Pages

Jumat, 02 Oktober 2015

223. BAYAN MAULANA SAAD AL KANDAHLAWY

Dari Musyawarah Indonesia Nizamuddin Tahun 2006
TA’ZHIM WAL IHTIRAM.
Dalam setiap bayan ini yang Allah mau adalah bukan hanya mendengarkan tetapi juga dilakukan atau diamalkan. Kita dengarkan lalu kita amalkan, ini yang Allah mau. Di dalam Al Quran Allah menyindir bahwa mereka mengatakan, “Kami mendengarkan”, padahal mereka tidak mendengarkan. Ilmu itu tuntutannya adalah taat pada Allah. Oleh karena itulah hakekat mendengarkan ini adalah bagaimana semua yang kita dengarkan ada dalam kehidupan kita. Yang kita dengar ini bukan untuk pengetahuan, tetapi untuk diamalkan. Apa yang didengarkan untuk diamalkan. Kadang-kadang kita beramal dan kita tahu fadhilah amalan tersebut sangat besar, namun ada kalanya kita beramal tetapi kita tidak tahu fadhilahnya, ini sangat sayang sekali.
Contoh hari ini adalah hari jum’at, apa fadhilahnya Mandi Jum’at? Dengan Mandi Jum’at, maka akan mengeluarkan dosa-dosa kita dari ujung-ujung rambut kita yang tumbuh, bahkan dari akar-akarnya rambut ataupun bulu-bulu di tubuh kita akan keluar dosa-dosa. Padahal akar-akar rambut ini tidak mengeluarkan dosa, namun kalaupun ada akan keluar juga, dosa-dosa kita berguguran.
Kita sudah lakukan ini semua, tetapi fadhilahnya kita tidak tahu. Amal yang dilakukan tanpa Fadhilah tidak akan ada Ihtisab. Ihtisab itu apa ? Yaitu harapan pada Allah. Kita melakukan suatu amalan, tetapi tidak memperhatikan fadhilahnya, maka ini hanya akan menjadi adat  kebiasaan saja. Kita beramal karena suasana saja, kita terbawa dalam amal oleh suasana saja, tanpa Ihtisab. Kita sedang shalat, tiba-tiba ada non-muslim mengikuti kita ikut shalat berjamaah. Kita tanya, “kenapa kamu ikut shalat berjamaah?” Dia jawab, “Saya ingin melakukan apa yang kamu lakukan.” Begitu saja jawabannya, tanpa memahami maksudnya dan fadhilahnya. Ini namanya terbawa suasana. Bukan seperti ini yang diinginkan, dimana beramal karena adat ataupun karena terbawa suasana. Yang diinginkan adalah bagaimana orang itu beramal dengan merubah semua yang tadinya hanya sebagai adat atau kebiasaan menjadi Ibadah. Bagaimana merubah adat atau kebiasaan menjadi ibadah ? Caranya adalah dengan menghadirkan Ihtisab, Ikhlas, dan Ihsan.
Ibadah harus dilakukan dengan sifat. Apa sifatnya ? Sifatnya adalah Ihtisab, Ikhlas, dan Ihsan. Inilah sifat ibadah. Jadi dalam beribadah harus ada pengharapan, keikhlasan dan ihsan. Apa itu ihsan ? Bagaimana seseorang yang melakukan amal, dan didalamnya ada Allah. Setiap beramal merasa melihat Allah atau tertuju kepada Allah. Setiap beramal pandangan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ini nantinya akan mendatangkan khusyu. Ini akan memperindah amalan kita. Seseorang mengatakan ingin bertemu dengan Allah. Maka untuk dapat mencapai itu, dalam ibadahnya hendaknya dia jangan sekutukan sesuatu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila orang keliling dunia dan dia ingin mendapatkan Allah subhanahu wa ta’ala, maka ibadah dan amalnya akan mendatangkan kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, selama ada ketawajjuhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan tawajjuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam setiap ibadah, maka semua akan menjadi dzikir. Apabila dalam ibadah tidak ada tawajjuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka akan ada ghaflah (lalai). Ibadah-ibadah yang ghaflah tanpa ketawajjuhan, akan menjadi kebiasaan. Amal dilakukan seharusnya menjadi ibadah bukan menjadi kebiasaan. Maka perlu sebelum kita melakukan amal, hadirkan fadhilahnya. Lalu kalau mau melakukan dosa, maka fikirkan, bayangkan, siksanya di akhirat nanti. Setiap mau melakukan maksiat fikirkan, “Bagaimana ini kalau maksiat kuat tidak menahan adzabnya nanti di akhirat ?” Begitu juga kalau mau melakukan kebaikan, fikirkan pahalanya dan balasannya di akhirat nanti. Inilah yang seharusnya kita lakukan yaitu membawa amal pada janji Allah subhanahu wa ta’ala.
Janji Allah dan AncamanNya.
Kebanyakan dari kita beramal tapi kosong dari fadhilah, sehingga amal lewat begitu saja. Beramal yang dilakukan hanya sebagai adat atau kebiasaan dan tidak ada pengharapan kepada Allah. Begitu juga ketika melakukan maksiat, tidak ada sangkutan pada ancaman, sehingga ketika melakukan maksiat santai saja, tidak menganggap bahwa itu akan mendatangkan ancaman besar di akherat. Oleh karena itu, kita berupaya bagaimana dalam setiap amalan, kita hadirkan fadhilahnya. Kita jadikan setiap amalan ini menjadi dzikir. Apa itu dzikir ? Yaitu tawajjuh kepada Allah dalam hati. Jika dalam setiap amalan ini ada ketawajuhan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hati, maka setiap amal ini akan menjadi dzikrullah.
Kita berdzikir dengan lisan maksudnya apa ? Hal ini agar ada ketawajuhan dalam hati. Begitu juga ketika kita mendengarkan bayan ini, ceramah ini, diperlukan ketawajjuhan agar menjadi dzikir. Bagaimana ketika kita mendengar bayan ini menjadi dzikir? Caranya telinga ini dzikirnya adalah dengan mendengar. Oleh karena itu ketika kita membaca Al Quran pahalanya lebih tinggi dengan melihat dibanding hanya dengan mendengar, karena matanya pun ikut berdzikir, bukan telinga saja. Jadi dzikir mata ini adalah dengan melihat. Ketika kita membaca Al Quran ini kita melihat langsung dan mendengar langsung, mata dan telinga ada ketawajjuhan, inilah dzikir mata dan telinga. Beda kalau hanya dengan mendengar bacaan Al Qur’an saja. Ketika kita membaca Al Quran, mata kitapun digunakan untuk berdzikir. Jadi melihat itu dzikir mata, mendengar itu dzikir telinga, dan membaca didzahirkan secara lisan itu dzikir mulut. Hanya dengan membaca Al Quran kita mendapatkan tiga keutamaan dzikir dari mata, mulut, dan telinga.
Bagaimana kita gunakan seluruh anggota tubuh kita ini untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, inilah yang dinamakan dengan Ahli Dzikir. Kita fikirkan bagaimana setiap anggota tubuh kita ini ada ketaatan pada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga setiap geraknya menjadi dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.  Maka ketika kita mendengarkan bayan saat ini kita jadikan dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala yaitu dengan ketawajjuhan. Apabila kita bisa mendengarkan dengan tawajjuh, maka nanti Allah akan memberikan hidayah. Kita mendengar sekarang ini supaya kita dapat hidayah. Mendengar untuk dapat hidayah. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan hidayah bagi orang yang mendengarkan dengan penuh tawajjuh. Maksudnya mendengarkan dengan penuh perhatian. Apa yang sekarang kita dengarkan ini akan menjadi dzikrullah, dan apa yang kita dengarkan  kita niatkan untuk diamalkan. Tabligh itu bukan hanya sekedar untuk menyampaikan saja. Tidak! Tabligh itu untuk apa ? Untuk diamalkan. Tabligh itu bukan untuk belajar bayan atau takrir, tetapi untuk belajar amal. Orang yang ahli takrir dan ahli bayan itu berarti ahli tabligh, bukan itu yang diinginkan, tetapi ahli takrir dan ahli bayan itu seharusnya ahli amal. Ahli Tabligh itu adalah Ahli Amal. Takrir itu sama dengan Ta’lim yaitu kita mengajarkan amal pada ummat. Menta’limkan orang dengan praktek, yaitu bagaimana ta’lim itu seharusnya dilakukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya mengajarkan dengan praktek, dengan amal. Bagaimana kita melakukan ta’lim ? Yaitu dengan amal. Menta’limkan pembicaraan itu dengan apa ? Dengan amal, dengan praktek. Oleh karena itu, Tabligh dilakukan semuanya dengan Amal bukan dengan pembicaraan. Seorang yang menyampaikan amalan, maka  dilakukan dengan amalan itu pula. Menularkan amalan itu kepada orang lain, bukan hanya dengan bicara saja, tetapi dengan amal. Jika kita mengamalkan, maka orang lain akan tertular untuk mengamalkan. Maka dalam dakwah perlu kita tekankan pengamalan, sehingga muncul keyakinan terhadap amal. Apabila kita terus berada dalam amalan-amalan, maka nanti akan Allah munculkan Hakikat dalam Hati, yaitu Keyakinan dalam Hati. Barang siapa yang bersungguh-sungguh di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, maka nanti Allah subhanahu wa ta’ala akan berikan dia hidayah. Dengan sungguh-sungguh dan amal yang lurus, baru Allah berikan hidayah :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al Ankabut : 69)
TASHDIQ WAL YAKIN.
Hidayah dijanjikan oleh Allah akan diberikan kepada orang yang serius atau bersungguh-sungguh dalam dakwah. Kita ini bertabligh dengan amalan, sehingga hakikat atau keyakinan ini masuk dalam hati. Sangat penting untuk kita sampaikan pertama kali dalam setiap pembicaraan adalah tentang keimanan, yaitu mendakwahkan kalimat “Laa ilaaha illallaah”. Tanpa Iman :
    Amal tidak mungkin istiqamah
    Amal tidak akan mendapatkan pahala.
    Amal tidak akan diterima.
    Apa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan disempurnakan.
Janji-janji Allah akan disempurnakan, pahala besar akan diberikan, amal akan mendatangkan qabuliat (penerimaan), dan amal akan istiqamah, syaratnya adalah Iman. Makin baik Iman  kita, makin banyak Ihtisab (pengharapan). Makin banyak Ihtisab, maka makin banyak pahala. Orang yang tidak ada ihtisab dalam amal, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal tidak akan mendapatkan pahala tanpa ihtisab, karena dalam amal tidak ada pengharapan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Amal yang tidak berpahala adalah amal yang tidak disertai dengan pengharapan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas janji-janji Allah subhanahu wa ta’ala.
Sejauhmana keimanan ini bisa mendatangkan keikhlasan? Perlu diketahui bahwa tanpa iman tidak akan dapat ikhlas. Orang tidak beramal, karena lemahnya iman. Orang melaksanakan suatu amal, karena adanya iman. Buahnya iman, hasilnya adalah keistiqamahan, karena pandangannya tertuju kepada yang paling tinggi, paling atas, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang beramal sedikit, pandangannya bukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang riya’ ketika beramal, maka amalnya akan sedikit sebab pandangannya bukan tertuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang riya’, dzikirnya tidak kepada Allah, sehingga amalnya akan sedikit dan pandangannya tertuju bukan pada Allah, sehingga amal yang dilakukannya pada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Semakin lemah iman seseorang, semakin kecil kemungkinan hakikat masuk dalam hati. Karena lemahnya iman, maka amalan ini akan kemasukan riya’. Karena lemahnya iman, maka yang dilihat bukan Allah. Iman semakin bertambah atau meningkat, maka khidmat juga akan bertambah atau meningkat, kalau tidak maka akan kemasukan riya’.
Dalam hadits dikatakan bahwa “Riya yang paling rendah itu adalah Syirik”. Namanya syirik itu dosa dan Allah tidak mengampuni dosa syirik. Syirik itu membawa seseorang kepada Jahannam, sedangkan iman ini membawa seseorang ke surga. Amal yang ada syiriknya akan membawa seseorang kedalam neraka. Semua bentuk kesyirikan akan menjatuhkan dia kedalam neraka. Oleh karena itu, perlu diperhatikan amal yang lurus. Ada yang namanya syirik yaitu menyembah berhala. Ini jenis syirik yang semua orang tahu yaitu syirik berhala. Jenis syirik ini semua orang tahu bahwa dia beribadah dan menyembah kepada selain Allah. Syirik berhala ini, kita dapat melihat wujud penyembahannya kepada patung atau sejenisnya. Anak kecilpun bisa mengetahui hal ini, bahwa yang disembah bukan Allah, yang disembah selain Allah. Semua orang islam tahu bahwa syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lain. Namun ada jenis syirik lain, yang namanya syirik amali atau syirik amalan. Syirik amalan ini berawal dari riya’, dan syirik amalan ini ada dalam kehidupan orang islam.
Apakah sebabnya seseorang mampu beramal ? Disinilah letak perbedaannya, apakah dia tawajjuh kepada Allah atau beramal untuk selain Allah. Kalau dia beramal untuk selain Allah inilah yang namanya syirik amalan, itulah riya’. Caranya bagaimana menjaga amalan ? Kita beramal dengan niat hanya kepada Allah, dan kita berharap Allah terima amal kita. Orang yang beramal tanpa niat, dianggap tidak ada amalan.
Macam-macam Syirik.
Dengan iman kita luruskan niat kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan syirik itu ada 2 macam :
    Syirik Berhala : Beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
    Syirik Amal : Beribadah untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Apa maksudnya beribadah untuk selain Allah ? Yaitu jasadnya seakan-akan beribadah kepada Allah, tapi hatinya kepada selain Allah. Amalnya itu tujuannya untuk mendapatkan ridho selain Allah. Inilah tanda riya’, dan orang beramal dengan riya’ ingin di puji oleh selain Allah. Seharusnya dalam beramal hanya mengharapkan pujian dari Allah. Padahal ketika kita beramal, merupakan bantuan dari Allah, tanpa pertolonganNya tidak mungkin bisa beramal. Yang diinginkan, ketika beramal memuji Allah, dan setelah selesai beramal juga memuji Allah, sebab dia bisa beramal karena karunia dari Allah. Sedangkan orang riya’, dia beramal ingin dipuji selain Allah. Beramal untuk mahluk, dengan keinginan mendapatkan pujian dari mahluk.
Amal ini akan mendatangkan pahala jika ada iman. Tanpa iman tidak akan ada ihtisab, pengharapan kepada Allah. Yang ada adalah ghaflah (lalai). Qabuliat (dikabukannya) amal terjadi jika ada iman. Amal itu dikabulkan karena ada ikhlas. Ikhlas ini juga didapatkan dengan iman. Jika ada iman, maka akan ada keistiqamahan.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushilat: 30)
Kehormatan ayat ini Allah berikan kepada siapa ? Kepada orang yang yakin pada Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang meyakini semua perkataan Allah subhanahu wa ta’ala  adalah benar. Orang yang dalam setiap keadaan selalu mendahulukan Allah. Orang yang meyakini bahwa segala sesuatu ini milik Allah dan kerja Allah subhanahu wa ta’ala. Semua yang terjadi ada dalam genggaman dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Umumnya ketika melihat kekuasaan, maka orang-orang akan melihat bahwa ini adalah perintah dari pemerintah. Namun orang yang yakinnya pada Allah ketika melihat kekuasaan, maka dia akan segera mentawajjuhkan dirinya kepada Allah, bahwa semua kekuasaan ini adalah milik Allah. Ketika orang pada umumnya mendapatkan perintah dari pemerintah, maka dia akan merasa terpaksa mengerjakannya. Orang pada umumnya melihat keadaan, ahwal, bukan melihat perintah, dan ini keliru. Ketika orang tersebut mengerjakan perintah, maka dia mengerjakan dengan terpaksa.  Kenapa ? Karena keadaan. Hal ini disebabkan karena keyakinannya yang kurang kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga dalam beramal yang dilihat ahwal (keadaannya), bukan perintah Allah dalam keadaan pada waktu itu.  Akibatnya kebanyakan orang pada umumnya akan ikut pada pemerintah dalam beragama. Inilah yang kebanyakan terjadi hari ini. Padahal seharusnya pemerintah ikut pada agama bukan agama mengikuti pemerintah.
Jadi orang akan bisa istiqamah sesuai dengan kekuatan imannya. Istiqamah ini hanya bisa dilakukan dengan keyakinan. Jika ada keyakinan maka keistiqamahan akan datang. Mengapa demikian ? Orang yang imannya kuat maka pengharapannya pada Allah akan besar, dan sangkaannya akan kuat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Ia akan berprasangka yang kuat bahwa Allah akan memenuhi janjiNya. Orang berani meninggalkan perintah Allah, karena dia tidak meyakini dalam perintah Allah ini ada kejayaan. Padahal Allah subhanahu wa ta’al memberi sesuai dengan prasangkaan hambaNya. Orang yang mempunyai iman, maka dia akan berprasangka yang kuat terhadap Allah, sedangkan yang lemah iman tidak akan mempunyai prasangka yang kuat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Kisah Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu :
Suatu ketika terjadi kebakaran di sekeliling rumahnya Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu  diberitahu bahwa rumahnya terbakar. Abu Darda’ katakan, “Tidak mungkin rumah saya terbakar, saya tidak percaya kalau rumah saya kebakaran.” Kemudian datang lagi orang memberitahu, “Wahai Abu Darda rumah kamu terbakar.” Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu kembali katakan, “Saya tidak percaya rumah saya terbakar, tidak mungkin rumah saya terbakar.” Tiga orang datang menyampaikan kepada Abu Darda’ bahwa rumahnya terbakar tetapi semuanya di nafikan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Orang-orang bertanya kepada Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “kenapa kamu tidak percaya rumah kamu terbakar.”Hal ini dikarenakan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu lebih meyakini khabar dari Allah subhanahu wa ta’ala dibanding pandangan mahluk. Inilah ujian keimanan ketika Allah mempertemukan khabar dan pandangan dari mahluk, kemana kita lebih condong. Khabar dari Allah sedangkan pandangan dari mahluk, yang nampak oleh mahluk.
Mengapa Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu begitu yakin rumahnya tidak akan terbakar ? Ini dikarenakan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mendapatkan amalan yang diberikan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang jika dibaca dipagi hari akan terselamatkan dari segala musibah hingga sore hari, dan jika dibaca disore hari akan terlindungi dari segala musibah hingga pagi hari. Inilah khabar yang diyakini oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Begitulah keyakinan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu dan prasangkanya yang kuat atas khabar dari Allah melalui rasulNya. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu lebih kuat prasangkanya terhadap Allah dibanding pandangan mahluk mengenai rumahnya. Dan ternyata memang rumahnya Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu tidak terbakar sedikitpun, sedangkan rumah di sekitarnya terbakar. Kemudian Maulana Saad membacakan do’a Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, berikut ini :
”Allaahumma anta rabbi, laa ilaaha illaa anta ‘alaika tawakkaltu wa anta rabbul ‘arsyil ‘adziim. Maa syaa-allaahu kaana wamaalam yasya’lam yakun, walaa hawla walaa quwata illaa billaahil ‘alaiyyil ‘adziim. A’lamu annallaaha ‘alaa kulli syay-in qadiir, wa annallaaha qad ahaatha bikulli syay-in ‘ilmaa. Allaahumma innii a’uudzubika min syarri nafsii, wamin syarri kulli dabbatin anta aakhidzun  binaashiyatihaa. Inna rabbi ‘alaa shiraatim mustaqiim.(Dibaca setelah shalat shubuh dan setelah shalat ashar)
“Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Kepada-Mu aku bertawakkal, dan Engkau Tuhan 'Arsy yang Agung. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Tiada daya upaya dan tiada pula kekuatan kecuali hanya kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Aku yakin, bahwasanya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan ilmunya Allah meliputi segala sesuatu.Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan diriku dan dari kejahatan segala makhluk yang melata, Engkaulah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku senantiasa di jalan yang lurus.”(HR. Ibnu Sunni)
Hari ini kita baca doa, tetapi keyakinannya tidak ada sama sekali, kalaupun ada tapi keyakinannya pada asbab. Doa pada Allah, tetapi asbab yang diyakini. Padahal kita membaca doa ini untuk mendapatkan qabuliat, terutama doa-doa masnunat dalam setiap amal. Celakanya kita hari ini, berdoa saja kita tidak mau membacanya, tidak mau belajar. Padahal tidak ada yang lebih diyakini daripada doa-doa masnunat ini, yaitu doa yang memiliki qabuliat jika kita meyakini. Kita belajar doa-doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada satu orangpun yang mengajarkan doa sebanyak ini melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi-nabi lain tidak ada yang mengajarkan doa sebanyak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dulu waktu kita keluar  di awal dakwah, kita rajin sekali mempelajari dan menghafal doa-doa masnunah. Bagaimana dengan sekarang ? Sudah lupa semua belajar doa. Keluar dijalan Allah lagi dan lagi, tetapi perkara ini sudah di tinggalkan, inginnya di anggap sebagai orang lama, sebagai penanggung jawab.
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu pagi-pagi sudah baca doanya, orang datang mengatakan rumahnya terbakar,dan apa kata Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Aku tidak percaya, tidak mungkin Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan aku doa untuk terhindar dari musibah, namun rumahku tetap terbakar, ini perkara yang tidak mungkin”. Allah akan penuhi janji pada seseorang apabila orang ini yakinnya sempurna. Prasangka kita terhadap Allah ini bisa mendatangkan kekuatan yang besar, apa itu ? Mendatangkan qudratullah dalam diri kita. Orang yang sangkaannya kuat terhadap Allah berarti dia ada maa-iyatullah (kebersamaan dengan Allah).
Setelah padam apinya yang membakar rumah tetangganya, maka orang datang kepada Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Abu Darda’ tadi ada kebakaran disekitar rumahmu, namun hampir saja api mengenai rumahmu, namun tidak jadi terbakar.” Apakah ini hanya kebetulan ? Bukan kebetulan, tetapi dengan amalan dan doa tadi yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila dalam setiap amal kita yakini janji Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah penuhi janjinya. Amal ini akan sempurna apabila ada yakin pada janji Allah, tidak dengan ragu-ragu. Lihat orang-orang munafik, mereka ini ciri-cirinya beramal lihat keadaan, lihat ahwal. Sedangkan orang beriman ini ketika beramal yang dilihatnya adalah apa perintah Allah pada saat itu.
Perang Khanddaq ( parit )
Allah subhanahu wa ta’ala berjanji melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apa janjinya ? Allah berfirman melalui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa kalian para sahabat radhiyallahu ‘anhu, akan menaklukkan istana-istana Kaisar dan Kisra. Ini sudah berjalan dan sudah terjadi. Apa kata orang munafik ketika itu, “lihat itu  dengarkan perkataannya Muhammad dengan pengikutnya. Dalam keadaan kelaparan membuat parit, mengatakan akan mengalahkan Kaisar dan Kisra.” Semua orang mendengar janji Allah subhanahu wa ta’ala pada waktu itu. Namun orang Munafiq ketika itu mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan semuanya, kecuali tipuan. Orang-orang Munafiq mengatakan, “Ini semua palsu saja, mengapa kalian susah-susah membuat parit jika semua itu pasti menang, bahwa kaum muslimin akan menaklukkan Kisra dan Kaisar.”
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (٢٢) مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا (٢٣)لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (٢٤(
Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka.Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengazab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima tobat mereka.Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 22-24)
Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan janji tersebut melalui lisan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah ujian untuk orang beriman juga. Ujian iman bagi orang beriman. Secara dzahirnya janji Allah ini seperti tidak sesuai dengan yang terlihat.
Isra Mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam Mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ini juga ujian untuk melihat siapa yang percaya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan siapa yang tidak percaya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini namanya tashdiq wal yakin. Perjalanan bumi saja dibutuhkan waktu sebulan ke masjidil Aqsa, ketika itu tidak ada pesawat terbang, sedangkan perjalanan kelangit ? Tentunya perkara ini tidak terjangkau, tidak ada batasnya, tidak akan bisa ditempuh oleh manusia. Namun perjalanan bumi yang satu bulan dan langit yang tidak ada batasnya, semua dilakukan dalam semalam saja oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Paginya Abu Jahal berkata dengan nada mengejek, “Ada apa ini, ada apa ini ? Hai Muhammad ada berita baru apa lagi sekarang ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Jahal, “Semalam aku dibawa ke Baitul Maqdis, kemudian saya dibawa kelangit, paginya saya sudah sampai disini lagi.” Begitu pula orang munafiqin yang mendengar, mereka ketawa-ketawa saja dan mengolok-olok, sebab mereka tidak ada keyakinan. Kaum kafirin ketika mendengar itu langsung mengolok-ngolok Nabi dan menganggap sebagai berita bohong dan palsu. Mereka yang  yakinnya lemah ketika mendengar mereka juga ragu-ragu. Jadi orang yang tidak ada keyakinan, pasti mendustakan berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berita isra’ miraj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat luar biasa tersebut, yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, membuat orang yang imannya lemah jadi murtad. Mereka yang imannya lemah menjadi murtad, karena mereka mengukur pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari akalnya, bukan dari yakinnya atau hatinya. Ciri-ciri orang yang lemah iman atau yang yakinnya lemah adalah mengukur pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini dengan akalnya bukan dengan yakinnya. Sedangkan akal manusia ini lemah, dangkal, sangat kecil kemampuannya. Akal manusia biasa dibanding dengan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sangat jauh sekali perbedaannya. Hal ini disebabkan karena akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sempurna, melebihi kemampuan akal manusia. Karena itulah ukuran standard janji Allah ini bukanlah akal manusia. Akal manusia ini terlalu dangkal untuk dapat menerimanya, tidak akan sanggup. Akal manusia ini bukanlah suatu standard untuk menilai syariat dan hakikat. Jika akal ini digunakan sebagai standard, maka orang macam ini akan merubah-rubah ketentuan agama. Orang macam ini akan meletakkan agama bedasarkan akal pikirannya saja.
Hari ini rusaknya agama di seluruh dunia terjadi disebabkan oleh akal-akal manusia, mereka berkata, “Ajaran apa ini? Ini tidak masuk akal….. ini semua sudah beda jamannya, tidak logis lagi.” Ini perkataan mereka yang menjadikan akal sebagai ukuran beragama. Padahal akal manusia ini dibanding dengan kemapuan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini tidaklah sebanding. Akal manusia ini terlalu kecil kemampuannya dibanding akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
مَآ أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍۢ}٦٨:٢{
Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (QS. Al Qalam : 2)
Ulama mengatakan bahwa Allah membagi akal 100 bagian. Dari 100 bagian, maka 1 bagian Allah bagikan ke seluruh mahluk, dari ulama, fuqaha, ilmuwan, dokter, dan berbagai profesi manusia dari jaman nabi Adam ‘alaihis salam sampai manusia yang terlahir terakhir kali menjelang kiamat. Dari sini kira-kira setiap orang dapat berapa persen dari 1 akal yang Allah bagikan kepada seluruh manusia. Sangat kecil sekali kemampuan akal manusia ini. Sedangkan 99 bagian lain, Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika keadaannya seperti itu, apakah sebanding kemampuan akal manusia dibanding dengan akalnya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Tidak mungkin sebanding. Buktinya apa ? Ya syariat itu sempurna. Syariat yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sempurna. Kesempurnaan syariat yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai bukti kesempurnaan akal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghapus syariat yang lain termasuk yang dibawa oleh Nabi-nabi terdahulu. Pada waktu Mi’raj pun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi imam shalat dari seluruh Anbiya’. Semua nabi-nabi mengikut Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Syariat yang lalu dan yang akan datang hanya mengikuti syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi standard agama ukurannya bukan akal manusia.
Contoh :  Menurut akal manusia zakat itu mengurangi harta, dan riba itu menambah harta. Padahal menurut agama dengan zakat harta bertambah, dan dengan riba harta berkurang. Inilah yang namanya Yaqin atau Iman. Karena itulah ukuran agama ini bukan akal tetapi perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Khabar dari Allah ini erat hubungannya dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan akal manusia ini erat hubungannya dengan ahwal (keadaan). Akal manusia ini hanya bisa melihat ahwal bukan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Sudah menjadikan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan akal sebagai standard hukum syariah. Sebab akal hanya melihat ahwal.
Ketika kita mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kita berpegang teguh, itulah yang namanya iman. Kita yakini dan kita pegang teguh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, itulah yang namanya Iman Yaqin. Ketika Allah datangkan ahwal yang bertentangan antara akal dan perintah Allah, maka akal berkata, ini untuk apa ? Untuk membedakan, mana yang yaqin pada Allah dan mana yang tidak. Jadi untuk menguji keyakinan manusia ini, maka Allah subhanahu wa ta’aladatangkan ahwal-ahwal yang bertentangan. Allah subhanahu wa ta’alahendak menguji dan menentukan mana yang yaqin dan mana yang tidak. Janji Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini banyak bertentangan dengan ahwal yang nampak.
     Kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membeli Kuda.
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membeli kuda dari seorang Badui, setelah mencapai kesepakatan, maka mereka melakukan ijab kabul penjualan. Lalu beberapa saat kemudian sebelum kuda itu diberikan, datang orang menawar harga kuda yang telah dibeli Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari si Badui. Oleh si Badui harga tersebut disetujui. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam protes, “Bukankah kuda ini sudah saya beli, kamu sudah jual kepada saya, dan saya telah beli, kenapa di jual lagi ke orang lain.” Maka si Badui katakan, “Belum saya jual, belum, kapan saya katakan seperti itu ? Demi Allah belum saya jual kuda ini.” Si Badui ini begitu yakin karena ketika pembelian terjadi mereka hanya berdua saja, Cuma ada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan si Badui tadi. Lalu kata si badui, “Begini saja, kalau memang kamu ada saksi, bawa kemari, nanti saya kasih kuda ini.” Pada waktu itu tidak ada orang ketiga, hanya ada mereka berdua yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan si Badui. Ketika terjadi perdebatan, datanglah seorang sahabat, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang mendengar pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan si Badui. Mendengar permintaan dari si Badui tadi, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalau begitu saya saksinya….. Saya jadi saksi bahwa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini betul-betul telah membeli kuda dari kamu.” Orang Badui minta saksi, kini saksi telah ada, ini kan sudah sesuai.
Secara keimanan tidak ada persaksian yang lebih kuat dari persaksian Hudzaifah radhiyallahu’anhu, sebab apa ? Ini karena persaksiannya berdasarkan berita dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Persaksian atas dasar keimanan bukan karena penglihatan, yaitu atas dasar berita dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hudzaifah berkata, “Aku menjadi saksi atas berita dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka tidak ada persaksian yang lebih kuat daripada persaksian Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Beginilah sahabat radhiyallahu ‘anhu belajar keimanan. Seandainya waktu itu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu katakan, “Wah saya tidak bisa jadi saksi, kan saya waktu itu tidak ada, bagaimana bisa jadi saksi.” Ini namanya sudah ragu-ragu dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan ragu lagi, tapi tidak percaya. Maka iman sudah keluar ketika kita tidak percaya perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Na’udzubillah min dzalik.
Allah subhanahu wa ta’ala mendatangkan keadaan bersama Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini untuk apa ? Untuk menguji iman umat. Di situ akan terlihat apakah seseorang itu yakin pada perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau ragu atau tidak percaya. Padahal beritanya ini ghaib dan bertentangan dengan akal manusia. Maka imtihan bagi para sahabat radhiyallahu ‘anhu ini berat-berat. Ketika Hudzaifah ini bersaksi, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Hudzaifah, bagaimana kamu bisa bersaksi, padahal kamu tidak ada disitu pada waktu itu, tidak melihat kejadiannya.” Melalui pertanyaan ini, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menguji daripada keimanan Hudzaifah. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguji bukan ragu. Apa jawab Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu :
“Ya Rasullullah engkau menceritakan kepada kami tentang Surga, tentang Neraka, tentang Mahsyar, tentang Kubur, tentang Malaikat, yang kami belum pernah lihat. Semua yang engkau sampaikan kami percaya walaupun kami belum pernah melihat. Apabila berita yang besar-besar ini saja kami bisa percayai dan kami yakini, bagaimana dengan berita-berita kecil macam pembelian kuda ini.”
Inilah ciri-ciri orang yang yakin pada berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berita Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan dipegang teguh dengan penuh keyakinan. Maka apa kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Setelah hari ini persaksian Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini sama dengan persaksian yang dilakukan oleh 2 orang nilainya.” Sebab kejujurannya sudah dibuktikan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang namanya keyakinan yaitu 100% percaya pada khabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Iman bil Ghaib apa maksudnya ini ? Yaitu kita mengambil saksi atas dasar berita ghaib sumbernya. Hari ini Fadhilah Amal tidak dibaca, Muntakhab Ahadits tidak dibaca, bagaimana mau belajar iman ?  Dengan menceritakan yang ghaib-ghaib, maka iman bil ghaib akan datang kepada kita. Kejadian seperti kisah Hudzaifah ini sangat banyak sekali, namun kalau kita tidak baca bagaimana akan tahu. Akhirnya pergerakan dakwah ini hanya tinggal pergerakan saja, menjadi organisasi, pengaturan saja. Padahal iman itu ada tandanya. Kisah Hudzaifah  adalah contoh iman bil ghaib. Orang yang percaya setelah melihat bukan iman bil ghaib namanya.  Kalau sudah melihat adzab Allah subhanahu wa ta’ala, itu bukan iman namanya.
Iman bil ghaib ini adalah azas. Bagaimana mendatangkannya yaitu dengan menceritakan yang ghaib-ghaib. Janji Allah ini semuanya ghaib, dari kubur, mahsyar, shirat, surga, dan neraka, ini semuanya ghaib. Yakin pada Janji dan Ancaman, Selamat masuk surga ataupun disiksa di neraka.
TA’ASHUR FIL QALB.
Bahan Bakar Neraka
Dalam pembicaraan dengan sahabat radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda bahwa :“Kayu Bakar Neraka itu adalah Manusia dan Batu”. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَإِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْاوَلَنْ تَفْعَلُوْافَاتَّقُواالنَّارَالَّتِيْ وَقُوْدُهَاالنَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ
Maka jika kamu tidak dapat membuat, dan sekali-kali kamu tidak akan dapat membuat, maka takutlah kamu kepada neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 24).
Salah seorang sahabat duduk di batu yang besar, dia bertanya kepada Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kayu bakarnya dari batu ? Berarti batu-batunya besar sekali. Apakah batu-batunya sebesar-besar batu di dunia ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Satu Batu di neraka itu lebih besar daripada seluruh gunung di dunia.”
Maka begitu ta’ashurnya para sahabat radhiyallahu ‘anhu, sehingga keyakinan mereka tambah kuat. Keyakinan akan bertambah ketika ada ta’ashur. Ta’ashur ini bukan sekedar pengetahuan. Pengetahuan yang tidak ada ta’ashurnya, maka tidak akan mendatangkan kesan. Ta’ashur akan ada, apabila ada keyakinan. Sebab kalau hanya pengetahuan, orang muslim dan non muslim sama saja, kedua-duanya bisa belajar dan mengetahui. Begitu sahabat mendengar, langsung di ingat dan di hayati. Sahabat radhiyallahu ‘anhu, ketika mendengar kayu bakar neraka adalah manusia dan batu, dan batu-batunya melebihi gunung-gunung di dunia, goncang dia dan langsung pingsan. Jantungnya masih berdetak, kemudian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamditalqinkan dengan kalimat“Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasuullullaah”. Setelah sahabat tersebut mengikuti dan mengucapkan talqin Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, “Kamu adalah ahli surga”, lalu sahabat tersebut meninggal dunia. Sahabat radhiyallahu ‘anhu yang lain, yang melihat kejadian itu merasa iri dan mengatakan,“Wah enak sekali, di talqinkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, terus masuk surga.” Para sahabat radhiyallahu ‘anhu yang disitu bertanya, “Ya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam janji ini hanya untuk dia saja atau untuk kita semua.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamsabdakan : “Janji Allah ini hanya untuk orang yang takut menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka janji ini untuk dia.”
Oleh karena itu 4 hal ini : Qabuliat, Pahala, Istiqamah, dan Janji Allah subhanahu wa ta’ala ini, hanya bisa didapatkan apabila ada Iman. Tatkala ada iman, maka semua amalan dilakukan dengan Yaqin. Tanpa iman maka keyakinan akan keluar dari kehidupan kita. Hari ini dakwah dunia berjalan melalui iklan-iklan. Hari ini orang bersusah payah dan bersabar untuk dunia. Demi dunia umat hari ini rela menahan penderitaan dan hinaan. Sedangkan menahan penderitaan dan hinaan untuk agama, hari ini kita tidak bisa. Orang rela menahan penderitaan dan hinaan untuk dunia, namun untuk agama tidak bisa. Kita untuk dunia segala macam hinaan siap ditanggung. Namun untuk agama ? baru di ganggu sedikit sudah tidak kuat. Padahal orang yang siap menahan penderitaan demi agama, maka Allah akan muliakan dia dan Allah akan gunakan dia terus menerus untuk agama.
Kisah Abdullah bin Hudzafahradhiyallahu ‘anhu.
Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhuketika membawa rombongan tertangkap oleh pasukan Romawi, kemudian beliau dibawa menghadap Raja. Raja katakan kepada Abdullah bin Hudzafah, “Kalau engkau mau masuk kedalam agama Nasrani, maka kamu akan aku berikan separuh dari kerajaanku.” Namun apa kata Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu, “Walaupun kamu bisa memberikan seluruh kerajaanmu ditambah dengan seluruh kerajaan yang ada di Arab, sekejap matapun aku tidak akan pindah dari Islam.”
Masyaikh katakan jika ada seseorang yang mau bersusah payah menahan penderitaan demi agama, Allah akan muliakan dia. Orang yang siap bersusah payah di jalan Allah, maka Allah akan berikan dia istiqamah. Hari ini untuk perkara kecil saja, ada orang yang rela meninggalkan agama, padahal sahabat dahulu walaupun hanya sekejap mata dengan janji diberikan separuh kerajaan, tidak mau tinggalkan agama. Hari ini sudah biasa orang muslim menikahkan anaknya dengan muslim, karena cinta, agama ditinggalkan. Meninggalkan agama untuk kepentingan dunia, ini bukanlah hal aneh lagi sekarang.
Tatkala umat ini meninggalkan dakwah, maka merubah-rubah syariat, menggampang-gampangkan agama, menjadi mudah dalam kehidupan manusia. Setiap orang akan membuat pernyataan masing-masing tentang agama. Agama di logikakan berdasarkan keadaan dan akal manusia. Sehingga agama tidak menjadi seperti seharusnya, sudah ditinggalkan dan tidak lagi dipegang secara kuat. Semua jadi serba dimudah-mudahkan, ingin ini diambil, ingin itu diperbolehkan, lalu dihubung-hubungkan dengan agama lain. Akhirnya menerima agama lain menjadi mudah, amalan agama lain menjadi seakan-akan amalan kita juga. Inilah fakta kerusakan dalam kehidupan ummat hari ini. Maka untuk menjaga agama ini bagaimana caranya ? Yaitu mendakwahkan agama.
Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhuditawarkan separuh kerajaan, namun apa yang dikatakannya walaupun diberikan seluruh kerajaan ditambah dengan seluruh kerajaan di arab, berapa menit ? Sekejap mata sekalipun tidak akan dilakukan. Raja menawarkan harta, Abdullah bin Hudzafah menolak, maka sekarang Raja merubah strateginya dengan mengancam nyawa Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Raja katakan, “Wah orang ini rupanya bukan orang yang tama’. Kalau begitu saya bunuh aja kamu.” Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu tidak gentar dan berkata, “Silahkan lakukan saja apa yang kamu mau. Kalau mau bunuh saya, bunuh saja silahkan.” Raja memanggil pasukan pemanah untuk berbaris, siap memanah Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Raja memerintahkan para pemanah agar memanah Abdullah bin Hudzafah, namun panah-panahnya sengaja ditargetkan di atas kepalanya, diantara kakinya, disebelah lehernya dan tangannya.Tidak ada yang mengenai tubuh Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu Raja kembali menawarkan kepada Abdullah bin Hudzafah, setelah menakut-nakutinya dengan pemanah tadi, “Bagaimana,kamu sudah mau pindah ke Nasrani ?”Namun Abdullah Hudzafah radhiyallahu ‘anhu menolak, “Tidak saya tidak akan mau pindah ke Nasrani.”
Raja tidak kehabisan akal, berikutnya beliau diancam dengan air panas yang mendidih. Di jejerkan beberapa orang tawanan, lalu di cemplungkan ke dalam air yang mendidih,sehingga mereka meninggal dunia. Raja katakan, “Kalau kamu tidak mau mati maka pindah saja ke Nasrani beres kamu tidak perlu mati.” Ketika Abdullah bin Hudzafah berada di depan air mendidih yang siap merebus badannya, dia menangis. Melihat Abdullah bin Hudzafah menangis, Raja berpikir mungkin dia ketakutan hingga menangis, sepertinya sekarang Abdullah bin Hudzafah sudah mau merubah pendiriannya menerima Nasrani. Raja kembali menawarkan,“Bagaimana kamu sudah mau menerima Nasrani sebagai agamamu, tidak perlu takut, kalau kamu pindah kamu tidak perlu mati?” Abdullah  bin Hudzafah katakan, “Oh bukan, bukan karena takut mati, saya menangis karena andaikan saya punya nyawa sebanyak bulu dibadan saya, hingga setiap mati hidup lagi, lalu saya ceburkan mati lagi, lalu hidup lagi, maka semuanya akan saya korbankan. Sehingga setiap kematian Allah berikan pahala. Sayang sekali nyawa saya hanya satu.” Inilah keyakinan Abdullah bin Hudzafah terhadap janji Allah, sehingga rela mengorbankan segalanya untuk agama. Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu sadar, bahwa ini adalah takaza (tawaran) dari Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga jika punya nyawa yang banyak satu demi satu akan dia keluarkan dan dikorbankan untuk takaza ini.
Melihat sikap Abdullah bin Hudzafah yang memiliki keyakinan yang teguh, Raja makin bingung, “Orang yang demi agamanya, nyawanya saja tidak dia pedulikan, apalagi dengan harta. Seseorang yang begitu mencintai agamanya, bagaimana dia bisa cinta padaku.” Melihat hal seperti ini akhirnya Raja membuat penawaran terakhir, “Bagaimana jika kamu mencium kepala saya, maka saya akan lepaskan kamu.” Inilah bukti orang yang bisa menahan penderitaan untuk agama, maka Allah akan berikan dia kemuliaan. Apa kata Hudzafah radhiyallahu ‘anhu, “Saya akan cium kepala kamu dengan syarat semua orang islam yang menjadi tahanan kamu bebaskan.” Raja bilang, “Baik kalau kamu cium kepala saya, maka saya akan bebaskan semua tahanan orang islam.” Abdullah bin Hudzafah sadar bahwa kepala yang akan dia cium adalah kepala musuh Allah, ini merupakan suatu penderitaan untuk mencium kepala musuh Allah. Namun jika ini dilakukan bisa membebaskan semua orang islam dari tahanan, maka Abdullah bin Hudzafah maju dan mencium kepala Raja. Setelah itu, semua orang islam dibebaskan dari tahanan dan dibawa kehadapan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika Amirul Mukminin mendengar laporan dari Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu, Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu langsung berkata, “semua orang islam wajib mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, dimulai dari saya dulu.” Ini kemuliaan diberikan karena apa ? Tatkala ada susah payah menahan penderitaan demi agama. Selain kemuliaan, bagi orang yang sanggup menahan penderitaan demi agama, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan berikan istiqamah. Bahkan Allah berikan pahala pembebasan orang-orang islam dari penjara. Ini asbab dia menahan penderitaan yang sedikit dengan mencium kepala Raja.
Hari ini orang diseluruh dunia siap menahan penderitaan untuk dunianya, tetapi untuk agamanya tidak bisa. Apa yang dia dapatkan dari pengorbanannya untuk dunia ? Bukannya mendapatkan kemuliaan, yang didapatkan justru penderitaan dan kehinaan. Padahal dia sudah menahan penderitaan untuk mendapatkan kemuliaan dunia, namun akhirnya dia tidak dapat apa-apa selain kesusahan demi kesusahan. Inilah pentingnya dakwah agar mereka tidak tertipu oleh dunia.
Apabila kita dakwahkan agama, maka keyakinan akan datang. Setelah keyakinan datang baru berikutnya Ikhlas. Keikhlasan ini akan mendekatkan kita kepada Allah. Yakin pada Allah ini salah satunya adalah Yakin pada Al Quran. Apa maksudnya yakin pada Quran ? Yaitu apa yang diperintahkan kita kerjakan dan apa yang dilarang kita tinggalkan, ini baru namanya Yakin pada Qur’an. Mengamalkan apa yang diamanatkan oleh Qur’an itulah yang namanya Yakin pada Qur’an.
Ghibah
Kita harus fikirkan tanda-tanda iman itu apa ? Kita menyesal karena berbuat dosa, juga merupakan tanda-tanda iman. Hari ini orang islam melakukan dosa, tetapi tidak ada penyesalan, kenapa ? Karena sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh agama, sudah bersifat umum atau sudah biasa dilakukan. Tidak ada hewan yang memakan daging manusia sebanyak manusia memakan daging manusia lain, siapa itu ? Yaitu orang yang berghibah. Orang suka ghibah,mereka inilah yang dikatakan memakan daging manusia melebihi hewan yang memakan daging manusia. Manusia memakan daging manusia, begitu banyak yang hewanpun tidak bisa memakannya. Orang ghibah itu pasti makan daging orang islam, dan ini susah tobatnya. Dosa zina ada bentuknya dan tobatnya tapi kalaughibah ini tidak ada bentuk dan susah tobatnya, hanya Allah saja yang tahu.
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan :“ghibah itu lebih besar daripada zina”. Zina adalah dosa besar sekali, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan :“Orang berzina  sama seperti orang yang menyembah berhala.”
Ini dikarenakan orang berzina imannya telah keluar dari hati. Setelah iman keluar baru dia bisa berzina. Para sahabat merasa heran bahwa perbuatan zina begitu besar dosanya, namun ternyata ghibah yang nampaknya perbuatan yang ringan dan mudah diucapkan dengan sengaja atau tidak sengaja lebih besar lagi dosanya. Dosa besar yang telah dilakukan secara umum, maka akan dianggap seperti dosa kecil. Dosa besar akan menjadi seperti dosa kecil, karena apa ? Hal ini disebabkan karena sudah menjadi umum dilakukan, dianggap biasa saja. Ketika dosa besar dipraktekkan secara besar-besaran dan rutin, maka akan menjadi seperti dosa kecil. Para sahabat radhiyallahu ‘anhumsangat heran bahwa dosa ghibah dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih besar dari dosa zina. Sahabat bertanya, “Ya Rasullullah, bagaimana dosa ghibah ini bisa lebih besar daripada zina ?”Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan :“Dosa zina ini masih bisa dimaafkan disisi Allah, tapi ghibah tidak bisa dimaafkan disisi Allah subhanahu wa ta’ala.”
Orang berzina bisa bertaubat, bahkan orang syirikpun bisa taubat. Orang taubat dari syirik masih bisa Allah bisa maafkan. Orang yang syirik asal dia bertaubat dan doa minta dimaafkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, masih bisa dimaafkan. Tetapi kalau ghibah ini adalah bagian dari hak manusia, haknya hamba Allah. Misalnya orang merampas barang dari toko orang lain, maka dia harus mengembalikan barang curiannya dan minta maaf kepada pemiliknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamsabdakan :“Orang yang ghibah minta maaf dulu kepada orang yang di ghibah”.Ghibah merupakan hak hamba Allah, bukan hak Allah, untuk memaafkan. Inilah sebabnya Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan bahwa dosa ghibah itu lebih besar daripada dosa zina. Dosa ghibah tidak secara langsung Allah bisa memaafkan.Berbeda dengan zina kalau bertaubat kepada Allah,maka Allah bisa memaafkan, sedangkan kalaughibah Allah tidak bisa langsung memaafkan. Sahabat datang ke masjid lalu berbuat ghibah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan kepadanya :  “Kamu ini telah mempermainkan Al Quran.”  Sahabat itu mengatakan, “Saya beriman kepada Al Qur’an.”Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan :“Orang yang tidak meninggalkan larangan Allah, maka dia tidak beriman kepada Al Quran.”
Kita perlu selalu memikirkan apa itu tanda iman ? Kalau kita tahu tandanya, maka kita akan tahu kondisi iman kita. Orang bergembira atas ketaatan yang dilakukan dan bersedih jika melanggar perintah Allah, maka ini sebagian dari tanda Iman. Jika ada perasaan gembira dalam beramal dan sedih ketika bermaksiat, ini bagian dari tanda keimanan. Namun kalau kita lemah iman, maka meninggalkan perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa akan menjadi biasa saja, tidak ada kekhawatiran sama sekali. Kondisi seperti ini akan menyebabkan keyakinan terhadap agama akan keluar dari hati. Jika kita mendakwahkan agama, maka keyakinan akan masuk kedalam hati. Mengamalkan agama ini harus ada keyakinan dalam hati. Apabila agama jauh dari keyakinan, maka akan mudah ditinggalkan. Hari banyak orang berilmu, tapi berkelakuan seperti orang-orang bodoh tanpa ilmu. Banyak orang yang punya ilmu, tapi tidak beragama. Dia tahu perintah dan larangannya dalam agama, tapi tidak diamalkan. Ini karena apa ? Karena tidak ada keyakinan. Maka untuk merubah ini semua, kita harus mendakwahkan agama. Dengan dakwah, keyakinan akan datang. Inilah kekhususan amal dakwah, yaitu mendatangkan keyakinan. Dengan dakwah, keyakinan terhadap dunia akan semakin berkurang hingga hilang sama sekali dan yakin pada agama makin tumbuh bahkan menjadi sempurna. Semua kerusakan di muka bumi ini terjadi karena keyakinan manusia terhadap dunia. Manusia yakin pada dunia, sehingga meninggalkan agama. Agama hilang karena tidak adanya keyakinan dalam diri manusia.
Rahasia manusia adalah apa yang diyakini oleh dirinya, maka itulah yang diutamakan. Orang mau mendirikan shalat karena ada keyakinan dalam shalat, sedangkan yang tidak shalat karena tidak ada keyakinan pada shalat. Orang mau beramal, karena yakin pada yang ghaib, tetapi kalau yakinnya pada yang dilihat, maka amal akan ditinggalkan. Hari ini karena asbab, banyak orang meninggalkan shalat. Orang yang shalat karena asbab, Allah akan merusak asbab tersebut,sehingga dengan shalat, Allah akan merusak asbab. Disebabkan karena asbab orang merusak shalat, maka Allah akan merusak asbab dengan shalat. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, maka amalnya tidak akan nampak dan tidak ada bekasnya. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, maka amalannya tidak akan bisa terjaga. Orang muslim mempunyai asbab yang sama dengan non muslim, mereka juga ada perdagangan, pertanian, pekerjaan, dan profesi lainnya. Lalu yang membedakan itu apa ? Yang membedakan adalah kalau orang islam itu dalam asbab menjaga perintah Allah, kalau orang kafir tidak. Orang islam dalam menjalankan asbab menjaga perintah Allah, tapi kalau orang kafir tidak, semuanya cara dihalalkan dan dibolehkan. Jadi antara kita dengan Allah ini bukanlah asbab, tetapi agama, perintah-perintah Allah. Apa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala hanya dengan perintah-perintah Allah. Didalam keduniaan ini tidak ada janji Allah dan Qudratullah. Janji Allah ini dengan amal bukan dengan keduniaan atau akal manusia. Qudratullah Allah berikan dengan janji, janji bagaimana ?
إِيَّاكَ نَعْبُدُوَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Kepada engkau kami menyembah dan kepada Engkau kami mohon pertolongan.”(QS. Al Fatihah : 5)
Allah subhanahu wa ta’ala satukan ibadah dengan doa. Sedangkan orang-orang berpikiran menyatukan asbab dengan do’a. Ada asbab baru doa, ini pendapat orang-orang pada umumnya.  Orang-orang berkata setiap ada masalah bahwa diusahakan dahulu dengan asbab baru dengan doa. Muamalah Allah subhanahu wa ta’ala dengan orang muslim bukan seperti itu, bukan melalui asbab, kalau melalui asbab, itu muamalah Allah subhanahu wa ta’ala dengan non muslim. Orang non muslim bersandar pada asbab, maka ketika Allah berikan, semuanya beres. Allah berikan asbab-asbab kepada orang non muslim, Allah penuhi keinginan mereka, sehingga mereka makin lupa pada Allah subhanahu wa ta’ala dan akherat. Hingga hari ini Allah siap menolong kita, tapi kita penuhi cara yang Allah mau. Kita menjadikan asbab antara kita dengan Allah, maka ini bertentangan dengan ketentuan Allah. Ketentuan Allah tidak seperti itu dengan orang muslim, asbab ini hanya bagi orang non muslim. Bagi orang non muslim, kamu siapkan asbab, nanti Aku yang bereskan. Orang non muslim itu yakinnya pada asbab : pada perdagangan, pada kekuasaan, pada harta, maka yang seperti itu oleh Allah dipenuhi usahanya. Sedangkan para Nabi ‘alaihis salam oleh Allah tidak diberikan asbab, agar umat ini belajar tanpa asbabpun,maka Allah bisa memberikan pertolongan. Namun kalau para Nabi ada asbab, maka mereka nanti yakinnya karena ada asbab baru ada pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Sahabat radhiyallahu ‘anhukarena yakinnya pada Allah, dia ambil pangkal kurma dan bisa berubah menjadi pedang dalam peperangan. Batang kurma kecil tapi dipegang sahabat radhiyallahu ‘anhu bisa berubah menjadi pedang. Kisah-kisah seperti ini bukan hanya sekedar untuk diceritakan saja.
Orang hari ini meyakini kalau ada senjata pasti menang, padahal janji Allah subhanahu wa ta’ala bukan dengan asbab. Mereka bilang, kita harus siapkan senjata agar musuh menjadi takut, padahal janji Allah ini bukan pada asbab, melainkan pada sunnah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kisah Hayatus Sahabahradhiyallahu ‘anhu, dikisahkan asbab pasukan islam ini bersiwak, musuh menjadi ketakutan hingga lari. Para musuh yang tidak bisa dikalahkan dengan senjata, malah ketakutan hingga lari hanya asbab siwak. Dengan apa pasukan musuh dikalahkan ? Dengan sunnah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah akan datangkan ketakutan pada pihak musuh. Allah akan buat musuh-musuh ini takut, asbab Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahabat malah heran ketika itu, kenapa orang islam ini tidak bisa menang, amal apa yang kurang ? Sedangkan pihak musuh, orang-orang non islam, yang dilihat adalah asbabnya, apa yang kurang ? Apakah senjatanya ? Apakah perlengkapan perangnya ? Beginilah cara berpikir orang non islam.
Jadi perbedaan dalam pemikiran orang islam dengan orang non islam ketika datang suatu keadaan adalah :
    Orang islam akan melihat amal dalam setiap keadaan
    Orang non islam akan melihat asbab dalam setiap keadaan
NIYYATUL AMAL WA TABLIGH.
Ketika kemenangan bagi orang islam ini tertahan, maka sahabat mencontohkan untuk mengevaluasi amal-amalnya, apakah sudah sempurna ? Apakah amalnya sesuai dengan tertib ? Amalnya dulu yang dikoreksi oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhu. Ada masalah, maka fikir sahabat adalah koreksi amalan. “Oh mungkin ada amalan saya yang kurang ? Mungkin ada amalan saya yang salah, sehingga pertolongan Allah tidak datang ? Atau pasti ada sunnah yang tidak sempurna dilaksanakan ?.” Beginilah fikir sahabat setiap ada masalah. Maka kita penting bermuhasabah, mengevaluasi, kekurangan dari amal-amal dalam setiap masalah yang kita hadapi.
Sekarang siapa yang bisa membuat keputusan seperti itu ? Yaitu hanya orang-orang yang menjadikan amal atau perintah Allah subhanahu wa ta’ala antara dia dengan Allah subhanahu wa ta’ala, bukan orang-orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, tatkala ada masalah dia akan disusahkan dikarenakan kurangnya asbab. Dia akan berpikir, “Bagaimana ini, asbab ini tidak ada, asbab itu tidak ada”, sehingga dia akan merasa hidupnya penuh dengan kesusahan. Beda dengan orang yang menjadikan amal antara dia dengan Allah. Tatkala kesusahan datang maka dia akan kembali kepada Allah dengan amal dan doa. “Ya Allah cukupilah diriku, Engkaulah pemberi Rizky.” Mudah saja bagi orang beriman, ini karena gantungannya hanya kepada Allah, bukan kepada asbab. Merupakan penyakit berbahaya, jika seseorang menjadikan asbab sebagai gantungan antara dirinya dengan Allah, sementara Allah tidak menjadikannya seperti itu. Jika Allah tidak menjadikan asbab antara hambaNya dengan Allah, kenapa kita justru menjadikan asbab antara kita dengan Allah ?
Bagaimana orang beriman bisa menyelesaikan suatu masalah ? Yaitu dengan shadaqah. Shadaqah ini bisa memancing pertolongan Allah. Namun apa yang terjadi hari ini, orang islam menyelesaikan masalah dengan menyogok. Ada masalah fikirnya menyogok orang agar tidak dikenakan masalah, ini namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Padahal jika dia bershadaqah, 1 rupiah saja jika Allah terima, sudah mencukupi untuk mendatangkan pertolongan Allah, dibanding memberi uang banyak tapi untuk menyogok. 1 rupiah saja, Allah hargai bila untuk shadaqah, tetapi jika untuk menyogok, maka yang didapat adalah murka Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Memberikan shadaqah kepada orang muslim dengan tangan sendiri, maka akan menjauhkan musibah yang datang tiba-tiba.”
Inilah yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika memberikan shadaqah langsung kepada orang miskin dengan tangannya sendiri. Hari ini orang kaya begitu sibuknya tidak ada kesempatan mencari orang miskin, sehingga tidak bisa memberikan shadaqah langsung pada orang miskin dengan tangannya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi ? Kesibukan mengurus harta menyebabkan tidak punya waktu untuk orang lain. Hari ini kita cari counter-counter pelayanan zakat, tidak mau bersusah-susah. Padahal perintahnya : “Bagi yang berzakat carilah orang miskin sebagaimana orang yang mau shalat mencari air wudhu.”
Orang yang mau shalat ini harus mencari wudhu, untuk melaksanakan shalat, maka orang berzakatpun juga begitu, harus mencari orang miskin terlebih dahulu agar bisa berzakat. Shalat ini fardhu, begitu juga zakat, merupakan amal fardhu, tidak ada bedanya. Itulah sebabnya Amirul Mukminin Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kepada orang yang tidak mau membayar zakat akan aku perangi.”
Inilah kepentingannya antara shalat dan zakat, yang sama-sama fardhu, tidak boleh dibeda-bedakan, yang membedakan akan diperangi. Inilah keputusan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah. Hari ini kemana kita membayar zakat ? Ke badan orgsanisasi, ke yayasan-yayasan. Mestinya orang yang berzakat (Muzaki), mecari orang miskin atau orang yang berhak menerima zakat (mustahiq), sebagaimana orang yang mau shalat mencari air. Orang mencari air itu susah payah, supaya bisa shalat, begitu juga zakat. Sesuatu yang pasti ini, harus kita kerjakan. Zakat dan Doa ini, ada janji Allah subhanahu wa ta’ala yang pasti, tetapi kebanyak orang tidak melakukan, dan yang dilakukan justru menyogok, padahal itu jelas dosa.
Kisah Hikmah
Ada seorang anak buah Raja yang ketahuan disogok untuk menyelesaikan masalah-masalah seorang pengusaha. Maka ada yang melapor kejadian ini kepada Raja. Raja katakan kepada anak buahnya, “Sudah, mulai hari ini kamu tidak usah kerja lagi.” Maka orang itu katakan, “Saya ini mau melakukan apa ? Saya ini ahli membuat perhitungan. Kalau saya tidak menghitung, maka otak saya bisa rusak.” Kemudian Raja katakan, “Kalau kamu memang ahli hitung-hitungan, maka sekarang kamu hitung didepan saya, ini ada hitungannya, dari pagi sampai sore, berapa air yang dibutuhkan kerajaan. Lalu nanti kamu beritahukan.” Sore harinya si ahli hitung ini melaporkan kepada Raja, bahwa air yang dibutuhkan ada sekian banyak. Maka berikutnya ada yang melapor lagi bahwa si ahli menghitung masih mengambil uang suap. Ini sudah 3 – 4 hari begini, ada kapal mau lewat tetapi tidak bisa lewat. Namun tertahan asbab si ahli menghitung jumlah air, dari tempat kapal itu lewat. Si ahli menghitung bilang kepada nahkoda kapal, “Jangan lewat disini, kapal tidak boleh lewat karena saya harus menghitung jumlah air di sungai ini.” Maka yang punya kapal katakan, “Ya sudah saya beli airnya sekian, agar kapal bisa lewat.” Akhirnya si ahli hitung ambil suap lagi. Inilah penyakit yang ada dalam kehidupan manusia hari ini. Kemunafikan selalu bersatu dengan penyakit, sedangkan keimanan selalu bersatu dengan kesehatan.
Jadi yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana antara diri kita dengan Allah, dihubungkan oleh amal. Kerusakan keyakinan yang masuk dalam hati kita, disebabkan karena yakin pada asbab. Oleh karena itulah antara kita dengan Allah yang harus diusahakan adalah keyakinan pada amal. Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah memberikan janji dengan asbab. Asbab  tidak bisa mendatangkan janji Allah dengan Qudratnya. Suatu hal yang harus kita yakini untuk bisa mendatangkan janji Allah dengan Qudrahnya adalah yakin pada amal. Yakin dengan shalat, maka Allah akan jadikan shalat sebagai asbab terselesainya segala masalah. Kita harus meyakini dengan shalat masalah kita akan selesai. Kita yakin pada shalat, karena perintah bukan atas janji. Hari ini orang shalat fikirnya, saya shalat supaya ada keberkahan, supaya urusan dunia saya beres, ini salah.  Orang yang shalat demikian lebih cenderung untuk cinta pada dunia, bukan kepada Allah.
Perlu diperhatikan bahwa orang yang memilih jalan hidup agama, untuk menjauhkan dari kesusahan dunia, maka akan terjadi suatu saat tatkala masalah dunianya sudah beres, maka agamanya akan ditinggalkan lagi. Inilah orang-orang yang menggunakan agama, supaya dunianya menjadi baik. Suatu yang tidak mungkin, karena niatnya saja sudah salah. Ini namanya kerusakan niat. Kerusakan niat adalah menggunakan agama untuk menjaga dunianya. Padahal yang diperintahkan Allah itu apa ? Untuk dunia ini, Allah perintahkan menggunakan agama, maka Allah perbaiki dunia ini. Hari ini yang terjadi adalah orang mengamalkan agama untuk memperbaiki dunianya. Lihatlah kenyataan hari ini yang amal dunianya paling baik, dialah yang paling jauh dari agama. Semakin baik dunianya kebanyakan makin jauh dari agama. Dia berpikir, “saya sekarang sudah baik, kenapa harus membuat diri saya bersusah payah kembali.”
Orang yang tidak beragama meyakini bahwa orang yang ahwal dunianya tidak baik, itu tanda kemurkaan Allah. Orang berpikir jika dunia datang kepada dia, berarti Allah sayang pada dia. Padahal yang sebenarnya ketika dunianya makin baik, dia semakin jauh dari agama, semakin sulit mengamalkan agama, ini sebenarnya tanda kemurkaan Allah, dan itu pasti. Tanda-tanda Allah murka pada hambanya, maka hambanya ini semakin sulit mengamalkan agama. Dengan datangnya keduniaan, seseorang akan semakin sulit mengamalkan agama, inilah kenyataan. Agama tidak diamalkan dan dunia semakin baik, itulah tanda kemurkaan Allah. Padahal yang dikehendaki oleh Allah adalah seseorang mengamalkan perintah Allah dalam segala keadaan.
Ada orang yang berpandangan bahwa ketika diberi kekayaan oleh Allah berarti Allah cinta sama dia, dan ketika diberi kemiskinan oleh Allah berarti Allah benci sama dia, padahal yang benar bukan seperti itu. Itu hanya suatu keadaan saja. Allah menhendaki agar ketika mendapat musibah tetap mengamalkan agama, dan ketika mendapatkan kebaikan dan tidak ada musibah tetap mengamalkan agama. Bukan ketika ada musibah, dia mengamalkan agama tetapi ada musibah ataupun tidak, tetap mengamalkan agama. Dalam keadaan mendapatkan kesusahan, dia tetap mengamalkan perintah Allah, maka orang yang seperti ini Allah akan ridho.
Ada juga orang yang berpandangan bahwa ketika seseorang diberikan kemiskinan dan mendapatkan musibah, hal itu sebagai tanda kemurkaan Allah, padahal yang benar bukan seperti itu. Cinta dan murka Allah, bukanlah dengan asbab dunia. Kita beramal agama, supaya berkah hartanya, bukan seperti itu. Akhirnya orang beramal agama untuk mendapatkan keuntungan dunia. Jika seperti ini, agama bisa hilang dari kehidupan. Agama memang bisa mendatangkan keberkahan, tapi kita mengamalkan agama bukan untuk mendapatkan keberkahan dunia.
Memberikan pahala ini adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Seandainya seluruh kekasih Allah dikumpulkan, dari sahabat radhiyallahu ‘anhum sampai para anbiya ‘alaihis salam, dan mereka semua ingin menahan seseorang yang sudah diputuskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala masuk kedalam neraka, maka tidak ada seorangpun diantara mereka yang bisa menahannya. Perkara inilah yang harus dipahami oleh kita, yaitu apa itu hak Allah ? Begitu pula seseorang yang mengamalkan agama untuk mendapatkan keberkahan, juga merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Allah mengirim seseorang tanpa kesalahan apapun, kemudian dimasukkan kedalam neraka, itupun juga hak Allah subhanahu wa ta’ala, dan terserah Allah subhanahu wa ta’ala. Kehidupan begitu juga, berhajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan hanya mengira kalau mengamalkan agama, dunianya akan jadi bagus, tidak harus seperti itu, ini adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Seseorang melaksanakan sujud dari lahir hingga mati, dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian dia menganggap bahwa amalnya tidak ada apa-apanya, sangat kecil sekali. Ini karena apa ? Karena merasa bahwa semua amalnya, sepenuhnya adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang lemah iman, dia beristigfar untuk asbab dunianya, sedangkan orang yang shaleh istighfarnya untuk amal kebaikan yang dilakukan. Beramal baik tetapi masih istighfar, ini ciri-ciri orang shaleh. Sedangkan orang awam beristighfar atas dosa-dosanya, dan hal itu  memang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mengapa orang shaleh beristighfar atas kebaikan yang telah dilakukannya ? Karena semua kebaikan yang dikerjakan, sepenuhnya adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu merupakan sahabat yang kesholehannya paling tinggi diantara para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Setelah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah yang paling mendekati keshalehannya ? Tentu jawabannya adalah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Tatkala minta diajarkan doa, yang diberikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah agar beliau memperbanyak istighfar. Orang yang beristighfar dengan amal baiknya, maka Allah akan sempurnakan amalnya. Sedangkan orang yang tidak beristighfar dengan amalnya, maka akan ada kebanggaan dan kesombongan dalam amalnya, dan amal seperti ini tidak akan diterima oleh Allah. Bangga terhadap amal sendiri, tidak disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Orang-orang yang berdakwah terhadap diri sendiri, maka Allah tidak suka. Bagaimana dikatakan bahwa orang mendakwahkan diri sendiri ? Yaitu ketika dia mengatakan saya sudah melakukan amal ini dan saya sudah melakukan amal itu. Artinya orang  yang suka memamerkan amal kebaikan dirinya sendiri.
Agama ini adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala sepenuhnya, terserah Allah mau menunaikan atau tidak, itu hak-hakNya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada kewajiban apapun terhadap hambaNya, dan ini yang seharusnya kita renungkan. Orang masuk surga bukan karena amalnya, melainkan karena kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala, dan bukan karena kewajiban Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah melakukan amal, Allah wajib memasukkannya ke dalam surga, bukan seperti  itu. Amal kebaikan memang perintah Allah untuk dikerjakan, namun masuk surga bukan karena amal, tetapi karena karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada keharusan bagi Allah, untuk memasukkan seseorang ke dalam surga karena amalnya, melainkan masuk surga itu dengan karunia dan kasih sayang (rahmat) Allah subhanahu wa ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Wahai Aisyah tidak ada satu amalpun yang bisa menyebabkan seseorang masuk surga.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berpikir, kalau amal-amal tidak bisa menyebabkan masuk surga, bagaimana dengan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, “Kalau untuk engkau, bagaimana ya Rasullullah ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sayapun juga demikian, sama saja, yang menyebabkan saya masuk surge, bukan karena amal saya, melainkan karena karunia dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.”
Seluruh manusia di akherat nanti akan dibangkitkan dalam keadaan penuh ketakutan. Bahkan para anbiya sekalipun ketika dimintakan syafaat, mereka para anbiyapun juga dalam keadaan ketakutan. Para Anbiya akan mengatakan, “Pergi ke Nabi yang lain, coba minta kepadanya.” Semua manusia dalam ketaktukan termasuk orang-orang shaleh sekalipun. Pada hari itu Allah subhanahu wa ta’ala begitu murka, yang murkanya tidak pernah seperti itu. Bahkan setiap Anbiya akan memukul kepalanya sendiri ketakutan, “Bagaimana ini….bagaimana ini…” Setiap Anbiya akan menghitung kesalahannya masing-masing, semuanya merasa banyak dosa :
    Nabi Adam ‘alaihis salam dimintai syafaat, dia akan berkata, “saya tidak bisa, saya sudah melakukan dosa besar. Saya sudah memakan buah yang terlarang.”
    Nabi Ibrahim ‘alaihis salam juga begitu, “Saya tidak berani, saya sudah melakukan dosa besar.”
    Nabi Musapun ‘alaihis salam juga begitu, “Saya tidak bisa, sayapun telah melakukan dosa besar.”
Siapa Ibrahim ‘alaihis salam ? Siapa Musa ‘alaihis salam ? Mereka adalah ulul azmi, Nabi yang utama atau yang paling dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Namun bagaimana keadaan mereka ? Ketakutan. Semua Nabi mengatakan hal yang sama ketika manusia datang kepada mereka mohon syafaat, agar selamat dari murka Allah subhanahu wa ta’ala. Semua anbiya ketakutan tidak ada yang berani memberikan syafaat. Setelah tidak ada satu anbiyapun yang berani, maka mereka akhirnya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta syafaat. Pada waktu itu hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja, yang mampu memberikan syafaat.
Dengan mengetahui keadaan para anbiya di akhirat, seharusnya kita yang bukan anbiya perlu menyesali dosa-dosa. Bahkan jangan dosa-dosa saja yang kita sesali, amalpun kita patut disesali. Menyesali dosa itu sudah suatu keharusan dan pasti, namun amalpun juga harus kita sesali. Di mahsyar bahkan para anbiya sekalipun mengecilkan amalnya dan membesarkan dosanya dihadapan Allah. Jadi jangan kita bangga dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Orang yang suka menyesali amalnya, maka akan disempurnakan amalnya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Orang suka menyesali amalnya, ditandai dengan fikirnya, “Kenapa amal saya kurang sekali mutunya ? Kenapa amal saya lemah sekali ? Kenapa amal saya tidak maksimal saya kerjakan ? Bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mau menolong saya, sedangkan amal saya jelek begini ?” Amal yang di dakwahkan dengan penyesalan terhadap diri sendiri, maka dia tidak akan menuntut keberkahan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ini yang benar, yaitu beramal tapi tidak menunut keberkahan, kenapa ? Karena ada penyesalan dalam amalnya. Orang yang menyesal dari dosa ataupun amalnya, maka Allah akan sempurnakan amalnya. Ini harus dipahami. Jangan salah paham, bahwa jika ada seseorang secara keduniaan dia kurang, dia lagi susah, berarti Allah lagi murka, dan orang yang keduniaannya dan keadaannya baik berarti Allah sayang pada dia, tidak, bukan seperti itu.
Kisah Hikmah.
Ada seorang anak bayi sedang menetek meminum susu ibunya. Tiba-tiba si ibu melihat ada seorang perempuan sedang dipukuli dan diseret orang-orang dan dihinakan, “Dasar Pencuri…… dasar Penzina….”. Melihat keadaan ini, si ibu berdoa, “Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti wanita pencuri dan penzina itu.” Mendengar doa ibunya, anaknya melepaskan susuannya, lalu berdoa, “Ya Allah jadikanlah aku seperti wanita yang disakiti itu.” Si anak setelah berdoa kembali menetek lagi. Beberapa saat kemudian lewatlah seorang kaya raya dan berwibawa. Maka si ibu berdoa, “Ya Allah jadikanlah anakku seperti dia (orang kaya itu).” Lalu si anak melepaskan susuannya kembali dan berdo’a, “Ya Allah, jangan jadikan aku seperti orang ini (si kaya tersebut)”. Kenapa si ibu berdoa seperti itu dan si bayi berdoa yang bertentangan dengan doa ibunya. Hal ini karena si ibu berdoa berdasarkan pandangan yang dia lihat, padahal apa yang sebenernya tidak seperti yang terlihat. Ternyata si wanita yang disiksa tadi adalah wanita yang shalehah dan si orang kaya tadi rupanya seorang yang dzalim. Inilah yang di minta dan yang dimohon perlindungan oleh si bayi tadi.
Orang musyrikin Quraisy, kenapa tidak mau menerima dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ? Hal ini karena keadaan dzahir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  kacau dan tidak enak dilihat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan ketika berdakwah : “Wahai Hatib bin Hasyim, apakah engkau tidak mau menerima dakwah saya, karena kemiskinan saya.”
Janji Allah subhanahu wa ta’ala bukan maksud, tapi maw’ud, dijanjikan, bukan dimaksudkan. Keberkahan adalah maw’ud, dijanjikan, bukan dimaksudkan. Orang yang menjadikan janji Allah ini sebagai maksud bukan maw’ud, maka Allah jadikan orang tersebut meninggalkan agama. Perkara ini patut kita fikirkan dan direnungkan. Kalau surga yang abadi selamanya itu hanya dijadikan maw’ud saja, yang dijanjikan, bagaimana mungkin dunia yang fana dan sementara ini dijadikan maksud. Padahal surga itu yang begitu tinggi tingkatannya dibandingakan dunia, dan itupun bukan dijadikan maksud, tapi maw’ud, apalagi dunia ? Jadi maksudnya apa ? Maksudnya adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala, Maw’udnya adalah surga. Jadi surga ini yang dijanjikan bukanlah maksud, tetapi maw’ud. Jika tidak begini, maka orang mengamalkan agama untuk dunia saja. Agama atas dasar suasana ketaatan ini sementara semua. Orang yang mengamalkan agama untuk ahwal, ini seperti obat untuk orang sakit. Tatkala sakit obat ada, lalu ketika sembuh obat ditinggalkan. Hari ini begitu pula, orang mengamalkan agama karena ahwal-ahwal saja, tatkala ahwalnya sudah bagus agama ditinggalkan. Kita beramal agama bukan untuk memperbaiki keadaan, tetapi kita beramal agama untuk mentaati perintah Allah. Dalam keadaan apapun perintah Allah akan kita lakukan. Jadi agama ini bukan mengikuti ahwal, tetapi ahwal yang mengikuti agama. Oleh sebab itu ketika mau mengamalkan agama, pertama kali yang harus kita luruskan adalah meluruskan niat kita.
Kita, semua orang, diperintahkan Allah untuk beribadah dan berdakwah. Dakwah dan ibadah adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala sudah memerintahkan kita untuk beribadah dan berdakwah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَاعْبُدْرَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (kematian).” (QS Al Hijr : 99)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An Nahl : 125)
Ayat tersebut perintah dari Allah untuk siapa ? Untuk semuanya. Orang mau beramal dan tidak beramal, dakwah ini merupakan perintah Allah. Mau dia beramal dan tidak beramal, Allah perintahkan mereka untuk beramal. Dakwah itu untuk perbaikan diri sendiri. Sebagian orang mengatakan, “saya tidak mau berdakwah karena saya sendiri belum mengamalkan.” Padahal tidak ada syarat dalam berdakwah harus diamalkan dulu, bukan syarat yang seperti itu. Kita amalkan dulu baru kita dakwahkan, bukan seperti itu yang diminta. Memang benar orang yang berdakwah itu hendaknya mengamalkan apa yang dia dakwahkan. Tetapi jangan dibalik, belum mengamalkan tidak boleh mendakwahkan, ini pernyataan tidak ada di Al Quran dan tidak ada di hadits, tidak ada larangan seperti itu. Orang yang mau beramal sedikit, maka jika seperti itu, yang mau berdakwah bisa lebih sedikit lagi.
Dakwah ini diperintahkan untuk semua orang, karena dakwah ini untuk menghidupkan amal agama. Supaya hidup amal agama dengan dakwah. Jadi kalau syaratnya dakwah ini harus amal berarti yang bisa berdakwah hanya orang-orang yang beramal saja terutama orang-orang tempatan saja yang nampak.
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan : “Dakwahkan kebaikan, walaupun kalian belum bisa mengamalkannya”
Ada dalam hadits dan ayat Al Quran, dikatakan, “Mengapa kamu bicara padahal kamu belum mengamalkan ?” Sehingga asbab dalil ini banyak orang tidak mau berdakwah, sebelum mengamalkan. Padahal maksud ayat dah hadits ini bukan seperti itu. Ayat dan hadits tersebut berlaku bagi orang-orang yang berdakwah untuk memperbaiki orang lain. Pedagang berdakwah tentang dagangannya itu sebenarnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk pembeli. Si pedagang berdakwah mengenai dagangannya untuk kepentingan dirinya, bukan untuk kepentingan si pembeli. Oang yang punya hutang banyak lalu dia berdagang, maka dia akan bilang kepada orang-orang, “Beli ini…beli ini..” sebab kenapa ? Dia berdagang untuk membayar hutang, bukan karena untuk membantu pembeli, bukan seperti itu. Jadi kita dakwah untuk diri sendiri, terserah mereka mau terima atau tidak, mau percaya atau tidak.
Orang bilang inikan ada ayatnya, main dakwah-dakwah saja, belum tahu ayatnya sudah dakwah-dakwah saja. Padahal terjemahannya tidak seperti itu dan maksudnya juga tidak seperti itu.
Kamu memerintahkan saya untuk mengamalkan ini tapi kemudian kamu sendiri tidak mengamalkan, inilah terjemahan yang sebenarnya. Kenapa kamu katakan, “saya mau berjihad” tetapi kamu tidak berangkat berjihad. Maka kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak akan melakukan.
Tidak disangsikan lagi, bahwa adanya perbedaan antara kata dan realita adalah salah satu hal yang sangat berbahaya. Itulah sebab datangnya murka Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Shaff ayat 2 dan 3.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوالِمَ تَقُولُونَ مَالاتَفْعَلُونَ . كَبُرَمَقْتًاعِنْدَاللَّهِ أَنْ تَقُولُوامَالاتَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Allah juga mencela perilaku Bani Israil dengan firman-Nya,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّوَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاتَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Kisah Nabi Isa ‘alaihis salam.
Orang-orang berbicara kepada Nabi Isa ‘alaihis salam, “Nanti kalau dimintakan perang kita akan perang.” Tetapi setelah diminta, malah duduk semua, tidak ada yang mau. Atas perkara ini Allah ingatkan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman untuk mengingatkan mereka. “Bukankah kalian dulu berjanji, jika ada perintah berjihad, maka kalian mau berjihad, sekarang sudah ada perintah berjihad kenapa kalian tidak mau berjihad !” Itu hubungannya kesana.
Namun sekarang orang salah menafsirkan. Kalau belum beramal kok berani mendakwahkan, ini lain maksudnya. Jadi tidak ada larangan, belum beramal tidak boleh berdakwah. Tidak ada larangan orang yang melakukan maksiat, dia tidak boleh melarang maksiat, tidak ada aturannya seperti itu. Jika seseorang belum bisa mengamalkan amal baik, tidak ada larangan untuk mendakwahkan amal tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan : “Perintahkan kebaikan walaupun kamu belum bisa mengamalkan semuanya, cegah kemungkaran walaupun kamu belum bisa meninggalkan semuanya.”
Saya belum shalat tahajjud, bagaimana saya bisa mengajak orang agar melaksanakan shalat tahajud ? Saya masih melakukan dosa, bagaimana saya bisa melarang orang berbuat dosa ? Saya ini masih banyak melakukan dosa, bagaimana saya bisa mendakwahkan agama ?
“Orang yang tidak mau berdakwah karena dia belum beramal, adalah seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia belum shalat.” Maksudnya apa ?  Ini dua perintah yang berlainan. Puasa itu suatu perintah, dan shalat itu juga suatu perintah yang lain. Kalau seorang tidak shalat, lalu tidak berpuasa, maka dua-duanya ditinggalkan. Ini sama saja meninggalkan 2 perintah Allah. Apakah karena tidak shalat, sehingga ada izin untuk tidak puasa ? Tidak seperti itu, itu dua perintah yang berbeda. Inilah tafsir dalam Kitab Ma’riful Quran oleh Ummu Syafirah, dia meluruskan : “Orang yang tidak beramal, kemudian dia tidak mau mendakwah amal, maka hal ini sama seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia belum shalat.”
Padahal ini perintah yang lain, satu sama lain : shalat perintah tersendiri, dan puasa juga perintah tersendiri. Menjalankan perintah dengan mencegah kemungkaran adalah suatu perintah. Bukan berarti belum beramal lalu kemungkaran di diamkan saja, tidak mau dakwah, tidak bisa begitu, rusak nanti umat. Kita niatkan bahwa kita berdakwah untuk diri kita sendiri. Buktinya apa ? Kita berdiri, niat keluar di jalan Allah.
Bersedia Insya Allah……………..4 bulan keluar di jalan Allah !!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar