Segala puji hanya bagi Allah subhaanahuu
wa ta'aalaa semata. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam,
keluarga, para shahabat dan pengikutnya.
Ketahuilah, semoga rahmat Allah selalu
terlimpah pada kita, bahwa ajaran agama yang paling penting untuk dipelajari
dan diajarkan kepada orang lain adalah shalat. Hal itu antara lain pernah
ditegaskan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad shallal-laahu 'alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits sahih :
“Aku didatangi Jibril ‘alaihis salaam pada
awal-awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudhu’ dan
shalat.” (HR. Ahmad, Baihaqi dan Hakim)
Shalat merupakan sarana komunikasi langsung
yang membuktikan bahwa sorang manusia meyakini terhadap Allah subhaana-huu
wa ta'aalaa. Tanpa mengerjakan shalat maka akan putuslah hubungannya dengan
Allah, yang berarti boleh jadi dia tidak percaya atau mengingkari Allah subhaanahuu
wa ta'aalaa. Karena perkara shalat inilah Allah memberikan keutamaan dan
pahala yang besar bagi yang menunaikannya dan mengancam dengan siksa yang pedih
bagi yang mengabaikannya.
Kalau kita bandingkan kenyataan zaman
sekarang dengan apa yang ada pada zaman Rasullullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam dan para shahabatnya akan dijumpai suatu perbedaan yang sangat
jauh. Para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’iin melaksanakan
shalat lima waktu dengan tertib yaitu selalu berjama’ah, di awal waktu dan di
tempat dimana adzan dikumandangkan (di masjid). Syaikh Zakaria rahmatullaah
‘alaih menulis dalam Kisah Sahabat berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhum
ajma’iin bahwa ketika para sahabat sedang berdagang atau bekerja
kemudian mendengar suara adzan, maka mereka langsung meninggalkan
perdagangannya/ pekerjaannya berjalan menuju masjid. Mengenai orang-orang
inilah Allah berfirman : “Lelaki-lelaki yang tidak dilalaikan oleh
perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar
zakat” (QS. An Nur (24) : 37)
Para sahabat juga melaksanakan shalat dengan
khusyu’ dan khudhu’ sehingga shalat mereka mendatangkan pertolongan Allah subhaanahuu
wa ta'aalaa. Satu kisah, Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu bersama
3000 pasukannya hendak melewati sungai Dajlah (di Irak) dimana tidak ada perahu
sebagai sarana untuk menyebrang. Maka beliau perintahkan dengan takbir 3 kali.
Takbir pertama sebagai isyarat berwudhu’, takbir kedua
isyarat untuk mendirikan shalat, dan takbir
ketiga isyarat naik kuda untuk meneruskan perjalanannya.
Dengan pertolongan Allah, beliau dan pasukannya berjalan di atas sungai dengan
kudanya tanpa tenggelam. Allahu Akbar !!!
Para sahabat betul-betul mendirikan shalat
menurut perintah Rasullullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang
bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat." (HR. Bukhari). Mereka tertib melaksanakan shalat lima
waktu dengan berjama’ah. Dalam kehidupan sehari-haripun mereka berjamaah,
bersifat kasih sayang dan saling tolong menolong. Hati dan gerak-an
mereka seolah menjadi satu, sehingga walaupun mereka jumlahnya sedikit mampu mengalahkan
musuh-musuhnya yang berjumlah puluhan kali lipat. Hal ini terjadi karena Allah
telah ridha kepada mereka dan bersama mereka ada kekuatan dan pertolong-an
Allah subhaanahuu wa ta'aala.
Sementara di zaman sekarang ibadah shalat
baru dipandang sebagai beban kewajiban, belum sampai pada tingkat kesadaran
bahwa shalat sebagai kebutuhan. Akibatnya sebagian orang malas dan enggan
mendirikan shalat, dan ada orang yang melaksanakan shalat tetapi tidak
menunaikan dengan tertib. Suara adzan yang dikumandangkan dengan suara yang
keras seakan jatuh ke banyak telinga yang tuli. Anjuran Rasullullah shallallaahu
'alaihi wa sallam untuk shalat berjama’ah dengan janji 27 kali lipat
pahala dari shalat sendirian tak berhasil memikat hati. Akibatnya umat Islam
yang banyak seperti buih di lautan, dipermainkan ombak, dilempar ke tepian dan
dimarginalkan. Mereka menjadi sulit bersatu, mudah dipecah-belah dan mudah
dihasut sehingga selalu saling bermusuhan. Akhirnya niatan kaum kafir untuk
menguasai umat Islam sulit dicegah.
Mengenai umat akhir zaman yang suka
melalaikan shalat pernah disampaikan oleh Baginda Rasullullah shallallaahu
'alaihi wa sallam :
“Abu Hurairah radhiyallaahu
'anhu meriwayatkan,"Setelah Isya’ aku bersama 'Umar bin Khathabradhiyallaahu
'anhu pergi ke rumah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallaahu
'anhu untuk suatu keperluan. Sewaktu melewati pintu rumah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, kami mendengar suara
rintihan. Kami pun ter-henyak lalu berhenti sejenak. Kami dengar Rasulullah
menangis dan meratap. 'Ahh... andaikan saja aku dapat hidup terus untuk
meli-hat apa yang diperbuat oleh umatku terhadap shalat. Ahh...aku
sungguh menyesali umatku.
'Wahai Abu Hurairah, mari kita ketuk pintu
ini,' kata 'Umar radhiyallaahu 'anhu. 'Umar kemudian mengetuk pintu.
'Siapa?' Tanya 'Aisyah radhiyallaahu 'anha 'Aku bersama
Abu Hurairah.' Kami meminta izin untuk masuk dan ia mengizinkannya.
Setelah masuk, kami lihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wa sallam sedang bersujud dan menangis sedih, beliau berkata dalam
sujudnya: "Duhai Tuhanku, Engkau adalah Waliku bagi umatku, maka
perlakukan mereka sesuai sifatMu (Maha Pengasih) dan jangan perlakukan mereka
sesuai perbuatan mereka."
'Ya Rasulullah, ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi, mengapa engkau begitu sedih?' kata
'Umar radhiyallaahu 'anhu.
'Wahai 'Umar, dalam perjalananku ke rumah
'Aisyah sehabis mengerjakan shalat di mesjid, Jibril mendatangiku dan berkata,
'Wahai Muhammad, Allah Yang Maha Benar nengucapkan salam kepadamu,' kemudian ia
berkata, Bacalah!' 'Apa yang harus kubaca?' Jibril berkata, 'Bacalah firman
Allah :
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, mereka kelak akan menemui
kesesatan. (QS. Maryam, 19:59)
Aku tanya,'Wahai Jibril, apakah sepeninggalku
nanti umatku akan mengabaikan shalat?' Jibril menjawab,'Benar, kelak di akhir
zaman akan atang sekelompok manusia dari umatmu yang mengabaikan shalat,
mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya, dan memperturutkan hawa nafsu.
Bagi mereka satu dinar lebih berharga daripada shalat." (Hadits ini
diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Umar radhiyallaahu 'anhu)
Atas dasar inilah, kita semua merasa punya
tanggungjawab untuk bersama-sama memperbaiki tertib dan kualitas shalat kita,
sehingga shalat kita sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam. Dalam pembahasan ini akan dikaji tuntunan shalat dari
takbir hingga salam menurut riwayat hadits, Kita upayakan juga bisa
menterjemahkan bacaan dalam shalat setiap kata demi kata atau kalimat, yang
akan memudahkan kita untuk memahami dan menghayati bacaan shalat. Demikian pula
ada sedikit penjelasan fiqhiyah berdasarkan hadits sahih dari ulama yang
terpercaya dan kita akan merasakan juga betapa dahsyatnya gerakan shalat bagi
kesehatan jasmani dan ruhani.
a.
Arti Shalat
Shalat secara bahasa bisa bermakna do’a,
makna ini tergambar pada ayat Al-Qur'an dan Hadits berikut. Allah berfirman :
"Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan shalatlah
(berdo’alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do’a) kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (QS.
At-Taubah : 103)
Ayat ini menyeru Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam untuk mendo’akan orang-orang yang telah menunaikan
zakat. Karena itulah menjadi syari'at bagi setiap 'amil (pengumpul)
zakat untuk mendo’akanmuzakki (orang yang berzakat).
Dalam sebuah hadits diceritakan:
"Abdullah Bin bi Aufa radhiyallaahu 'anhu berkata:
"Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika
suatu kaum mendatangi seseorang untuk menyerahkan shadaqah (zakat)-nya, maka
do’akanlah dengan:
"Ya Allah, berikanlah rahmat kepada
keluarga si Fulan (namanya)." Maka
ayahku pernah menyerahkan shadaqah kepada beliau dan beliau bersabda:
"Ya Allah, berikanlah rahmat kepada
keluarga Abi Aufa." (HR. AI-Bukhari)
Ungkapan "shalawat kepada Nabi bermakna
mendo’akan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Namun dikatakan juga
bahwa shalawat dari Allah bermakna "rahmat", dari malaikat bermakna
"istighfar" (memohon ampunan), sedangkan dari manusia bermak-na
"do’a". Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya
bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu
kepadanya dan ucapkanlah salam dengan salam yang sempurna." (QS. Al-Ahzab:
56)
Adapun makna shalat menurut istilah syara'
adalah: "Ibadah yang mengandung
ucapah-ucapan dan amalan-amalan yang
khusus, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam."
Tidak salah jika shalat disebut do’a karena
mayoritas bacaan shalat mengandung do’a, seperti dalam bacaan rukuk dan sujud.
Bahkan pada iftitah (pembukaan) shalat saja ada do’a, biasa disebut do’a
iftitah.
b.
Sejarah Shalat
Jika kita melihat sejarah jauh ke belakang,
tepatnya mengenai sejarah para Nabi terdahulu, ternyata shalat termasuk salah
satu ibadah tertua yang pernah ada di muka bumi. Ibadah ini telah diperintahkan
Allah kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam,
seperti Nabi Ibrahim, Ishak, Ya'kub, dan Ismail ‘alaihimush shalaatu
wassalaam. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur'an berikut
ini:
"Kami jadikan mereka (para nabi) sebagai
imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyu-kan kepada
mereka supaya berbuat kebaikan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka
itu adalah hamba-hamba Kami." (QS.
Al-Anbiya : 73)
"Perhatikanlah dalam kitab (riwayat) Isma'il.
Sesungguhnya ia seorang yang benar janjinya dan ia adalah seorang Rasul dan
Nabi. la menyeru keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat; dan ia adalah
seorang yang disukai di sisi Tuhannya. " (QS. Maryam : 54-55)
Pada ayat
di atas diceritakan bahwa Nabi Isma'il ‘alaihis salaam menyeru
keluarganya untuk melakukan shalat, begitu pula Allah memerintahkan Nabi
Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam agar menyeru keluarganya
untuk shalat. Sebagaimana firman Allah kepada beliau:
"Perintahlan keluargamu untuk melakukan
shalat dan bersabar dalam melakukannya...." (QS. Thaha : 132)
Ayat di atas menunjukkan bahwa selain
diperintahkan untuk shalat, kita pun diperintahkan oleh Allah subhaanahuu wa
ta'aalaa untuk menyerukan shalat kepada keluarga ataupun tetangga
kita. Pada ayat lain Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah
diri kalian dan keluarga kalian dari neraka...." (QS. At-Tahriim: 6).
Ayat ini menyeru kita untuk memperhatikan keluarga
dan mencegah mereka mendekati (masuk) neraka. Salah satu caranya adalah dengan
memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat.
Di dalam ayat yang lain, Bani Israil pun
diperintahkan oleh Allah untuk mendirikan shalat. Seharusnya, pengikut Nabi Isa ‘alaihis
salaam (Nasrani) dan pengikut Nabi Musa ‘alaihis salaam (Yahudi)
juga melaksanakan shalat karena mereka termasuk Bani Israil yang terkena
perintah kewajiban shalat. Hal ini tidak cukup dilaksanakan hanya sekali, tapi
berkali-kali selama hidup, seperti yang diungkapkan oleh Nabi Isa dalam
AI-Qur'an :
"Dan Allah menjadikan aku seorang
yang diberkati (berguna untuk manusia) di mana saja aku berada, dan Dia
mewasiatkan kepadaku mengerjakan shalat dan menunaikan zakat selama aku
hidup."(QS. Maryam: 31)
Dalam Islam, shalat terbagi dua; shalat yang
wajib atau biasa disebut shalat fardhu dan shalat sunat atau biasa disebut
shalat tathawwu'. Shalat yang wajib ialah shalat yang lima waktu:
Shubuh, Dzuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya'. Allah berfirman dalam AI-Qur'an :
" ...Sesungguhnya shalat bagi
orang-orang mukmin adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya." (QS
An-Nisa :103))
Rasulullah pernah bersabda tentang shalat
yang Allah wajibkan : "Shalat yang lima waktu, kecuali jika engkau
mau melaksanakan shalat sunnat." (HR Muslim)
Pada mulanya shalat yang diperintahkan oleh
Allah kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam hanya berjumlah
dua rakaat, baik ketika muqim (di tempat sendiri)
ataupun safar (bepergian), kecuali untuk shalat maghrib tetap tiga
rakaat. Setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam hijrah ke
Madinah jumlah rakaat ditambah menjadi empat rakaat kecuali shalat Maghrib
tetap tiga rakaat, shalat fajar tetap dua rakaat dan shalat safar tetap dua
rakaat. Sesuai dengan perkataan Siti Aisyahradhiyallaahu ‘anhaa :
"Shalat itu diwajibkan dua rakaat,
kemudian setelah Hijrah diwajibkan menjadi empat rakaat, dan untuk shalat safar
tetap pada hukum yang pertama". (HR.
Ahmad dan Bukhari)
Saat safar kita
diperbolehkan untuk mengqashar shalat yang asalnya empat rakaat seperti shalat
Dzuhur, Ashar, dan Isya. Kecuali untuk shalat Shubuh dan Maghrib tidak ada
syari'at qashar shalat. Senada dengan firman Allah subhaanahuu wa
ta'aalaa :
"Apabila kamu bepergian di muka bumi,
maka tiada berdosa jika kamu mengqashar shalat .... (QS. An-Nisa : 101)
Pada saat Isra’ Mi’raj Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan dari
Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha, shalat diwajibkan lima puluh kali.
Sebagaimana diceritakan dalam hadits berikut.
Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Shalat
telah diwajibkan atas Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pada
malam Isra lima puluh kali, kemudian berkurang menjadi lima kali, kemudian
beliau dipanggil "Hai Muhammad perkataan itu tidak akan diubah di sisiKu,
bagimu yang lima waktu (pahalanya sama dengan) lima puluh kali." (HR
Ahmad)
Shalat yang mulanya lima puluh kali dikurangi
menjadi lima kali namun senilai lima puluh kali. Meski telah diperingan menjadi
lima kali, masih banyak orang menyia-nyiakan shalat, apalagi jika shalat itu
mesti dilakukan sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam. Barangkali
karena belum diketahui nilai tinggi dan pahala besar dari shalat ataupun sudah
tahu tetapi imannya lemah sehingga tidak ada kekuatan untuk melaksanakannya.
Shalat merupakan sarana komunikasi seorang
hamba atau manusia kepada Allah subhanahuu wa ta’aalaa. Komunikasi
manusia yang bersifat lemah kepada Dzat yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Komunikasi manusia yang tak lepas dari kesalahan kepada Dzat yang Maha Suci
dari segala kekurangan. Dengan komunikasi tersebut memberikan keyakinan bahwa
Allah Maha Pencipta, Maha Besar, Maha Pemberi, Maha Kuasa, Maha Esa, Maha
Sempurna, Dialah Rabbul 'aalamin, hanya kepadaNya Tempat
Bergantung. Manusia yang tidak melakukan komunikasi kepada Tuhan, secara tidak
langsung meniadakan kekuasaan, kesempurnaan, keagungan bahkan keberadaanNya,
yang berarti sederajat kaum yang tak beriman.
Shalat akan membawa seseorang yang beriman
kepada situasi kejiwaan yang khas. Situasi ini meresap kedalam dirinya sebagai
suatu pengalaman akan kenyataan adanya Tuhan dan keMaha-besaranNya. Dalam
keadaan yang intens pengalaman ini tiada terbatas pada hanya
waktu shalat saja. Pengaruh pengalaman ini masih terasa beberapa waktu setelah
shalat, namun sedikit demi sedikit intensitasnya makin menurun. Dalam situasi
kejiwaan seperti ini pengalaman hidup sehari-hari dapat dihadapi dengan tenang.
Kesusahan, ketakutan dan kekhawatiran direndam oleh situasi kejiwaan yang
disebutkan oleh Allah subhanahuu wa ta’aalaa dalam surat al
Baqarah ayat 38 artinya:"……Barangsiapa mengikuti petunjukKu, niscaya ia
tiada akan takut dan tiada akan berduka cita.”
Dengan shalat diharapkan kepercayaan dalam
hati semakin kuat, sehingga membuahkan rasa kemerdekaan dan kebebasan jiwa
terhindar dari perasaan takut, susah, gelisah dan khawatir dari pengaruh
kekuatan, kehebatan, kebesaran benda-benda dan makhluk-makhluk di jagat raya
ini. Karena itu perasaan hati hanya tunduk kepada kebesaran dan kehebatan
Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
Supaya fungsi shalat seperti itu dapat kita
capai, maka bacaan shalat yang dikerjakan harus dimengerti. Mampukah kita
berkomunikasi dengan baik kepada Allah subhanahuu wa ta’aalaa tanpa
mengerti makna bacaan shalat yang kita ucapkan? Bukankah mengerti dan memahami
makna bacaan shalat sangat mempe-ngaruhi kekhusyu'an shalat seseorang.
Barangkali tepatlah sitiran syair dibawah ini ditujukan kepada orang-orang yang
tak mengerti bacaan shalat :
“Banyak orang shalat namun tak ada baginya
dari shalatnya kecuali hanya melihat sajadah, turun dan bangkit. Engkau melihat
dia berada diatas sajadah dalam keadaan berdiri (shalat), namun hatinya tertuju
pada perniagaannya dipasar.”
Allah subhanahuu wa ta’aalaa mengecam
pada orang-orang yang shalat pada lahirnya saja, cuma gerakan kata semata dan
meninggalkan makna komunikasi kepadaNya, yang menjadikan hati mereka
menerawang/melantur kesana kemari. Allah subhana-huu wa ta’aalaa berfirman
dalam QS Al-Ma’un 107 : 4-5 : “Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya.”
Orang-orang yang mengerjakan shalat yang
dinamai mushallin oleh Allah dikatakan celaka,
karena mereka mengerjakan shalat, tetapi mereka melantur, menyimpang dari
shalat yang sebenarnya. Seharusnya hati dan pikiran dibulatkan dan ditujukan
hanya kepada Allah semata, yang mendatangkan rasa takut dan merasa akan
kebesaran Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
Perhatikan juga firman Allah dalam surat
An-Nisaa: 43
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati
(mengerjakan) shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian
mengetahui (menyadari) apa-apa yang kalian katakan
Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni rahimahullaah dalam kitabnya “Rowa’iul
Bayaan” menerangkan bahwa
ayat tersebut menunjukan "larangan mengerjakan shalat dalam
keadaan mabuk". Udzur mabuk ini dikarenakan ketidaktahuan (ketidaksadaran)
akan apa-apa yang diucapkannya.
Perkataan "sedang kamu dalam keadaan mabuk" menurut Wahab Munabbih radhiyallaahu ‘anhu, adalah mabuk dari apa saja, termasuk mabuk dunia, yang membuat hati
melantur, hati lalai akan ucapan-ucapan dalam shalat. Dan perkataan "Sehingga kamu mengetahui apa yang kamu
ucapkan" memberi
pengertian bahwa ketika kita shalat dituntut mengetahui, memahami dan
menghayati ucapan-ucapan dalam shalat.
Ibnu Rajab al Hambali rahmatullah
‘alaih menulis dalam kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” bahwa
Ustman Abi ‘Aus rahmatullaah ‘alaih berkata : "Ada kabar
yang sampai kepadaku, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah
shalat dengan bacaan nyaring, setelah selesai shalat beliau bersabda: "Apakah
ada ayat yang saya tinggalkan dari surat yang saya baca ?" Para
sahabat berkata :“Kami tak mengerti" Kemudian Ubay bin
Ka’ab radhiyallaahu ‘anhu berkata: "Ya. benar
ada, ayat ini dan ini". Rasulullah Shallallaahu
'Alaihi wa Sallam bersabda: "Mengapa masih ada kaum
yang dibacakan kitab Allah, lalu tidak mengerti ayat-ayat yang tertinggal tidak
dibaca? Sebab begitulah, maka kebesaran Allah dikeluarkan dari hati-hati kaum
Bani Israil, badan-badannya menyaksikan sedang hati-hatinya kosong. Allah tidak
akan menerima amal hamba, sehingga hatinya dan badannya bersama-sama
menyaksikan."
Siti ‘Aisyah radiyallaahu ‘anha menuturkan
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Apabila
mengantuk salah seorang diantara kalian padahal dia (sedang atau akan)
shalat maka hendaklah dia tidur sampai hilang kantuknya; karena sesungguhnya
salah seorang diantara kalian apabila mengerjakan shalat sedang dia dalam
keadaan mengantuk, dia tidak tahu barangkali dia akan minta ampun, padahal dia
memaki diri sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadist ini menunjukkan larangan mengerjakan shalat dalam
keadaan mengantuk. Udzur disini karena tidak mengerti atau tidak menyadari
apa-apa yang diucapkannya. Ketidakmengertian orang yang mengantuk tersurat pada
kalimat:…..Dia tidak tahu barang-kali dia akan meminta ampun, padahal dia
memaki dirinya sendiri
Dari sini jelaslah bahwa orang yang
mengerjakan shalat harus menyadari apa yang dibacanya. Kalau tidak shalat kita
hanya sebuah gerak-gerik ucapan bibir tanpa mengerti, memahami atau menghayati,
padahal semua lafadz itu adalah dialog suci kita dengan Allah subhanahuu
wa ta’aalaa. Jadi mengerti, memahami dan menghayati ucapan shalat
termasuk pintu pertama menuju terciptanya komunikasi manusia dengan Allah subhanahuu
wa ta’aalaa
Sayyid Muhammad Alwi al Maliki rahmatullaah
‘alaih dalam “Kaifa Tushallii” menulis bahwa sebagai
seorang muslim yang taat tentu ingin menyempurnakan shalatnya dengan berupaya
untuk mengerti dan memahami bacaan-bacaan shalat. Semua itu dengan niat untuk
memenuhi ketentuan Allah subhanahuu wa ta’aalaa dan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ungkapan berikut mungkin
menyadarkan untuk segera mengerti dan memahami arti bacaan seluruh bacaan
shalat yang kita baca. :
"Tidak mengerti dan tidak memahami arti
bacaan shalat barangkali sama dengan orang yang mengerjakan shalat dalam
keadaan mabuk atau mengantuk"
Dalam suatu riwayat Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam secara tegas bersabda, bahwa shalat itu akan
memperoleh hasilnya manakala kita mengerti, memahami dan menghayati apa-apa yang
diucapkan di dalam shalat, karena bertindak begini berarti tidak
melalaikan tugas hati dalam beribadat shalat.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
"Tidaklah dari seorang muslim yang
berwudhu maka disempurnakannya wudhunya, kemudian ia berdiri dalam shalatnya
maka dimengertinya yang diucapkannya, melainkan setelah ia selesai shalat itu
adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa)." (HR. Muslim).
Dalam kitab Taudiihul Adillah ada
seorang bertanya kepada K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami ghafarallaahulah, bahwa
dirinya saat mengerjakan shalat hatinya kemana-mana tidak menuju ingatan kepada
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Sah atau tidakkah shalat saya itu ?
Beliau menjawab bahwa shalat itu ada faridhahnya
dan ada pula fadhilahnya. Faridhah yang
dimaksudkan adalah menyempurnakan syarat dan rukun shalat, sehingga dengan
melaksanakan faridhah maka tercapailah sahnya shalat. Artinya
seorang telah dianggap menunaikan shalat, dan tidak usah mengulang shalat lagi,
karena sudah gugur tuntutan kewajibannya. Adapun fadhilah-nya
shalat adalah melaksanakan shalat dengan khusyu' dan khudhu'.
Dengan faridhah dapat
dihasilkan shalat yang sah, tetapi dengan fadhilah dapat
dihasilkan falah atau keberuntungan dari shalat. Sebagaimana
firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa dalam QS. Al-Mukminun
ayat 1 - 2 artinya :
”Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.”
Arti khusyu’ ini semuanya mungkin benar
karena berasal dari pengalaman yang sulit dikemukakan. Namun yang pasti khusyu’
adalah kerja hati yang memberikan kondisi tertentu pada jiwa yang tampak
bekasnya pada anggota badan.
Sedangkan khusyu’ yang batin disebut
juga khudhu’ adalah fikiran, hati dan jiwa terarah hanya kepada Allah subhaanahuu
wa ta’aalaa dalam setiap gerakan shalat dari takbir sampai salam.
Pikiran tidak menerawang kepada urusan dunia ataupun pekerjaan, sehingga
terjadi kebersamaan antara ucapan dan gerakan.
Seseorang yang telah memenuhi syarat dan
rukun shalat atau dikatakan faridhahnya sudah terpenuhi,menurut
ahli fiqih telah sah shalatnya, walaupun tidak khusyu’ atau fadhilahnya
tidak terpenuhi. Akan tetapi shalat tanpa khusyu’ adalah suatu yang kosong dan
akan membawa pada kerugian dan kekecewaan.
Syaikh Zakaria rahmatullaah
‘alaih menulis dalam “Fadhilah Shalat” bahwa hakekat
shalat adalah seorang hamba sedang berdialog dengan Allah subhaanahuu
wa ta’aalaa, yang tidak mungkin dilaksanakan dengan kelalaian. Selain
ibadah shalat ada kemungkinan kita lalai dalam melaksanakannya. Misalnya zakat,
hakekat zakat adalah mengeluarkan harta, walaupun hal ini bertentangan dengan
keinginan hawa nafsu yang gemar memboroskan uang untuk kesenangan dunia. Demikian
juga puasa yang menahan dari lapar, haus dan kenikmatan biologis, merupakan
hal-hal yang penting untuk dapat mengalahkan hawa nafsu. Jika dilaksanakan
dengan benar walaupun lalai, sedikitnya akan berpengaruh untuk menanggulangi
kekuatan nafsu. Sedangkan shalat, mengandung dzikir dan tilawah al
Quran. Jika shalat dilakukan dengan lalai, maka munajat dan pembicaraan dengan
Allah tidak akan jadi. Seumpama orang yang menderita sakit panas, maka ia akan
mengigau dan segala isi hatinya akan terucap oleh mulutnya, walaupun tidak akan
bermanfaat bagi dirinya dan juga bagi orang lain.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa mempunyai
sebuah takaran untuk mengukur kualitas shalat fardhu, dimana pahala seseorang
dalam shalat berbanding lurus dengan keikhlasan dan kekhusyu’an shalat yang
dikerjakannya.
‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhu
mendengar Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Apabila seseorang selesai mengerjakan shalat dia mendapat sepersepuluh,
sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat,
sepertiga atau seperdua pahala shalatnya. (HR. Abu Daud)
Anas radhiyallaahu ‘anhu berkata,
Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Apabila seorang mengerjakan shalat pada waktu yang telah ditetapkan
dengan wudhu’ yang sempurna, dengan perasaan rendah hati dan tawadhu’, dan
berdiri, ruku’, dan sujud dilakukan dengan baik, maka shalat yang demikian itu
akan berupa cahaya yang indah yang akan mendoakan orang itu dengan kata-kata
"Semoga Allah memelihara engkau seperti engkau telah memelihara saya.
"Sebaliknya, apabila seseorang tidak menjaga shalatnya dan tidak mengambil
wudhu’ dengan sempurna dan berdiri, ruku’ dan sujudnya tidak dilakukan dengan
tertib, maka shalatnya akan membuat wajahnya gelap dan buruk serta ia akan
mengutuk orang itu dengan kata-kata: "Semoga Allah subhaanahuu wa ta’aalaa
membinasakanmu sebagaimana kamu telah membinasakanku." Lalu shalatnya
dilemparkan ke muka orang itu seperti kain buruk (HR. Thabrani)
Shalat yang dilakukan tidak khusyu’ dan
khudhu’ maka shalat itu akan mengutuk. Mungkin inilah keadaan kita
dan ummat Islam saat ini selalu menurun dari hari ke hari di seluruh dunia,
dimana kehancuran datang dari setiap penjuru.
Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu berkata,
Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Suatu
hal yang mula-mula diangkat dari ummat ini adalah khusyu,' sehingga (tak
seorangpun dalam suatu jama’ah) engkau lihat padanya lagi orang yang khusyu'.
Syaikh Jamil rahmatullaah ‘alaih berkata
dengan ilmu membuat shalat jadi benar dan dzikir membuat shalat jadi indah dan
nikmat. Syaikh Sahb rahmatullaah ‘alaih berkata shalat khusyu'
akan datang jika dalam diri kita mempunyai sifat zuhud pada
dunia.
Syaikh Ihsan rahmatullaah ‘alaih berkata
jika shalat ada sifat yakin, ikhlas, ilmu, dan dzikir, maka shalat memasuki
tahap pertama hakekat yaitu akan mencegah perbuatan keji dan mungkar; jika
shalat mencapai shalatnya Rasulullah dan para sahabat barulah hakekat shalat akan
mampu menarik pertolongan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa.
Walaupun kita belum bisa melaksanakan shalat
dengan khusyu’ dan khudu’ harus ada upaya untuk selalu memperbaikinya. Ada
orang berpikir, "Karena tidak dapat melaksanakan shalat dengan
sempurna, lebih baik jangan mengerjakan shalat." Ini pandangan
yang keliru. Mengerjakan shalat walaupun tidak sempurna, jauh lebih baik dari
pada meninggalkan shalat, karena meninggalkan shalat akan mendatangkan azab
yang pedih dari Allah dan para Ulama berfatwa bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasai,
Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam kisah sahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam diterangkan bahwa sahabat Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu
‘anhu terkenal dengan shalatnya yang khusyu’. Beliau katakan: "Jika
sekali saja aku teringat sesuatu selain Allah dalam shalat maka batallah
seluruh shalatku". Ketika Saad wafat dan dikuburkan, Rasulullah
ikut menguburkan mayatnya dan berjalan sambil berjinjit. Rasulullah ditanya
kenapa bagitu? Beliau menjawab : "Karena aku melihat banyak
malaikat ikut menguburkan mayat Sa’ad sehingga aku takut menginjaknya. Allaahu
akbar!!
Ada orang bertanya kepada Sayyid Hasan bin
‘Ali As-Saqqaf rahmatullaah ‘alaih ,"Bukankah Allah subhaanahuu
wa ta’aalaa berfirman,”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al-Ankabut 45), tetapi
mengapa dalam kenyataannya, banyak Muslim yang biasa melaksanakan shalat tetapi
dia juga melakukan perbuatan keji dan mungkar. Mereka tidak banyak melakukan
kebaikan, bahkan lebih suka melakukan kejahatan. Kita mendapatkan mereka sangat
buruk dan kasar perkataannya, bahkan tidak sedikit pula yang suka berkata
cabul. Perbuatan dan perilaku mereka sangat jahat. Pergaulan dengan
saudara-saudaranya pun tidak sehat dan tidak baik. Mereka suka berbohong.
Mereka juga tidak segan-segan untuk menipu, memanipulasi, dan melakukan
korupsi. Mereka tidak menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak terpuji seperti
istiqamah (tegak dalam kebenaran), tekun, dan ikhlas dalam perbuatannya. Kenapa
demikian itu?
Sayyid Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf rahmatullaah ‘alaih menjawab, mereka baru melaksanakan atau mengerjakan
shalat, tetapi belum mendirikannya. Mereka belum mampu mendirikan salat dengan
sahih dan benar sesuai dengan tata cara dan sifat-sifat shalat yang diajarkan
oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam kepada para
sahabatnya yang mulia. Mereka belum memahami makna shalat yang sesungguhnya.
Mereka juga belum memikirkan untuk mem-perbaiki atau menyempurnakan shalatnya.
Mereka baru melakukan gerakan-gerakan shalat lahiriah atau badaniyah dengan
meniru orang lain. Atau seperti yang dikenal sekarang, mereka baru mampu
melakukan perbuatan rutin belaka. Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah menyuruh
seseorang untuk mengulangi shalatnya, padahal dia telah melakukan shalat.
Sabdanya, "Kembalilah, sesungguhnya kamu belum melakukan shalat." (HR. Buhari, Muslim). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan menyuruh untuk mengulangi shalatnya sebanyak
tiga kali.
Menurut hadits ini pada hakikatnya dia belum melakukan
shalat. Shalatnya masih dinilai rusak dan oleh karenanya dia seakan-akan belum
melakukan shalat. Padahal, orang yang ditegur dan disuruh mengulangi shalatnya
itu adalah seorang sahabat yang mungkin ikhlas melakukan shalat atau ibadahnya
itu, tetapi beliau masih menyuruh untuk mengulangi shalatnya. Menurut beliau,
ibadah tidak cukup dengan jiwa ikhlas saja, tetapi memerlukan pengetahuan
tentang tata caranya yang benar yang harus dipe-nuhi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Rasulullah pernah
ditanya oleh para sahabat mengenai firman Allah dalam QS. Al –Ankabut : 45, dan
beliau menjawab ,”Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar, maka tidak ada (nilai) shalat baginya.” Agar shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar, maka shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan khudhu’ dan sesuai
dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita melaksanakan shalat dengan memenuhi syarat dan
rukunnya dan dapat memahami makna shalat dengan sebenarnya, maka Allah akan
memasukkan ke dalam hatinya suatu rahasia (taufik). Dengan taufik itu, dia akan
senang melakukan kebaikan dan akan segan melakukan kemungkaran atau
kemaksiatan. Jika sudah demikian, maka shalat baginya otomatis menjadi sebab
utama dalam mendorongnya untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.
Akhlaknya semakin bagus, keikhlasannyapun semakin tampak, sehingga cocoklah
baginya firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, ,”Sesungguhnya shalat itu mencegah (pelakunya)
dari perbuatan keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) Allah itu lebih besar.
Dan Allah itu mengetahui apa yang kamu (sekalian) kerjakan.” (QS. Al Ankabut 45)
Setiap Muslim yang selalu mendirikan shalat
wajib menjadi manusia yang paling baik akhlaknya. Dalam bergaul dengan manusia,
dia harus lemah lembut, penuh toleran, dan selalu tampil sebagai orang yang
mempunyai sifat-sifat terpuji. Dengan demikian, ketika bergaul dengan orang
lain dia bagaikan bunga mekar yang harum semerbak; indah, lembut, penyayang,
serta tidak sombong atau tawadhu' (merendah). Bagaimanapun,
sikap lemah lembut, lentur, elastis, dan bagus dalam berbicara adalah buah atau
ciri dan tanda yang paling jelas dari akhlak yang baik. Sedangkan berbicara
buruk dan suka mencela adalah buah atau ciri dan tanda yang paling jelas dari
jeleknya perilaku atau akhlak seseorang. Maka, akhlak yang baik menuntut dan
melahirkan jiwa pengasih yang lemah lembut dan harmonis. Sedangkan akhlak yang
buruk mengakibatkan sikap saling membenci, saling mendengki, dan saling membelakangi.
Tidak perlu diragukan lagi keutamaan dan
kemuliaan akhlak yang baik. Akhlak yang baik wajib dimiliki setiap orang yang
mengaku sebagai Mukmin dan Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Karena
bagus akhlaklah, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan
pujian dan sanjungan dari Allah subhaanahuu wa ta’aalaa lewat
firmanNya, “Dan sesung-guhnya kamu wahai Nabi mempunyai akhlak yang agung.”
Mengenai kepentingan dan kemuliaan akhlak
itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak
mengungkapkan, antara lain, "Kebanyakan yang memasukkan seseorang
ke dalam surga itu adalah ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik."(HR.
Imam Tirmidzi , hadits sahih) Mengenai kepentingan dan kemuliaan akhlak itu,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak
mengungkapkan, antara lain, "Kebanyakan yang memasukkan seseorang
ke dalam surga itu adalah ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik."(HR.
Imam Tirmidzi , hadits sahih)
Usamah radiyallaahu ‘anhu berkata, "Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pemberian yang paling
baik yang diberikan kepada manusia?" Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Akhlak yang baik.”(HR. Ibnu
Majah, hadits sahih)
Pada hadits lain disebutkan, "Aku
diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." (HR.
Bukhari) Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan. "Sesuatu
yang paling berat untuk diletakkan dalam timbangan (amal) ialah akhlak yang
baik." (HR. Tirmidzi , hadits sahih)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dengan penuh kerendahan hati dan penuh kesungguhan, selalu
bermohon kepada Allah subhaanahuu
wa ta’aalaa supaya dihiasi
dengan akhlak mulia dan terpuji. Dalam suatu doa, misalnya, beliau berkata, "Ya Allah, perbaguslah badanku dan
akhlakku."(HR. Ahmad, Abu
Ya’la, Ibnu Hibban).
Pada kesempatan lain beliau berdoa, "Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk
atau mungkar." (HR. Tirmidzi,
Ibnu Hibban).
Sa'ad bin Hisyam radiyallaahu ‘anhu mengatakan,
"Aku pernah mendalangi Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa dan
bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Dia menjawab, "Tidakkah engkau (pernah) membaca
Alquran?" Saya menjawab, "Ya." "Akhlak
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Alquran," jawab
Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa, "Hendaklah kamu berlemah lembut dan jauhilah olehmu sikap
kasar (kejam) dan perkataan yang buruk atau jorok." (HR. Bukhari,
Muslim)
Pada kesempatan lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah subhaanahuu wa
ta’aalaa tidak suka kepada setiap orang yang kasar (keras hati) dan sombong,
suka berteriak dengan keras di pasar, pandai dalam urusan keduniaan tetapi
bodoh dalam urusan keakhiratan."(HR. Baihaqi, Ibnu Hibban, hadits
sahih).
Dalam hadis lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan, "Sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa membenci orang yang
suka melakukan perbuatan keji dan buruk akhlaknya."(HR. Ibnu Hibban, Thabrani, hadits sahih)
Kita sebagai ummat Islam wajib selalu
berhubungan dengan Allah. Allah telah memberikan jalan bagaimana setiap
perubahan waktu, minimal 5 kali setiap hari, manusia harus mengadakan dialog
dengan Allah dengan merasa bahwa dirinya hanya bergantung kepada Allah. Tanpa
pertolongan Allah, dirinya tidak bisa mengadakan aktifitas apapun, dan bahkan
tidak akan bisa hidup di dunia ini. Hubungan semacam ini disebut shalat.
Shalat yang dikehendaki oleh Allah adalah menurut tata cara dan tertib
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah telah mecontohkan dalam seumur
hidupnya, yaitu shalat dengan berjama’ah, di awal waktu dan di tempat dimana
adzan dikumandangkan (di masjid)/mushalla). Orang-orang jaman dahulu sering
memberikan nasehat agar berhati-hati dalam mengerjakan shalat, karena shalat
itu titik pertahanan terakhir agama. Walaupun sudah mengerjakan shalat, dan
istiqomah dalam mengerjakannya, siapa tahu sesungguhnya dia tidak melakukan
shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Sebuah hadits mengatakan : "Seorang
shalat selama 60 tahun, tapi sebenarnya tidak ada shalat baginya sedikitpun.
Lalu ditanya: Kenapa begitu? Bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam: Disempurnakan rukunya’, tetapi sujudnya tidak sempurna;
disempurnakan sujudnya, tetapi ruku’nya tidak sempurna. "
Dan sebuah khabar pula dari Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhu : "Bahwa ia melihat seorang shalat, tapi tidak sempurna ruku’
dan tidak pula sujudnya. Berkatalah Hudzaifah: Sudah sejak berapa lama engkau
shalat begitu? Orang itu menjawab : Sejak 40 Tahun. Berkata Hudzaifah: Engkau
tidak shalat. Bila engkau mati (sebelum bertaubat dan memperbaiki cara
shalatmu), engkau mati tidak dalam keadaan fitrah (suci)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari tanpa
menyebutkan 40 tahun karena Hudzaifah meninggal tahun 35 H, sedang shalat baru
diwajibkan 1 tahun sebelum Hijrah, maka tidak mungkin di saat Hudzaifah hidup
ada orang yang sudah shalat selama 40 tahun. Mungkin kata-kata 40 tahun di
sini, adalah kata-kata secara mubalaghah (diekstremkan) seperti
juga dalam Al-Quran surat At-Taubah : 80, artinya :
"Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi
mereka tujuhpuluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan
kepada mereka "
Khabar dari Abdullah Ibnu Mas'ud radhiyallaahu
‘anhu : "Suatu hari ketika ia sedang bercakap-cakap dengan
sahabat-sahabatnya, tiba-tiba ia memutuskan pembicaraan. Para sahabat bertanya:
Kenapa engkau memutuskan pembicaraan engkau hai Abu ‘Abdurrahman! la menjawab:
Aku bermimpi melihat sesuatu yang menarik. Aku lihat dua orang laki-laki. Yang
seorang, Allah subhaanahuu wa ta’aalaa tidak melihat kepadanya,
sedang yang seorang lagi tidak diterima shalatnya. Para sahabat bertanya: Siapa
kedua orang itu? ]awab Ibnu Mas'ud: Orang yang tidak dilihat oleh Allah subhaanahuu
wa ta’aalaa itu ialah orang yang berjalan dengan sombong. Sedangkan orang
yang tidak diterima shalatnya ialah orang yang shatat tidak menyempurnakan
ruku’ dan sujudnya."
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
"Akan datang satu masa atas manusia,
dimana mereka shalat namun sebenarnya mereka tidak shalat."
Saya sangat khawatir bahwa zaman
tersebut dalam sabda Rasulullah itu adalah zaman kita sekarang ini (yaitu zaman
Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal, dalam tahun 164-241 Hijrah). Sekiranya
engkau melakukan shalat di dalam 100 masjid, engkau tidak akan melihat satu
masjid pun dimana manusia shalat dengan betul sebagai yang dicontohkan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
beliau. Sebab itu takutilah kamu akan Allah, perhatikanlah tentang shalat kamu
dan shalat orang-orang yang bershalat bersama kamu.
Saya sangat khawatir bahwa zaman tersebut
dalam sabda Rasulullah itu adalah zaman kita sekarang ini (yaitu zaman Imam
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal, dalam tahun 164-241 Hijrah). Sekiranya engkau
melakukan shalat di dalam 100 masjid, engkau tidak akan melihat satu masjid pun
dimana manusia shalat dengan betul sebagai yang dicontohkan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Sebab itu takutilah kamu
akan Allah, perhatikanlah tentang shalat kamu dan shalat orang-orang yang
bershalat bersama kamu.
Bilal Ibnu Sa'd radhiyallaahu
‘anhu berkata : "Kesalahan yang tersembunyi tidak akan
mendatangkan bahaya, kecuali hanya kepada orang yang bersalah itu, tetapi satu
kesalahan yang kelihatan kalau dibiarkan saja, akan membahayakan orang lain,
bila tidak segera dicegah atau diubah."
“Membiarkan orang bershalat dengan cara yang
salah akan lebih besar dosanya bagi orang yang tahu bila ia tidak segera
menasihati dan mengubahnya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak ahli
hadits.
Anas radhiyallaahu ‘anhu berkata
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Kecelakaan (Neraka Wail) bagi si alim
yang membiarkan si jahil karena tidak mengajarinya." [Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Ya'laa)
Mengajar orang yang bodoh (tidak tahu) bagi
seorang alim (yang tahu) adalah wajib, bukan sunnat karena itulah si alim akan
mendapat siksa Wail bila berdiam diri atau tidak mengajar orang yang tidak
tahu. Allah tidak menyiksa orang yang meninggalkan pekerjaan sunnat, yang
disiksa ialah bila meninggalkan pekerjaan fardhu atau wajib.
Maka takutilah kamu akan Allah subhaanahuu
wa ta’aalaa dalam hal apa saja, lebih-lebih dalam hal shalat. Takutiah
kamu akan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa perkara orang yang tidak
tahu. Mengajari orang yang tidak tahu adalah wajib. Meninggalkannya bersalah
dan berdosa.
Perintahkanlah ahli masjidmu untuk
memperbaiki cara mereka melakukan shalat dan menyempurnakannya. Jangan sampai
ada yang bertakbir melainkan sesudah selesai imam bertakbir. Begitu juga dalam
ruku’ dan sujud, ketika bangkit dan turun. Semua itu harus dilakukan makmum
sesudah takbir imam, sesudah ruku’ imam, sesudah bangkit imam, sesudah sujud
imam. Secara singkatnya dalam setiap gerak, di setiap perpindahan rukun ke
rukun dalam mengerjakan shalat.
Sungguh ajaib seorang yang sedang berada di
rumahnya sendiri, mendengar adzan lalu bergegas ke masjid untuk melaksanakan
shalat. Tiada yang ditujunya selain mengerjakan shalat. Kadang-kadang ia keluar
dari rumahnya di malam yang gelap dan hujan, jalan berlumpur, digenangi air
sehingga pakaiannya menjadi basah dan kadang-kadang justru ia sedang kurang
sehat badan dan lemah. la memaksa diri datang ke masjid dengan tujuan melakukan
shalat berjamaah. Semua itu ditanggungkannya karena cintanya kepada shalat
berjamaah di dalam masjid. Tetapi sayang, tatkala ia berdiri di belakang imam
untuk memulai shalat, dia diperdaya oleh setan. la mendahului imam dalam
bertakbir, ruku’, sujud, ketika bangkit dan turun sehingga karena terperdaya
oleh setan itu, sehingga shalatnya menjadi rusak.
Sementara ada orang mengatakan mengenai
orang-orang yang shalat di dalam Masjidil Haram di musim-musim haji. Mereka
datang dari segala penjuru dunia, baik yang jauh dan dekat : dari Khurasan,
Afrika, Armenia, Asia dan lain-lain negeri. Engkau akan lihat orang Khurasan
datang menunaikan ibadah haji, lalu mendahului imam dalam shalatnya. Begitu
juga orang Syam, Afrika, Asia, dan orang-orang Hijaz sendiri dan lainnya,
kebanyakan mereka mendahului imamnya. Sungguh mengherankan, mereka
berlomba-lomba mengerjakan kebajikan, datang pagi-pagi ke masjid untuk shalat
Jumat karena mengharapkan pahala dengan menyingkirkan keinginan-keinginan
duniawi. Ada diantaranya yang datang ke masjid Jami' shalat Subuh mencari
kelebihan dan pahala. Ada diantaranya yang berada di masjid sampai maghrib, dengan
mengerjakan berbagai ibadah seharian dengan shalat, membaca ayat-ayat Al-Quran,
berdzikir, dan berdoa kepada Allah dengan perasaan harap dan takut. Tetapi
mereka shalat dengan mendahului imam karena tipu-daya setan atas dirinya. Setan
sudah berhasil menjadikan ibadah fardhu sebagai alat tipu-dayanya. la ruku’,
sujud, bangkit, turun dengan seenaknya saja. la mencoba mendekatkan diri kepada
Allah dengan berbagai shalat sunah (nawafil) tapi melalaikan perkara-perkara
yang wajib dari ibadah itu yaitu biasa mendahului imam dalam shalat berjama’ah.
Kebanyakan orang, kecuali yang
dikehendaki Allah subhaanahuu wa ta’aalaa mendahului imam dalam
ruku’, sujud dan ketika bangkit dan turun. Itu
adalah perdaya setan terhadap mereka sehingga mereka memandang ringan terhadap
shalat, melakukannya dengan sembarangan atau ceroboh. Ya, hanya bagian itulah
yang mereka peroleh dari amalnya.
Siapa saja yang meringankan shalatnya,
berarti meremehkan Islam agamanya. Bagian yang diperolehnya hanya sekedar
bagian yang diperolehnya dari shalatnya semata. Kecenderungan seseorang
terhadap Islam adalah sekedar kecenderungannya terhadap shalatnya saja. Pada
saat menemui Allah subhaanahuu wa ta’aalaa kelak diakhirat dalam
keadaan tiada nilai Islam pada dirimu. Bahwa kadar Islam di dalam kalbumu
sekedar nilai shalat dalam hatimu.
Berkata lmam Ahmad rahmatullaah
‘alaih : “Kaumku, aku pernah shalat beserta kamu. Maka
aku lihat sebagian dan ahli masjid kamu mendahului imam dalam ruku’,
sujud, ketika bangkit
(dari duduk) atau ketika akan duduk. Tidak (ada) shalat bagi orang yang
mendahului imam. Tentang ini banyak hadits Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan dari banyak sababat, semoga ridha Allah atas
mereka."
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam bahwa Allah
akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah mengubah wajahnya
menjadi wajah keledai!" Dalam hadits (riwayat) lain "menjadi kepala anjing"
Kalau orang yang shalatnya salah mendapat
ganjaran pahala, tentu Allah tidak akan menghukum/menghinakannya, sehingga akan
mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.
Kalau orang yang shalatnya salah mendapat
ganjaran pahala, tentu Allah tidak akan menghukum/menghinakannya, sehingga akan
mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Imam ruku’ sebelum kamu, sujud sebelum kamu dan bangkit sebelum
kamu." (HR. Muslim; Ahmad,Abu Dawud dari Abu Hurai-rah radhiyallaahu
‘anhu)
Al Barra’ radhiyallaahu
‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : "Dijadikan
seseorang imam untuk diikuti, sebab itu bila ia sudah bertakbir, maka hendaklah
kamu bertakbir dan janganlah kamu bertakbir sehingga ia bertakbir dan bila ia
ruku’, maka hendaklah kamu ruku’ dan janganlah kamu ruku’ sehingga imam ruku’
dan bila ia telah sujud, maka hendaklah kamu sujud dan janganlah kamu bersujud
sehingga imam bersujud." (HR. Bukhari, Muslim; HR. Al Bazzar dari
Nu’man bin Basyir radhiyallaahu ‘anhu)
Berkata Al-Barra'Ibnu'Azib : "Pernah kami (shalat) di belakang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Rasulullah sebagai imam dan kami
sebagai makmum), maka jika Rasulullah telah membungkukkan badannya dari berdiri
untuk bersujud, tidak seorangpun dari kami yang membungkukkan punggung sehingga
Rasulullah telah meletakkan dahi beliau di atas bumi (lantai), sedang para
makmum semuanya tetap berdiri, kemudian baru mereka mengikuti beliau
(bersama-sama sujud)."
Demikian juga banyak hadits yang diriwayatkan
dari banyak sahabat Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam, mereka berkata : “Sungguh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah lurus berdirinya, sedangkan
kami masih dalam keadaan sujud.”
Jelasnya di waktu Rasulullah masih bergerak
badannya untuk bangkit berdiri, dari sujud, kami semuanya tetap dalam keadaan
sujud dan setelah Rasulullah berdiri lurus, barulah kami bangkit dari sujud.
Demikian pula sebuah atsar dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu : "Bahwa ia melihat seorang mendahuluii
imam, maka berkata lbnu Umar kepadanya : “Engkau tidak shalat sendirian, tidak
pula mengikuti imam, kemudian ia memerintahkan orang itu agar mengulangi
shalatnya.” (R. Muslim, Abu Dawud dan Nasai).
Menurut Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar, orang yang
mendahului imam itu tidak dapat dikatakan shalat sendirian, sebab ada imamnya
dan tidak pula dapat dikatakan shalat berjamaah karena ia tidak mengikuti imam
yang ada di depannya. Bila tidak shalat sendiri dan tidak pula berjamaah,
berarti seolah-olah ia tidak shalat sama sekali, sehingga beliau memerintahkan
orang itu kembali mengulangi shalatnya. Sebagai diketahui, Ibnu Mas'ud adalah
sahabat yang teralim, begitu juga Ibnu Umar. Ibnu Mas'udlah tempat orang
bertanya, bila Rasulullah tidak berada di tempat.
Diriwayatkan dari Hiththan Ibnu Abdullah
Ar-Raqaasyi radhiyallaahu ‘anhu yang
mengatakan bahwa Abu Musa al Asy’ari radhiyallaahu
‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah berkhutbah kepada kami, menerangkan sunah shalat
dan apa yang harus kita sebut didalamnya. Rasulullah bersabda : “Bila kamu shalat, maka luruskanlah
barisanmu, dan salah seorang menjadi imam. Apabila imam sudah bertakbir, maka
baru kamu bertakbir dan bila ia membaca, maka kamu harus mendengarkan dan
apabila imam berkata: Ghairil-maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhaalliin, maka
hendaklah kamu berkata Aamiin. Allah akan mencintai kamu. Dan apabila imam
sudah bertakbir dan ruku’, maka hendaklah kamu bertakbir dan ruku’. Jadi imam
ruku’ sebelum kamu ruku’. Dan imam bangkit sebelum kamu bangkit. Dan apabila imam
mengangkat kepalanya dan berkata : Sami'allaahuliman hamidah, maka angkatlah
olehmu akan kepalamu dan katakanlah: Allahuma rabbanaa lakalhamdu. Allah akan
mendengar ucapanmu itu. Dan apabila imam sudah bertakbir dan sujud, hendaklah
kamu bertakbir dan sujud. Dan apabila ia telah mengangkat akan kepalanya dan
bertakbir, maka hendaklah kamu mengangkat kepalamu dan bertakbir. Dan apabila
imam sudah duduk, maka yang pertama harus kamu ucapkan ialah: At-Tahiyyaatu
lillaahi wash-shalawaatut wath-thayyibaatu sehingga kamu selesai dari
tasyahhud."
Menurut Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam "Bila imam sudah bertakbir
hendaklah kamu bertakbir, maknanya atau cara mempraktekkannya ialah agar
menunggu imam sehingga selesai ia bertakbir. Bila imam sudah selesai bertakbir
dan suaranya sudah terhenti, baru di saat itulah bertakbir.
Banyak yang kurang mengetahui perkara ini,
sehingga saat imam bertakbir, mereka mulai bertakbir. Jadi bersamaan waktunya.
Ini salah. Tidak diperbolehkan mereka memulai bertakbir sehingga imam selesai
mengucapkan takbir dan sudah putus suaranya. Ini maksudnya sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
"Idzaa Kabbaral-Imaamu fakabbiru, artinya bila imam sudah bertakbir, maka
(barulah) kamu bertakbir." Seorang imam tidak dikatakan selesai bertakbir
sehingga ia selesai mengucapkan "Allaahu Akbar." Karena kalau imam
baru mengucapkan "Allaahu" kemudian berhenti, maka tidaklah dikatakan
ia sudah bertakbir. Dikatakan imam bertakbir, kalau ia sudah selesai
mengucapkan "Allaahu Akbar." Kemudian barulah makmum bertakbir
menyebut "Allaahu Akbar". Jadi memulai bertakbir bersamaan dengan
imam adalah salah yang berarti meninggalkan apa yang telah diperintahkan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apalagi bila ada imam yang kurang mengerti,
ia terlalu memanjangkan ucapan takbir, sedangkan para makmum mengucapkannya
dengan secara ringkas, maka sudah pasti para pengikut/makmum lebih dahulu
selesai bertakbir daripada imam. Ini berarti sudah mendahului imam karena itu
berarti ia sudah shalat sebelum imam memulainya karena ia selesai bertakbir,
sebelum imamnya selesai.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa kabbara waraka'a, fa
kabbiruu warka'uu, artinya bila imam sudah bertakbir dan ruku’, maka
bertakbirlah kamu dan ruku’lah kamu, maknanya ialah agar kamu menunggu sampai
imam bertakbir dan ruku’ dan sudah putus suaranya, sedang di saat itu kamu
harus tetap berdiri, kemudian itu baru kamu mengikutinya.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : wa idzaa rafa'a ra'sahuu faqaala :
sami'allaahu liman hamidah, farfa'uu ru-uusakum wa quuluu : Allabumma rabbanaa
lakalhamdu, artinya maka apabila imam sudah mengangkat kepalanya dan berkata
sami'allaahu liman hamidah, maka angkatlah kepala kamu dan berkatalah Alaahumma
rabbanaa lakal hamdu. Maknanya kalimat ini ialah agar para makmum menunggu
imam, tetap ruku’ sehingga imam mengangkat kepalanya lalu berkata sami'allaahu
liman hamidah, sesudah terputus suaranya. Hendaklah para makmum tetap dalam
keadaan ruku’ lalu mengikuti imam dengan mengangkat kepala lalu berkata
Allaahumma rabbanaa lakal hamdu.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa kabbara wasajada, fa
kabbiruu wasjuduu, artinya bila imam bertakbir dan sujud, maka hendaklah kamu
bertakbir dan bersujud, maknanya ialah para makmum harus tetap berdiri sehingga
imam bertakbir, lalu membungkukkan badannya untuk bersujud dan ia meletakkan
dahinya di atas lantai. Sesudah imam meletakkan dahinya di atas lantai atau
sesudah terputus suara takbirnya, barulah para makmum mulai menggerakkan
badannya untuk bersujud sambil membaca Allaahu Akbar. Itulah yang dinamakan
mengikuti Imam.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan dari
Al-Barraa' Ibnu Aazib. Dan ini semuanya sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
berbunyi: Al-lmaamu yarka-u qablakum, wayarfa'u qablakum, artinya imam ruku’
sebelum kamu ruku’ dan bangkit sebelum kamu bangkit.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa rafa'a ra'sahuu wakabbara,
far fa'uu ru-uusakum, wakabbiruu, artinya bila imam mengangkat kepalanya dan
bertakbir, maka hendaklah kamu mengangkat kepalamu dan bertakbir. Artinya agar
para makmum tetap dalam keadaan sujud sehingga imam mengangkat kepalanya, lalu
bertakbir dan sujud, kemudian baru mereka mengikuti dan mengangkat kepala
mereka yaitu sesudah terdengar suara takbir dari imam.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa rafa'a ra'sahuu wakabbara,
far fa'uu ru-uusakum, wakabbiruu, artinya bila imam mengangkat kepalanya dan
bertakbir, maka hendaklah kamu mengangkat kepalamu dan bertakbir. Artinya agar
para makmum tetap dalam keadaan sujud sehingga imam mengangkat kepalanya, lalu
bertakbir dan sujud, kemudian baru mereka mengikuti dan mengangkat kepala
mereka yaitu sesudah terdengar suara takbir dari imam.dengan itu maknanya ialah
para makmum menunggu imam mereka dalam keadaan berdiri sehingga imam bertakbir,
lalu ruku’, begitu juga makmum harus menunggu imam dalam keadaan ruku’ sehingga
imam mengangkat kepalanya dan selesai menyebut sami'allaahu liman hamidah,
barulah makmum mulai mengangkatkan kepalanya dan berkata Allahumma rabbana
lakal hamdu. Demikianlah dalam setiap gerak, baik gerak turun atau gerak naik.
Jangan mendahului dan jangan bersamaan, sebab bila dikerjakan bersamaan, ada
kemungkinan besar para makmum geraknya lebih cepat daripada imam sehingga
mendahului pada akhirnya, sekalipun bersamaan pada awalnya. Demikianlah gerakan
shalat yang sempurna dan mari kita usaha mencoba untuk mengamalkannya. Di
samping itu juga ada usaha untuk membetulkan kesalahan yang dibuat orang lain,
terutama dalam shalat berjama’ah yang ada di kanan kiri kita.
IX.
SHALAT KITA MENGHADAP KEPADA ALLAH ATAU BERSAMA SYETAN?
Fenomena yang menyedihkan tetapi sering
terjadi dalam shalat adalah keadaan seseorang yang tidak lagi memahami apa yang
dilakukan dalam shalatnya. Bisikan – bisikan setan telah menggerogoti shalat
kita, sehingga hanya sedikit yang dilakukan penuh kesadaran apalagi dalam
keadaan hati yang terpaut pada Allah. Dari keseluruhan waktu shalat hanya
sedikit untuk mengingat Allah sedang sisanya telah disambar oleh setan sehingga
kita memanjangkan angan-angan, memikirkan problema kita, menguap, ngantuk
bahkan malas. Bukannya justru ‘berbicara’ dan ‘menghadap’ Allah dengan penuh
rasa takut, malu, tawadhu.. malah sradag-srudug, asal shalat ditunaikan.
Coba bayangkan jika kita dipanggil atasan
kita atau malah presiden kita, kemudian kita menghadap, lantas ketika sampai di
hadapannya, kita menguap, ngantuk, malas, bahkan tertidur. Bagaimana perasaan
dan sikap bos kita? Kira-kira tersinggung tidak dia? marah tidak dia? Dia yang
menggaji kita tapi kita tidak menghormati dia bahkan mengabaikan saat
berhadapan dengannya. Akibat paling ringan, kita diusirnya, atau malah di-phk.
Demikian juga Allah, ketika melihat kita shalat tapi pikiran dan hati
kita bukan padaNya, betapa kecewanya Dia, betapa kurang ajarnya kita. Masih
bagus jika Allah tidak murka pada kita, jika Dia murka.. menutup saluran rezeki
kita, kita tidak mendapat perlindunganNya mau jadi apa kita?
Mungkin sedikit orang yang bisa selamat dari
fenomena aneh ini, yaitu orang-orang yang mau dengan jujur dan ikhlas
mengendalikan rohaninya dengan olah jiwa (riyadhah). Bisikan setan saat shalat
memang dahsyat! dia iblis laknatullah mampu membuat pikiran & hati
seseorang yang di awal shalat, begitu khusyu’..tiba-tiba berubah menjadi sibuk
memikirkan segala hal yang tidak seharusnya dipikirkan saat menghadap Allah.
Hutang piutang, kemajuan usaha, kebangkrutan usaha atau bahkan suami atau istri
idaman. Semua berkecamuk dalam pikiran sehingga hati jadi tidak lagi bertaut
denganNya dan rusaklah shalat kita.
Seandainya kita langsung berlindung
(isti’adzah) kepada Allah saat mendapat godaan setan, tentu akan selamatlah shalat
kita. Tetapi seringkali kita tidak memohon perlindunganNya. Godaan setan itu
lemah, kuasa Allah itu di atas segalanya.. ketika kita mau memohon
perlindunganNya Allah akan selamatkan kita. Tetapi jika kita tidak memohon
perlindungan Allah, kita yang kalah karena kita tidak memiliki tameng belum
lagi dikuasai nafsu dan nafsu inilah tunggangan utama setan dan tentaranya
untuk mengalahkan kita.
Sebenarnya setan menggoda manusia bukan hadir
di klub malam, diskotik dan tempat-tempat maksiat lainnya. Karena setan tahu
orang-orang yang ada di sini tanpa digodapun telah menjadi budaknya. Karena itu
setan justru berada di tempat dan saat orang-orang yang menempuh jalan yang lurus,
alias orang yang taat pada perintah Allah. Dan saat paling istimewa bagi setan
untuk merusak ibadah seseorang adalah saat shalat, karena shalat memiliki
kedudukan yang sangat mulia.
Setan ibarat pencuri, ia tidak akan mengintai
rumah yang jelek dan tidak ada isinya, ia mengintai rumah yang bagus, indah dan
isinya penuh. Orang beriman ibarat pemilik rumah yang indah ini, yang
senantiasa terjaga, menjaga barang-barang miliknya, waspada terhadap bahaya
yang akan merusak rumahnya. Tentu si pencuri akan enggan masuk ke rumah tsb dan
akan berpindah ke rumah lain yang pemiliknya lebih banyak tidur terlelap.
Setanpun demikian, setiap saat ia akan berusaha untuk merusak iman kita,
menyambar ketaatan kita saat kita lengah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar