulullah dan atas keluarganya dan para shahabatnya. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita semua untuk sesuatu yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya.
Dan
sesudah itu:
Apabila
kita memahami hakikat permasalahan maka tiada seorang dari Imam yang Empat itu
yang keluar dari pada Madzhab Salaf, sama sekali tidak, karena mereka berpegang
pada satu prinsip; “Bahwa Sungguh Suatu Perkara Yang Telah Disepakati
(Ijmak/Konsensus) Atasnya Oleh Para Orang Dahulu Yakni Para Shahabat Dan
Tabi’in Itu Tidak Boleh Tidak Dari Pada Mengambilnya”.
Namun
bilamana suatu perkara telah berselisih padanya oleh shahabat dan oleh tabi’in
maka Imam Madzhab yang Empat tersebut memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya
menurut pemahaman mereka. Dan dalam hal ini tiap-tiap mereka pada yang demikian
itu ada aturan-aturan yang umum.
1.
IMAM HANAFI rahimahullah (80 –
150 H.) :
Bilamana
dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka pada kebanyakan masalah
Imam Hanafi memilih perkataan dua orang shahabat, yang pertama dan utama adalah
perkataan Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan yang kedua adalah
perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Kenapa
Imam Hanafi memilih perkataan Sayyidina ‘Ali?
Karena
Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menempati kedudukan yang tinggi pada
masalah ilmu, bahkan sangat banyak keutamaan Beliau pada ilmu. Hal ini
dibuktikan dengan pujian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ilmu.
Kenapa
Imam Hanafi memilih perkataan Ibnu Mas’ud?
Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memuji Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu dengan sabda Beliau: “Dan apapun yang dikatakan kepada kalian oleh
Ibnu Ummi ‘Abdi yakni Ibnu Mas’ud maka benarkanlah perkataannya.
Kenapa
Imam Hanafi memilih perkataan Sayyidina ‘Ali dan Ibnu Mas’ud?
Karena
keduanya adalah dua orang shahabat yang telah mengembangkan ilmu di negeri
Iraq, dan keduanya telah memberi faham ahli ilmu Iraq pada masalah agama di
sana beberapa tahun lamanya. Dari fakta ini maka sandaran kedua orang shahabat
tersebut kepada Imam Hanafi itu lebih dekat.
2.
IMAM MALIKI rahimahullah (93 – 179 H):
Bilamana
dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka pada kebanyakan masalah
Imam Malik memilih perkataan dua orang shahabat, yang pertama dan utama adalah
perkataan Sayyidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan yang
kedua adalah perkataan Ibnu ‘Umar yakni ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu.
Kenapa
Imam Malik memilih perkataan Sayyidina ‘Umar?
Karena
‘Umar radhiyallahu ‘anhu selalu bermusyawarah”. Hal demikian menunjukan
bahwa fatwa-fatwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu adalah fatwa-fatwa yang sudah
disepakati oleh kumpulan para Shahabat.
Kenapa
Imam Malik memilih perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar?
Karena
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berfatwa diantara kalangan
shahabat selama 40 tahun. Hal demikian menunjukkan bahwa sungguh para shahabat
mengetahui fatwa-fatwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, maka
tiada dari para shahabat Nabi yang mengingkarinya. Adapun perselisihan shahabat
dengan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang terjadi kemudian itu
bukanlah ia suatu keingkaran tetapi perbedaan hasil ijtihad seorang mujtahid.
Bilamana
dikalangan tabi’in terjadi khilaf pendapat maka Imam Malik memilih perkataan
Sa’id bin Musayyab rahimahullah.
Kenapa
Imam Malik memilih perkataan Sa’id bin Musayyab?
Karena
Sa’id rahimahullah adalah pembesar Tabi’in yang mengambil ilmu dari
pembesar Shahabat yakni Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lagi pula Sa’id
bin Musayyab rahimahullah pernah berfatwa pada masa shahabat masih
hidup. Inilah kepercayaan besar Imam Malik kepada fatwa Sa’id bin Musayyab rahimahullah.
3.
IMAM SYAFI’I rahimahullah (150 – 204 H) :
Bilamana
dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka Imam Syafi’i tidak
memberatkan pada memilih seseorang shahabat, karena semua shahabat Nabi adalah
bintang. Dan bintang mana saja yang diikuti maka orang itu berada dalam
petunjuk. Namun dari sejumlah perkataan shahabat dan tabi’in beliau menguatkan
perkataan yang lebih dekat kepada dalil yang khusus dari yang Beliau riwayatkan
dari Tabi’in dari Shahabat pada segala masalah. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa Imam Syafi’i tetap konsekwen dan tidak keluar dari perkataan shahabat.
4.
IMAM HANBALI rahimahullah (164 – 241 H)
Bilamana
dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka Imam Ahmad bin Hanbal
mengikuti konsep gurunya yakni Imam Syafi’i dalam hal tidak memberatkan pada
memilih seseorang shahabat. Namun bedanya adalah Imam Ahmad berfatwa dengan
perkataan siapapun dari perkataan shahabat yang sehingga dalam satu-satu
masalah terdapat beberapa pendapat Imam Ahmad. Banyaknya perkataan ini tentu
tidak lepas dari banyaknya perkataan dikalangan shahabat.
Kenapa
Imam Ahmad memilih perkataan Shahabat?
Karena
semangat besar Imam Hanbali bahwa Beliau tidak ingin mengeluarkan manusia pada
segala masalah yang dihadapi pada zamannya dari perkataan salaf. Dan adalah
Imam Ahmad sangat membenci bila seseorang berfatwa dengan sesuatu yang tidak
datang dari Imam-Imam terdahulu. Sehingga kepada orang-orang yang bermusyawarah
dengan beliau tentang bagaimana mereka berfatwa, maka Imam Ahmad berkata: “Jangan
sekali-kali engkau berfatwa pada suatu masalah yang tiadalah engkau padanya
seorang Imam, apabila pada suatu masalah engkau tidak menemukan perkataan
seseorang dari ulama salaf maka berfatwalah engkau padanya dengan perkataan
Imam Syafi’i.”
IJTIHAD
IMAM YANG EMPAT
Kemudian,
apabila mereka tidak mendapat suatu pendapat dari pendahulu mereka yakni dari
para shahabat dan tabi’in niscaya mereka berijtihad menurut sekira-kira kaedah
ijtihad disisi mareka. Ijtihad ini tentu suatu hal yang mesti dilakukan apabila
tidak didapatkan pendapat salaf. Ijtihad juga merupakan suatu jalan yang sudah
mendapat legitimasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
mengirim Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman.
IMAM
YANG EMPAT TERMASUK ULAMA SALAF
Dan
bila kita masih ingin memahami maka kita pun menyadari bahwa ternyata semua
imam yang empat tersebut adalah mereka dari jumlah ulama salaf.
Imam
Abu Hanifah yang lahir pada tahun 80 Hijriah diriwayatkan bahwa Beliau sempat
berjumpa dengan sebagian shahabat Rasulullah. Hal itu bermakna bahwa Imam Abu
Hanifah tergolong dalam tabi’in. Dan apabila Beliau bukan tabi’in maka Beliau
adalah bagian dari sebesar-besar murid tabi’in.
Imam
Malik yang dilahirkan pada tahun 93 Hijriah adalah bagian dari sebesar-besar
murid tabi’in pula. Imam Syafi’i bagian dari sekecil-kecil murid tabi’in, dan
Imam Ahmad bin Hanbal adalah bagian dari generasi sesudahnya.
Dengan
demikian dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
adalah ahli kurun yang tiga dari segala kurun yang diutamakan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam sabda Beliau: Sebaik-baik kalian adalah kurunku,
kemudian sesudah kalian, kemudian sesudah mereka. Dan pada satu riwayat ada
empat kurun, maka Imam Ahmad termasuk dalam kurun yang keempat.
Jadi,
seakan-akan seseorang Imam yang empat tersebut dilahirkan untuk suatu kurun
dari empat kurun yang diutamakan dan dikatakan baik oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Bila
mana Imam-Imam yang empat adalah bagian dari ulama salaf, yang lahir, hidup dan
wafat pada empat kurun yang utama maka mengikut madzhab mereka berarti
mengikuti manhaj salaf. Dan juga mengikuti madzhab mereka juga berarti
mengikuti manhaj shahabat karena mereka tidak keluar dari perkataan shahabat
kecuali pada perkataan-perkataan yang tidak dikatakan oleh shahabat.
Perbedaan
pendapat antara Imam-Imam yang empat yang hari ini tidak dimengerti oleh
sebagian kalangan umat Islam terutama mereka yang anti madzhab itu sebenarnya
didasari atas perbedaan diantara guru-guru mereka yang terdiri dari shahabat
dan tabi’in.
Akhirnya
kami mengajak semua umat Islam mari kita kembali kepada madzhab yang empat
karena madzhab yang empat sesungguhnya adalah madzhab salaf. Jangan tertipu
dengan seruan yang menyeru “kembali kepada manhaj salaf” jika seruan itu
mengarah kepada ada mata rantai dan sanad ilmu yang putus dan hilang.
Kebenaran itu datangnya dari Allah, maka janganlah kalian menjadi orang yang
ragu.
Dan
Allah yang maha tinggi yang lebih mengetahui. Segala puji bagi Allah pemilik
semesta alam.
Boleh
juga dibaca artikel dibawah ini untuk menambah kefahaman, insya Allah.
SECUIL
DALIL PEUSIJUK
MUQADDIMAH
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وأصحابه
وأتباعه ومن والاه، أما بعد،
Risalah
kecil ini ditulis atas permintaan beberapa ikhwan dan rekan untuk pegangan
dalam suatu amalan yang dilakukan. Untuk sekedar mudah mengingatkan maka kepada
risalah ini diberikan nama: “Secuil Dalil Tentang Peusijuk (Tepung Tawar)”.
Semoga
risalah ini ada manfaatnya bagi masyarakat Islam semua. Dan semoga disampaikan
pahalanya kepada penulis, kepada orang tua penulis, semua guru-guru penulis,
semua rekan, shahabat dan ikhwan dan seluruh kaum muslimin dan muslimat
semuanya. Amin.
DALIL
YANG MEMBOLEHKAN PEUSIJUK (TEPUNG TAWAR)
Peusijuk
(tepung tawar) merupakan satu perbuatan yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama
Islam sejak masa lampau. Namun belakangan ini perbuatan tersebut terusik oleh
ide-ide dan pemikiran sebagian kelompok Islam yang menganggap diri mereka
pendiri sunnah dan seakan sangat mengerti dengan dalil-dalil agama, sehingga
suatu amalan yang menurut mereka tidak ada dalilnya itu langsung dianggap
bid’ah, dianggap kufur, kurafat dan syirik. Mereka tidak perduli walaupun
perbuatan tersebut sudah dilakukan berabad-abad lamanya dan pelakunya adalah
ulama-ulama umat ini. Bahkan, jika ada sebagian orang awam berdalil dengan
perbuatan ulama-ulama terdahulu maka mereka menvonis bahwa orang awam tersebut
telah mengambil agama dari jalur yang salah yaitu dari ulama-ulama, bukan
Salafuna Shalih radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan bukan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Peusijuk
bukanlah perkara yang sangat penting dilakukan lalu dijadikan pembahasan, namun
mereka benar-benar kurang pekerjaan selalu mengusik dan bertanya tentang amalan
yang sudah menjadi adat dalam masyarakat yang tidak menyalahi dengan hukum
Islam. Dimana saja mereka melihat peusijuk, maka selalu dilihatnya dengan
pandangan sinis dan sadis karena menurut mereka bahwa dengan melakukan itu maka
pelakunya adalah penghuni neraka. Lalu mereka sibuk bertanya tentang dalilnya.
Wahai
kaum muslimin semua dan kaum yang melaksanakan peusijuk pada khususnya.
Ketahuilah
bahwa jika mereka bertanya-tanya tentang dalil peusijuk itu cukup menjadi bukti
bagi kita bahwa mereka bukan orang-orang yang mengerti dengan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi menguasainya dan mendirikannya.
Jika
mereka paham dengan sunnah maka kenapa mereka bertanya dalil peusijuk? Apa
mereka tidak baca dalam kitab-kitab hadits tentang hukum dasar peusijuk.
Berikut
ini kami nukilkan dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melakukan peusijuk terhadap Sayyidatina Fathimah radhiyallahu ‘anha dan
Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu sa’at keduanya menikah, yaitu:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بن حَمَّادٍ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بن يَعْلَى
الأَسْلَمِيُّ، عَنْ سَعِيدِ بن أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ،
عَنْ أَنَسِ بن مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي
وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ،
أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ:
هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ:
مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ
مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ
عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا
ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى
أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا
إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ
عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، فَقَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ،
فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي،
وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ
وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ:
تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي،
يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ
فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ،
فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ
أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ،
وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي
رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ
مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ،
فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي،
فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ
إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ
ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ
قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ،
ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ
قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ،
فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ
مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ
قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ،
ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ. (المعجم الكبير:
للإمام الطبراني)
Artinya:
Telah mengabarkan kepada kami oleh Muhammad bin ‘Abdullah al-Khazramiy, telah
mengabarkan kepada kami oleh al-Hasan bin Hammad al-Khazramiy, telah
mengabarkan kepada kami oleh Yahya bin Ya’la al-Aslamiy, dari Sa’id bin Abi
‘Arubah, dari Qatadah dari al-Hasan dari Anas bin Malik berkata ia: Telah
datang Abubakar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka duduk ia
dihadapan Nabi, lalu berkata: Ya Rasulallah! Sungguh engkau mengetahui akan
menasehatiku dan kakiku dalam Islam, dan bahwa sungguh aku, dan bahwa sungguh
aku, (disini Abubakar tergagap-pent). Dan Rasulullah bertanya: dan apa itu?
Maka Abubakar menjawab: Kawinkah aku dengan Fathimah. Maka Rasulullah diam atau
berpaling dari Abubakar. Maka kembalilah Abubakar kepada ‘Umar, lalu berkata:
Celakalah aku, dan Celakalah engkau. ‘Umar berkata: apa itu?. Abubakar
menjawab: aku meminang Fathimah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka beliau berpaling daripadaku. Maka ‘Umar berkata: tetap engkau disini
sehingga aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku meminta
seumpama permintaan engkau. maka datanglah ‘Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka duduk ia dihadapan Nabi, lalu berkata: Ya Rasulallah!
Sungguh engkau mengetahui akan menasehatiku dan kakiku dalam Islam, dan bahwa
sungguh aku, dan bahwa sungguh aku, (disini ‘Umar tergagap-pent). Dan
Rasulullah bertanya: dan apa itu? Maka ‘Umar menjawab: Kawinkah aku dengan
Fathimah. Maka Rasulullah berpaling dari ‘Umar. Maka kembalilah ‘Umar kepada
Abubakar, lalu ‘Umar berkata: sesungguhnya Rasulullah itu menunggu perintah
Allah pada urusan Fathimah. Berangkat kami kepada ‘Ali sehingga kami perintah
‘Ali untuk meminta apa yang sudah kami minta. Berkata ‘Ali: maka keduanya
datang kepadaku sedang aku berada di jalan. Maka keduanya berkata: anak (cucu)
perempuan paman engkau itu engkau pinang. Maka keduanya memperhatikan aku satu
pekerjaan. Maka aku berdiri sambil menarik ridakku, satu ujung diatas leherku
dan satunya lagi pada bumi, sehingga aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka aku duduk dihadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
Maka aku berkata: Ya Rasulallah! Sungguh engkau mengetahui akan kakiku dalam
Islam dan menasehatiku, dan bahwa sungguh aku, dan bahwa sungguh aku, (disini
‘Ali pun tergagap-pent). Dan Rasulullah bertanya: dan apa itu wahai ‘Ali? Maka
aku (‘Ali) menjawab: Kawinkah aku dengan Fathimah. Maka Rasulullah berkata: dan
apa yang ada bersamamu (sebagai mahar-pent)? Aku berkata: Kudaku dan baju
besiku. Rasulullah berkata: adapun kuda engkau maka tidak boleh tidak bagi
engkau daripadanya. Dan adapun baju besi engkau maka jual olehmu baju tersebut.
Maka aku jual baju tersebut dengan 480 (dirham-pent). Maka aku membawanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka aku meletakkannya dalam pangkuan
beliau, maka beliau menerimanya, lalu berkata: wahai Bilal! Beritahu olehmu
kepada Fathimah secara baik, dan perintah olehmu akan mereka supaya mereka
mempersiapkan Fathimah. Maka Bilal membuat untuk Fathimah ranjang yang dijalin
dengan pita, bantal dari sepotong kulit yang diisi didalamnya dengan sabut
(jerami atau rumput kering), menimbuni kamar dengan pasir. Dan Rasulullah
berkata, apabila Fathimah datang kepada engkau maka jangan engkau ucap apapun
kepadanya sehingga aku datang akan engkau. Maka datanglah Fathimah bersama Ummu
Ayman, maka duduklah ia pada sisi kamar, dan aku pada sisi yang lain. Maka
datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: Disini saudaraku.
Maka berkata Ummu Ayman: saudara engkau (yakni ‘Ali) sungguh engkau kawinkan
akannya dengan putri engkau (yakni Fathimah). Maka masuklah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan berkata kepada Fathimah: Bawalah olehmu kepadaku akan air! Maka
Fathimah pun berdiri menuju kepada gelas besar didalam kamar, maka menuangkan
kedalamnya akan air, maka dibawanya air tersebut kepada Rasulullah maka
Rasulullah meludahi dalam air tersebut, kemudian berkata kepada Fathimah:
Luruslah kamu, maka memercikkan ia akan air diantara dua dada Fathimah dan atas
kepada Fathimah, kemudian berkata: Ya Allah sesungguhnya aku memohon dengan
Engkau perlindungan untuk Fathimah dan juga untuk keturunannya daripada
syaithan yang terkutuk. Kemudian Rasulullah berkata kepada Fathimah,
berbaliklah engkau (yakni membelakangi Rasul), maka Fathimah pun berbalik, maka
Rasulullah memercikkan air diantara dua bahunya, kemudian berkata: Ya Allah
sesungguhnya aku memohon dengan Engkau perlindungan untuk Fathimah dan juga
untuk keturunannya daripada syaithan yang terkutuk. Kemudian Rasulullah berkata
(kepada ‘Ali); bawakan air kepadaku!, maka aku melakukan apa yang dikehendaki
oleh beliau, maka aku penuhkan gelas dengan air maka aku bawa kepada
Rasulullah, maka Rasulullah mengambil air itu dengan mulutnya, kemudian meludah
kembali air tersebeut kedalam gelas, kemudian menuangkan ia diatas kepalaku
(kepada ‘Ali), dan diantara dua dadaku, kemudian beliau berkata: Ya Allah
sesungguhnya aku memohon dengan Engkau perlindungan untuk “Ali dan juga untuk
keturunannya daripada syaithan yang terkutuk. Kemudian ia berkata: masuklah
engkau wahai ‘Ali kepada keluargamu (yakni Fathimah) dengan Nama Allah dan
Berkat. (lihat kitab al-Mu’jam Kabir karangan Imam Thabraniy).
Setelah
dalil diatas mereka bacakan maka mereka masih tetap tidak percaya dan ujung-ujungnya
mereka katakan itu hadits dha’if atau bahkan maudhu’ yakni palsu. Dan jika
hadits tersebut mereka anggap shahih maka amalan peusijuk yang dilakukan hari
menurut mereka tetap tidak ada dalilnya karena peusijuk yang dilakukan hari ini
bukan seperti peusijuk yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits.
Diantara
perbuatan yang tidak mereka terima dalam peusijuk adalah: memakai Daun
Sedingin, Rumput “Seumbo”, Daun Pandan, Batang Talas, Tunas Pinang, Bunga,
Inai, Emas, Beras & Padi, Garam, Gula, Minyak Wangi, Kunyit, Limau Purut,
Kemenyan, Kapas, Tepung Tawar / Bedak, Air, Kaki Ayam, Hati Ayam dan
sebagainya.
Kenapa
mereka tidak menerima peusijuk semacam ini? Karena pemahaman mereka terhadap
nash secara tekstual. Mereka tidak membolehkan tafaul karena mereka tidak
mengerti apa itu tafaul.
Jika
mereka mengerti tafaul maka mereka akan berkata:
1. Daun
Sedingin: bersifat dingin dan aman ketika dimanfaatkan.
2. Rumput
Seumbo: bisa tumbuh ditanah yang keras dan tetap tegar dalam segala masalah.
3. Daun
Pandan: kehadirannya menyedapkan dan mendatangkan kewangian bagi yang lain.
4. Batang
Talas: cepat berkembang dan batangnya selalu bermanfaat.
5. Tunas
Pinang: kuat dan lurus bermanfaat.
6. Bunga:
selalu wangi dan sangat disenangi.
7. Inai:
kuat manfaat dari segi apapun.
8. Emas:
barang yang dituju sesuatu yang sangat berharga.
9. Beras
& Padi: makanan pokok yang berkembang banyak dan selalu dimanfaatkan.
10. Garam:
sesuatu yang menyedapkan semua makanan dan memuaskan.
11. Gula:
barang yang dituju agar mendapat kesenangan.
12. Minyak
Wangi: selalu diagungkan.
13. Kunyit:
cepat berkembang serta makmur.
14. Limau
Purut: membawa kebahagiaan.
15. Kemenyan:
disukai Malaikat pembawa rahmat.
16. Kapas:
beban yang berat jadi ringan.
17. Tepung
Tawar/Bedak: semoga dihias dengan kebahagiaan.
18. Air:
semoga selalu dalam hak Allah.
19. Kaki
Ayam: giat mencari rizki yang halal.
20. Hati
Ayam: agar terbolak-balik hati.
Mereka
juga tidak menerima ini juga karena mereka tidak membedakan Islam yang bersifat
ajaran dan Islam yang bersifat Kultural.
Contohnya
adalah bersedekah. Bersedekah adalah perintah Rasul, dan ini dinamakan ajaran.
Tetapi apa dan bagaimana serta dalam bentuk apa kita bersedekah itu bergantung
kepada kultur dan budaya setempat, maka ini dinamakan kultural.
Begitulah
dengan peusijuk. Peusijuk itu ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagaimana hadits diatas, dan ini dinamakan ajaran. Tetapi
bagaimana cara peusijuk untuk daerah kita maka itu kembali kepada kultural.
Namun hal itu tentu dengan menjaga agar tidak memasukkan kedalamnya akan
hal-hal yang dilarang.
Jika
mereka katakan bahwa peusijuk itu berasal dari agama Hindu maka kepada mereka
kita katakan:
1. Sebelum
Islam masuk ke Nusantara, maka orang di Nusantara adalah orang Hindu, agamanya
Hindu, bangsanya Hindu, budayanya Hindu dan orang-orangnya pun Hindu. Maka
ketika orang yang tadinya Hindu itu di-Islamkan oleh para pembawa Islam maka
seluruh atribut Hindu pun di-Islamkan sampai kepada budayanya pun di-Islamkan.
Maka acara peusijuk yang dilakukan Hindu yang memanggil-manggil dewa maka
diganti dengan doa dan kepada Tuhan. Makanan yang menurut Hindu dibuat sebagai
persembahan, maka diganti bahwa makanan itu tetap untuk dimakan sebagai
keberkatan. Jika mereka tanyakan darimana sumber peusijuk yang dibawa oleh
pembawa Islam itu? maka tanyakan kepada mereka darimana sumber Islam yang
dibawa oleh pembawa Islam.
2. Jangan
terpengaruh dengan cerita-cerita agama lain yang mengatakan bahwa agama mereka
adalah agama tertua didunia. Jika pengaruh ini telah merasuk kita maka akan
sangat banyak ajaran agama ini harus kita tinggalkan karena kita anggap berasal
dari mereka. Ada seorang yang beragama Hindu yang kemudian masuk Islam ditangan
saya. Setelah masuk Islam dia bercerita bahwa “Batu Hitam (Hajar Aswad) itu
menurut dia adalah Dewa Siwa sembahan Hindu, dan batu itu berasal dari India.”
Nah.. coba bayangkan jika saya tidak mengerti asal usul Hajar Aswad, maka
mungkin saya sudah berkata “celakalah orang Islam mengagungkan batu sembahan
Hindu”. Tetapi itu tentu tidak saya lakukan dan kepada muallaf itu saya katakan
bahwa batu itu berasal dari syurga, kami memuliakan batu itu tetapi bukan
menyembahnya.
Demikianlah
yang kami sampaikan yang sungguh masih sangat jauh dari harapan tetapi
mudah-mudahan berguna bagi mereka yang mencari jalan kebenaran.
سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ
Sampaikan
Tulisan Ini Kepada Kawan Dan Lawan Untuk Mewujudkan Kebenaran
Oleh
Tgk. Kasman ‘Arifa Abdya.
Penulis
adalah Guru Dayah Darul Khairat & Imam Meunasah Kota Bireuen. Bireuen,
12 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar