Masalah bid'ah
adalah satu masalah yang sulit dan rumit karena menyangkut banyak bidang dalam
masalah agama. Ia ada sangkut pautnya dengan banyak hadits yang termaktub dalam
beberapa kitab hadits dan bertalian pula dengan banyak amalan sahabat Nabi
radhiyallahu anhum. Ada orang mengatakan, "ini bid'ah, ini sesat",
padahal dia belum/tidak mendalami, bahkan ta'rif atau definisi bid'ahpun tidak
tahu. Hal ini sama dengan pribahasa yang mengatakan,"Banyak orang yang mendengar bunyi lonceng, tetapi sedikit sekali
yang mengatahui dimana letaknya anak lonceng itu."
Dalam hubungannya
dengan bid'ah ini ada beberapa hadits Nabi yang memberikan ancaman bagi ahli
bid'ah, sehingga ada hadits mengatakan bahwa ahli bid'ah itu anjing neraka.
Para ulama Islam tahu betul perkara ini karena tertulis dalam kitab hadits yang
mu'tabar, sehingga tidak ada seorang ulama ahlus sunnah wal jama'ah dimanapun
(termasuk ulama yang bermadzhab Syafi'i yang ada di Indonesia) yang
menganjurkan ummat Islam untuk membuat bid'ah karena para ulama ini tahu akan
akibat dan bahayanya bid'ah.
Misalnya ada orang
yang mengatakan bahwa Imam Nawawi rahimahullah (wafat tahun 667 H)
menganjurkan ummat Islam membuat bid'ah dan dia ahli bid'ah, hanya karena
memfatwakan sunnat membaca ushalli sebelum takbiratul ihram, maka tuduhan
seperti itu sangat tidak ilmiyah dan dusta. Kita tahu bahwa Imam Nawawi
merupakan seorang ulama besar dalam madzhab Syafi'i, pengarang kitab fiqih
"Syarah Muhadzab" dan pakar atau ahli hadits dengan mensyarahkan
kitab "Sahih Muslim". Beliau juga pengumpul hadits-hadits seperti
dalam karyanya "Riadush Shalihin" dan Al Adzkar" serta banyak
lagi kitab karangannya.
Namun akhir-akhir ini
beberapa diantara ummat Islam yang mengaku ulama atau pakar dalam ajaran Islam,
sehingga menisbatkan dirinya sebagai pengikut para ulama salaf dan mengaku
sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Dengan gagah berani dan penuh kebanggan,
mereka mengajak ummat Islam supaya mengikuti jejak langkah atau sunnah
para ulama salaf yang saleh dengan cara yang primitif, penuh kebodohan,
fanatisme buta/taklid, dengan pemahaman yang dangkal dan dengan dada
(pengertian) yang sempit. Bahkan mereka juga memerangi setiap suatu yang baru
dan mengingkari suatu penemuan baru yang baik dan bermanfaat, hanya karena
dinilai -oleh pemahaman mereka yang sempit- sebagai bid'ah. Dalam pemahaman
mereka, tidak ada sesuatu yang bid'ah kecuali pasti menyesatkan. Mereka menutup
mata dan tidak mau melihat adanya realitas yang menuntut adanya pembedaan
antara bid'ah hasanah dan bid'ah dlalalah -yang menyesatkan.
Padahal ruh Islam menghendaki adanya pembedaan antara berbagai bid'ah yang ada,
yang menjadi tuntutan akal yang cerdas dan pemahaman atau pandangan yang
cemerlang.
Itulah yang telah ditahqiq atau
diakui kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh para ulama yang pakar
dalam ushul (fiqih) dari kalangan ulama’ yang saleh, seperti Imam Izzuddin
bin Abdissalam, Imam Nawawi, Jalaluddin As Suyuthi, Imam Jalaluddin Al
Mahalli dan Ibnu Hajar Asqalani rahimahumullah ta'ala.
Untuk menghindari
kesalahpahaman hadits-hadits nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam maka
perlu ditafsiri sebagian hadits dengan sebagian yang lain, dan diperjelas
kesempurnaan arahnya dengan hadits lainnya pula. Hadits Nabi dipahami secara
cermat dan teliti, komprehensif dan menyeluruh; tidak dipahami secara partial
atau sepotong-sepotong. Yang lebih penting lagi harus dipahami dengan ruh Islam
dan sesuai dengan pendapat para ulama salaf yang saleh. Lebih jelasnya, untuk
memahami hadits-hadits Nabi diperlukan kecemerlangan akal, kecerdasan
intelektual, pemahaman yang mendalam dan disertai hati yang bersih dan
sesnsitif, yang pemaknaan dan pemahamannya didasarkan pada "lautan
syari'ah Islam" dengan memperhatikan kondisi dan situasi ummat Islam dalam
berbagai kebutuhannya. Namun situasi dan kondisi ummat Islam memang harus
selaras dengan batasan-batasan kaidah Islam dan teks-teks Al qur'an dan Sunnah
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak boleh keluar dari
padanya.
Oleh karena itu nash syariat yang banyak kita temukan itu
mesti dipahami dengan akal orang-orang yang berakal, pemikiran cerdas,
pemahaman yang tepat, hati yang mampu merasakan aliran ruh syariat seiring
dengan perhatian kita terhadap kondisi, dan kebutuhan umat serta
sinkronisasinya dengan kaidah-kaidah, batasan-batasan dan nash-nash dari al
Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh
keluar dari semua ini.
2. Dalam hadits lain dinyatakan:
1. Disebutkan di dalam hadits :
لا صلاة لجار المسجد الا فى المسجد
"Tidak ada (tidak sah) shalat seorang yang bertetangga
dengan masjid, kecuali di masjid."
Jika dipahami secara tekstual nash hadist ini, tanpa
memahami nash yang lain, maka kita akan mengatakan bahwa orang-orang yang
rumahnya dekat dengan masjid wajib shalat di masjid. Tidak sah shalat fardhu
yang dilakukannya di rumahnya. Tapi apakah benar demikian? Tidak ada ulama’
yang mengatakan tidak sah shalat seorang muslim di rumahnya! Maka dipahami
maksud dari hadits ini adalah tidak sempurna shalat fardhu seseorang yang bertetangga
dengan masjid, kecuali di masjid, meskipun sah shalatnya.
2. Dalam hadits lain dinyatakan:
لا صلاة بحضرة الطعام
Artinya : "Tidak ada (tidak sah) shalat dengan
tersedianya makanan."
Orang yang lapar dan sudah dihidangkan (disediakan) makanan,
apabila sudah masuk waktu shalat, akan menyebabkan kekhusyu`annya terusik,
sehingga dianjurkan untuk makan terlebih dahulu. Ini bisa berakibat terhadap
kurang sempurnanya pelaksanaan shalat secara dzahir dan kurang terpenuhinya
syarat diterima secara bathin, yaitu kekhusyu`an shalat. Oleh karena itu hadits
ini ditafsirkan oleh ulama’ menjadi tidak sempurna shalat seseorang, ketika telah
dihidangkan makanan.
3. Dalam hadits dinyatakan pula :
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya : “Tidak
beriman- dengan keimanan yang sempurna -salah
seorang diantaramu, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai
dirinya sendiri.
4. Begitu juga hadits berikut :
وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ
وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ وَاللهِ لاَيُؤْمِنْ, قِيْلَ:مَنْ
يَارَسُوْلَاللهِ؟ قَالَ: مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Artinya : “Demi Allah
tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman-dengan keimanan yang sempurna-. Ada
yang bertanya,”Siapakah- yang tidak
sempurna keimanannya itu –wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda : “Orang
yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya.”
Masih banyak contoh di dalam Al Qur`an dan hadits yang
lain, sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.
Tidak boleh memahami
Al Qur`an dan hadits secara parsial, mengambil sebagian dan melupakan (meninggalkan)
sebagian yang lain.
2.
Tidak boleh kaku
dengan pemahaman tekstual. Pergunakanlah akal, karena antara akal (‘aqli) dan naqli (nash) saling
membutuhkan. Ketika berdalil dengan naqli, mesti dengan melakukan
pendalaman, perenungan, penelitian dan berfikir cerdas menggunakan akal. Dan
dalil-dalil ‘aqli tidak akan diterima secara syar`i, kecuali apabila
berpijak kepada naqli.
Oleh karena itu ketika memahami hadits mengenai bid’ah,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berikut :
...كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
Artinya : "...Setiap yang baru adalah bid`ah dan
setiap yang bid`ah adalah sesat dan setiap yang sesat berada di dalam api
neraka."
Maka hadits ini tidak bisa dipahami secara tesktual, tetapi
perlu dipahami dengan hadits yang lain. Jikalau kaku dalam memahami hadits ini,
maka kita akan jumud dalam menghadapi segala pembaruan dan akan banyak bertentangan
dengan ayat al qur’an dan hadits lain. Arti yang dapat dipahami dari hadits ini
menurut ulama’ adalah setiap yang baru
adalah bid’ah dan sebagian atau tidak setiap yang bid’ah adalah sesat dan
setiap yang sesat berada di dalam api neraka. Keumuman kandungan dari
berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat Nabi mengesankan bahwa
yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits “setiap ? bid’ah adalah dhalalah”,
maksudnya adalah bid’ah sayyiah (bid’ah yang buruk), yang jelas-jelas tidak ada
landasan pokok dari ajaran Islam.
Cobalah perhatikan
pula hadits ini :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً
حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَاوَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَاإِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ....
Artinya : Barangsiapa
yang menetapkan atau melakukan suatu kebiasaan (sunnah) yang baik, maka ia
berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari
kiamat.....
Betapa besar pahala yang diberikan
oleh Allah, hanya dengan melaksanakan suatu perbuatan yang baik, yang dasar
atau pokoknya berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, maka dia akan mendapat
pahala yang mengalir terus selama orang yang mencontoh kebaikan tersebut
mengerjakannya. Kita bayangkan, betapa besar pahala Umar radhiyallahu anhu, dimana
beliau berijtihad dengan menjadikan shalat tarawih 20 rakaat secara berjamaah.
Sejak dari zaman beliau sampai hari ini, berapa milyar orang yang telah
mengikuti contoh beliau, sehingga hari ini masih dikerjakan orang, dan Insya
Allah sampai hari kiamat. Subhanallah!!!
Untuk memahami arti yang demikian, silahkan dibaca dengan
cermat dan penuh perhatian serta pemikiran yang mendalam mengenai arti bid’ah
menurut bahasa dan syariat Islam, pada penjelasan selanjutnya.
Para sahabat radhiyallahu anhum
ajma’in, ulama’-ulama’ salafush sholeh hingga ulama’ zaman sekarang,
mengetahui dan memahami betapa buruk perbuatan bid’ah dan ahli bid’ah, dimana
Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
memberi ancaman yang sangat keras, sebagaimana hadits di bawah ini.
1. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
أَبىَ
اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Artinya : Allah
enggan menerima ibadah ahli bid’ah, kecuali kalau ia sudah meninggalkan
bid’ahnya itu (HR Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah I hal 25)
Menurut bunyi hadits
ini, amal ibadah seorang pembuat bid’ah tidak diterima oleh Allah. Bukan saja
amal yang bid’ah, tetapi seluruh amalannya tidak diterima oleh Allah, kecuali
kalau sudah berhenti dari bid’ahnya. Hadits yang sangat keras ancamannya bagi
ahli bid’ah.
2. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
لاَ
يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ
عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَ عَدْلاً. يَخْرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَايَخْرُجُ
الشَّعْرَةُ مِنَ الْعَجِيْنِ
Artinya : Allah
tidak menerima amal ibadah ahli bid’ah, baik puasanya, shalatnya, hajinya,
umrahnya, jihadnya, taubatnya dan tebusannya. Ia keluar dari Islam sebagaimana
keluarnya sehelai bulu dari tepung.
3. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda :
عَنْ
عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَافَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Dari
Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha. Beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengerjakan amal ibadat
yang tidak kami perintahkan, maka amalnya ditolak. (HR. Imam Muslim, dalam
Syarah Muslim XII, hal 16 dan juga HR Bukhari dalam Syarah Bukhari IV,
hal 189)
Hadits ini menerangkan
bahwa seluruh ibadat yang tidak diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam akan ditolak atau tidak diterima oleh Allah. Imam Nawawi
dalam komentar hadits ini mengatakan bahwa pengertian ditolak itu adalah batal
atau batil, tidak masuk hitungan.
4. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
مَنْ
أَحْدَثَ فِىْ أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa
yang mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang
tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. (HR Muslim, dalam
Syarah Muslim XII, hal 16).
5. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu
anhu berkata bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan
kepada kami sesuatu yang menggetarkan hati dan meneteskan air mata. Kami
berkata kepada beliau bahwa pengajaran itu seolah-olah sebagai pengajaran
pamitan. Kemudian beliau memberi kami nasihat : “Saya beri wasiat kamu
sekalian supaya kamu bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada ulil
‘amri, walaupun ulil ‘amri itu orang berkulit hitam sekalipun. Siapa yang hidup
lama diantara kamu sesudah aku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang
banyak. Pada ketika itu hendaklah kamu mengikut Sunnahku dan Sunnah Khulafaur
Rasyidin yang dapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah
dengan gerahammu. Jauhilah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena semua
yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah dan semua bid’ah itu adalah
sesat.” (HR Abu Dawud 4, hal 201)
Hadits ini oleh Imam
Nawawi dimasukkan dalam kumpulan hadits Arba’in, hadits ke 40.
6.Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
قاَلَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَنْ أَحْيَ سُنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ
أُمِيْتَتْ بَعْدِىْ فَلَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئاً وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً
لاَتُرْ ضِى اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانِ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِالنَّاسِ شَيْئًا
Artinya : Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku yang dimatikan orang setelah aku tidak ada, maka
bagi orang itu pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya. Tidak
sedikitpun dikurangi seperti orang yang mengamalkan sunnah. Dan barangsiapa
yang membuat suatu bid’ah yang sesat dan tidak diridhoi Allah dan Rasulnya,
maka ia mendapat pula dosa-dosa yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun.
(HR Imam Tirmidzi 10, hal 147)
Ternyata menurut
hadits ini bahwa barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah, maka ia berdosa dan
ia mendapat pula sebanyak dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu sampai hari
kiamat.
7. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ
اللهَ لاَ يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاهُمُوْهُ انْتِزَاعًاوَلَكِنْ
يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ
جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُوْنَ بِرَاءْيِهِمْ فَيَضِلُّوْنَ وَيُضِلُّوْنَ
Artinya : Bahwasanya
Allah tidak menanggali (mencabut) ilmu agama begitu saja dari ummat, tetapi Dia
mengambil ilmu itu dari ummat bersamaan dengan wafatnya ulama-ulama bersama
ilmunya. Maka tinggallah manusia-manusia yang bodoh. Orang-orang yang bodoh ini
dimintai fatwa agama, maka mereka berfatwa dengan pendapat mereka saja. Maka
tersesatlah mereka dan mereka menyesatkan orang lain pula. (HR Imam
Bukhari, dalam Sahih Bukhari IV, hal 185)
Dari hadits ini
dinyatakan bahwa fatwa-fatwa yang dibuat oleh orang-orang ahli bid’ah dengan
berdasarkan pendapat semata-mata dan tidak berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits,
Ijma’ dan Qias, maka fatwa itu sesat dan menyesatkan.
البدعة
لغة : الْمُخْتَرَعُ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
Artinya : Menurut
bahasa Arab, kata bid’ah berarti sesuatu yang diadakan tanpa contoh
sebelumnya/yang terdahulu.
Dalam beberapa kamus Bahasa
Arab :
a. Al
Muhith, karangan Syirazi III, hal 3 :
اَلْأَمْرُ
الَّذِىْ يَكُوْنُ أَوَّلاً
Artinya : Sesuatu
barang/urusan yang pertama adanya
b. Muhtarush
Shihah, karangan Ar Razi, hal 379 :
اِخْتَرَعَهُ
لاَعَلَى مِثَالٍ
Artinya : Mengadakan
sesuatu tidak menurut contoh
c. Al
Mu’tamad, hal 28
اِخْتَرَعَهُ
وَأَنْشَأَهُ لاَعَلَى مِثَالٍ
Artinya : Diciptakan
tanpa contoh
d. Munjid,
hal 27.
مَاأُحْدِثَ
عَلَى غَيْرِ مِثاَلٍ سَابِقٍ
Artinya : Menciptakan/membuat
sesuatu tanpa contoh yang terdahulu
Seluruh kamus
mengatakan bahwa bid’ah dalam bahasa Arab adalah suatu barang/amalan baru yang
dibuat tidak dengan contoh terlebih dahulu. Yang menciptakan dinamakan Mubdi’
atau Mubtadi’.
Syeikh Raghib al Asfahany rahimahullah di dalam kitab Mufradat al Qur`an menulis sebagai
berikut : ”Kalimat الابداع (al
ibda`) berarti mengadakan/membuat sesuatu, tanpa ada contoh dan ikutan
sebelumnya. Apabila kalimat ini digunakan untuk menyebutkan perbuatan Allah,
maka maksudnya adalah Allah mengadakan sesuatu tanpa butuh alat, bahan mentah,
juga tidak butuh waktu dan tempat. Dan hal itu tidak mungkin terjadi kecuali
hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala semata. Kalimat البديع (al badi`) diistilahkan juga untuk
maksud المبدِع "yang menciptakan (subjek)".
Contoh :
Firman Allah subhanahu wa
ta’ala :
بَدِيْعُ
السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضِ ...
Artinya : Tuhan
yang menciptakan (tanpa contoh) langit dan bumi …(QS Al Baqarah : 117);
lihat pula QS Al An’am : 101.
Langit dan bumi juga
dikatakan bid’ah, karena keduanya diciptakan oleh Allah tanpa contoh
sebelumnya. Allah dinamai Badi’i yang artinya pencipta.
Kadang bid`ah juga diistilahkan kepada المبدَع (al
mubda`) "apa-apa yang diciptakan (objek)", seperti kalimat ركية بديع (rakiyah badi`) yang berarti
"tempayan buatan". Demikian juga kalimat البدع (al bid`u) yang juga
dimaksudkan untuk kedua makna sebelumnya, yang bermakna "sebagai
subjek" dan juga bermakna "sebagai objek".
Contoh :
Allah berfirman mengenai Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bukan Nabi bid’ah,
yaitu Nabi yang tidak ada contoh sebelumnya :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًامِنَ الرُّسُلِ ...
Artinya : Katakanlah
olehmu (wahai Nabi) : Saya bukanlah Rasul yang belum ada contoh terlebih
dahulu... (QS Al Ahqaf : 9)
Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam memang bukan satu-satunya Nabi dan Rasul, tetapi sebelum
beliau sudah banyak Nabi-nabi dan Rasul seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi dan lainya.
Dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa arti bid’ah adalah suatu ciptaan baru dan yang mengadakan
dinamakan pencipta.
Sedangkan
Al Fayyumi rahimahullah di dalam
kitab Misbah al Munir mengatakan :
Allah telah menciptakan makhluk dengan penciptaan yang baru, yaitu menciptakan mereka bukan dengan contoh sebelumnya. Kalimat ابدعت (abda`at) dan ابدعته (abda`athu) bermakna استخرجته واحدثته istakhrajat-hu wa ahdasat-hu "mengeluarkannya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang baru". Oleh karena itu setiap perkara yang berseberangan/menyalahi dinamakan dengan bid`ah. Kalimat bid`ah merupakan bentuk isim dari kalimat الابتداع (al ibtida`), seperti kalimat رفعة (rif`ah) yang berasal dari kalimat الارتفاع (al irtifa`). Kemudian secara umum kalimat bid`ah ini dipakai untuk untuk semua hal yang menunjukkan adanya kekurangan dalam pelaksanaan agama atau terjadi penambahan. Akan tetapi hal-hal tersebut terkadang sebagiannya tidak makruh (tidak dibenci), maka dinamakan dengan bid`ah mubah, yaitu hal-hal yang sejenis dengannya telah diketahui memiliki dasar dari syariat, atau dilakukan karena adanya maslahat yang akan menghilangkan segala bentuk mafsadah (kerusakan). Seperti para khalifah yang mengadakan hijab (perantara untuk bertemu dengan khalifah), agar tidak terjadi interaksi langsung antara rakyat dengan khalifah.
5. Pengertian Bid`ah menurut Syara’
Allah telah menciptakan makhluk dengan penciptaan yang baru, yaitu menciptakan mereka bukan dengan contoh sebelumnya. Kalimat ابدعت (abda`at) dan ابدعته (abda`athu) bermakna استخرجته واحدثته istakhrajat-hu wa ahdasat-hu "mengeluarkannya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang baru". Oleh karena itu setiap perkara yang berseberangan/menyalahi dinamakan dengan bid`ah. Kalimat bid`ah merupakan bentuk isim dari kalimat الابتداع (al ibtida`), seperti kalimat رفعة (rif`ah) yang berasal dari kalimat الارتفاع (al irtifa`). Kemudian secara umum kalimat bid`ah ini dipakai untuk untuk semua hal yang menunjukkan adanya kekurangan dalam pelaksanaan agama atau terjadi penambahan. Akan tetapi hal-hal tersebut terkadang sebagiannya tidak makruh (tidak dibenci), maka dinamakan dengan bid`ah mubah, yaitu hal-hal yang sejenis dengannya telah diketahui memiliki dasar dari syariat, atau dilakukan karena adanya maslahat yang akan menghilangkan segala bentuk mafsadah (kerusakan). Seperti para khalifah yang mengadakan hijab (perantara untuk bertemu dengan khalifah), agar tidak terjadi interaksi langsung antara rakyat dengan khalifah.
5. Pengertian Bid`ah menurut Syara’
Perlu diketahui oleh
semua orang, bahwa definisi BID’AH menurut SYARI’AT ISLAM tidak didapatkan
didalam AL QUR’AN dan tidak didapatkan pula didalam AL HADITS. Hal ini lumrah,
karena Al Qur’an dan Al Hadits tidaklah bertugas untuk membuat definisi atau
ta’rif. Tugas Al Qur’an dan Al Hadits hanyalah membawa dakwah Islamiyah untuk
bertauhid kepada Allah yang Maha Esa, dengan jalan mengamalkan perintahNya dan
meninggalkan laranganNya. Nabi juga bukan diutus untuk membuat definisi, tetapi
hanya menjelaskan isi Al Qur’an dan untuk menyampaikan syari’at Islam.
Yang membuat definisi
atau ta’rif hanyalah ulama-ulama yang benar-benar ahli, setelah memperhatikan
persoalan-persoalan yang akan diberinya definisi atau ta’rif itu dalam Al
Qur’an dan Al Hadits, Atsar-atsar sahabat Nabi dan lain-lain. Oleh karena itu
tidaklah heran kalau terdapat perbedaan definisi atau ta’rif dalam masalah
agama, karena pendapat orang juga berbeda-beda. Setuju!
Di bawah ini akan
dinukilkan definisi bid’ah menurut ulama’ yang bermadzhab Syafi’i berdasarkan
Al Qur’an, Hadits dan Sejarah. Kalau dibuka dalam kitab para ulama’ madzhab,
maka akan dilihat bahwa bid’ah dibagi dua, yaitu bid’ah yang baik dan bid’ah
yang tercela. Di sini hanya akan dibahas dari beberapa ulama’ yang mu’tabar
saja.
1. Syeikh
Izzuddin bin Abdis Salam, seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i (wafat 660
H), menerangkan dalam “Qawaidul Ahkam” :
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ
مَالَمْ يُعْهَدْ فِىْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ
Artinya : Bid’ah
itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Maksudnya bahwa setiap
pekerjaan keagamaan yang belum atau tidak dikenal pada zaman Rasulullah adalah
bid’ah, sekalipun pekerjaan itu baik. Misalnya mengumpulkan ayat Qur’an dalam
satu mushaf (kitab), membukukan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,
membukukan tafsir Qur’an dan fiqih, membukukan ilmu ushuluddin atau aqidah,
membangun madrasah dan pondok pesantren, merayakan maulid Nabi dan isra’
mi’raj, naik haji dengan kendaraan mobil, kapal laut dan pesawat udara, dan
sebagainya, maka semua ini dinamakan bid’ah. Karena semua itu belum atau tidak
dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Demikian pula
pekerjaan yang jelek dari segi keagamaan. Misalnya pelajaran keagamaan dicampur
dengan falsafah Yunani, bermusik dan bersuling dalam perayaan maulid Nabi,
masuk dan keluar puasa tidak berdasarkan ru’yah, khutbah selain bahasa Arab,
shalat jum’ah di rumah saja, adzan dengan kaset atau radio, semuanya ini masuk
dalam bid’ah yang tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam.
2. Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi rahimahullah, juz. II halaman 86-87
mengatakan : Imam Syafi’i rahimahullah berkata, bahwa bid’ah itu terbagi dua,
yaitu : Bid’ah mahmudah (terpuji), yaitu bid’ah yang sejalan dengan
sunnah, dan Bid’ah madzmumah (tercela), yang tidak sejalan dengan sunnah. Ada
dua riwayat penjelasan Imam Syafi’i, yaitu :
a. Abu Nu’im rahimahullah
meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
berkata :
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ
: مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ. فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ,
وَمَاخَالَفَهَافَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Artinya : Bid’ah
itu ada dua macam, yaitu bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji yang
sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah tercela yang tidak sesuai atau menentang
Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b. Imam Baihaqi, seorang ahli hadits yang terkenal,
juga menerangkan dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” :
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ
: مَااُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًاأَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًافَهَذِهِ
بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَلِفُ شَيْئًامِنْ ذَلِكَ
فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
Artinya : Pekerjaan
yang baru ada dua macam, yaitu 1. Pekerjaan keagamaan yang menentang atau
berlainan dengan Al Qur’an, atau sunnah Nabi, Atsar Sahabat dan Ijma’, maka ini
dinamakan bid’ah dlalalah, 2. Pekerjaan keagamaan yang baik yang tidak
menentang salah satu dari yang tersebut di atas, dinamakan bid’ah juga, tetapi
tidak tercela. (lihat juga Fathul Bari XVII, hal 10).
Imam Syafi’i membagi
bid’ah dua macam, yaitu :
1. Bid’ah dlalalah,
yaitu bid’ah sesat dan tercela, merupakan pekerjaan keagamaan yang menentang
Kitabullah, menentang Sunnah Rasul, menentang Atsar Sahabat, dan menentang
Ijma’ Ulama’.
2. Bid’ah hasanah, yaitu pekerjaan
keagamaan yang baik yang tidak menentang Kitabullah, menentang Sunnah Rasul,
menentang Atsar Sahabat, dan menentang Ijma’ Ulama’.
Imam Syafi’i
berpendapat seperti itu, setelah beliau memperhatikan sekalian hadits Nabi, dan
Atsar/perbuatan Sahabat yang berhubungan dengan bid’ah. Dasar pendapat
Imam Syafi’ akan dikemukakan dua hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. :
a. Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِىْ
أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa
yang mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan agama) sesuatu yang
tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak. (HR Muslim, dalam Syarah Muslim XII,
hal 16)
b. Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِى
الْاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ
مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ, وَ مَنْ سَنَّ فِى
الْاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ
وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ.
Artinya : Barangsiapa
yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik), kemudian sunnah
itu diamalkan oleh orang lain, diberikan kepadanya pahala sebagaimana pahala
orang yang mengerjakan tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang yang
mengerjakannya. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah
sayyiah (sunnah yang buruk), kemudian sunnah itu diamalkan oleh orang lain,
diberikan kepadanya dosa sebagaimana dosa orang yang mengerjakan tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa orang yang mengerjakannya. (HR Muslim,
dalam Syarah Muslim XIV, hal 226)
Dalam hadits ini kita perhatikan secara seksama, ternyata
setiap muslim DIBOLEHKAN DAN BAHKAN DIANJURKAN supaya mengadakan “SUNNAH
HASANAH” (SUNNAH YANG BAIK), dan dilarang keras mengadakan sunnah sayyiah
(sunnah yang buruk).
c.
Dalam Kitab Sahih Bukhari diterangkan :
Artinya : Dari
Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata,”Saya keluar bersama Umar bin
Khattab radhiyallahu anhu (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam pada bulan
Ramadhan di masjid Nabawi. Didapati dalam masjid itu didapati orang-orang
shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada yang shalat
dengan beberapa orang di belakangnya. Kemudian Umar radhiyallahu anhu berkata
“Saya berpendapat akan menyatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan
seorang Imam, maka sesungguhnya ini lebih baik dan serupa dengan shalat
Rasulullah.” Maka beliau menyatukan orang-orang itu di belakang seorang Imam,
namanya Ubai bin Ka’ab. Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke masjid
lalu kami melihat orang shalat berkaum-kaum atau berjamaah di belakang seorang
Imam. Umar radhiyallahu anhu berkata,”
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِartinya Ini adalah
bid’ah yang baik.” (Shahih Bukhari, hal 242). Hadits ini juga terdapat
dalam kitab Muwatha’ oleh Imam Maliki, Juz I hal 136-137.
Ternyata dari riwayat
ini kita ketahui bahwa shalat tarawih secara berjama’ah terus menerus yang
dikerjakan pada bulan Ramadhan adalah pekerjaan bid’ah, karena tidak dikenal
pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tetapi pekerjaan atau
amalan itu dikatakan oleh Umar radhiyallahu anhu sebagai bid’ah yang
baik atau bid’ah hasanah.
Berdasarkan ketiga
hadits diatas muncullah pendapat Imam Syafi’i bahwa bid’ah itu terbagi dua,
yaitu bid’ah dlalalah dan bid’ah hasanah.
- Al-Muhaddits Al-Imam
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawiy rahimahullah
(Imam Nawawi) memberikan penjelasan mengenai hadits: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….”, hadits
ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman
untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian
dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam : “setiap yang baru adalah
Bid’ah, dan setiap yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang di maksudkan adalah
hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih
Muslim juz 7 hal 104-105)
3. Imam
Suyuthi rahimahullah, seorang ulama
besar dalam lingkungan madzhab Syafi’i, pengarang kitab “Tanwirul Halik Syarah
Muwatha’ Malik”, Syarah Sunan Nisai, dan seperdua dari Tafsir Jalalain, berkata
:
أَصْلُ الْبِدْعَةِ مَا
أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِى الشَّرْعِ عَلَى مَا
يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَىْ مَالَمْ يَكُنْ فِى عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلَى الْاَحْكَامِ الْخَمْسَةٌ.
Artinya : Maksud
yang asal dri perkataan bid’ah adalah suatu yang baru diadakan tanpa contoh
terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah merupakan lawan dari sunnah,
yaitu suatu yang belum ada pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang lima. (Tanwirul Halik, juz
I, hal 137).
Bisa
disimpulkan dari paparan sebelumnya : Bahwa setiap yang baru adalah bid`ah,
menurut bahasa dan syara`. Dan bid`ah yang dikenal secara syara` itu ada dua: mahmudah
(terpuji) dan mazmumah (tercela). Dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin maju dan komplek, maka ulama’ membagi bid’ah
mengikuti hukum fiqih yang lima, sebagaimana penjelasan di bawah ini.
6. Bid’ah terbagi pada
Hukum Fiqih yang Lima.
|
Dengan demikian bid'ah
itu ada : a. Bid’ah yang haram, b. Bid’ah
yang makruh, c. Bid’ah yang wajib, d. Bid’ah
yang sunnat dan e. Bid’ah yang mubah atau boleh atau jaiz.
7. Contoh Bid’ah yang Takluk Kepada Hukum yang Lima
1. Bid’ah Yang Haram (Dhalalah)
a. Dalam
I’tiqad
- Kepercayaan bahwa masih ada Nabi sesudah
Nabi Muhammad shallallahu alahi wasallam.
- Kepercayaan
bahwa Khalifah pertama adalah Ali radhiyallahu anhu.
- Kepercayaan bahwa Imam-imam menerima
wahyu sebagaimana Nabi menerima wahyu.
- Kepercayaan
bahwa Khalik dan makhluk adalah satu.
- Kepercayaan
bahwa hukum agama hanya Al Qur’an saja.
- Kepercayaan
bahwa Allah tidak mempunyai sifat.
- Kepercayaan
bahwa takdir tidak ada.
- Kepercayaan
bahwa manusia yang mengadakan pekerjaannya.
- Kepercayaan bahwa Kalamullah adalah
makhluk. Kepercayaan bahwa Allah tidak bisa dilihat dalam surga.
- Kepercayaan
bahwa Mi’raj Nabi Muhammad hanya mimpi.
- Kepercayaan
bahwa adzab kubur tidak ada.
- Kepercayaan
bahwa syafaat Nabi Muhammad tidak ada
- Kepercayaan
bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai mu’jizat kecuali Al Qur’an
- Kepercayaan
bahwa berdo’a dengan tawassul adalah syirik.
- Kepercayaan
bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy seperti duduknya manusia di atas kursi.
- Kepercayaan
bahwa Allah turun pada malam hari seperti turunnya manusia dari tangga.
- Kepercayaan
bahwa yang menentukan baik dan buruk adalah akal, bukan syariat
- Kepercayaan
bahwa syurga dan neraka tidak kekal
- Dan
sebagainya.
b. Dalam Syari’at
dan Ibadat.
- Menambah
ayat dalam kitab Al Qur’an
- Membuat
foto atau gambar Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
- Menafsirkan
Al Qur’an hanya dengan pendapat saja.
- Shalat
dalam hati saja
- Shalat
Jum’at sendirian saja di dalam rumah, tidak ke Masjid.
- Shalat
bukan dengan bahasa Arab.
- Naik
haji tidak ke Makkah.
- Puasa
terus menerus sepanjang tahun.
- Puasa
pada hari raya Idul Fitri dan Qurban.
- Mengumpulkan zakat untuk membuat masjid,
pabrik, perbaikan jalan dan sebagainya.
2. Bid’ah Yang
Makruh.
- Shalat
dhuha dengan berjama’ah.
- Menghiasi
Masjid dengan ukir-ukiran.
- Membayar zakat fitrah berlebih-lebihan,
misalnya yang harus dibayar 4 liter tetapi membayar 4 karung.
- Menetapkan dzikir pada waktu
tertentu saja, misalnya baca istighfar pada hari Sabtu saja, membaca Shalawat
Nabi pada hari Ahad saja, baca qur’an pada hari Senin saja dan sebagainya.
- Dzkir
pada waktu di kamar mandi atau bersetubuh dengan istri.
- Dzikir
ketika mengantuk.
- Dan
sebagainya.
3. Bid’ah Yang
Wajib.
- Membukukan kitab suci Al Qur’an karena
takut hilang berserakan, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq
dan Umar radhiyallahu anhum.
- Memberi titik dan baris pada ayat
Qur’an, karena khawatir nanti orang akan salah membaca dan salah pengertian.
- Membukukan hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam untuk memelihara syariat agar tidak hilang, sebagaimana
yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan, Imam Muslim, Imam tirmidzi dan lainnya.
- Membuat dan mengarang kitab Tafsir agar
orang mengerti maksud dan makna Al Qur’an.
- Membukukan
kitab fiqh agar hukum-hukum dalam agama dapat berjalan baik.
- Mengarang buku, tulisan atau kitab guna
membantah orang yang salah dalam ijtihad dan ibadahnya.
- Belajar ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan,
ma’ani untuk memahami maksud dan makna Al Qur’an.
- Dan
sebagainya
4. Bid’ah Yang
Sunnat.
- Adzan pertama pada Shalat jum’at, yang
dilakukan pertama kali pada zaman Utsman radhiyallahu anhu.
- Membikin
menara masjid untuk mengumandangkan adzan dan iqamat.
- Adzan
di atas menara.
- Membuat
madrasah agama Islam dan pondok pesantren.
- Mengadakan
peringatan Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj.
- Qiyam
ketika mendengar kisah Maulid Nabi.
- Mengadakan
kumpulan pengajian untuk membahas masalah agama.
- Mendirikan
rumah peribadatan, mushalla atau langgar.
- Bersalaman
sesudah shalat berjama’ah
- Memukul bedug sebelum adzan untuk
memberi tanda agar orang yang bekerja berhenti dari pekerjaanya dan memenuhi
panggilan shalat berjama’ah.
- Dan
sebagainya
5. Bid’ah Yang
Mubah.
- Membuat
makanan yang lezat dan beraneka warna.
- Memakai
pakaian yang bagus-bagus.
- Memakai
kendaraan yang mahal.
- Membuat
rumah tempat tinggal yang besar dan luas.
- Mengadakan
kantor-kantor untuk pengurusan administrasi.
- Naik
haji dengan kapal laut atau pesawat terbang.
- Dan
sebagainya
Dengan demikian memakai tasbih dalam berdzikir,
melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu
yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah
yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main
dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik, dan sebagainya.
8. Perlu Pembedaan antara Bid’ah Syar’iyyah dan Bid’ah Etimologis.
Dr. Muhammad bin Alawi
Al Maliki Al Hasani dalam karyanya “Mafahim Yajib An Tushahhah” mengatakan
bahwa ada sebagian ummat Islam yang mengaku pakar, mengkritik secara pedas
adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Mereka
mengingkari dengan sangat keras setiap orang yang menerima pembagian bid’ah
seperti itu, dan bahkan diantara mereka ada yang menuduh fasik dan sesat.
Mereka menuduh demikian karena adanya sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam bahwa “Setiap Bid’ah adalah sesat.” Secara
redaksional, hadits tersebut mengisyaratkan KEUMUMAN MAKNA HADITS (bukan hanya
bid’ah tertentu) dan dengan tegas menyifati bid’ah sebagai perbuatan yang sesat
dan menyesatkan (lihat hadits-hadits di depan dalam 2. Ancaman terhadap Bid’ah
dan Ahli Bid’ah). Oleh karena itu, mereka berani mengatakan ”Apakah dibenarkan
atau dapat diterima, setelah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai
penetap syariat yang menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, kemudian
muncul seorang fakih, setinggi bagaimanapun tingkatannya dan berpendapat
“Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat, tetapi sebagiannya ada yang sesat
dan sebagiannya lagi ada yang bagus, serta ada juga yang sayyiah (buruk).
Dengan pendekatan
seperti itu banyak ummat Islam yang tertipu. Mereka bersama-sama berteriak
menyatakan pendapatnya dan mengingkari pendapat yang lainnya. Ternyata
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak memahami tujuan atau maksud
ajaran Islam (maqashid al syar’i) dan belum merasakan ruhnya.
Selang beberapa saat,
mereka TERPAKSA MENCARI JALAN KELUAR DARI BERBAGAI PROBLEMATIKA
KONTRADIKTIF DAN BERBAGAI MACAM KESULITAN yang dihadapinya, untuk memahami
realitas yang akan dilaluinya. Mereka berusaha mencari jalan agar bisa
menemukan penemuan baru atau inovasi baru dengan membuat suatu perantaraan atau
washilah. Sebab tanpa washilah, mereka tentunya tidak dapat makan
dan minum, tidak kuasa mendapatkan tempat tinggal, tidak dapat berpakaian,
tidak dapat bernafas, tidak dapat bersuami atau beristri, dan bahkan tidak
dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, dengan keluarganya, dengan
saudaranya serta masyarakatnya. Perantaraan yang dimaksud adalah MEMUNCULKAN
SUATU DEFINISI BARU TENTANG BID’AH, bahwa “Sesungguhnya bid’ah itu terbagi dua
yaitu BID’AH DINIYYAH (berkaitan dengan agama) dan BID’AH DUNYAWIYYAH
(berhubungan dengan urusan duniawi).
Subhanallah! Mahasuci Allah ! Orang yang suka main-main ini berani
sekali membolehkan dirinya menemukan penemuan baru berupa pembagian semacam itu
atau paling tidak menemukan penamaan baru atau definisi baru mengenai bid’ah.
MEREKA SELALU MENGATAKAN AGAR MENGIKUTI JALAN SALAFUSH SHALEH, FIRQATUN
NAJIYAH, dan selalu mengatasnamakan kembali kepada Al Qur’an dan al Hadits.
Padahal pembagian atau klasifikasi bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan dunyawiyyah
ini tidak dikenal sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai
sekitar tahun 600 – 700 H, dan secara pasti tidak pernah ada pada masa tasyri’.
Lalu darimana klasifikasi itu muncul atau darimana penamaan itu baru timbul?
Penemuan baru mereka tentang klasifikasi bid’ah itu, kalau
kita kategorikan sebenarnya juga termasuk bid’ah. Mereka hanya ingin menyelamatkan diri dari definisi bid’ah
yang dibuat sendiri, sehingga ketika mereka mengatakan bahwa setiap bid’ah itu
sesat dan menyesatkan dan kemudian melihat saudara muslim lainhya berbeda dalam
definisi bid’ah dengan dirinya, maka dikatakan saudara muslim lainnya itu sesat
dan menyesatkan. Maka kembalilah kata sesat dan menyesatkan itu
kepada diri mereka sendiri.
Mari kita perhatikan
sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang menegaskan
bahwa ”SETIAP BID’AH ITU SESAT ATAU KESESATAN”. (Nanti kita akan
membahas sabda Nabi ini secara jelas, bagaimana makna yang sesungguhnya, Insya
Allah). Coba kita lihat, sabda Nabi ini begitu mutlak, tanpa syarat apa-apa,
tetapi mereka berkata : “Betul, bahwa setiap bid’ah itu sesat”. Tetapi
kenapa mereka membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah diniyyah
yang merupakan kesesatan dan bid’ah dunyawiyyah yang dibolehkan? Oleh
karena itu dipandang penting untuk menjelaskan problema dalam hubungannya
dengan bid’ah ini. Dengan cara ini semoga segala yang musykil dan sulit akan
dapat terpecahkan dan segala keraguan akan sirna, dengan mengharap pertolongan
Allah subhanahu wa ta’ala.
Para Ulama’ Ushul memahami bahwa setiap muslim boleh melahirkan pendapat-pendapat baru dalam
keduniaan. Sebagaimana firman Allah :
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ
لَكُمْ مَفِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا
Artinya : Dialah
(Allah) yang menjadikan untukmu seluruh yang ada di muka bumi ini. (QS Al
Baqarah : 29)
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
أَعْلَمُ أَنْتُمْ
بِأَمْرِدُنْيَاكُمْ
Artinya : Kamu
lebih tahu (dari saya) tentang urusan dunia kamu (HR Imam Muslim, dalam
Syarah Muslim XV, hal 118)
Dalam masalah
keduniaan, misalnya membuat rumah dengan bentuk yang baik dan kokoh dari batu
berbeton, membuat mobil dan mengendarainya, irigasi yang baik, sawah yang baik
dan waktu panennya dan sebagainya, membuat dan memakai listrik, memakai sarung
dan peci/songkok, semuanya walaupun belum dikenal pada zaman Nabi, tetapi
diberi izin untuk membuat dan memakainya. Oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam diserahkan urusannya kepada ummatnya yang cocok dan sesuai dengan kemaslahatannya tetapi tidak ada larangan
dari Allah dan RasulNya”.
Ketahuilah, perkara
bid’ah ini adalah dari syari’, penetap syariat yaitu Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam. Lidahnya adalah lidah syara’ yang
sangat bijaksana. Oleh karena itu diperlukan pemahaman tentang bid’ah ini
menurut pertimbangan syara’ yang dibawanya. Jika kita telah mengetahui
bahwa definisi bid’ah asalnya adalah setiap yang baru atau inovasi yang tidak
ada contoh sebelumnya, maka jangan sampai kita melupakan bahwa penambahan atau
penemuan baru yang tercela (dalam konteks bid’ah) ini adalah penambahan dalam
urusan agama supaya menjadi urusan agama, dan penambahan dalam masalah syariat
supaya menjadi bentuk syariat. Selanjutnya akan menjadi suatu bentuk syariat
yang diikuti oleh ummat Islam dan disandarkan pada pemilik syariat Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Yang demikian itulah yang
diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya
:
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَافَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Dari
Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha. Beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengerjakan amal ibadat
yang tidak kami perintahkan, maka amalnya ditolak. (HR. Imam Muslim, dalam
Syarah Muslim XII, hal 16 dan juga HR Bukhari dalam Syarah Bukhari IV,
hal 189) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِىْ
أَمْرِنَا هَذَامَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa
yang menambah-nambah atau mengadakan dalam urusan kami ini (maksudnya urusan
agama) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu
ditolak. (HR Muslim, dalam
Syarah Muslim XII, hal 16)
Jadi batasan intinya
dalam konteks bid’ah ini adalah هَذَا فِىْ
أَمْرِنَا (fii amrinaa haadzaa) artinya “dalam
urusan agama kami ini”. Atas dasar inilah, sebenarnya pembagian bid’ah
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, hanyalah
pembagian secara etimologis atau lughawy atau bahasa. Ia sebetulnya hanya
sekedar penemuan dan penambahan yang baru (ikhtira’ dan ihdats). Dengan
demikian pengertian bid’ah secara syara’ ini tetap tanpa keraguan yaitu suatu
yang menyesatkan dan fitnah tercela, ditolak dan dimurkai. Kalau sekiranya
mereka mau memahami makna atau pendapat seperti ini, insya Allah akan ada titik
pengompromian berbagai pendapat, dan pendapat mereka tidak akan terlalu jauh
dengan pendapat lainnya. Inilah yang dikehendaki oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, agar ummatnya satu hati, saling tolong menolong dengan
perasaan kasih sayang. Perbedaan pendapat sesama muslim tidak menyebabkan
perpecahan sehingga saling menyesatkan dan mengkafirkan pihak lain.
Perbedaan yang terjadi
dalam masalah bid’ah ini hanya dalam wujud syakl atau bentuk. Namun
mereka yang mengingkari pembagian bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyiah, ternyata membagi bid’ah kepada bid’ah diniyyah dan bid’ah
dunyawiyyah. Sama saja. Dan kalau dilihat secara ilmiyyah atau secara
syar’iyyah, dapat kita pahami bahwa pembagian bid’ah kepada bid’ah diniyyah
dan bid’ah dunyawiyyah itu tidak cermat dan tidak teliti dalam
mengungkapkan apa yang mereka pahami dan mereka yakini. Ketika mereka
menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan agama itu menyesatkan, dan itu jelas
benarnya, lalu mereka berkeyakinan dan menetapkan bahwa bid’ah dalam urusan
dunia tidak apa-apa, sebetulnya mereka telah melakukan kesalahan dalam
menetapkan hukum. Dan ini sangat membahayakan, karena perkataan ini jelas mengandung
fitnah, bencana dan musibah besar. Oleh
karena itu perlu rincian yang jelas, bahwa bid’ah dunyawiyyah itu ada
yang baik dan ada pula yang buruk, sebagaimana kita saksikan secara nyata yang
tidak akan diingkari oleh siapapun kecuali oleh orang hatinya buta dan bodoh.
Untuk memenuhi
pemahaman seperti itu, agaknya cukuplah mengikuti pendapat bahwa bid’ah terbagi
kepada bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyiah, karena pembagian bid’ah ini hanya dari sisi kebahasaan atau lughawiyyah
atau etimologis belaka, atau bagi mereka yang mengingkarinya diyakini
sebagai bid’ah dunyawiyyah. Agaknya seperti inilah pendapat yang sangat
hati-hati dan benar. Pendapat ini menghendaki sikap hati-hati dalam
mengapresiasi dan merespon setiap urusan duniawi yang baru, dan menyelaraskan
dengan hukum syariat Islam dan kaidah-kaidah agama. Pendapat ini juga
mengharuskan ummat Islam menyesuaikan dan menimbang setiap hal duniawi yang
baru dengan syariat Islam. Dengan cara demikian, akan jelas peran hukum Islam
berkenaan dengan hal-hal duniawi yang baru, betapapun karakteristik bid’ahnya.
Makna dan pemahaman bid’ah yang seperti itu tidak dapat terpenuhi kecuali
melalui pembagian bid’ah yang baik yang dapat dipertanggungjawabkan dari para
imam ushul fiqh.
9. Memahami Perkataan “Setiap Bid’ah itu Sesat
dan Setiap Kesesatan berada dalam Neraka”.
Apakah yang dimaksud dengan setiap bid’ah itu sesat dan
setiap kesesatan berada dalam neraka?, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut :
كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ...
Artinya : ...“Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan berada dalam di neraka”.
Untuk membahas dan memahami perkara
ini tidak mudah, sebagaimana membalikkan telapan tangan. Diperlukan suatu
pengkajian dan pendalaman, dengan membuka seluruh ayat al Qur’an dan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ditambah
lagi dengan berbagai riwayat para sahabat radhiyallahu
anhum ajma’in, dan berbagai ijma’ para ulama’ dan sebagainya. Hanya ulama’
yang telah meluangkan seluruh waktunya, dan pakar dalam berbagai disiplin ilmu
seperti ilmu bahasa Arab, tafsir, hadits, ushul, fiqih, tasawwuf dan
cabang-cabangnya, yang mampu untuk memahaminya dengan benar. Hanya Allah yang
Maha Pemberi Petunjuk.
Di bawah ini akan dinukilkan pendapat
para ulama’ pakar, ditinjau dari sudut pandang Ilmu Balaghah dan Ilmu Mantheq,
untuk menguji kebenaran arti كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ.
a. Pembahasan “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ” menurut Ilmu Balaghah.
Setiap benda pasti mempunyai sifat,
tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, dan sifat itu bisa bertentangan seperti
baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam
satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau
dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan
jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama
dikatakan duduk.
Bid’ah itu kata benda, tentu
mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia
bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan
tidak disebutkan dalam hadits di atas. Dalam Ilmu Balaghah
dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita
tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ
بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Artinya : “Semua bid’ah yang
baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana
sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang
sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua
:
كُلُّ
بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
Artinya : “Semua bid’ah yang
jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan.
Contohnya : Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا
Artinya ; “Di
belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (QS.
Al-Kahfi : 79).
Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal
jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل
بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun
pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل
سفينة حسنة .
b. Pembahasan “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ ” secara Ilmu Mantheq.
Diriwayatkan dari Al
‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata,“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari. Kemudian beliau
mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air
mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang
mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ
كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
Artinya : “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah
nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa
kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah
budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib
berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan
petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu
Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)
Diriwayatkan dari
Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya
begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang
panglima yang meneriaki pasukan radhiyallahu
‘anhuma ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari
ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya : “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An
Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى
النَّارِ
Artinya : “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
(HR. An Nasa’i no. 1578)
Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah
segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat atau tabi’in dengan
pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan
semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada
kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat beberapa pandangan
di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’ memandang
hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini adalah“bid’ah yang buruk itu
sesat” . Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya
tidak semua kullu berarti seluruh atau
semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar).
Menurut istilah Ilmu Mantheq kalimat kullu, ada dua
arti :
1.
Kullu Kuliiyyah, yang artinya tiap-tiap atau semuanya,
Misalnya dalam Firman Allah :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya : Tiap-tiap orang (yang berjiwa) merasakan
mati.
Semua orang meyakini secara pasti dan membenarkan bahwa
bahwa tiap-tiap atau semua orang (semua yang berjiwa) pasti akan merasakan
mati.
2. Kullu
Kully, yang artinya sebagian
Sebagaimana contoh dalam Al Qur'an dan Al Hadits
berikut :
Allah berfirman dalam Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya
: “Dan
dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada
juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ : 30).
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti
semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat
al-Qur’an berikut ini :
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya : “Dan Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. (QS. Ar-Rahman : 15).
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah menciptakan dari
air.
Hadits riwayat Imam
Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari
berkata: “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ setiap mata
berzina” (Musnad Imam
Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna
keseluruhan atau semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, ulama’ menetapkan
sifat umum dalam kalimat kullu, namun
mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak
didapatkan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam ushul hukum
syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik
secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan
demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan
syariat adalah sesat, bukan berarti semua
perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syari’at.
Oleh karena itu, jelas
sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat.
Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak
ada pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an,
menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain.
Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua
hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan
kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah
membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi
keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai
penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang begitu agung dan begitu luas
pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak
mengindahkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.( Mawsu’ah
Yusufiyyah juz ll hal 488).
Ketiga, dalam hadits di atas
dikatakan bahwa setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat). Kemudian timbul
pertanyaan, kenapa ulma-ulama dalam madzhab Syafi’i membagi bid’ah menjadi lima
macam, yaitu bid’ah wajib, bid’ah sunnat, bid’ah haram, bid’ah makruh dan
bid’ah mubah (jaiz).
Apakah semuanya tidak bertentangan dengan hadits di atas?
Jawabnya : Tidak, tidak bertentangan. Keterangannya begini : Hadits ini adalah
“HADITS UMUM” yaitu setiap (sekalian) dan hadits ini sudah ditakhsiskan
(dikecualikan). Banyak ayat Qur’an dan hadits Nabi yang sifatnya umum, tetapi
sudah ditakhsiskan (dikecualikan). Misalnya :
1. Allah Berfirman :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِىْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الِّرزْقِ
Artinya : Katakanlah (wahai Nabi),”Siapakah yang berani
mengharamkan hiasan Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hambaNya dan rezeki
yang baik”. (QS Al A’raf : 32).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu tiap-tiap atau semua
perhiasan (pakaian) dan seluruh makanan yang baik adalah halal bagi manusia.
Tidak ada hak bagi sesiapapun untuk mengharamkannya. Ayat yang sifatnya umum
ini sudah ditakhsiskan oleh hadits Nabi, yakni dikecualikan emas untuk pakaian
laki-laki, sebagaimana hadits berikut :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا
مِنْ ذَهَبٍ فِى يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ:يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ
إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَافِى يَدِهِ
Artinya : Bahwasanya Nabi melihat sebuah cincin mas pada
jari seorang laki-laki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu
berkata :”Mengambil seorang darimu sepotong api dan ia letakkan ditangannya”. (HR
Imam Muslim, dalam Syarah Muslim, XIV, hal 65).
Dengan demikian, QS Al A’raf ayat 32 sudah ditakhsiskan
yaitu semua pakaian itu halal kecuali cincin mas bagi laki-laki.
2. Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Artinya : Diharamkan atasmu (memakan) mayat. (QS Al
Maidah : 3).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu setiap mayat tidak boleh
dimakan. Ayat yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan oleh hadits Nabi :
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ
مَعَنَاالْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَابِهِ
عَطِشْنَاأَفَنَتَوَضَّأُ مِنَ الْبَحْرِ؟فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُوْرُمَاؤُهُ, الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya : Seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah,maka ia berkata :”Wahai Rasulullah, kami memakai kendaraan laut dan
kami membawa air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu’, maka kami bisa
kekurangan air minum. Apakah boleh kami memakai air laut untuk berwudhu’?” Nabi
menjawab :”Air laut dapat digunakan untuk bersuci dan mayat dalam laut halal
untuk dimakan.” (HR Imam Tirmidzi, dalam Shahih Trirmidzi, I, hal 88).
Maksud mayat di laut adalah mayat atau bangkai ikan. Jadi
QS Al Maidah ayat 3 ditakhsiskan oleh hadits di atas menjadi : “Diharamkan
atasmu memakan mayat, kecuali mayat/bangkai ikan”.
3. Allah berfirman :
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ للِذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
اْلأُنْثَيَيْنِ
Artinya : Allah memberi wasiat kepada kamu (tentang
pembagian pusaka kepada anakmu), bahwa untuk seorang anak laki-laki sama dengan
dua orang anak perempuan. (QS An Nisa : 11).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu seluruh anak laki-laki
mendapat sama banyaknya dengan yang didapat oleh dua orang anak perempuan. Ayat
yang sifatnya umum ini sudah ditakhsiskan/dikecualikan kepada anak-anak yang
kafir, dimana anak yang kafir atau menjadi kafir tidak mendapat pusaka sama
sekali dari harta bapaknya yang muslim, sesuai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرُ وَلاَالْكَافِرُ الْمُسْلِمُ
Artinya : Tidak mempusakai orang muslim akan orang kafir
dan tidak mempusakai orang kafir kepada orang muslim.” (HR Bukhari dan
Muslim, dalam Shahih Bukhari, IV, hal 120).
Jadi ayat 11 dari Surat An Nisa’ sudah ditakhsiskan menjadi
“Bagi anak laki-laki mendapat 2/3 bagian, kecuali anak-anak yang kafir tidak
mendapatkan waris sama sekali. Dalam istilah ushul fiqh disebut Kitab
ditakhsiskan dengan Sunnah.
4. Allah berfirman :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَ قُرُوءٍ
Artinya : Wanita yang diceraikan suaminya ber-iddah tiga
quru’ (tiga kali suci). (QS Al Baqarah : 228).
Ayat ini sifatnya umum, yaitu wanita yang diceraikan
suaminya ketika bersih atau ketika hamil. Ayat yang sifatnya umum ini sudah
ditakhsiskan dengan ayat lain :
وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : Dan wanita-wanita yang hamil maka
iddahnya sampai ia melahirkan anak” (QS. At Talaq : 3).
Ayat ditakhsiskan dengan ayat, sehingga artinya menjadi
“Wanita yang diceraikan suaminya dan ber-iddah tiga kali quru’, kecuali wanita
yang diceraikan suaminya dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai ia
melahirkan.”
5. Telah diriwayatkan dalam hadits :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ
Artinya : Sekalian yang diairi dengan air hujan maka
zakatnya 10% (sepuluh persen). (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadits ini memerintahkan agar tumbuh-tumbuhan yang
diairi dari air hujan, maka hasilnya harus dikeluarkan zakatnya sebanyak 10 %.
Hadits ini telah ditakhsiskan dengan hadits riwayat lain :
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Artinya : Kalau hasilnya kurang dari 5 (lima) ausuq
tidak wajib zakat” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarah Muslim VII, hal
50).
Maka hadits yang telah ditakhsiskan menjadi “Setiap
tumbuh-tumbuhan yang diairi dengan air hujan, zakatnya 10 %, kecuali kalau
hasilnya kurang dari 5 ausuq maka zakatnya tidak ada sama sekali.” Dalam ilmu
ushul fiqh disebut sunnah ditakhsis dengan sunnah. Dan masih banyak lagi contoh
lainnya.
Kembali kepada hadits tentang bid’ah :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Maka artinya akan menjadi :
“Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap
yang sesat masuk neraka, kecuali bid’ah dalam urusan dunia yang sesuai dengan
syariat Islam, kecuali bid’ah hasil ijtihad para Imam Mujtahid, kecuali bid’ah
yang diadakan oleh Khulafaur Rasyidin, kecuali sunnah-sunnah yang baik yang
selaras dengan syariah Islam yang diadakan oleh orang Islam, kecuali hal-hal
yang sangat mendesak dan sangat dibutuhkan oleh agama Islam.
Mudah-mudahan keterangan ini dapat dengan mudah dipahami,
walaupun belum pernah mengkaji tentang ushul fiqh.