Kita
sering mendengar secara bebas kisah-kisah Israiliyat di dalam ceramah-ceramah
atau pengajian yang ada di masjid atau mushalla. Ada kalanya perkara tersebut
di luar pengetahuan kita, bahkan ketika mendengar pertama kalinya terasa seolah
tidak masuk akal dengan kisah yang diceritakan. Namun, bagaimanakah pandangan Ulama
Islam terhadap kisah-kisah ini? Adakah para ulama’ terdahulu menolak untuk
menerima cerita Israiliyyat?
Asal Kalimah
1.
إسرائيليات – kata jama’ kepada kalimah إسرائيليةyang dinisbahkan
kepada Bani Israel. Sebenarnya yang dimaksud dengan Israel ialah Nabi Ya’kub ‘alaihis salam, dan Bani Israel ialah
anak-anak serta keturunannya hingga zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Maryam ayat 58 : 58.
أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا
مَعَ نُوحٍ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا
وَاجْتَبَيْنَا ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ
الرَّحْمَـٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Mereka itulah sebahagian dari
Nabi-nabi Yang telah dikurniakan Allah nikmat Yang melimpah-limpah kepada
mereka dari keturunan Nabi Adam, dan dari keturunan orang-orang Yang Kami bawa
(dalam bahtera) bersama-sama Nabi Nuh, dan dari keturunan Nabi Ibrahim, dan
(dari keturunan) Israil- dan mereka itu adalah dari orang-orang Yang Kami beri
hidayah petunjuk dan Kami pilih. apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat
(Allah) Ar-Rahman, mereka segera sujud serta menangis.”
Sejak
dahulu, mereka dikenali dengan nama Yahudi di samping golongan Nasrani yang
beriman dengan Nabi Isa ‘alaihis salam.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan
pada beberapa tempat berkenaan dengan Bani Israel sebagai tanda sifat kebaikan
yang ada pada Nabi Ya’kub ‘alaihis salam
sehingga keturunannya akan mengikuti jejak langkah yang telah ditinggalkan
serta meninggalkan perbuatan yang keji dan tercela.
2.
Ada sesetengah pendapat menyatakan bahwa Israiliyyat membawa beberapa maksud :
•
Cerita-cerita terdahulu dan riwayat yang banyak bersumberkan daripada golongan
Yahudi dan Nasrani.
•
Riwayat yang disampaikan oleh perempuan Yahudi atau Nasrani.
•
Perkara yang masuk ke dalam kitab karangan ulama’ silam atau terdahulu,
terutamanya dalam bidang tafsir yang mempunyai silsilah jalur riwayat baik dari
orang Yahudi atau Nasrani. Adapun riwayat yang tiada asalnya dan tergantung
atau berdiri sendiri maka ia dianggap sebagai khurafat, atau kisah-kisah palsu.
Namun,
berdasarkan pengertian ini kita melihat riwayat Israiliyyat banyak mengambil
sumber daripada Yahudi disebabkan banyaknya bilangan mereka di Tanah Arab dibandingkan
masyarakat Nasrani. Kemudian setelah beberapa orang dari kalangan mereka
memeluk agama Islam, dan meriwayatkan kisah-kisah yang terdapat dalam agama
lama mereka kepada kaum muslimin.
Sejarah Ringkas Kemunculan Israiliyyat
Pada
tahun 70M, masyarakat Yahudi datang ke Tanah Arab melarikan diri dari Syam
setelah musnahnya Haikal dan menetap di kawasan Yastrib, Taima’, Himyar, dan
Wadi Al-Qura’. Tetapi orang Arab hanya mengetahui tentang agama Yahudi ini setelah
suatu waktu ketika masyarakat Yaman memeluk agama ini hasil dakwah Tubba’ (seorang
raja Yaman yang ingin menyerang Makkah - Madinah sebelum Islam tetapi kemudian
tidak jadi, baca juga dalam blog ini kisah tentang Raja Tubba’) yang membawa
bersamanya dua orang pendeta yang menyebarkan ajarannya di sana.
Berbeda
dengan keadaan orang Nasrani yang sering ditindas oleh berbagai golongan
seperti penyembah berhala, kaum Yahudi dan kerajaan Byzantine. Kesannya, mereka
lari ke Tanah Arab karena ingin menjauhkan diri dari penindasan yang disebabkan
perbedaan agama ini. Dakwah Nasrani di tempat baru mereka telah membuahkan
hasil ketika beberapa orang telah memeluk ajarannya seperti Waraqah bin Naufal,
Imruul Qais, kabilah Ghassan, dan sebagainya.
Dengan
adanya dua masyarakat besar ini yang menjadi nama agama mereka yaitu Yahudi dan
Nasrani, yang dikenal juga dengan Ahli Kitab, memberikan dampak yang besar pada
kehidupan masyarakat Arab. Selain itu, aktivitas perniagaan juga sedikit banyak
membuka peluang kepada masyarakat Arab dalam mengenali dua agama ini. Setelah
kedatangan Islam, telah terjadi dialog dan pembahasan antara kaum Muslimin dan
Ahli Kitab seperti yang banyak disebutkan di dalam Al-Quran. Akibatnya, banyak
di kalangan mereka yang memeluk agama Islam setelah jelas dan nyata di hadapan
mereka bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah agama yang benar. Namun, ada
yang baik Islamnya sedangkan sebagian yang lain menjadi munafiq, sebagai dalang
bagi kaum Yahudi dan musyrikin dalam menghancurkan Islam dari dalam.
Perselisihan
antara dua kelompok ini (Muslimin dan Ahli Kitab) tidak terhenti sampai
pembahasan atau dialog biasa. Pernah terjadi dialog antara Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhu bersama dengan
pendeta, kisah seorang muslim memukul seorang Yahudi setelah Yahudi tersebut
mengatakan : Tidak, sebenarnya Nabi Musa adalah manusia pilihan sekalian alam,
dan berbagai permasalahan yang menunjukkan perselisihan pendapat di kalangan
mereka. Tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pada waktu itu berperanan sebagai orang tengah yang menjelaskan
keadaan yang sebenarnya terhadap kesalahfahaman yang terjadi antara dua
golongan ini. Perkara ini berterusan sampai zaman para sahabat ketika mereka bertindak
sebagai pihak rujukan masyarakat pada ketika itu setelah wafatnya baginda shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pada
zaman tabiin, pendustaan dan pemalsuan banyak terjadi karena menuruti hawa
nafsu sehingga menyebabkan manusia tidak dapat membedakan antara suatu yang
baik dan buruk. Ada di kalangan para tabiin (asal Yahudi atau Nasrani yang
memeluk agama Islam) mengambil sikap sangat mempermudah dalam meriwayatkan
sesuatu, sehingga bukan kisah Israiliyyat saja yang diriwayatkan, bahkan
khurafat dan dongeng yang tidak mempunyai dasar atau sandaran. Faktor lain yang
membantu penyebaran ini ialah dakwaan mereka yang mengatakan para sahabat dan
tabiin berkeinginan untuk mengetahui semua perkara dari kisah ummat dan para
nabi terdahulu yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnu
Khaldun rahmatullah ‘alaih menyebutkan
dalam kitabnya, “Muqaddimah Ibnu Khaldun”
bahwa penyebaran Israiliyyat ini adalah disebabkan dua perkara :
1.
Keadaan masyarakat Arab pada waktu itu yang buta huruf.
2. Sifat manusia yang ingin mengetahui semua perkara.
2. Sifat manusia yang ingin mengetahui semua perkara.
Di
samping itu, kisah-kisah ini tidak ada kaitannya dengan hukum-hakum (hukum
fiqih) yang seterusnya menyebabkan ia terus ditulis dan diceritakan kepada
orang banyak.
Pembagian Israiliyyat
Para
ulama’ telah membagi Israiliyyat kepada tiga bagian yaitu :
1.
Bagian yang selaras dengan syariat dan Al-Quran; seperti kisah Al-Jassasah yang
diceritakan oleh Tamim Ad-Dariy dan diakui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (hadith dalam Sahih Muslim, kitab
Fitnah, bab Kisah Al-Jassasah). Antara lain ialah kisah Nabi Musa ‘alaihis salam bersama Nabi Khidir,
kisah Juraij seorang ‘abid dan sebagainya yang turut diceritakan di dalam
Al-Quran dan hadith Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Maka kisah-kisah yang seperti ini berfungsi sebagai
sokongan atau penguat kepada apa yang telah disebutkan oleh keduanya.
2.
Bagian yang bertentangan dengan syariat dan Al-Quran : seperti mencemarkan
sifat atau muruah kenabian dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam ketika menyebutkan bahwa baginda Yusuf ‘alaihis salam yang berkeinginan atau
ada hasrat pada isteri pembesar Al-Aziz, kisah nabi Daud ‘alaihis salam dan sebagainya yang mengaitkan para nabi dengan dosa
syirik, zina dan sebagainya. Dalam hadith Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada menyebutkan :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ
عَنْ شَيْءٍ وَكِتَابُكُمْ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ تَقْرَءُونَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ وَقَدْ
حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا كِتَابَ اللَّهِ وَغَيَّرُوهُ
وَكَتَبُوا بِأَيْدِيهِمْ الْكِتَابَ وَقَالُوا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا
بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنْ الْعِلْمِ عَنْ
مَسْأَلَتِهِمْ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا يَسْأَلُكُمْ عَنْ
الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
“Telah menceritakan kepada kami Musa
bin Ismail telah menceritakan kepada kami Ibrahim telah mengabarkan kepada kami
Ibn Syihab dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bahwa Ibn Abbas radhiyallahu’anhuma
berkata, “Bagaimana kalian bertanya kepada ahli kitab padahal kitab kalian yang
diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih baru
kemurniannya dan belum terkotori? Sedang ahlu kitab menceritakan kepada kalian
dengan mengubah-ubah kitabullah dan menggantinya, dan mereka tulis alkitab
dengan tangannya dan mereka katakan, ‘Ini dari sisi Allah’ untuk mereka tukar
dengan harga yang sedikit, tidak sebaiknya ilmu yang yang kalian miliki
mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah, takkan kulihat
lagi seseorang diantara mereka bertanya kalian tentang yang diturunkan kepada
kalian.”
(Hadits ke-6815 riwayat Imam Bukhari)
Abdullah
bin Mas’ud ‘alaihis salam pernah
menyatakan : (Janganlah kamu bertanya kepada Ahli Kitab karena mereka tidak
memberikan petunjuk kepada kebenaran bahkan menyesatkan kamu. Maka, kamu akan
mendustakan yang benar dan membenarkan yang bathil).
3.
Bagian yang tidak terdapat dalam syariat dan Al-Quran, baik selaras atau
bertentangan : bagian ini paling banyak didapati pada zaman sekarang namun
tiada larangan padanya dan tidak juga mendustakannya. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada
menyebutkan :
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
عُمَرَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ
يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ
لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا
بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ الْآيَةَ
“Telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin Basyar telah menceritakan kepada kami Usman bin Umar telah mengabarkan
kepada kami Ali bin Al Mubarak dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah dari
Abu Hurairah berkata, ‘Ahli kitab membaca Taurat dengan bahasa ibrani dan
menafsirkannya dengan bahasa arab untuk pemeluk Islam! Spontan Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam bersabda: “Jangan kalian benarkan ahli kitab, dan jangan pula
kalian mendustakannya, dan katakan saja ‘(Kami beriman kepada Allah, dan apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu) ‘.” (Hadits ke-6814
riwayat Imam Bukhari).
Contoh
kisah pada bagian ini termasuk nama Ashabul Kahfi dan bilangan mereka, kisah
burung dan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
pohon yang dimakan oleh Nabi Adam ‘alaihis
salam dan sebagainya. Para ulama’ mengatakan kebanyakan kisah bagian ini
adalah khurafat dan dongeng dengan dosa menyebarkannya lebih besar daripada
manfaat yang ada padanya. Hal ini karena, suatu kitab tafsir contohnya akan
bertukar kepada kitab lain yang penuh dengan cerita yang tidak boleh diterima
akal dan syara’ karena ia merupakan khayalan dan rekaan pendeta terdahulu yang
disebarkan karena ingin menjauhkan masyarakat Yahudi daripada kitab Taurat yang
asli. Bukan itu saja, perbuatan ini juga kadang-kadang bertujuan memberikan
khidmat kepada raja dan pembesar pada waktu itu.
Pendirian Ulama’ Tentang Israiliyyat
Sejak
zaman dahulu berbagai usaha telah dilakukan oleh para ulama’ dalam membersihkan
kisah Israiliyyat yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Namun, usaha ini
amat susah dan memerlukan kepada kesungguhan dan dilakukan dalam tempo yang berkepanjangan.
Tanpa disadari, kisah-kisah ini mudah disebarkan kepada masyarakat awam tanpa pengawasan,
yang menyebabkan ia terus diwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain.
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ada menyebutkan :
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ
أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي
كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
“Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim adl-Dlahhak
bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al Awza’iy telah bercerita kepada
kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat
dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa-apa
(dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah
menempati tempat duduknya di neraka”.Imam Malik rahmatullah ‘alaih menyebutkan
: Maksud hadits ialah dibenarkan meriwayatkan daripada mereka selagi dia adalah
perkara kebaikan. Adapun pada perkara yang diketahui bahwa ia adalah dusta maka
ia dilarang.”
(Hadits ke-3202 riwayat Imam Bukhari)
•
Imam As-Syafie rahmatullah ‘alaih mengatakan
: “Bahwa baginda shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang berbicara dusta, jadi maksud hadits ialah – ceritakanlah
daripada Bani Israel pada perkara yang kamu tidak ketahui bahwa ia adalah
dusta. Adapun perkara yang dibenarkan maka tidak menjadi suatu dosa kepada kamu
untuk meriwayatkannya.” Inilah maksud dari hadits baginda shallallahu ‘alaihi wasallam :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ
الْمَرْوَزِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ
الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي نَمْلَةَ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّهُ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ رَجُلٌ مِنْ الْيَهُودِ مُرَّ بِجَنَازَةٍ فَقَالَ يَا
مُحَمَّدُ هَلْ تَتَكَلَّمُ هَذِهِ الْجَنَازَةُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُ أَعْلَمُ فَقَالَ الْيَهُودِيُّ إِنَّهَا
تَتَكَلَّمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
حَدَّثَكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ
وَقُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ فَإِنْ كَانَ بَاطِلًا لَمْ تُصَدِّقُوهُ
وَإِنْ كَانَ حَقًّا لَمْ تُكَذِّبُوهُ
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Muhammad bin Tsabit Al Marwazi telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah
mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku Ibnu
Abu Namlah Al Anshari dari Ayahnya bahwa ketika ia sedang duduk di sisi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu di sisi beliau ada
seorang Yahudi, lewatnya jenazah di hadapan beliau. Lalu orang Yahudi itu
berkata, “Wahai Muhammad, apakah jenazah ini berbicara?” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam kemudian menjawab: “Allah lebih mengetahui.” Orang Yahudi itu
pun berkata, “Sesungguhnya jenazah tersebut berbicara.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang diceritakan oleh orang-orang ahli kitab
kepada kalian maka janganlah kalian percayai atau kalian dustakan. Tetapi
katakanlah, ‘aku beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya’. Jika mereka dusta
maka kalian tidak mempercayainya dan jika benar maka kalian tidak
mendustakannya.” (Hadits ke-3159 riwayat Imam Abu Daud).
Yang tidak menyebutkan keizinan dan
larangan ketika meriwayatkan kepada perkara yang dipastikan kebenarannya.
•
Imam Ibnu Hajar rahmatullah ‘alaih mengatakan
: (ولا حرج yaitu janganlah menyempitkan dada kamu
dengan apa yang kamu dengar daripada perkara yang mengagumkan dan itu yang
banyak berlaku kepada mereka. Apa yang dimaksudkan dengan jangan bersusah-payah
ialah pada pihak yang menceritakan kisah Israiliyyat disebabkan di dalamnya
terdapat perkataan yang tidak baik seperti dalam surah Al-Maidah ayat 24 :
قَالُوا يَا مُوسَىٰ
إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا أَبَدًا مَّا دَامُوا فِيهَا ۖ
فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Mereka (Menolak dengan) berkata:
“Wahai Musa, Sesungguhnya Kami tidak akan memasuki negeri itu selama-lamanya
selagi kaum itu masih berada di dalamnya; oleh itu pergilah Engkau bersama
Tuhanmu dan perangilah mereka. sebenarnya Kami di sinilah duduk menunggu”. (QS. Al Maidah : 24)
Dan
surah Al-A’raf ayat 138 :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي
إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَىٰ قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَىٰ أَصْنَامٍ
لَّهُمْ ۚ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا
إِلَـٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ
قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
“Dan Kami bawakan Bani Israil ke
sebarang laut (Merah) itu lalu mereka sampai kepada suatu kaum Yang sedang menyembah
berhala-berhalanya. (Melihat perkara yang demikian) mereka (Bani Israil)
berkata: “Wahai Musa buatlah untuk Kami suatu Tuhan (berhala) sebagaimana
mereka mempunyai beberapa tuhan”. Nabi Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini
adalah kaum Yang jahil.” (QS. Al A’raf : 138)
Pendapat
Ibnu Hajar Asqalani rahmatullah ‘alaih
ini merupakan pemahaman yang baik dalam memahami maksud hadits karena ada
beberapa perkataan dan ungkapan dalam kisah Israiliyyat yang bisa membawa
kepada kekufuran. Tetapi, ia hanya diceritakan sebagai suatu peringatan dan
manfaat bersama.
Adapun
hadits ke-3159 riwayat Imam Abu Daud di atas, ia ditujukan kepada mereka
bukannya kita, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tidak menyuruh di dalamnya supaya meriwayatkan sesuatu
daripada Ahli Kitab, bahkan seolah-olah beliau mengajar kepada umat Islam
supaya beradab ketika berbicara dengan mereka sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surah
Al-’Ankabut ayat 46 :
وَلَا تُجَادِلُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا
مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ
إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَـٰهُنَا وَإِلَـٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ
لَهُ مُسْلِمُونَ
“Dan janganlah kamu berdebat Dengan
ahli Kitab melainkan Dengan cara Yang lebih baik, kecuali orang-orang Yang
berlaku zalim di antara mereka; dan Katakanlah (kepada mereka): “Kami beriman
kepada (Al-Quran) Yang diturunkan kepada Kami dan kepada (Taurat dan Injil)
Yang diturunkan kepada kamu; dan Tuhan kami, juga Tuhan kamu, adalah satu; dan
kepadaNyalah, Kami patuh Dengan berserah diri.” (QS. Al ‘Ankabut :
46)
•
Imam Ibnu Taimiyah rahmatullah ‘alaih menyebutkan
dalam kitab “Ma’arij Al-Ushul” : (Al-Quran adalah sendiri pada zatnya, dan
orang yang membaca Al-Quran tidak berhajat kepada kitab-kitab terdahulu yang
menjelaskannya. Berbeda dengan orang Nasrani contohnya, mereka memerlukan
kepada kitab Taurat untuk memahami hukum-hukum dalam agama mereka). Kemudian
beliau berkata lagi : (tetapi hadits-hadits yang menceritakan tentang
Israiliyyat ini disebutkan untuk memberikan sokongan bukannya sebagai suatu
pegangan).
Kesimpulan :
Berdasarkan
pendapat para Imam yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan seperti berikut :
1.
Boleh meriwayatkan kisah Israiliyyat yang sesuai dengan syariat Islam dan hanya
sebagai penguat/sampingan bukan pokok/pegangan.
2.
Boleh meriwayatkan kisah pada bagian ketiga – yang tidak disebutkan dalam
Al-Quran dan As-Sunnah – hanya sebagai i’tibar seperti yang disebutkan oleh
Imam Ibnu Taimiyah rahmatullah ‘alaih.
3.
Tidak boleh meriwayatkannya pada perkara yang bertentangan dengan ajaran agama
– bagian yang kedua – melainkan perlu diingkari dan dijelaskan kesalahannya.
Rujukan :
1.
Al-Quran Al-Karim.
2.
Sahih Al-Bukhari, karangan Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn
Bardizbah al-Bukhari.
3.
Sahih Muslim, karangan Abul Husayn Muslim ibn al-Hajjaj Qushayri al-Nisaburi.
4.
Al-Israiliyyat Wal Maudhu’at Fi Kutub At-Tafsir, karangan Dr. Muhammad bin Abu
Syahbah.
5.
Al-Israiliyyat Wal Maudhu’at Wa Bida’ At-Tafasir Qadiman Wa Haditsan, karangan
Hamid Ahmad At-Tahir Al-Basyuni.