Makam Imam Syafi'i tampak dari luar
Oleh
:
Alhabib
Shadiq
bin Abubakar Baharun
I.
I.
Semua ulama’ memulai mengarang semua kitab dengan memakai
Basmalah, karena di Al Qur’an pertama ayat yang turun adalah Basmalah di Surat
Al Alaq yang artinya: “Bacalah wahai Muhammad dengan nama Tuhan yang
menciptakan alam semesta” (Allahu a’lam bimurodihi) dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap sesuatu perkara yang tidak dimulai
dengan Bismillaahir rahmaanir rahiim (basmalah), maka akan terputus dari semua
keberkahan yang ada” artinya tidak mendapatkan rahmat dari Allah subhanahu
wa ta’ala.
Basmalah mempunyai hukum-hukum:
1. Wajib : seperti di shalat jahar (kalau madzhab Syafi’i
dan Hambali dengan jahar (lantang) dan Maliki dan Abu Hanifah dengan syir
(cukup diri sendiri yang mendengarkan).
2.
Haram : seperti minum sesuatu yang memabukkan, zina dan mencuri (semua
pekerjaan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya).
3.
Sunnah : semua pekerjaan yang sunnah (yang diperbolehkan oleh Allah dan
rasul-Nya).
4.
Makruh : semua pekerjaan yang hukumnya makhruh seperti makan bawang atau
melihat auratnya sendiri atau auratnya istri dan anaknya.
5.
Mubah : sesuatu yang dilakukan tidak mendapat pahala dan dosa), seperti
memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat yang lain.
II.
Kemudian setelah memulai dengan basmalah, maka para
ulama’ menambah dengan bacaan hamdalah (alhamdulillaahi) yang artinya tidak ada
sesuatu yang pantas dipuji selain Allah subhanahu wa ta’ala, dan kalimat
hamdalah sunnah diucapkan setelah melakukan semua pekerjaan yang baik, apabila
dilakukan maka semua pekerjaan yang dilakukan akan mendapatkan ridho Allah subhanahu
wa ta’ala (direstui oleh Allah) seperti yang tertera dalam hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam apalagi kalau diucapkan setelah mendapatkan
rizki atau anugrah dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka rizki atau
anugrah yang didapati akan diberi keberkahan dan ditambahkan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala. Amiin.
Dan hamdalah dibagi menjadi 4 macam:
1. Pujian dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk
Allah sendiri seperti yang ada dalam Surat Al Anfal ayat : 40
...نِعْمَ
الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“...Sungguh
nikmatnya Tuhan dan sungguh nikmatnya penolong.” Artinya ”...Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.”
2. Pujian dari Allah subhanahu wa ta’ala ke
hamba-Nya seperti surat Shod ayat 30,
...نِعْمَ
الْعَبْدُ ۖ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“...Paling bagus hamba yang selalu kembali kepada
Tuhannya.” Maksudnya bahwa Nabi Daud dan Nabi Sulaiman adalah adalah
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta'at (kepada Tuhannya).”
3. Pujian dari hamba ke Tuhannya (Allah subhanahu wa
ta’ala), seperti ucapan
kita Alhamdulillaahi.
4.
Pujian dari diri kita untuk semua makhluk-Nya Allah seperti sungguh cantiknya
kamu atau sungguh gantengnya dirimu.
III.
Kemudian
dilanjutkan dengan bershalawat kepada baginda nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Shalawat adalah satu
amalan yang diperintahkan dari Allah untuk semua makhluk-makhluk-Nya dan Allah subhanahu
wa ta’ala mengerjakannya. Seperti di dalam Surat Al Ahzab ayat : 56.
Dalam semua kitab Fiqih dan sufi dengan rujukan hadits
Rasulullah, menafsirkan kalau shalawat dari Allah subhanahu wa ta’ala
adalah rahmatan dari-Nya, dan shalawat dari kita (umatnya) adalah doa yang kita
minta kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk kesejahteraan Nabi Muhammad
dan semua umatnya.
Rasul dan nabi adalah manusia yang sempurna yang jauh
dari semua penyakit dan dari semua sifat yang jelek dan beliau diutus oleh
Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyebarkan ajaran-ajaran Allah untuk
semua makhluk-Nya dari golongan manusia dan jin. Hanya saja kalau nabi diberi
wahyu tapi tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan ajaran-ajarannya,
sedangkan rasul diberi wahyu tapi juga diperintahkan untuk menyebarluaskan
semua ajaran-ajarannya. Adapun jumlah nabi ada 124.000 dan rasul ada 313. Akan
tetapi yang mempunyai sifat yang lebih unggul ada 25 orang (seperti yang
tertera dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Hibban).
IV.
IV.
Yang dimaksud wa alihi dalam shalawat adalah semua
orang keturunan bani Hasyim dan Mutholib menurut yang dikatakan Imam Syafi’i di
dalam kitabnya.
V.
Shahabat
adalah menurut Bahasa Arab artinya antara kamu dan dia saling ada kecocokan,
dan menurut istilah teman yang selalu mengikuti kamu ditempat manapun dan
selalu menuruti fatwa-fatwamu. Adapun yang kita bahas sekarang ini adalah shahabat
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun jumlah shahabat
nabi (yang hadir dalam haji wada’) ada 124.000 orang dan
yang paling akhir meninggalnya adalah Abu Tufail Amir bin Wailah Al Laisyi
(seperti yang dikatakan oleh Abu Zar’ah dan Al Iraq’i). Semua shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah adil dalam berbuat dan berhati-hati dalam melangkah dan
selalu taat dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya dan
selalu menjaga dengan benar-benar dari segala perbuatan nista (buruk) bukan
seperti (yang dikatakan sebagian golongan). Shahabat yang telah diberi kabar
dengan keistimewaan (jaminan surga dari Rasulullah) ada 10 orang, beliau adalah
Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Said bin Zaid, Talhah bin
Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidilah bin Jarrah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu
‘anhum ajma’in dan paling dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Dan
juga dapat amanah penuh dan yang paling diutamakan dari golongan para shahabat
nabi adalah khulafaur rasyidin beliau adalah:
1. Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu,
beliau adalah shahabat yang pertama memimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dengan pilihan dari semua shahabat muhajirin (orang-orang
Mekah) dan anshar (orang-orang Madinah) dan beliau memimpin 2 tahun 3 bulan 10
malam, beliau meninggal di umur 63 tahun, sebelum wafatnya beliau memilih Umar.
2. Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,
beliau memimpin yang kedua dengan perintah dari Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu dan beliau memimpin kurang lebih 10 tahun dan 23 hari dan beliau
meninggal syahid (dibunuh dengan umur 63 tahun).
3. Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu,
beliau memimpin yang ketiga dengan cara dipilih kebanyakan shohabat, setelah
wafatnya Sayyidina Umar bin Khattab dan beliau memimpin selama 12 tahun dan
beliau meninggal syahid (dibunuh) di umur 82 tahun.
4. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
beliau memimpin yang keempat dengan cara dipilih kebanyakan shohabat setelah
wafatnya Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dan beliau
memimpin selama 4 tahun 9 bulan dan beliau meninggal dalam keadaan syahid
(dibunuh) dan umurnya 63 tahun. Semoga Allah meridhoi mereka semua. Amiin.
Perlu kita ketahui bahwa semua shahabat nabi adalah yang
telah berjasa bagi agama Islam dan telah menegakkan bendera Islam dengan diri
mereka, harta, darah dan keluarga mereka, maka wajib bagi kita menghormati
mereka semua karena mereka semua telah berjuang bersama nabi kita, mereka
senang dan susah bersama nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan perlu kita yakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memilih
manusia untuk bersama utusan-Nya kecuali yang pantas dan bersih. Kalau ada
golongan yang menghina shahabat berarti mereka menghina rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan pasti mereka juga menghina Allah subhanahu wa
ta’ala yang menciptakannya.
Di dalam hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, yang artinya : Shahabatku bagaikan bintang-bintang di
langit dan dengan siapapun engkau mengikutinya, maka engkau akan mendapatkan
hidayah (petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala). Apakah mereka yang
menghina shahabat pantas dinamakan orang Islam??? Orang nasrani saja
menghormati dan selalu memuliakan shahabat nabi Isa ‘alaihis salam,
bagaimana dengan kita Umat Islam yang mengaku sebagai umat nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, apakah mungkin nabi kita tidak bisa mendidik shahabatnya
menjadi orang yang paling taat dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala??
Kalau
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa lalu siapa yang
bisa?? Tidak mungkin ada yang bisa kalau nabi saja tidak bisa! Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam pasti bisa! Semoga kita dijauhkan dari faham-faham orang
munafik yang selalu membenci nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para shahabatnya.
Amiin, Amiin, Amiin ya Robbal ‘alamiin.
VI.
Ijtihad madzhab : madzhab adalah sekumpulan ilmu-ilmu
fiqih yang rujukannya Al Qur’an dan sebab-sebab turunnya, hadits-hadits dan
sebab-sebab keluarnya hadits tersebut, mengapa kita harus bermadzhab? Karena
agama Islam sangat luas dan mendalam, rujukan agama Islam adalah Al Qur’an dan
bahasa Al Qur’an makna yang sangat luas sekali, tidak ada yang bisa
menafsirkannya dengan benar kecuali nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, dengan semua hadits-haditsnya (ahwal dan af’al) dan dalam bahasa
hadits itu sendiri mengandung makna yang sangat luas dan yang mengetahuinya
hanyalah orang yang faham akan bahasa Arab (yang benar dan detil) dengan
sebab-sebab keluarnya hadits itu, maka para ulama’-ulama’ kita dengan susah
payah pikiran, tenaga, waktu dan harta dikorbankan untuk membentuk madzhab agar
kita bisa menganal Islam lebih dalam dengan mudah tanpa harus susah payah,
buang tenaga dan fikiran kita yang lemah, dan madzhab-madzhab yang diakui oleh
kebanyakan ulama-ulama di dunia ada empat :
1. Madzhab Hanafi: yang mencetuskan adalah Imam Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit, beliau adalah murid dari Imam Ja’far Shadiq, beliau
lahir di Iraq Kota Kuffah pada tahun 80 H / 699 M, wafat tahun 150 H pada bulan
Rajab dengan umur 68 tahun. Dan madzhab beliau diikuti sebagian
umat Islam di Abu Dhobi dan lainnya. Dan beliau mempunyai
murid yang banyak dan semua ulama’ dan diantaranya Imam Malik.
2. Madzhab Malik : yang mencetuskan adalah Imam Malik bin
Anas bin Malik, beliau lahir di Madinah tahun 95 H, wafat di Madinah 179 H /
789 M dan umurnya 84 tahun dan madzhab-madzhab diikuti sebagian umat Islam di
Saudi Arabia dan lainnya dan beliau juga mempunyai murid-murid yang banyak dan
semuanya menjadi ulama’ diantaranya Imam Syafi’i.
3. Madzhab Syafi’i : yang mencetuskan adalah Imam
Muhammad bin Idris As Syafi’i, beliau lahir di Ghuzzah tahun 150 H, beliau
hafal Al Qur’an 7 tahun, lalu beliau hafal muwattha’ (ilmu hadits karangan Imam
Malik) di umur 10 tahun dan beliau diizinkan memberi fatwa di umur 15 tahun
(berarti beliau sudah hafal semua ilmu termasuk Al Qur’an, tafsirnya hadits 9
sanad dan syarahnya, ushul balaghoh dan mantik dan lain-lain di umur yang
sangat muda). Dan semasa hidupnya beliau selalu beribadah dan berdakwah dari
Mekah, Madinah, Bagdad, dan Mesir kemudian mukim di Mesir sampai wafat, dan
beliau wafat pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 240 H, beliau dimakamkan di
kota Qorofah (Mesir) setelah Ashar dan umurnya 70 tahun. Dan murid beliau
banyak sekali diantaranya Imam Ahmad bin Hambal dan madzhab beliau diikuti kebanyakan
umat Islam, diantaranya di Indonesia dan lain-lainnya (mayoritas umat Islam
yang di Indonesia mengikuti madzhab Syafi’i) (rujukan kitab Mugni Muhtaj).
4. Madzhab Hambali: yang mencetuskan adalah Imam Ahmad
bin Hambal Asy Syaibani Al Maruzi beliau dilahirkan di Iraq tahun 164 H / 780
M, beliau adalah ulama’ hadits yang terkenal dan beliau termasuk ulama’ yang
keras dan tegas dalam memberi keputusan, bahkan beliau dimasukkan penjara
sampai akhir hayatnya. Beliau meninggal tahun 241 H dan umur beliau 77 tahun.
Mengapa kita yang dalam masalah agama belum seberapa ini
akan menyombongkan diri tidak mau bermadzhab dalam menjalankan syari’at Islam? Tentu tidak pada
tempatnya! Benar bahwa berijtihad merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam,
namun hal itu bukan berarti sembarang orang Islam dapat berijtihad tanpa
syarat-syarat tertentu. Seorang Islam dalam berijtihad harus paham betul
syarat-syaratnya seperti syarat-syarat umum dalam berijtihad :
1.
Islam
2.
Dewasa
3.Sehat fikiran
4. Kuat daya tangkapnya dan ingatannya (I-Q nya tinggi)
dan syarat-syarat pokoknya):
a. Menguasai Al Qur’an bersama ulumul Qur’an dan Asbabun
Nuzulnya dan ayat-ayat hukumnya dan nasikh mansukhnya.
b. Menguasai hadits dan ulumul hadits dan asbab khurujul
hadits dan hadits-hadits ahkam dan hadits-hadits nasikh mansuhknya dan
lain-lain.
c. Mengusai bahasa Arab beserta ilmu-ilmu bahasa termasuk
nahwu. Shorof,
balaghoh, Fiqhul Lughoh dan adabul jahili.
d. Menguasai ilmu ushul fiqih.
e. Memahami benar-benar tujuan-tujuan pokok syari’at-syari’at
Islam.
f. Memahami benar-benar Qowaid kuliyah.
g. Kesholehan dan ketaqwaan yang benar dan bersih.
h. Jauh dari sifat-sifat yang keji (dholim) dhohir dan
bathin, besar dan kecil, bagi semua manusia, jin bahkan hewan.
i. Selalu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa
ta’ala (berdzikir) dan bersholawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dll. baru mereka dibolehkan berijtihad, dalam ketentuan aturan
kenegaraan saja membutuhkan keahliannya dalam bidangnya bagaimana dengan
agama?! Dalam
Surat An Nahl Allah berfirman :
“Maka bertanyalah pada ahli ilmu bila kamu sekalian tidak
mengetahui “ (An Nahl : 43),
Begitu pula orang dalam bertaqlid, orang boleh bertaqlid
secara kaffah (menyeluruh), jangan mengambil yang mudah dan seenaknya saja,
seperti orang berwudhu menurut rukun madzhab Syafi’i tapi membatalkannya dengan
memakai madzhab Maliki, seperti orang pakai baju setengah saja, lalu pakai
celana setengah, bagaimana orang tersebut??? Semoga kita dijauhkan dari sikap
munafik yang menjalankan agama yang enak dan mudah menurut hawa nafsunya.
(Rujukan
kitab-kitab Fiqih, Tuhfah, Minhaj, dll)
VII.
Fiqh adalah suatu ilmu dengan hukum-hukum syar’i
(syari’at) untuk sesuatu pekerjaan yang dilandasi dengan dalil-dalil yang shahih
(benar dan kuat). Menurut Imam Asy-Syubkhi maka wajib bagi kita umat Islam
untuk mengetahui ilmu fiqh secara menyeluruh, kemudian mengamalkannya agar
ibadah kita diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, seperti di dalam
hadits Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau
bersabda yang artinya :
“Shalatlah engkau sebagaimana melihat aku shalat.”
Dan
mereka yang mengumpulkan ilmu fiqh agar bisa difahami dan bisa diamalkan secara
mendetail adalah para ulama yang alim akan ilmunya dan yang luas
pengetahuannya.
Kenapa Harus Terjadi Perbedaan Pendapat
Ketahuilah,
bahwa tidak pernah terdengar, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
orang-orang yang benar-benar shaleh lagi ikhlas. Perbedaan ini akan tetap ada
dan akan terus berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Bagi orang yang
berpengetahuan agama, hal ini tidak mengherankan, bahkan di kalangan alim ulama
juga terdapat perbedaan pendapat.
Dalam
kuliah hadits Maulana Zakariyya, dimana kalender akademiknya dimulai dari bulan
Syawwal dan berakhir di bulan Rajab, selama masa sepuluh bulan perkuliahan
tersebut, dapat dikatakan tidak pernah terlewat sehari pun, minimal 20 x dalam
sehari—terdengar ucapan,” ... berkenaan dengan masalah ini, Imam fulan
berpendapat demikian, Imam fulan lainnya berpendapat demikian...Para shahabat
Nabi berpendapat demikian, sedangkan para tabi’in berpendapat demikian, dan
seterusnya.”
Jika
kita menyangka bahwa perbedaan yang terjadi itu sebagai tanda kekurangikhlasan
mereka, berarti kita sedang menghadapi suatu masalah dan kebingungan yang
besar, sebab prasangka demikian berpotensi akan melahirkan suatu dugaan
(na’udzubillahi min dzalik) bahwa orang-orang seperti shahabat radhiyallahu
‘anhum dan alim ulama di atas—yang tergolong orang-orang mukhlisin—telah
tersisih dari barisan kekasih Allah, hanya disebabkan mereka berbeda pendapat.
Tulisan
ini merupakan tanggapan Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih sehubungan
dengan terjadinya perbedaan yang amat tajam di antara 2 orang ulama yang
termasyhur di India yaitu Syekh Madani rahmatullah ‘alaihdan Syekh
Thanwi rahmatullah ‘alaih. Seperti diketahui,
India, pada paruh tahun 1930-1950, diwarnai dengan situasi perpolitikan yang
amat hangat. Menghadapi situasi yang demikian dinamis,
dua orang ulama memberikan respon dan sikap yang berbeda, tentang bagaimana
sebaiknya peran ummat Islam. Di satu pihak, menghendaki ummat Islam harus
berjuang secara aktif dalam pemerintahan dan membentuk partai Islam tersendiri,
agar bisa memberikan faedah yang maksimal bagi ummat. Namun, di pihak lainnya
berpendapat sebaiknya ummat Islam berjuang di luar politik pemerintahan. Di
mata kalangan awam, perbedaan kedua ulama terpandang ini, demikian tajam. Tetapi
dalam pandangan Maulana Zakariyyarahmatullah ‘alaih, perbedaan pendapat
di antara keduanya bukanlah perbedaan yang tajam. Menurutnya, situasi
perpolitikan yang terjadi pada saat itulah yang menyebabkan terjadinya
perbedaan tersebut.
Maulana
Zakariyya rahmatullah ‘alaihmengemukakan, bahwa pada saat ini,
seyogyanya orang-orang yang berakal sehat-dengan melihat situasi dan kondisi-
untuk berusaha memahami keadaan tersebut sesuai dengan aturan syari’at,
sehingga setiap orang/ Ummat Islam dapat memilih jalan yang diyakininya benar,
tanpa paksaan terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang yang tidak memahami
seluk beluk permasalahan ini dengan benar, dianjurkan agar ia duduk beberapa
hari di majelis mereka, sehingga dapat mengikuti dengan jelas, pendapat mana
yang lebih cocok/ kuat untuk diikuti.
“Siapapun
di antara mereka yang kamu ikuti, kamu akan mendapatkan petunjuk.”
Dengan
demikan, kita tidak perlu bertengkar dan berdebat mengenai hal ini.
Maulana
Zakariyya rahmatullah ‘alaih justru heran dan
bertanya kepada muridnya (dan juga kepada kebanyakan kaum muslimin awam) yang
terlalu meributkan masalah ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang terjadi di
kalangan ulama. Bukankah
perbedaan itu tidak hanya terjadi di jaman sekarang saja? Bahkan
sudah terjadi di jaman Nabi dan para shahabat? Kalau ada yang berpandangan
bahwa perbedaan pendapat itu buruk dan kontraproduktif, maka bagaimana dengan
kisah Perang Jamal, yang merupakan buntut dari perbedaan pendapat yang terjadi
antara Shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dengan Shahabiah utama sekaligus
salah satu istri Nabi yang berkedudukan sebagai Ummahatul Mukminin (Ibunya
orang-orang beriman ), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.?
Semua
orang Islam hendaknya mengetahui bahwa semua shahabat Nabi, siapapun dia,
adalah generasi awal ummat Islam dan mereka telah dinyatakan oleh Nabi sebagai
generasi manusia yang terbaik yang pernah Allah tampilkan di atas muka
bumi.Tentu tidak diragukan lagi tentang derajat keikhlasan mereka dan
pengorbanan mereka yang luar biasa demi tegaknya dien ini. Jadi sungguh tidak
punya etika dan sangat sembrono, jika seorang muslim memberikan komentar yang
tidak berkualitas, tanpa didasari pengetahuan tentang agama yang memadai,
mengenai perbedaan-perbedaan dalam masalah agama.
Maulana
Zakariyya rahmatullah ‘alaihbahkan bertanya kepada santrinya,”
Beritahukanlah kepada saya, manakah di antara dua golongan dalam Perang Jamal
ini ( Yaitu golongan Ali radhiyallahu ‘anhudan golongan Aisyah radhiyallahu
‘anha), yang akan Anda sisihkan dari barisan orang-orang shaleh dan ikhlas?
Dapatkah Anda melakukannya?” Ketika nama Ali disebut, kita akan mengucapkan ‘radhiyallahu
‘anhu( semoga Allah meridhoinya ), karena ia seorang khalifah yang benar
dan penghulu segala wali Allah. Begitu pula ketika nama ‘Aisyah disebut, kita
pun akan berkata radhiyallahu ‘anha’, karena beliau adalah Ummul
Mukminin (Ibu orang-orang beriman) dan istri yang paling dicintai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(catatan:
ketika seseorang menyebutkan nama shahabat/ shahabiah (shahabat wanita), maka
setiap orang Islam hendaknya mengucapkan radhiyallahu ‘anhu (untuk
shahabat laki-laki) dan atau radhiyallahu ‘anha(bagi shahabat wanita).
Perselisihan
di antara shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu
‘anhayang sedemikian tajam bahkan berujung pada perang saudara yang dikenal
dengan nama Perang Jamal, menjadikan perang ini akan senantiasa dikenang dalam
sejarah ummat Islam sampai hari kiamat. Tentu saja ada hikmah yang besar dari
kisah mereka, agar menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman.
Bahkan
Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih memberikan peringatan yang amat
tegas kepada santrinya ( dan secara umum kepada kaum muslimin ), agar jangan
sekali kali berprasangka buruk kepada 2 orang shaleh ini ( yaitu Ali radhiyallahu
‘anhudan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), padahal mereka berdua adalah
benteng-benteng Islam yang tangguh. Apabila ada perasaan demikian dalam hati
kita dan rasa dengki dalam dada kita kepada mereka ( 2 orang sahabat ini ),
maka ini sama sekali tidak akan merugikan mereka berdua sedikitpun, namun
kitalah, ummat Islam, yang akan mendapatkan kerugian dan kesulitan yang besar.
Sungguh
suatu hal yang amat keterlaluan dan tidak beradab, ketika segolongan ummat
Islam yang tidak berpengetahuan ( bodoh dalam agama, tapi merasa pintar dan sok
tahu), berani melontarkan kata-kata, komentar-komentar yang tidak patut kepada
dua orang shahabat yang mulia ini. Bahkan seyogyanya mereka berdua ini patut
dicemburui, karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan
perjuangan menegakkan agama Islam yang mulia. Dan sudah sewajarnya mereka
mendapatkan derajat dan pahala yang tertinggi dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Dan lebih dari itu, mereka pun mendapatkan limpahan pahala dari orang-orang
yang mengumpat dan menghamburkan kata-kata hina kepada mereka. Seolah-olah,
para penghina dan pengumpat Shahabat Nabi itu, yang menceburkan diri mereka
sendiri dalam kehinaan dengan menghujat para kekasih Allah subhanahu wa
ta’ala, berkata,” Karena saya sangat marah dengan diri Anda, maka ambillah
segala pahala baik, yang telah saya usahakan selama ini”.
Jadi
bukankah ini suatu kezaliman yang besar terhadap diri sendiri, dengan
menghibahkan pahala amal sholeh kepada orang yang dihujatnya? Berarti
orang yang menghujat dan menghina itulah yang sebenarnya orang fakir dan
pendosa.
Dalam
satu hadits dikatakan, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepada para shahabatnya, “Siapakah orang yang
muflis ( bangkrut ) di antara kalian?” Mereka menjawab,”Orang yang tidak
berharta.”
Beliau menjelaskan, ”Bukan. Orang yang bangkrut adalah
seorang yang datang pada hari kiamat dengan kebajikan yang banyak, namun ia
telah menzalimi seseorang dan memaki yang ini dan menghina yang itu dan
mengambil harta orang lain. Pada hari itu, tidak bernilai lagi dinar dan
dirham. Akan diserahkan amal kebajikannya kepada orang yang telah ia zalimi.
Dan jika itu semua tidak mencukupi, maka dosa-dosa orang yang dizalimi akan
ditimpakan kepada orang yang menzalimi.“ (dari kitab Majma’ul Fawaid)
Pada
hari itu, setiap orang hanya akan diadili amalan baik dan buruknya. Tetapi ada
orang-orang, yang karena amal buruknya, menyebabkan semua amal sholehnya
diserahkan kepada orang yang telah ia zalimi, sebagai balasan atas
kezhalimannya. Bahkan, walaupun semua kebaikannya telah habis diserahkan,
keadilan tetap harus ditegakkan, sehingga perbuatan dosa mereka yang dizalimi
akan dilimpahkan ke atas orang yang menzalimi.
Sangat
mengherankan dengan kelakuan orang-orang jaman sekarang yang sedemikian mudah
menghina, mengkritik dan mencela orang-orang shaleh dan para kekasih Allah.
Namun di sisi lain pada saat yang sama, justru mereka ini memuji-muji para ahli
maksiat, orang fasiq dan orang-orang kafir. Orang-orang Islam yang bodoh (
bodoh dalam perkara agama, dan malas mengaji dan mempelajari hukum-hukum agama.
Tidak ada hubungan dengan latar belakang akademis. Meskipun seseorang bergelar
insiyur, doctor S3 lulusan perguruan tinggi terkemuka di luar angkasa, tetapi
tidak tahu, tidak mau tahu dan malas mempelajari hukum Allah dan sunnah-sunnah
Nabi, maka orang seperti ini masuk kategori jahil atau bodoh dalam pandangan
Allah subhanahu wa ta’ala) dan error ini, hendaklah memperhatikan hadits
di bawah ini:“Apabila seorang fasiq dipuji, maka Allah subhanahu wa ta’ala
akan murka dan Arsy Illahi akan bergoncang.”( Kitab Misykat ).
Pernyataan
di atas janganlah serta merta disimpulkan bahwa kita tidak perlu memberikan
pujian atau apresiasi kepada orang lain. Tetapi masalahnya adalah bergantung
pada siapa yang perlu dipuji? Dalam kapasitas apa ia harus dipuji? Sejauhmana
ia perlu dipuji? Yang harus ditegaskan di sini adalah, bahwa janganlah
sekali-kali menghina dan mengkritik secara membabi buta dan tanpa dasar
terhadap orang-orang shaleh, dalam hal ini para Shahabat, para Tabi’in, para
wali Allah subhanahu wa ta’ala, alim ulama, pemimpin-pemimpin
pemerintahan yang ikhlas dan taqwa (bukan karena strategi pencitraan) dan
orang-orang Islam yang awam tetapi memiliki tekad dan kemauan keras untuk
belajar dan meningkatkan kualitas iman dan ketaqwaannya dan sangat tidak perlu
memuji mereka mereka yang tidak mempedulikan aturan syariat agama.
Sebuah
pertanyaan,”Jika seorang shahabat Nabi, atau ulama, atau orang shaleh
berbuat suatu kekhilafan atau salah memberikan pertimbangan dalam satu masalah,
apakah hal itu bermakna kita harus menutup mata atas semua sifatnya yang
mulia?”
Syariat
Islam yang suci ini telah mengajarkan kepada kita hingga perkara sekecil apapun
dalam masalah kehidupan dan agama kita. Namun, walaupun kita
mengaku sebagai pemeluk Islam, nampaknya kita tetap tidak mempedulikannya. Sementara
orang-orang dari agama lain, banyak yang mengadopsi ajaran Islam ini, sehingga
justru kini mereka menuai kesuksesan, sedangkan kita sibuk menyingkirkan
syariat ini dari kehidupan kita yang pada akhirnya kita mendapatkan kerugian
yang besar.
Pentingnya Memuliakan Ulama
Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada saat ini --
bahwa kita tidak saja berprasangka buruk dan mengabaikan adab-adab terhadap
ulama, bahkan kita banyak menentang dan menghina mereka. Menurut ajaran Islam,
perbuatan ini sangat berbahaya. Memang, dalam setiap kalangan selalu ada yang
baik dan ada yang buruk.Begitu pula di kalangan alim ulama. Namun, tentu saja
ulama yang baik lebih banyak daripada yang buruk.Benar bahwa ada ulama suu' (buruk)
dan ada ulama rasyad (yang diberi petunjuk), namun tidak ada batasan
tertentu dalam hal ini.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan dalam masalah
ini: Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu',
janganlah sekali-kali kita membuat keputusan apa pun terhadapnya. Kedua, jika
hanya karena berprasangka buruk bahwa si pembicara adalah ulama' suu',
janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih
dahulu, karena sikap seperti itu merupakan kezhaliman. Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak
ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, serta hati, semuanya
akan ditanya." (QS. Al-Israa: 36).
Pernah orang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam
bahasa Arab, lalu membacakannya kepada orang Islam. Nabi saw. bersikap sangat
hati-hati, dan terhadap hal itu beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin,
janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula menolaknya. Katakanlah,
'Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.'"Maksudnya,
meskipun itu ucapan orang kafir, janganlah kita membenarkan atau menyalahkannya
begitu saja sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Apabila ada orang yang
mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kita, kita bukan saja
menolaknya, bahkan kita menentangnya. Bahkan yang lebih parah, kepada
ahli kebenaran pun kita berbuat demikian.
Satu hal lagi yang harus kita ingat, bahwa ulama Haqqani
(Haq), ulama Rusydi (yang benar), dan ulama Khairi (yang
baik) adalah manusia juga. Yang ma'sum hanyalah para Anbiya ‘alaihis salam. Oleh sebab itu; jika ada
kesalahan, kelemahan, dan kekurangan pada diri mereka, tanggungjawabnya kembali
pada diri mereka sendiri. Allah Yang berhak menentukan apakah adzab atau
ampunan bagi mereka. Insya Allah, dengan Rahim-Nya, mereka akan diampuni
sebagaimana majikan yang menyuruh pembantunya meninggalkan urusan pribadinya
dan menyibukkan diri dalam tugas majikannya, sudah pasti majikan itu akan
menyayanginya dan mudah memaafkannya. Apalagi Allah, tidak ada Majikan Yang
lebih mulia daripada-Nya. Walaupun dengan keadilan-Nya Dia menyiksa seseorang,
itu masalah lain.
Dengan demikian, apabila ada orang yang mengajak untuk
berburuk sangka kepada alim ulama, membenci alim ulama, berusaha menjauhkan
manusia dari alim ulama dan menyebabkan kekacauan dalam masalah agama, mereka
adalah penyebab kerusakan agama, dan orang yang berbuat demikian akan mendapat
siksa yang keras. Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya
sebagian dari mengagungkan Allah ialah: memuliakan orang tua muslim, memuliakan
pembawa (hafizh) Al-Quran yang tidak melewati batas dan memuliakan pemimpin
yang adil." (Abu Dawud - At-Targhib).
Hadits lain berbunyi:
"Bukan
termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi
anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama." (Ahmad,
Thabrani, Hakim - At-Targhib).
Dari Abu
Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Ada tiga jenis manusia, yang tidak merendahkan mereka
kecuali orang munafik, yaitu orang muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang
adil."(Thabrani - At-Targhib).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Aku tidak
mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal: (1) Keduniaan berlimpah sehingga
manusia saling mendengki. (2) Orang jahil berusaha menafsirkan Al-Quran dan
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali
Allah. "Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, kami beriman
kepada ayat-ayat Mutasyaabihaat, semuanya dari sisi Rabb kami.Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal."Apabila alim
ulama dalam ilmunya saja tidak berani melangkah lebih jauh, adakah hak bagi
orang-orang awam untuk berkomentar?(3) Alim ulama ditelantarkan dan tidak akan
dipedulikan oleh umatku."(Thabrani - At-Targhib).
Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan
kepada alim ulama. Dalam kitab
Fatwa Alamghiri disebutkan bahwa kebanyakan ucapan buruk yang diucapkan
mereka itu menyebabkan mereka terkena hukum kufur, namun kita mengabaikan hal
ini. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam membicarakan ulama. Jika di
dunia ini tidak ada alim ulama yang benar dan jujur, dan yang ada hanyalah
orang-orang jahil dan ulama suu', Kita tetap tidak boleh menuduh seseorang itu
ulama suu' hanya berdasarkan ucapan orang. Dalam
keadaan demikian, setiap muslim di seluruh dunia wajib mewujudkan masyarakat
Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki. Keberadaan alim ulama di
tengah-tengah kita hukumnya fardhu kifayah. Apabila suatu jamaah sudah mewujudkan hal ini, maka
tuntutan hukum fardhu gugur dari semuanya dan jika kita lalaikan usaha
mewujudkan ulama yang hakiki ini, maka kita semua berdosa.
Dewasa ini, perbedaan pendapat di kalangan alim
ulama telah menimbulkan kegelisahan dan perpecahan di kalangan masyarakat.
Dalam taraf tertentu mungkin ini ada benarnya, namun sebenarnya perbedaan
pendapat ini bukan hanya terjadi pada lima puluh atau seratus tahun yang lalu,
bahkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah
terjadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallampernah memberikan sandalnya
kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhudan bersabda, "Ambillah
sandalku ini sebagai tanda, dan umumkanlah kepada kaum muslimin bahwa
barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah dengan
ikhlas, ia dijamin masuk surga." Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhuberjumpa dengan
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhudan bertanya, "Engkau hendak ke
mana?" Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhumenyampaikan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya. Umar radhiyallahu
‘anhumarah kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebab ia tidak
sependapat mengenai hal tersebut. Umar radhiyallahu
‘anhumemukul dada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuhingga terjatuh ke
belakang.Pada saat itu tidak ada protes, aksi unjuk rasa, ataupun resolusi
untuk menentang perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhuberkenaan dengan
perselisihan tersebut.
Di antara para sahabat radhiyallahu ‘anhumterdapat
ribuan pendapat; dan diantara empat imam yang masyhur pun ada perbedaan
pendapat dalam masalah fiqih. Mengenai shalat saja, dari takbir hingga salam,
terdapat kurang lebih dua ratus perselisihan (misalnya cara mengangkat tangan,
mengucapkan amin dengan keras atau pelan, dan sebagainya). Itu baru yang
saya ketahui, belum yang di luar pengetahuan saya. Meskipun demikian, tidak
pernah ada pamflet-pamflet dan poster-poster serta perdebatan mengenai
masalah tersebut. Rahasianya, masalah-masalah yang diperselisihkan itu tidak
sampai ke telinga masyarakat awam. Perselisihan
pendapat di antara alim ulama adalah rahmat dan merupakan sesuatu yang mesti
terjadi. Misalnya, jika seorang ulama berfatwa mengenai suatu hukum syar'i
dengan suatu hujjah, lalu ada ulama lain yang berpendapat bahwa hujjahnya
salah, maka ulama tersebut harus mengeluarkan fatwa yang berbeda. Jika tidak,
ulama itu telah berdosa dan bermaksiat.
Sebenarnya, orang-orang telah menjadikan perbedaan
pendapat antar ulama sebagai alasan untuk tidak beramal.Padahal, di antara para
dokter dan ahli hukum pun ada perbedaan pendapat, namun hal ini tidak pernah
membuat orang-orang tidak berobat dan tidak mengajukan masalah tersebut ke
pengadilan.Lalu mengapa dalam masalah agama, perbedaan pendapat di antara alim
ulama dijadikan alasan? Bagi mereka yang ingin beramal, sangat penting agar
mengikuti ulama yang mengamalkan sunah dan tidak perlu menjelek-jelekkan ulama
lainnya.Mereka yang pemahamannya tidak sampai pada dalil-dalil dan pentarjihan
(putusan dalil terkuat) tidak berhak campur tangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Mengajarkan
ilmu kepada orang yang bukan ahlinya berarti menyia-nyiakan ilmu."
Akan tetapi, kemerosotan agama sudah sedemikian rupa
sehingga setiap orang merasa berhak untuk mengomentari dan menjelaskan
firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala. dan sabda-sabda Nabi saw. yang
sudah jelas maknanya. Dalam keadaan seperti ini, adakah mereka dikatakan
sebagai ulama?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
…وَمَن
يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"…Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang zhalim." (QS.
Al-Baqarah : 229).
Syarat-syarat
ilmu
Syaikh Nawawi al-Bantani rahmatullah ‘alaih telah
menulis dalam salah satu kitab karangannya Salalimul Fudhola,
syarat-syarat ilmu ada 8 perkara yaitu :
1) Syarat pertama adalah mengamalkan segala
yang diketahuinya
2) Syarat kedua menyebarkan Ilmu
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan
perang).Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.” (QS.
At-Taubah:122)
Anas radhiyallahu anhu meriwayatkan,
bahwasanya Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya, “Inginkah
kalian aku beritakan tentang yang paling dermawan diantara para dermawan?” Para
sahabat berkata: “Tentu Ya rasulullah” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Allah adalah dzat yang paling dermawan diatara para
dermawan, dan aku anak adam yang paling dermawan, dan mereka yang paling
dermawan setelahku adalah:
1. Orang yang mempelajari ilmu, lalu
menyebarkannya, ia akan dibangkitkan di hari kiamat sebagai umat yang sendirian
(istimewa) dan
2. Orang yang merdermakan dirinya di jalan Allah (fi sabilillah)
hingga terbunuh. (Terdapat
dalam kitab Jamiush shogir, Juz 1, di dalam Syuabul iman, juz 2, dan di dalam
At targhib wa tarhib, juz 1)
3) Syarat ketiga, tidak membanggakan diri
dan berbantahan / berdebat
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda,
” Siapa saja yang menuntut ilmu karena 4 hal, niscaya masuk neraka:
1. Untuk membanggakan ilmunya kepada ulama,
atau
2.Membimbangkan orang-orang bodoh, atau
3.Mengambil harta-harta dengan ilmunya, atau
4.Memalingkan
perhatian masyarakat kepadanya dengan ilmunya itu” (Di dalam Sunan
Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darami, Syuabul Iman juz 2, Az Zuhd, At Targibu
wat Tarhib juz1, Al Kabir, kitab Tanbihul Ghofilin, ‘Awariful Ma’arif)
4) Syarat keempat, mempertimbangkan dalam
penyebaran ilmunya dan tidak pelit dengan ilmunya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
…قُل
لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا…
“….Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikannya”…(QS. Al An’am:90)
…قُل
لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَ…
“…Katakanlah:
"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih
sayang dalam kekeluargaan"... (QS Asy
Syuro:23)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa saja yang mengetahui satu
pengetahuan, lalu ia menyembunyikannya, niscaya Alloh akan memasangkan kendali
(di lehernya) di hari kiamat dengan tali kekang dari api. (Di
dalam Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan ibnu majah, Musnad Ahmad, Syuabul Iman,
Targibu wat Tarhib, Ihya Ulumuddin)
5) Syarat kelima, tidak gengsi mengucapkan
“Aku Tidak Tahu”
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang derajatnya tinggi
tatkala beliau ditanya tentang hari kiamat, beliau bersabda, “Orang yang
ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari orang yang bertanya” (Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Nasai)
Dan tatkala ditanya mengenai ruh, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Aku
tidak tahu” (Shahih bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Musnad Ahmad)
6) Syarat keenam, Bersikap tawadhu’ (rendah
hati)
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَـٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى
الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik.” (QS. Al
Furqon :63)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Dzar radhiyaallahu
‘anhu, ” Wahai Abu Dzar, jagalah wasiat Nabimu, semoga saja Allah
memberikan manfaat kepadamu sebab wasiat itu, rendah hatilah kamu karena Allah
azza wa jalla, semoga saja Allah akan mengangkatmu di hari kiamat, Ucapkanlah
salam kepada orang yang telah engkau temui dari umatku, orang baik-baik dan
orang jahatnya, dan Kenakanlah pakaian berkain kasar, dan janganlah engkau
menginginkan (melakukan semua itu), kecuali (bertujuan meraih ridha) Allah,
semoga saja kesombongan dan amarah tidak diperkenankan ada dalam hatimu.
7) Syarat ketujuh, siap menanggung rasa
sakit dalam mencurahkan nasihat dan mengikuti perilaku ulama salaf yang shaleh
mengenai hal itu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
…وَانْهَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ...
“..Dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.”(QS. Luqman:17)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang Nabi yang
disakiti sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan” (Hilyatul Awliya, juz VI)
8.) Syarat kedelapan, ia bertujuan dengan
ilmunya kepada orang yang lebih membutuhkan untuk belajar, sebagaimana ia
bertujuan dalam bersedekah dengan harta kepada orang yang lebih membutuhkan,
lalu kepada orang yang membutuhkan. Maka
siapa yang telah menghidupkan orang bodoh dengan mengajarkan ilmu, maka
seakan-akan ia telah menghidupkan seluruh manusia.. Kita
niatkan ketika dakwah wa tabligh saat khuruj fi sabilillah (keluar di
jalan Allah)………..Insya Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar