Saat
ini orang berusaha mencari hasil bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “manusia itu barang tambang sebagaimana barang tambang emas dan
perak.” Berbagai macam alat digunakan untuk menggali sumber daya alam. Dalam
diri manusia juga ada potensi yang mahal. Jangan dikira dalam diri seorang
preman atau orang-orang yang dianggap hina dalam masyarakat ternyata ada
sesuatu yang sangat berharga. Satu-satunya cara untuk menggali kemuliaan
manusia adalah dengan usaha dakwah.
Begitu
rahimnya/kasih sayangnya Allah subhanahu wa ta’ala kepada ummat ini maka
usaha dakwah diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para pengikutnya. Jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah mengajak manusia untuk mengabdi kepada Allah dengan ‘bashirah’
(pandangan hati) dan ini adalah kerja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
orang yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [1]
Hasil
pertama yang didapat jika seseorang yang berdakwah adalah dirinya dibersihkan
dari kemusyrikan. Janganlah seseorang berkoar bahwa dirinya dengan belajar
tauhid bertahun-tahun lalu bebas dari kemusyrikan, sekali-kali tidak jika orang
tersebut belum berdakwah. Jangankan manusia biasa. Nabi Musa ‘alaihis salam
belajar di tempat yang suci dan diajari langsung oleh Allah subhanahu wa
ta’ala mengenai tauhid, tapi Nabi Musa ‘alaihis salam belum terbebas
dari kemusyrikan.
Ketika
Nabi Musa ‘alaihis salam ditanya, apa yang ada ditangan kananmu hai
Musa? Ini tongkat saya dan banyak kegunaannya. Dan Nabi Musa ‘alaihis salam
gagal dalam ujian pertama walaupun baru belajar tauhid. Ujian kedua,
Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam
untuk membuang tongkatnya yang dia sangat cintai lalu tongkatpun berubah
menjadi ular. Ujian ketiga, ketika tongkat telah berubah menjadi ular,
Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk mengambil ular tersebut. Tauhid
tidak cukup dalam pengetahuan tauhid saja namun harus dibuktikan dengan
perbuatan. [2]
Allah
subhanahu wa ta’ala akan memperbaiki keimanan Nabi Musa ‘alaihis
salam dengan menghantarkan Nabi Musa ‘alaihis salam ke medan dakwah.
Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan Nabi Musa ‘alaihis salam untuk
berdakwah kepada Fir’aun. Setelah itu Nabi Musa ‘alaihis salam beberapa
lama digembleng dalam dakwah. [3]
Saat
Nabi Musa ‘alaihis salam dikejar-kejar Fir’aun dan bala tentaranya, di
depan mereka ada lautan dan dibelakang mereka ada Fir’aun dan bala tentaranya.
Pengikut beliau yang nota benenya hanya beribadah namun tidak berdakwah, ketika
menghadapi situasi ini mereka mengatakan, “wahai Musa celaka kita??”
Pengikutnya yang selama 40 tahun belajar kepada Nabi Musa ‘alaihis salam
dan Mursyidnya adalah seorang Nabi ‘alaihis salam namun keimanan mereka
sangat lemah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Pengikutnya masih takut
kepada makhluk. [4]
Kalau
seorang yang sudah tidak lagi dimedan dakwah, walau pun sekarang dia memakai
sorban dan memelihara jenggot, namun nanti ketika akan ada cobaan bahwa yang
demikian adalah teroris maka mereka akan melepas soban dan mencukur
jenggot-jenggot mereka. Jika sekarang seorang wanita memakai purdah namun dia
tidak lagi di medan dakwah lama-kelamaan purdah akan dia lepas. Seorang anak
kecil di Prancis yang hidup dalam medan dakwah di rumahnya. Di sekolahnya
gurunya membujuk untuk melepas jilbabnya, namun dia tidak mau melepas
jilbabnya. Lalu gurunya bertanya lagi keanak tersebut, bagaimana caranya agar
kamu mau melepas jilbab. Anak itu berkata, “ibu ambil pedang dan tebas leher
saya hanya dengan cara yang demikian jilbab saya bisa terlepas.”
Sedangkan
Nabi Musa ‘alaihis salam mengatakan ‘inna ma’iya Rabby sayahdiin’
–sesungguhnya bersama saya Rabb saya dan dia akan memberi petunjuk-. Pada saat
tersebut Nabi Musa ‘alaihis salam mampu melupakan tongkatnya yang
bermanfaat ketika memakan ular-ular penyihir Fir’aun. Mampukah karkun (seorang
dai atau pekerja dakwah) untuk menafikan sesuatu yang ada pada dirinya dan
hanya bergantung hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Para
pekerja dakwah hendaknya jangan menggantungkan dakwah dengan kebendaan. Jika
kita diuji dengan dua pilihan antara jadwal jaulah dengan bisnis yang
menghasilkan $1.500 yang cukup untuk keluar ke India, Pakistan dan Banglades.
Kalau dia pilih bisnisnya dan meninggalkan jaulahnya, dengan berkeyakinan
dengan uang itu dia bisa ke IPB itu bagaikan orang yang membeli alas kaki untuk
berjalan tapi memotong kedua kakinya. (Maulana Yunus). Dia mengasaskan dakwah
dengan ‘bashar’ bukan dengan ‘bashirah’.
Seorang
ulama di Indonesia yang selesai belajar di Madinah dan ikut dakwah. Lalu
diteror oleh teman-temannya. “Wahai ustadz kenapa kamu ikut orang-orang
musyrik dan penuh dengan kebid’ahan.” Ulama tersebut menjawab memang ada
hal-hal tersebut dalam diri mereka namun saya yakin dengan janji Allah,
orang-orang yang berjihad dijalan kami, pasti kami akan tunjukan jalan-jalan
hidayah. [5]
Memang
ketika baru memulai dakwah, kesyirikan masih ada dalam diri-diri orang yang
berjalan di jalan dakwah, namun selama mereka menjadikan dakwah sebagai jalan
hidup mereka sedikit-sedikit Allah akan membersihkan memusyrikan dari diri
mereka.
Dalam
dakwah tidak boleh berpecah belah. Dalam taklim boleh berbeda-beda. Silakan
anda belajar ke Madinah, Mesir, Lirboyo, Temboro, Magelang, ke Banten silakan.
Perbedaan dalam hukum fiqih adalah rahmat. Ada ucapan seorang yang mengatakan
sesuatu yang membuat saya tercengang ketika mendengarnya dan mungkin anda akan
tercengang pula, yaitu : “jika ada seorang Alim yang menginginkan
mengumpulkan ummat semua dalan satu madzhab itu tidak akan terjadi dan Allah
tidak akan Ridha. Allah ingin sunnah Nabi Muhammad tetap terjaga hingga hari
Kiamat. Nabi pernah shalat subuh dengan qunut dan tanpa qunut. Jika ummat ini
hanya dikumpulkan dalam madzhab yang tidak menggunakan qunut, maka sunah Nabi
shalat subuh dengan qunut akan hilang.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Mina dan di Makkah waktu haji di qasar
menjadi dua rakaat, demikian juga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu
‘anhu. Lalu ketika Utsman radhiyallahu ‘anhu menjadi Amirul Hajj
beliau shalat empat rakaat, lalu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengkritik
Utsman radhiyallahu ‘anhu dengan memberitahu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar radhiyallahu
‘anhu telah shalat qasar dua rakaat. Namun Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu tetap shalat berjamaah dengan Utsman radhiyallahu ‘anhu sebanyak
empat rakaat di depan murid-muridnya. Setelah selesai shalat murid-muridnya
bertanya, “wahai guru kenapa kamu mengkritik Utsman radhiyallahu ‘anhu namun
engkau ikut shalat empat rakaat.” ‘alkhilafu ‘asyad’ perpecahan itu lebih berat
lagi. [6] Sedangkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda untuk mengikuti sunnah Nabi dan sunnahnya 4
khulafaur rasyidin al mahdiyyin. Mengikuti Utsman radhiyallahu ‘anhu juga
termasuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jangan
mencoba-coba menghina SHAHABAT Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Imam
Malik rahmatullah ‘alaih berfatwa orang yang menghina dan membenci
shahabat adalah KAFIR. Jangan bersahabat dengan mereka, jangan terkesan dengan
buku-buku mereka yang menghina shahabat. [7]
Seorang
bertanya kepada Abdullah bin Mubarak rahmatullah ‘alaih, mana yang lebih
mulia antara Umar bin Abdul Aziz rahmatullah ‘alaih dengan Muawiyah radhiyallahu
‘anhu. Dijawab, debu-debu yang menempel dihidung keledai Muawiyah radhiyallahu
‘anhu ketika berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak bisa dibandingkan dengan amalan Umar bin Abdul Aziz rahmatullah ‘alaih.
Tabiin
tidak bisa menyamai shahabat. Shahabat tidak bisa menyamai Nabi. Walaupun ada
seorang tabiin yaitu, Uwaisy Alqarni rahmatullah ‘alaih yang
memerintahkan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk meminta doa kepadanya jika
bertemu. Namun kemuliaan Uwaisy rahmatullah ‘alaih tidak bisa menyamai
kemuliaan shahabat.
Begitu
juga kita tidak boleh menghina Alqamah rahmatullah ‘alaih yang terhalang
mengucapkan Laailaha illallaah karena ibunya tersinggung dengan perbuatannya.
Karena kemuliaan Alqamah tidak bisa dibandingkan dengan tabiin dan seterusnya.
Syaikh
Ilyas rahmatullah ‘alaih ditanya orang. Kerja yang kamu buat sekarang ini
banyak melalaikan hak makhluk, bagaimana ini? Dijawab, betul. Saya akui kerja
yang saya galakan sekarang ini banyak mengurangi hak makhluk, tapi dengan
seorang mengambil usaha ini dengan sebab usahanya banyak orang-orang yang
dahulunya melalaikan hak makhluk setelah mendapat hidayah dia menjadi
orang-orang yang menunaikan hak makhluk.
Semua
kelalaian yang dilakukan dai dalam menjalankan usaha dakwah semuanya akan
dibayar oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Orangtua di akhirat menuntut
anaknya yang dai karena waktunya kurang dalam berbakti kepada kedua orangtuanya
disebabkan usaha dakwah yang ia perjuangkan. Allah akan menawarkan kepada
orangtua tersebut maukah kalian memaafkan anakmu dan akan aku masukkan kalian
berdua ke dalam surga?
Jangan
berpecah belah dalam dakwah.
Taklim
dibuat untuk menopang dakwah.
Ibadah
dibuat untuk menopang dakwah.
Dzikir
dibuat untuk menopang dakwah.
Khidmat
dibuat untuk menopang dakwah.
Sekarang
ini banyak orang yang ibadah dan banyak orang yang tahajud. SBY (Presiden
Indonesia 2010-2015) tahajud, Amin Rais tahajud, Hamzah Haz tahajud, petani
tahajud, karyawan tahajud, namun ibadah yang benar adalah ibadah –tahajud-
untuk persiapan dakwah. Jangan tahajud untuk uang, bisnis lancar, ingin jadi
presiden, dan lain-lain.
Keanehan
dunia jika karkun/pekerja dakwah tidak tahajud, keanehan berikutnya jika karkun
masbuk/terlambat shalat berjamaah, dan parahnya lagi jika karkun masih merokok/
melaksanakan perbuatan yang sia-sia. Malaikat tidak akan datang kepada orang
yang tahajud yang mulutnya berbau rokok.
Catatan kaki :
[1].
قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ
اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan “bashirah” (hujjah yang nyata), Maha Suci Allah, dan
aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS.
Yusuf : 108)
[2]. QS. Taha : 18-21
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ
عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ
“Berkata
Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun)
dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya".
قَالَ
أَلْقِهَا يَا مُوسَىٰ
“Allah
berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!"
فَأَلْقَاهَا
فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ
“Lalu
dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang
merayap dengan cepat.”
قَالَ
خُذْهَا وَلَا تَخَفْ ۖ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَىٰ
Allah
berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya
kepada keadaannya semula.”
[3]. QS. Taha : 24
اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ
طَغَىٰ
“Pergilah
kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".
[4]. QS. Shuara : 60-67
فَأَتْبَعُوهُم مُّشْرِقِينَ
“Maka
Fir'aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit.”
فَلَمَّا
تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ
Maka
setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa:
"Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul".
قَالَ
كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
Musa
menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku
besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku".
فَأَوْحَيْنَا
إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ
فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ
كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Lalu
Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu".
Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang
besar.di sanalah Kami dekatkan golongan
yang lain .
وَأَزْلَفْنَا
ثَمَّ الْآخَرِينَ
Dan
di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain .
وَأَنجَيْنَا
مُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُ أَجْمَعِينَ
Dan
Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.
ثُمَّ
أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ
Dan
Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.
إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً ۖ وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُم
مُّؤْمِنِينَ
Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mu'jizat)
dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.
Kisah Nabi Musa Diselamatkan dan Fir’aun Ditenggelamkan
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
“Dan
(ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami
tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.”
(QS.
Al Baqarah : 50)
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا
إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا
فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَّا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ
“Dan
sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan
hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan
yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah
takut (akan tenggelam)". (QS. Thaha : 77)
فَأَتْبَعُوهُم مُّشْرِقِينَ
“Maka
Fir'aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit.”
(QS. As-Shuara
: 60)
لَمَّا
تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ
“Maka
setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa:
"Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul". (QS. As-Shuara : 61)
قَالَ
كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Musa
menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku
besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku". (QS. As-Shuara : 62)
Setelah
Nabi Musa ‘alaihis salam memukul tongkatnya ke laut, tiba-tiba terjadi
satu perkara yang sangat luar biasa. Lautan membelah dan diciptakan 12 lorong
setiap kabilah bagi Bani Israil untuk menyeberang ke sebelah lautan. Tiap-tiap
kabilah memiliki jalannya sendiri. Nabi Musa ‘alaihis salam dan seluruh
pengikutnya segera menyeberang.
Setelah
seluruh Bani Israil menyeberang, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus
Malaikat Jibril ‘alaihis salam yang berupa sebagai seorang penunggang
seekor kuda betina, mendekati kuda Fir’aun, seekor kuda jantan. Kuda jantan Fir’aun
itu birahi melihat kuda betina Malaikat Jibril. Lalu Malaikat Jibril ‘alaihis
salam memacu kudanya masuk ke laut yang sedang terbelah dan kuda jantan
Fir’aun pun ikut masuk. Tentara Fir’aun yang melihat kejadian tersebut
terus mengikuti Fir’aun. Apabila mereka semua sudah masuk ke dalam
lorong, Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihis salam memukul kembali
tongkatnya ke laut dan laut itu pun cair kembali dan menutup semua
lorong-lorong serta menenggelamkan Fir’aun dan seluruh tentaranya.
Setelah
Fir’aun ditenggelamkan dan berenang untuk menyelamatkan diri, Malaikat Jibril ‘alaihis
salam bertanya kepada Fir’aun “Apa pendapat kamu tentang seorang yang
telah dibela sejak kecil lalu apabila dewasa dia menentang orang yang
membelanya?” Fir’aun mengatakan bahwa orang itu adalah orang yang jahat.
Dia menyangka bahwa orang yang dimaksudkan itu adalah Nabi Musa ‘alaihis
salam karena Fir’aun telah membela Nabi Musa ‘alaihis salam sejak
kecil. Lalu malaikat Jibril ‘alaihis salam menjelaskan “orang itu adalah
kamu, kamu dipelihara Allah sejak kecil, tetapi akhirnya kamu menentang Allah.”
Setelah
itu Fir’aun bertaubat dan menyatakan keimanannya, namun semuanya telah
terlambat karena waktu taubatnya telah “expired”, yaitu nyawa sudah
ditenggorokan.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ
الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لَا
إِلَـٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan
Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun
dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga
bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan
saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Yunus : 90)
آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ
وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Apakah
sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu,
dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus : 91)
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ
لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ
عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Maka
pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus : 92)
[5]. QS. Al Ankabut : 69
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا
لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.”
[6].
Dari
Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
صَحِبتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم - فَكَانَ
لا يَزِيدُ في السَّفَرِ عَلَى رَكعَتَينِ وَأَبَا بَكرٍ وَعُمَرَ وَعُثمَانَ كَذَلِكَ
“Saya bersahabat
dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebegitu lama), akan tetapi
dalam safar beliau tidak pernah shalat lebih dari 2 rakaat. Demikian pula yang
dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. Al-Bukhari no. 1102)
Maka
ini menunjukkan bahwa pendapat dan amalan ketiga khalifah pertama adalah
mengqashar shalat saat safar. Adapun amalan Utsman radhiallahu anhu yang shalat
itmam di Mina saat musim haji, maka amalan ini (itmam shalat) hanya beliau
lakukan di Mina dan beliau melakukan di akhir-akhir kekhalifaan beliau. Ini
ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar dimana beliau berkata:
صَلَّيتُ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم -
بِمِنًى رَكعَتَينِ وَأبي بَكرٍ وَعُمَرَ وَمَعَ عُثمَانَ صَدرًا مِن إِمَارَتِهِ ثُمَّ
أَتَمَّهَا
“Saya shalat bersama
Nabi shallallahu alaihi wasallam di Mina 2 rakaat, demikian pula dengan Abu
Bakar, Umar dan juga bersama Utsman di awal kepemimpinannya, kemudian di akhir
kepemimpinannya dia pun melakukan itmam.” (HR. Al-Bukhari 1082, 1657 dan
Muslim no. 694)
[7].
Cinta
para sahabat Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam-, baik itu ahlul bait maupun bukan merupakan tanda
keimanan seseorang, dan membenci mereka adalah tanda nifaq. Al-Imam Al-Bukhary
-rahimahullah-
berkata dalam kitab Shahih-nya
(1/14/17),“Bab
Tanda Keimanan Adalah Cinta Kepada Orang-Orang Anshar”.
Setelah itu Al-Bukhary membawakan sebuah hadits dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- dari
Nabi -shallallahu
‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ بُغْضُ اْلأَنْصَارِ وَآيَةُ الْمُؤْمِنِ
حُبُّ اْلأَنْصَارِ
“Tanda
kemunafiqan itu adalah membenci orang-orang Anshar dan tanda keimanan itu
adalah mencintai orang-orang Anshar”.
Imam
As-Suyuthiy
-rahimahullah- berkata
dalam Ad-Dibaj
(1/92) ketika menafsirkan hadits di atas,
“Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar karena siapa
saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa
pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung
para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi
wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -shallallahu ‘alaihi
wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan
Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan
jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka dibalik semua
pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”.
Dalam
sebuah hadits Nabi -shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah
kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas
sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq
mereka, dan tidak pula setengahnya” . [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih
(3470), Muslim dalam Ash-Shahih
(2541) dan lainnya].
Dari
dua hadits ini dan hadits lainnya yang semakna, Ahlus Sunnah menetapkan suatu
aqidah: “Wajibnya
mencintai para sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak mencela
mereka, bahkan memuliakan mereka serta membersihkan hati dan lisan dari membicarakan
permasalahan di antara para sahabat, mencela, merendahkan dan menghina para
sahabat”. Sebab merekalah yang memperjuangkan Islam dan
menyebarkannya dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka sampai kita juga bisa
merasakan nikmat Islam.
Al-Imam
Abu Ja’far Ath-Thohawy-rahimahullah- berkata dalam
menjelaskan aqidah Ahlussunnah, “Kami
mencintai para sahabat Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, tidak
berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka,dan tidak berlepas
diri dari salah seorang di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci
mereka dan menyebutnya bukan dalam kebaikan. Kita tidak menyebut para sahabat
kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan,dan kebaikan.
Sedang membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan, dan pelampauan batas”.
[Lihat Syarh
Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, hal. 689 karya Ibnu Abil Izz
Al-Hanafy.]
Al-Imam
Abu Hanifah -rahimahullah- berkata, “Al-Jama’ah: Engkau
mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman, dan engkau tidak mencela salah
seorang diantara sahabat Rasulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- “.
[Lihat Al-Intiqo’
fi fadho’il Ats-Tsalatsah Al-A’immah, hal. 163 karya Ibnu Abdil
Barr, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah]
Imam
Darul Hijrah, Malik bin Anas-rahimahullah- berkata, “Orang yang mencela para
sahabat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak memiliki saham-atau ia
berkata:- bagian dalam Islam”. [Lihat As-Sunnah
(1/493) karya Al-Khollal]
Al-Imam
Al-Humaidy -rahimahullah- berkata, “Kita tidaklah diperintah
kecuali untuk memohonkan ampunan bagi mereka (sahabat). Barangsiapa yang
mencela mereka atau meremehkan mereka atau salah seorang dari mereka, maka ia
bukanlah di atas sunnah, dan ia tidak memiliki bagian dari fa’i (rampasan
perang)”. [Lihat Ushul
As-Sunnah, hal.43 karya Al-Humaidy]
Al-Imam
Ahmad bin Hambal -
rahimahullah- berkata, “Barangsiapa
mencela (sahabat), maka aku takutkan kekufuran atas dirinya, seperti
orang-orang Rafidhoh.” Lalu beliau berkata lagi, “Barangsiapa yang mencela para
sahabat Rasulullah–shallallahu alaihi wasallam- , maka kami tak merasa aman
atas dirinya kalau ia akan keluar dari agama”. [Lihat As-Sunnah
(1/439) karya Al-Khollal]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar