Al-Quran
menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak sama. Ada
yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam. Jumlahnya sedikit sekali, sebagaimana
firman Allah :
وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ ۚ بَل
لَّعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلًا مَّا يُؤْمِنُونَ
“Dan
mereka berkata: "Hati kami tertutup". Tetapi sebenarnya Allah telah
mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang
beriman.” (QS
Al Baqarah : 88).
Akan
tetapi kebanyak mereka adalah fasik, sebagaimana firman Allah :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ
لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran : 110).
Di
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasalam, ada dua tokoh Yahudi yang terkemuka yang akhirnya memeluk Islam,
beriman kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam. Keduanya, yakni Hushein bin Salam dan Mukhairiq,
menjadi bahan cemoohan kaumnya sendiri. Jika sebelumnya mereka sangat
dihormati, setelah masuk Islam, mereka dikucilkan.
Moenawar Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: GIP, 2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam menjadi Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu.
Moenawar Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: GIP, 2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam menjadi Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu.
Dia
pernah membuktikan bagaimana sikap kaumnya terhadap dirinya. Suatu ketika, kaum
Yahudi datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasalam, saat Abdullah bin Salam sedang di sana. Dia berpesan
kepada Rasulullah agar menanyakan kepada kaumnya, bagaimana pandangan mereka
terhadap dirinya. Saat kaum Yahudi datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bertanya pada mereka, bagaimana
pandangan mereka terhadap Husein. Yahudi menjawab: "Ia adalah sebaik-baik orang kami dan sebaik-baik anak lelaki
orang kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak lelaki dari seorang
yang paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di kota Madinah tidak
ada seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah (Taurat)."
Kaum
Yahudi itu memuji-muji Abdullah. Kemudian Abdullah muncul dan mengajak kaum
Yahudi untuk beriman pada kenabian Muhammad shallallahu
‘alaihi wasalam. Abdullah mengatakan kepada kaumnya, bahwa mereka
sebenarnya telah memahami Muhammad adalah utusan Allah, sebab sifat-sifatnya
telah disebutkan dalam Kitab mereka.
Mendengar
ucapan Abdullah bin Salam radhiyallahu’anhu,
kaum Yahudi berbalik mencaci maki, dan menuduhnya sebagai pendusta. Sebab, dia
sudah tidak lagi memeluk agama Yahudi. Ketika itu, turunlah wahyu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam :
قُلْ
أَرَأَيْتُمْ إِن كَانَ مِنْ عِندِ اللَّهِ وَكَفَرْتُم بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ
مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ ۖ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah
pendapatmu jika Al Qur'an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu
mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang
serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur'an lalu dia beriman, sedang kamu
menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim".(QS Al-Ahqaf ayat 10)
Setelah
kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, maka mereka
dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, menghina,
menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Pada suatu hari di
antara pendeta-pendeta Yahudi ada yang berkata kepada yang lainnya dan
perkataan itu sengaja ditujukan kepada Abdullah bin Salam, di antaranya: "Tidak akan seseorang yang percaya
kepada Muhammad dan seruannya melainkan orang yang seburuk-buruknya dan
serendah-rendahnya. Orang yang paling baik dan paling mulia dari golongan kita
tidak akan berani meninggalkan agama pusaka nenek moyangnya dan mengikuti agama
lain, dari golongan lain dan bangsa lain. Jadi, barangsiapa dari golongan kita
sampai mengikuti agama Muhammad teranglah bahwa ia seorang yang
sejahat-jahatnya di kalangan kita."
Abdullah
bin Salam radhiyallahu ‘anhu tidak
mempedulikan caci maki keluarga dan kaumnya. Dia terus bertahan dalam Islam dan
termasuk sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia meninggal tahun 43 H di Madinah, di
masa Khalifah Mu'awiyah radhiyallahu
‘anhu.
لَيْسُوا
سَوَاءً ۗ مِّنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ
وَهُمْ يَسْجُدُونَ يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَـٰئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ
فَلَن يُكْفَرُوهُ ۗ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ
"Mereka
itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus,
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka
juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka
menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada
(mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh.
Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak
dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
bertakwa." (QS Ali Imran ayat 113-115)
Abdullah
bin Salam
radhiyallahu ‘anhu termasuk diantara
kaum Yahudi, yang berani menentang tradisi kesombongan kaumnya sendiri. Di
antara kaum Yahudi, ada juga yang berani mengkritik ajaran agamanya dan
praktik-praktik kebiadaban kaumnya sendiri, meskipun mereka tidak sampai
memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Dr. Israel Shahak. Guru besar biokimia
di Hebrew University ini memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti
sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja
menyaksikan kejahatan kaumnya.
Dr. Israel Shahak
Suatu
ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini
menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu
(Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil
ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.
Di
luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu
pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke
Dewan Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia
menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau
menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi.
Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The
Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan
orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai "tindakan
yang mulia". Prof. Shahak menulis: "The answered that the Jew in
question had behaved correctly indeed piously."
Kasus
itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh
tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku
berjudul Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994).
Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga
negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara
Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, "In my view, Israel as a Jewish state
constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and
to all other peoples and states in the Middle East and beyond."
Sebagai
satu "negara Yahudi" (a Jewish state), negara Israel adalah milik
eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai "Jewish",
tidak peduli dimana pun ia berada. Shahak menulis: "Israel 'belongs' to persons who are defined bu the Israeli
authorities as 'Jewish', irrespective of where they live, and to them
alone." Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang
yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang
sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru diabaikan.
Kaum
Yahudi, misalnya, dilarang memberikan pertolongan kepada orang non-Yahudi yang
berada dalam bahaya. Cendekiawan besar Yahudi, Maimonides, memberikan komentar
terhadap salah satu ayat Kitab Talmud: "It
is forbidden to save them if they are at the point of death; if, for example,
one of them is seen falling into the sea, he should not be rescued." Jadi,
kata Maimonides, adalah terlarang untuk menolong orang non-Yahudi yang berada
di ambang kematian. Jika, misalnya, ada orang non-Yahudi yang tenggelam di
laut, maka dia tidak perlu ditolong. Israel Shahak juga menunjukkan keanehan
ajaran agama Yahudi yang menerapkan diskriminasi terhadap kasus perzinahan.
Jika ada laki-laki Yahudi yang berzina dengan wanita non-Yahudi, maka wanita
itulah yang dihukum mati, bukan laki-laki Yahudi, meskipun wanita itu
diperkosa. Tidak banyak orang Yahudi yang berani bersuara keras terhadap agama
dan negaranya, seperti halnya Prof. Israel Shahak, sehingga dia memang bisa
dikategorikan Yahudi yang nyeleneh.
Yahudi
nyeleneh lainnya yang kemudian memeluk Islam bahkan menjadi Muslimah yang hebat
adalah Margareth Marcus, yang kemudian mengganti namanya menjadi Maryam Jameelah. Kisah hidup Maryam
Jameelah dapat dibaca dalam buku Surat Menyurat Maryam Jamilah –Maududi
(Bandung: Mizan, cet. Ke-4, 1990).
Maryam Jameelah, the subject of Baker’s biography The Convert.
Margareth
Marcus termasuk orang Yahudi Amerika yang nyeleneh. Ketekunan dan
kesungguhannya untuk mempelajari berbagai agama dan pemikiran-pemikiran modern
akhirnya mengantarkannya menjadi seorang Muslimah, dan berganti nama menjadi
Maryam Jameela. Ia kemudian dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim terkenal
dan penulis banyak buku yang cukup bermutu. Sejak remaja, Margareth Marcus
sudah berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya. Dia sama sekali tidak
menyentuh rokok atau minuman keras. Pesta-pesta dan dansa-dansa pun dia jauhi.
Ia hanya tertarik dengan buku dan perpustakaan.
Ia
bercerita tentang kisah ketertarikannya kepada Islam. Pada tahun kedua di
Universitas New York, Margareth mengikuti mata kuliah tentang Yudaisme dan
Islam. Dosennya seorang rabbi Yahudi. Pada setiap kuliah, sang dosen selalu
menjelaskan, bahwa segala yang baik dalam Islam sebenarnya diambil dari
Perjanjian Lama (Bibel Yahudi), Talmud, dan Midrash. Kuliah itu juga diselingi
pemutaran film dan slide propaganda Zionis. Tapi, kuliah yang menyudutkan Islam
itu justru berdampak sebaliknya bagi Margareth. Dia justru semakin melihat
kekeliruan ajaran Yahudi dan semakin tertarik dengan Islam. Dalam suratnya
kepada Abul A'la al-Maududi (seorang ulama besar Pakistan), Margreth menulis:
"Walaupun kenyataannya di dalam
kitab Perjanjian Lama terdapat konsep-konsep universal tentang Tuhan dan cita
moral luhur seperti yang diajarkan oleh para nabi, tetapi agama Yahudi selalu
mempertahankan karakter kesukuan dan kebangsaan. Dan meskipun di dalamnya
terdapat idealisme luhur, namun kitab suci agama Yahudi itu bagaikan buku
sejarah orang Yahudi saja layaknya – sejarah ketuhanan dan kebangsaannya...
Sebagian besar pemimpin Yahudi memandang Tuhan sebagai super agen real estate
yang membagi-bagikan lahan untuk keuntungan mereka sendiri... Betapa pun
unggulnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Israel, namun saya yakin
kemajuan material yang dikombinasikan dengan moralitas kesukuan bangsa
"terpilih" ini adalah suatu ancaman yang amat besar bagi perdamaian
dunia."
Margareth
Marcus kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Dalam salah satu
tulisannya, Margareth menulis: "... saya percaya bahwa Islam adalah jalan
hidup yang unggul dan merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran."
Namun, Margareth mengaku keheranan, banyak orang Islam sendiri yang tidak
meyakini keunggulan Islam. Ia menulis tentang hal ini:
"Berkali-kali saya bertemu dengan
mahasiswa-mahasiswa Islam yang belajar pada universitas-universitas di New York
yang berusaha meyakinkan saya bahwa Kemal Attaturk adalah orang Islam yang
baik, dan bahwa Islam harus menerima kriteria filsafat kontemporer, sehingga
bila ada akidah Islam dan periabadatannya yang menyimpang dari kebudayaan Barat
modern, maka hal itu harus dicampakkan. Pemikiran demikian dipuji sebagai
"liberal", "berpandangan ke depan", dan
"progresif". Sedang orang-orang yang berpikiran seperti kita dicap
sebagai "reaksioner dan fanatik", yakni orang-orang yang menolak
untuk menghadapi kenyataan masa kini."
Sebelum
resmi menyatakan diri sebagai Muslimah, Margareth Marcus telah menulis berbagai
artikel yang membela Islam di sejumlah jurnal internasional. Ia dengan tegas
memberikan kritik-kritiknya terhadap paham-paham modern. Dalam suratnya kepada
Maududi, 5 Desember 1960, ia menulis:
"Pada tahun lalu saya telah
berketetapan hati untuk membaktikan kehidupan saya guna berjuang melawan
filsafat-filsafat materialistik, sekularisme, dan nasionalisme yang sekarang
masih merajalela di dunia. Aliran-aliran tersebut tidak hanya mengancam
kehidupan Islam saja, tetapi juga mengancam seluruh umat manusia."
Dalam
buku yang ditulisnya, berjudul Islam versus the West, Maryam Jemeelah memaparkan
bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental. Sehingga,
menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat
yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekular, akan berujung
pada pemusnahan Islam. (The imitation of
Western ways of life based on their materialistic, pragmatic, and secular
philosophies can only lead to the abandonment of Islam).
Untuk
lebih menekuni dan tenang dalam menjalankan Islam, Maryam Jameela kemudian
memilih untuk berhijrah ke Pakistan, setelah mendapat izin dari kedua orang
tuanya. Maryam Jameela pun termasuk sedikit diantara kaum Yahudi yang memiliki
sikap kejujuran dan keberanian untuk menerima Islam. Jadi, bisa dikatakan, dia
juga nyeleneh.
Yahudi
lain yang kemudian bersikap tidak biasa adalah Leopold Weiss yang
kemudian berganti nama menjadi Muhammad Asad. Bukunya yang sangat bagus
untuk dibaca berjudul Islam at the Cross Road (Islam di Simpang Jalan).
Sebagaimana Maryam Jameela, dalam buku ini, Asad juga memaparkan dengan jitu
bagaimana karakteristik peradaban Barat dan bagaimanma seharusnya kaum Muslim
menghadapi serbuan pemikiran dan budaya Barat.
Muhammad Asad
Muhammad
Asad mencatat, bahwa Peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan manusia
kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang
sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan
duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno.
Konsep "keadilan" bagi Romawi, adalah "keadilan" bagi
orang-orang Romawi saja. Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam
peradaban yang berdasarkan pada konsepsi hidup yang sama sekali materialistik.
Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil.
Bahkan, saripati peradaban Barat itu sendiri sebenarnya 'irreligious'. (… so characteristic of modern Western
Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or any other
religion, because it is irreligious in its very essence).
Asad
juga mengingatkan, bahwa bahaya terbesar yang dihadapi kaum Muslim di era
modern adalah peniruan model hidup Barat. Dia katakan: Peniruan model hidup
Barat – secara individual dan sosial – oleh kaum Muslimin, tidak diragukan lagi
merupakan bahaya terbesar bagi kehidupannya. Atau, tepatnya, bagi kebangkitan
kembali peradaban Islam."
Juga,
menurut Asad, ummat Islam harus memiliki kebanggaan terhadap peradabannya
sendiri dan tidak memutuskan kehidupannya dengan sejarahnya sendiri. Sebab,
tulisnya, "No civilization can
prosper or even exists, after having lost this pride and the connection with
its own past." (Tidak ada satu peradaban yang dapat berkembang, atau
bahkan eksis, jika telah kehilangan kebanggaan terhadap peradabannya sendiri
dan terputus dengan masa lalunya sendiri).
Itulah
sejumlah contoh Yahudi-yahudi yang nyeleneh, yang menyimpang dari tradisi
kaumnya. Biasanya mereka tidak popular di antara kaum Yahudi sendiri. Maryam
Jameela menyebutkan ada seorang temannya, Yahudi di AS, yang memeluk Islam dan
kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk kembali ke agama Yahudi.
Islam
telah meluruskan ajaran Yahudi yang membanggakan ideologi darah (keturunan).
Islam berdasarkan pada keimanan dan ketaqwaan. Siapa pun yang bertaqwa, itu
yang mulia. Bangsa apapun dia. Ras apa pun dia. Yahudi atau bukan Yahudi sama
saja. Yang penting Islam. Ideologi darah seperti yang dipraktikkan kaum Yahudi
adalah ideologi "Iblis". Ummat Islam wajib meluruskan ideologi semacam
ini. Kesombongan dan kedengkian telah menghalangi banyak kaum Yahudi untuk
menerima kebenaran Islam.
sumber :
hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar