Pages

Selasa, 23 Oktober 2012

64. MEMPERBAIKI KUALITAS SHALAT


Segala puji hanya bagi Allah subhaanahuu wa ta'aalaa semata. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam, keluarga, para shahabat dan pengikutnya.
Ketahuilah, semoga rahmat Allah selalu terlimpah pada kita, bahwa ajaran agama yang paling penting untuk dipelajari dan diajarkan kepada orang lain adalah shalat. Hal itu antara lain pernah ditegaskan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad shallal-laahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits sahih :
Aku didatangi Jibril ‘alaihis salaam pada awal-awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudhu’ dan shalat.”  (HR. Ahmad, Baihaqi dan Hakim)
Shalat merupakan sarana komunikasi langsung yang membuktikan bahwa sorang manusia meyakini terhadap Allah subhaana-huu wa ta'aalaa. Tanpa mengerjakan shalat maka akan putuslah hubungannya dengan Allah, yang berarti boleh jadi dia tidak percaya atau mengingkari Allah subhaanahuu wa ta'aalaa. Karena perkara shalat inilah Allah memberikan keutamaan dan pahala yang besar bagi yang menunaikannya dan mengancam dengan siksa yang pedih bagi yang mengabaikannya.
Kalau kita bandingkan kenyataan zaman sekarang dengan apa yang ada pada zaman Rasullullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya akan dijumpai suatu perbedaan yang sangat jauh. Para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’iin melaksanakan shalat lima waktu dengan tertib yaitu selalu berjama’ah, di awal waktu dan di tempat dimana adzan dikumandangkan (di masjid). Syaikh Zakaria rahmatullaah ‘alaih menulis dalam Kisah Sahabat  berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhum ajma’iin bahwa ketika para sahabat sedang berdagang atau bekerja kemudian mendengar suara adzan, maka mereka langsung meninggalkan perdagangannya/ pekerjaannya berjalan menuju masjid. Mengenai orang-orang inilah Allah berfirman : “Lelaki-lelaki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat” (QS. An Nur (24) : 37)
Para sahabat juga melaksanakan shalat dengan khusyu’ dan khudhu’ sehingga shalat mereka mendatangkan pertolongan Allah subhaanahuu wa ta'aalaa. Satu kisah, Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu bersama 3000 pasukannya hendak melewati sungai Dajlah (di Irak) dimana tidak ada perahu sebagai sarana untuk menyebrang. Maka beliau perintahkan dengan takbir 3 kali. Takbir pertama sebagai isyarat berwudhu’, takbir   kedua isyarat   untuk   mendirikan shalat, dan takbir  ketiga  isyarat  naik  kuda untuk meneruskan perjalanannya. Dengan pertolongan Allah, beliau dan pasukannya berjalan di atas sungai dengan kudanya tanpa tenggelam. Allahu Akbar !!!
Para sahabat betul-betul mendirikan shalat menurut perintah Rasullullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Bukhari). Mereka tertib melaksanakan shalat lima waktu dengan berjama’ah. Dalam kehidupan sehari-haripun mereka berjamaah, bersifat kasih sayang dan  saling tolong menolong. Hati dan gerak-an mereka seolah menjadi satu, sehingga walaupun mereka jumlahnya sedikit mampu mengalahkan musuh-musuhnya yang berjumlah puluhan kali lipat. Hal ini terjadi karena Allah telah ridha kepada mereka dan bersama mereka ada kekuatan dan pertolong-an Allah subhaanahuu wa ta'aala.
Sementara di zaman sekarang ibadah shalat baru dipandang sebagai beban kewajiban, belum sampai pada tingkat kesadaran bahwa shalat sebagai kebutuhan. Akibatnya sebagian orang malas dan enggan mendirikan shalat, dan ada orang yang melaksanakan shalat tetapi tidak menunaikan dengan tertib. Suara adzan yang dikumandangkan dengan suara yang keras seakan jatuh ke banyak telinga yang tuli. Anjuran Rasullullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk shalat berjama’ah dengan janji 27 kali lipat pahala dari shalat sendirian tak berhasil memikat hati. Akibatnya umat Islam yang banyak seperti buih di lautan, dipermainkan ombak, dilempar ke tepian dan dimarginalkan. Mereka menjadi sulit bersatu, mudah dipecah-belah dan mudah dihasut sehingga selalu saling bermusuhan. Akhirnya niatan kaum kafir untuk menguasai umat Islam sulit dicegah.
Mengenai umat akhir zaman yang suka melalaikan shalat pernah disampaikan oleh Baginda Rasullullah shallallaahu 'alaihi wa sallam :
“Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu meriwayatkan,"Setelah Isya’ aku bersama 'Umar bin Khathabradhiyallaahu 'anhu pergi ke rumah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallaahu 'anhu untuk suatu keperluan.  Sewaktu melewati pintu rumah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, kami mendengar suara rintihan. Kami pun ter-henyak lalu berhenti sejenak. Kami dengar Rasulullah menangis dan meratap. 'Ahh... andaikan saja aku dapat hidup terus untuk meli-hat apa yang diperbuat oleh umatku terhadap shalat.  Ahh...aku sungguh menyesali umatku.
'Wahai Abu Hurairah, mari kita ketuk pintu ini,' kata 'Umar radhiyallaahu 'anhu. 'Umar kemudian mengetuk pintu. 'Siapa?' Tanya 'Aisyah radhiyallaahu 'anha  'Aku bersama Abu Hurairah.' Kami meminta izin untuk masuk dan ia mengizinkannya. Setelah  masuk,  kami  lihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang bersujud dan menangis sedih, beliau berkata dalam sujudnya: "Duhai Tuhanku, Engkau adalah Waliku bagi umatku, maka perlakukan mereka sesuai sifatMu (Maha Pengasih) dan jangan perlakukan mereka sesuai perbuatan mereka."
'Ya Rasulullah, ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi, mengapa engkau begitu sedih?' kata 'Umar radhiyallaahu 'anhu.
'Wahai 'Umar, dalam perjalananku ke rumah 'Aisyah sehabis mengerjakan shalat di mesjid, Jibril mendatangiku dan berkata, 'Wahai Muhammad, Allah Yang Maha Benar nengucapkan salam kepadamu,' kemudian ia berkata, Bacalah!' 'Apa yang harus kubaca?' Jibril berkata, 'Bacalah firman Allah :
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang  menyia-nyiakan shalat   dan   memperturutkan   hawa nafsunya, mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam, 19:59)
Aku tanya,'Wahai Jibril, apakah sepeninggalku nanti umatku akan mengabaikan shalat?' Jibril menjawab,'Benar, kelak di akhir zaman akan atang sekelompok manusia dari umatmu yang mengabaikan shalat, mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya, dan memperturutkan hawa nafsu. Bagi mereka satu dinar lebih berharga daripada shalat." (Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Umar radhiyallaahu 'anhu)
Atas dasar inilah, kita semua merasa punya tanggungjawab untuk bersama-sama memperbaiki tertib dan kualitas shalat kita, sehingga shalat kita sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dalam pembahasan ini akan dikaji tuntunan shalat dari takbir hingga salam menurut riwayat hadits, Kita upayakan juga bisa menterjemahkan bacaan dalam shalat setiap kata demi kata atau kalimat, yang akan memudahkan kita untuk memahami dan menghayati bacaan shalat. Demikian pula ada sedikit penjelasan fiqhiyah berdasarkan hadits sahih dari ulama yang terpercaya dan kita akan merasakan juga betapa dahsyatnya gerakan shalat bagi kesehatan jasmani dan ruhani.

a.    Arti Shalat
Shalat secara bahasa bisa bermakna do’a, makna ini tergambar pada ayat Al-Qur'an dan Hadits berikut. Allah berfirman :
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan shalatlah (berdo’alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do’a) kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah : 103)
Ayat ini menyeru Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk mendo’akan orang-orang yang telah menunaikan zakat. Karena itulah menjadi syari'at bagi setiap 'amil (pengumpul) zakat untuk mendo’akanmuzakki (orang yang berzakat).
Dalam sebuah hadits diceritakan: "Abdullah Bin bi Aufa radhiyallaahu 'anhu berkata: "Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika suatu kaum mendatangi seseorang untuk menyerahkan shadaqah (zakat)-nya, maka do’akanlah dengan:
"Ya Allah, berikanlah rahmat kepada keluarga si Fulan (namanya)." Maka ayahku pernah menyerahkan shadaqah kepada beliau dan beliau bersabda:
"Ya Allah, berikanlah rahmat kepada keluarga Abi Aufa." (HR. AI-Bukhari)
Ungkapan "shalawat kepada Nabi bermakna mendo’akan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Namun dikatakan juga bahwa shalawat dari Allah bermakna "rahmat", dari malaikat bermakna "istighfar" (memohon ampunan), sedangkan dari manusia bermak-na "do’a". Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkanlah salam dengan salam yang sempurna." (QS. Al-Ahzab: 56)
Adapun makna shalat menurut istilah syara' adalah: "Ibadah yang mengandung ucapah-ucapan dan amalan-amalan   yang   khusus,   dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam."
Tidak salah jika shalat disebut do’a karena mayoritas bacaan shalat mengandung do’a, seperti dalam bacaan rukuk dan sujud. Bahkan pada iftitah (pembukaan) shalat saja ada do’a, biasa disebut do’a iftitah.

b.    Sejarah Shalat
Jika kita melihat sejarah jauh ke belakang, tepatnya mengenai sejarah para Nabi terdahulu, ternyata shalat termasuk salah satu ibadah tertua yang pernah ada di muka bumi. Ibadah ini telah diperintahkan Allah kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam, seperti Nabi Ibrahim, Ishak, Ya'kub, dan Ismail ‘alaihimush shalaatu wassalaam. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur'an berikut ini:
"Kami jadikan mereka (para nabi) sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyu-kan kepada mereka supaya berbuat kebaikan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka itu adalah hamba-hamba Kami." (QS. Al-Anbiya : 73)
"Perhatikanlah dalam kitab (riwayat) Isma'il. Sesungguhnya ia seorang yang benar janjinya dan ia adalah seorang Rasul dan Nabi. la menyeru keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat; dan ia adalah seorang yang disukai di sisi Tuhannya. " (QS. Maryam : 54-55)
Pada ayat di atas diceritakan bahwa Nabi Isma'il ‘alaihis salaam menyeru keluarganya untuk melakukan shalat, begitu pula Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam agar menyeru keluarganya untuk shalat. Sebagaimana firman Allah kepada beliau:
"Perintahlan keluargamu untuk melakukan shalat dan bersabar dalam melakukannya...." (QS. Thaha : 132)
Ayat di atas menunjukkan bahwa selain diperintahkan untuk shalat, kita pun diperintahkan oleh Allah subhaanahuu wa ta'aalaa untuk menyerukan shalat kepada keluarga ataupun tetangga kita. Pada ayat lain Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka...." (QS. At-Tahriim: 6).
Ayat ini menyeru kita untuk memperhatikan keluarga dan mencegah mereka mendekati (masuk) neraka. Salah satu caranya adalah dengan memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat.
Di dalam ayat yang lain, Bani Israil pun diperintah­kan oleh Allah untuk mendirikan shalat. Seharusnya, pengikut Nabi Isa ‘alaihis salaam (Nasrani) dan pengikut Nabi Musa ‘alaihis salaam (Yahudi) juga melaksanakan shalat karena mereka termasuk Bani Israil yang terkena perintah kewajiban shalat. Hal ini tidak cukup dilaksanakan hanya sekali, tapi berkali-kali selama hidup, seperti yang diungkapkan oleh Nabi Isa dalam AI-Qur'an :
"Dan Allah menjadikan aku seorang yang diberkati (berguna untuk manusia) di mana saja aku berada, dan Dia mewasiatkan kepadaku mengerjakan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup."(QS. Maryam: 31)
Dalam Islam, shalat terbagi dua; shalat yang wajib atau biasa disebut shalat fardhu dan shalat sunat atau biasa disebut shalat tathawwu'. Shalat yang wajib ialah shalat yang lima waktu: Shubuh, Dzuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya'. Allah berfirman dalam AI-Qur'an :
...Sesungguhnya shalat bagi orang-orang mukmin adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya." (QS An-Nisa :103))
Rasulullah pernah bersabda tentang shalat yang Allah wajibkan : "Shalat yang lima waktu, kecuali jika engkau mau melaksanakan shalat sunnat." (HR Muslim)
Pada mulanya shalat yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam hanya berjumlah dua rakaat, baik ketika muqim (di tempat sendiri) ataupun safar (bepergian), kecuali untuk shalat maghrib tetap tiga rakaat. Setelah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah jumlah rakaat ditambah menjadi empat rakaat kecuali shalat Maghrib tetap tiga rakaat, shalat fajar tetap dua rakaat dan shalat safar tetap dua rakaat. Sesuai dengan perkataan Siti Aisyahradhiyallaahu ‘anhaa :
"Shalat itu diwajibkan dua rakaat, kemudian setelah Hijrah diwajibkan menjadi empat rakaat, dan untuk shalat safar tetap pada hukum yang pertama". (HR. Ahmad dan Bukhari)
Saat safar kita diperbolehkan untuk mengqashar shalat yang asalnya empat rakaat seperti shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya. Kecuali untuk shalat Shubuh dan Maghrib tidak ada syari'at qashar shalat. Senada dengan firman Allah subhaanahuu wa ta'aalaa :
"Apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tiada berdosa jika kamu mengqashar shalat .... (QS. An-Nisa : 101)
Pada saat Isra’ Mi’raj Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha, shalat diwajibkan lima puluh kali. Sebagaimana diceritakan dalam hadits berikut.
Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Shalat telah diwajibkan atas Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pada malam Isra lima puluh kali, kemudian berkurang menjadi lima kali, kemudian beliau dipanggil "Hai Muhammad perkataan itu tidak akan diubah di sisiKu, bagimu yang lima waktu (pahalanya sama dengan) lima puluh kali." (HR Ahmad)
Shalat yang mulanya lima puluh kali dikurangi menjadi lima kali namun senilai lima puluh kali. Meski telah diperingan menjadi lima kali, masih banyak orang menyia-nyiakan shalat, apalagi jika shalat itu mesti dilakukan sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam. Barangkali karena belum diketahui nilai tinggi dan pahala besar dari shalat ataupun sudah tahu tetapi imannya lemah sehingga tidak ada kekuatan untuk melaksanakannya.

Shalat merupakan sarana komunikasi seorang hamba atau manusia kepada Allah subhanahuu wa ta’aalaa. Komunikasi manusia yang bersifat lemah kepada Dzat yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Komunikasi manusia yang tak lepas dari kesalahan kepada Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan. Dengan komunikasi tersebut memberikan keyakinan bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Besar, Maha Pemberi, Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Sempurna, Dialah Rabbul 'aalamin, hanya kepadaNya Tempat Bergantung. Manusia yang tidak melakukan komunikasi kepada Tuhan, secara tidak langsung meniadakan kekuasaan, kesempurnaan, keagungan bahkan keberadaanNya, yang berarti sederajat kaum yang tak beriman.
Shalat akan membawa seseorang yang beriman kepada situasi kejiwaan yang khas. Situasi ini meresap kedalam dirinya sebagai suatu pengalaman akan kenyataan adanya Tuhan dan keMaha-besaranNya. Dalam keadaan yang intens pengalaman ini tiada terbatas pada hanya waktu shalat saja. Pengaruh pengalaman ini masih terasa beberapa waktu setelah shalat, namun sedikit demi sedikit intensitasnya makin menurun. Dalam situasi kejiwaan seperti ini pengalaman hidup sehari-hari dapat dihadapi dengan tenang. Kesusahan, ketakutan dan kekhawatiran direndam oleh situasi kejiwaan yang disebutkan oleh Allah subhanahuu wa ta’aalaa dalam surat al Baqarah ayat 38 artinya:"……Barangsiapa mengikuti petunjukKu, niscaya ia tiada akan takut dan tiada akan berduka cita.”
Dengan shalat diharapkan kepercayaan dalam hati semakin kuat, sehingga membuahkan rasa kemerdekaan dan kebebasan jiwa terhindar dari perasaan takut, susah, gelisah dan khawatir dari pengaruh kekuatan, kehebatan, kebesaran benda-benda dan makhluk-makhluk di jagat raya ini. Karena itu perasaan hati hanya tunduk kepada kebesaran dan kehebatan Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
Supaya fungsi shalat seperti itu dapat kita capai, maka bacaan shalat yang dikerjakan harus dimengerti. Mampukah kita berkomunikasi dengan baik kepada Allah subhanahuu wa ta’aalaa tanpa mengerti makna bacaan shalat yang kita ucapkan? Bukankah mengerti dan memahami makna bacaan shalat sangat mempe-ngaruhi kekhusyu'an shalat seseorang. Barangkali tepatlah sitiran syair dibawah ini ditujukan kepada orang-orang yang tak mengerti bacaan shalat :
“Banyak orang shalat namun tak ada baginya dari shalatnya kecuali hanya melihat sajadah, turun dan bangkit. Engkau melihat dia berada diatas sajadah dalam keadaan berdiri (shalat), namun hatinya tertuju pada perniagaannya dipasar.”
Allah subhanahuu wa ta’aalaa mengecam pada orang-orang yang shalat pada lahirnya saja, cuma gerakan kata semata dan meninggalkan makna komunikasi kepadaNya, yang menjadikan hati mereka menerawang/melantur kesana kemari. Allah subhana-huu wa ta’aalaa berfirman dalam QS Al-Ma’un 107 : 4-5 : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
Orang-orang yang mengerjakan shalat yang dinamai mushallin oleh Allah dikatakan celaka, karena mereka mengerjakan shalat, tetapi mereka melantur, menyimpang dari shalat yang sebenarnya. Seharusnya hati dan pikiran dibulatkan dan ditujukan hanya kepada Allah semata, yang mendatangkan rasa takut dan merasa akan kebesaran Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
Perhatikan juga firman Allah dalam surat An-Nisaa: 43
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati (mengerjakan) shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengetahui (menyadari) apa-apa yang kalian katakan
Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni rahimahullaah dalam kitabnya “Rowa’iul Bayaan” menerangkan bahwa ayat  tersebut menunjukan "larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk". Udzur mabuk ini dikarenakan ketidaktahuan (ketidaksadaran) akan apa-apa yang diucapkannya.
Perkataan "sedang kamu dalam keadaan mabuk" menurut Wahab Munabbih radhiyallaahu ‘anhu, adalah mabuk dari apa saja, termasuk mabuk dunia, yang membuat hati melantur, hati lalai akan ucapan-ucapan dalam shalat. Dan perkataan "Sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan" memberi pengertian bahwa ketika kita shalat dituntut mengetahui, memahami dan menghayati ucapan-ucapan dalam shalat.
Ibnu Rajab al Hambali rahmatullah ‘alaih menulis dalam kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” bahwa Ustman Abi ‘Aus rahmatullaah ‘alaih berkata : "Ada kabar yang sampai kepadaku, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah shalat dengan bacaan nyaring, setelah selesai shalat beliau bersabda: "Apakah ada ayat yang saya tinggalkan dari surat yang saya baca ?" Para sahabat berkata :“Kami tak mengerti" Kemudian Ubay bin Ka’ab radhiyallaahu ‘anhu berkata: "Ya. benar ada, ayat ini dan ini".  Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda: "Mengapa masih ada kaum yang dibacakan kitab Allah, lalu tidak mengerti ayat-ayat yang tertinggal tidak dibaca? Sebab begitulah, maka kebesaran Allah dikeluarkan dari hati-hati kaum Bani Israil, badan-badannya menyaksikan sedang hati-hatinya kosong. Allah tidak akan menerima amal hamba, sehingga hatinya dan badannya bersama-sama menyaksikan."
Siti ‘Aisyah radiyallaahu ‘anha menuturkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Apabila mengantuk salah seorang diantara kalian padahal dia (sedang atau akan) shalat maka hendaklah dia tidur sampai hilang kantuknya; karena sesungguhnya salah seorang diantara kalian apabila mengerjakan shalat sedang dia dalam keadaan mengantuk, dia tidak tahu barangkali dia akan minta ampun, padahal dia memaki diri sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadist ini menunjukkan larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mengantuk. Udzur disini karena tidak mengerti atau tidak menyadari apa-apa yang diucapkannya. Ketidakmengertian orang yang mengantuk tersurat pada kalimat:…..Dia tidak tahu barang-kali dia akan meminta ampun, padahal dia memaki dirinya sendiri
Dari sini jelaslah bahwa orang yang mengerjakan shalat harus menyadari apa yang dibacanya. Kalau tidak shalat kita hanya sebuah gerak-gerik ucapan bibir tanpa mengerti, memahami atau menghayati, padahal semua lafadz itu adalah dialog suci kita dengan Allah subhanahuu wa ta’aalaa. Jadi mengerti, memahami dan menghayati ucapan shalat termasuk pintu pertama menuju terciptanya komunikasi manusia dengan Allah subhanahuu wa ta’aalaa
Sayyid Muhammad Alwi al Maliki rahmatullaah ‘alaih dalam “Kaifa Tushallii” menulis bahwa sebagai seorang muslim yang taat tentu ingin menyempurnakan shalatnya dengan berupaya untuk mengerti dan memahami bacaan-bacaan shalat. Semua itu dengan niat untuk memenuhi ketentuan Allah subhanahuu wa ta’aalaa dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ungkapan berikut mungkin menyadarkan untuk segera mengerti dan memahami arti bacaan seluruh bacaan shalat yang kita baca. :
"Tidak mengerti dan tidak memahami arti bacaan shalat barangkali sama dengan orang yang mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk atau mengantuk"
Dalam suatu riwayat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara tegas bersabda, bahwa shalat itu akan memperoleh hasilnya manakala kita mengerti, memahami dan menghayati apa-apa yang diucapkan di dalam shalat, karena bertindak begini berarti  tidak melalaikan tugas hati dalam beribadat shalat.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah dari seorang muslim yang berwudhu maka disempurnakannya wudhunya, kemudian ia berdiri dalam shalatnya maka dimengertinya yang diucapkannya, melainkan setelah ia selesai shalat itu adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa)." (HR. Muslim).

Dalam kitab Taudiihul Adillah ada seorang bertanya kepada K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami ghafarallaahulah, bahwa dirinya saat mengerjakan shalat hatinya kemana-mana tidak menuju ingatan kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Sah atau tidakkah shalat saya itu ?
Beliau menjawab bahwa shalat itu ada faridhahnya dan ada pula fadhilahnya. Faridhah yang dimaksudkan adalah menyempurnakan syarat dan rukun shalat, sehingga dengan melaksanakan faridhah maka tercapailah sahnya shalat. Artinya seorang telah dianggap menunaikan shalat, dan tidak usah mengulang shalat lagi, karena sudah gugur tuntutan kewajibannya. Adapun fadhilah-nya shalat adalah melaksanakan shalat dengan khusyu' dan khudhu'.
Dengan faridhah dapat dihasilkan shalat yang sah, tetapi dengan fadhilah dapat dihasilkan falah atau keberuntungan dari shalat. Sebagaimana firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa dalam QS. Al-Mukminun  ayat 1 - 2  artinya :
 ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.”
Arti khusyu’ ini semuanya mungkin benar karena berasal dari pengalaman yang sulit dikemukakan. Namun yang pasti khusyu’ adalah kerja hati yang memberikan kondisi tertentu pada jiwa yang tampak  bekasnya pada anggota badan.
Sedangkan khusyu’ yang batin disebut juga khudhu’ adalah fikiran, hati dan jiwa terarah hanya kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa dalam setiap gerakan shalat dari takbir sampai salam. Pikiran tidak menerawang  kepada urusan dunia ataupun pekerjaan, sehingga terjadi kebersamaan antara ucapan dan gerakan.
Seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun shalat atau dikatakan faridhahnya sudah terpenuhi,menurut ahli fiqih telah sah shalatnya, walaupun tidak khusyu’ atau fadhilahnya tidak terpenuhi. Akan tetapi shalat tanpa khusyu’ adalah suatu yang kosong dan akan membawa pada kerugian dan kekecewaan.
Syaikh Zakaria rahmatullaah ‘alaih menulis dalam “Fadhilah Shalat” bahwa hakekat shalat adalah seorang hamba sedang berdialog dengan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, yang tidak mungkin dilaksanakan dengan kelalaian. Selain ibadah shalat ada kemungkinan kita lalai dalam melaksanakannya. Misalnya zakat, hakekat zakat adalah mengeluarkan harta, walaupun hal ini bertentangan dengan keinginan hawa nafsu yang gemar memboroskan uang untuk kesenangan dunia. Demi­kian juga puasa yang menahan dari lapar, haus dan kenikmatan biologis, merupakan hal-hal yang penting untuk dapat mengalahkan hawa nafsu. Jika dilaksanakan dengan benar walaupun lalai, sedikitnya akan berpengaruh untuk menanggulangi kekuatan nafsu. Sedangkan shalat, mengandung dzikir dan tilawah al Quran. Jika shalat dilakukan dengan lalai, maka munajat dan pembicaraan dengan Allah tidak akan jadi. Seumpama orang yang menderita sakit panas, maka ia akan mengigau dan segala isi hatinya akan terucap oleh mulutnya, walaupun tidak akan bermanfaat bagi dirinya dan juga bagi orang lain.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa mempunyai sebuah takaran untuk mengukur kualitas shalat fardhu, dimana pahala seseorang dalam shalat berbanding lurus dengan keikhlasan dan kekhusyu’an shalat yang dikerjakannya.
‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhu mendengar Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila seseorang selesai mengerjakan shalat dia mendapat sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau seperdua pahala shalatnya. (HR. Abu Daud)
Anas radhiyallaahu ‘anhu berkata, Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila seorang mengerjakan shalat pada waktu yang telah ditetapkan dengan wudhu’ yang sempurna, dengan perasaan rendah hati dan tawadhu’, dan berdiri, ruku’, dan sujud dilakukan dengan baik, maka shalat yang demikian itu akan berupa cahaya yang indah yang akan mendoakan orang itu dengan kata-kata "Semoga Allah memelihara engkau seperti engkau telah memelihara saya. "Sebaliknya, apabila seseorang tidak menjaga shalatnya dan tidak mengambil wudhu’ dengan sempurna dan berdiri, ruku’ dan sujudnya tidak dilakukan dengan tertib, maka shalatnya akan membuat wajahnya gelap dan buruk serta ia akan mengutuk orang itu dengan kata-kata: "Semoga Allah subhaanahuu wa ta’aalaa membinasakanmu sebagaimana kamu telah membinasakanku." Lalu shalatnya dilemparkan ke muka orang itu seperti kain buruk (HR. Thabrani)
Shalat yang dilakukan tidak khusyu’ dan khudhu’ maka shalat itu akan mengutuk. Mungkin inilah keadaan kita dan ummat Islam saat ini selalu menurun dari hari ke hari di seluruh dunia, dimana kehancuran datang dari setiap penjuru.
Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu berkata, Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Suatu hal yang mula-mula diangkat dari ummat ini adalah khusyu,' sehingga (tak seorangpun dalam suatu jama’ah) engkau lihat padanya lagi orang yang khusyu'.
Syaikh Jamil rahmatullaah ‘alaih berkata dengan ilmu membuat shalat jadi benar dan dzikir membuat shalat jadi indah dan nikmat. Syaikh Sahb rahmatullaah ‘alaih berkata shalat khusyu' akan datang jika dalam diri kita mempunyai sifat zuhud pada dunia.
Syaikh Ihsan rahmatullaah ‘alaih berkata jika shalat ada sifat yakin, ikhlas, ilmu, dan dzikir, maka shalat memasuki tahap pertama hakekat yaitu akan mencegah perbuatan keji dan mungkar; jika shalat mencapai shalatnya Rasulullah dan para sahabat barulah hakekat shalat akan mampu menarik pertolongan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa.
Walaupun kita belum bisa melaksanakan shalat dengan khusyu’ dan khudu’ harus ada upaya untuk selalu memperbaikinya. Ada orang berpikir, "Karena tidak dapat melaksanakan shalat dengan sempurna, lebih baik jangan mengerjakan shalat." Ini pandangan yang keliru. Mengerjakan shalat walaupun tidak sempurna, jauh lebih baik dari pada meninggalkan shalat, karena meninggalkan shalat akan mendatangkan azab yang pedih dari Allah dan para Ulama berfatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat de­ngan sengaja adalah kafir. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi,  Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam kisah sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diterangkan bahwa sahabat Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu terkenal dengan shalatnya yang khusyu’. Beliau katakan: "Jika sekali saja aku teringat sesuatu selain Allah dalam shalat maka batallah seluruh shalatku". Ketika Saad wafat dan dikuburkan, Rasulullah ikut menguburkan mayatnya dan berjalan sambil berjinjit. Rasulullah ditanya kenapa bagitu? Beliau menjawab : "Karena aku melihat banyak malaikat ikut menguburkan mayat Sa’ad sehingga aku takut menginjaknya. Allaahu akbar!!

Ada orang bertanya kepada Sayyid Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf rahmatullaah ‘alaih ,"Bukankah Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al-Ankabut 45), tetapi mengapa dalam kenyataannya, banyak Muslim yang biasa melaksanakan shalat tetapi dia juga melakukan perbuatan keji dan mung­kar. Mereka tidak banyak melakukan kebaikan, bahkan lebih suka melakukan kejahatan. Kita mendapatkan mereka sangat buruk dan kasar perkataannya, bahkan tidak sedikit pula yang suka berkata cabul. Perbuatan dan perilaku mereka sangat jahat. Pergaulan dengan saudara-saudaranya pun tidak sehat dan tidak baik. Mereka suka berbohong. Mereka juga tidak segan-segan untuk menipu, memanipulasi, dan melakukan korupsi. Mereka tidak menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak terpuji seperti istiqamah (tegak dalam kebenaran), tekun, dan ikhlas dalam perbuatannya. Kenapa demikian itu?
Sayyid Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf rahmatullaah ‘alaih menjawab, mereka baru melaksanakan atau mengerjakan shalat, tetapi belum mendirikannya. Mereka belum mampu mendirikan salat dengan sahih dan benar sesuai dengan tata cara dan sifat-sifat shalat yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya yang mulia. Mereka belum memahami makna shalat yang sesungguhnya. Mereka juga belum memikirkan untuk mem-perbaiki atau menyempurnakan shalatnya. Mereka baru melakukan gerakan-gerakan shalat lahiriah atau badaniyah dengan meniru orang lain. Atau seperti yang dikenal sekarang, mereka baru mampu melakukan perbuatan rutin belaka. Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh seseorang untuk mengulangi shalatnya, padahal dia telah melakukan shalat. Sabdanya, "Kembalilah, sesungguhnya kamu belum melakukan shalat." (HR. Buhari, Muslim). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan menyuruh untuk mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali.
Menurut hadits ini pada hakikatnya dia belum melakukan shalat. Shalatnya masih dinilai rusak dan oleh karenanya dia seakan-akan belum melakukan shalat. Padahal, orang yang ditegur dan disuruh mengulangi shalatnya itu adalah seorang sahabat yang mungkin ikhlas melakukan shalat atau ibadahnya itu, tetapi beliau masih menyuruh untuk mengulangi shalatnya. Menurut beliau, ibadah tidak cukup dengan jiwa ikhlas saja, tetapi memerlukan pengetahuan tentang tata caranya yang benar yang harus dipe-nuhi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat mengenai firman Allah dalam QS. Al –Ankabut : 45, dan beliau menjawab ,”Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka tidak ada (nilai) shalat baginya.” Agar shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan khudhu’ dan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita melaksanakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya dan dapat memahami makna shalat dengan sebenarnya, maka Allah akan memasukkan ke dalam hatinya suatu rahasia (taufik). Dengan taufik itu, dia akan senang melakukan kebaikan dan akan segan melakukan kemungkaran atau kemaksiatan. Jika sudah demikian, maka shalat baginya otomatis menjadi sebab utama dalam mendorongnya untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Akhlaknya semakin bagus, keikhlasannyapun semakin tampak, sehingga cocoklah baginya firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, ,”Sesungguhnya shalat itu mencegah (pelakunya) dari perbuatan keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) Allah itu lebih besar. Dan Allah itu mengetahui apa yang kamu (sekalian) kerjakan.” (QS. Al Ankabut 45)
Setiap Muslim yang selalu mendirikan shalat wajib menjadi manusia yang paling baik akhlaknya. Dalam bergaul dengan manusia, dia harus lemah lembut, penuh toleran, dan selalu tampil sebagai orang yang mempunyai sifat-sifat terpuji. Dengan demikian, ketika bergaul dengan orang lain dia bagaikan bunga mekar yang harum semerbak; indah, lembut, penyayang, serta tidak sombong atau tawadhu' (merendah). Bagaimanapun, sikap lemah lembut, lentur, elastis, dan bagus dalam berbicara adalah buah atau ciri dan tanda yang paling jelas dari akhlak yang baik. Sedangkan berbicara buruk dan suka mencela adalah buah atau ciri dan tanda yang paling jelas dari jeleknya perilaku atau akhlak seseorang. Maka, akhlak yang baik menuntut dan melahirkan jiwa pengasih yang lemah lembut dan harmonis. Sedangkan akhlak yang buruk mengakibatkan sikap saling membenci, saling mendengki, dan saling membelakangi.
Tidak perlu diragukan lagi keutamaan dan kemuliaan akhlak yang baik. Akhlak yang baik wajib dimiliki setiap orang yang mengaku sebagai Mukmin dan Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Karena bagus akhlaklah, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pujian dan sanjungan dari Allah subhaanahuu wa ta’aalaa lewat firmanNya, “Dan sesung-guhnya kamu wahai Nabi mempunyai akhlak yang agung.”
Mengenai kepentingan dan kemuliaan akhlak itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak mengungkapkan, antara lain, "Kebanyakan yang memasukkan seseorang ke dalam surga itu adalah ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik."(HR. Imam Tirmidzi , hadits sahih) Mengenai kepentingan dan kemuliaan akhlak itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak mengungkapkan, antara lain, "Kebanyakan yang memasukkan seseorang ke dalam surga itu adalah ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik."(HR. Imam Tirmidzi , hadits sahih)
Usamah radiyallaahu ‘anhu berkata, "Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pemberian yang paling baik yang diberikan kepada manusia?" Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Akhlak yang baik.”(HR. Ibnu Majah, hadits sahih)
Pada hadits lain disebutkan, "Aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." (HR. Bukhari)  Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan. "Sesuatu yang paling berat untuk diletakkan dalam timbangan (amal) ialah akhlak yang baik." (HR.  Tirmidzi , hadits sahih)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dengan penuh kerendahan hati dan penuh kesungguhan, selalu bermohon kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa supaya dihiasi dengan akhlak mulia dan terpuji. Dalam suatu doa, misalnya, beliau berkata, "Ya Allah, perbaguslah badanku dan akhlakku."(HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban).
Pada kesempatan lain beliau berdoa, "Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk atau mungkar." (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban).
Sa'ad bin Hisyam radiyallaahu ‘anhu mengatakan, "Aku pernah mendalangi Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa dan bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjawab, "Tidakkah engkau (pernah) membaca Alquran?" Saya menjawab, "Ya." "Akhlak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Alquran," jawab Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa, "Hendaklah kamu berlemah lembut dan jauhilah olehmu sikap kasar (kejam) dan perkataan yang buruk atau jorok." (HR. Bukhari, Muslim)
Pada kesempatan lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa tidak suka kepada setiap orang yang kasar (keras hati) dan sombong, suka berteriak dengan keras di pasar, pandai dalam urusan keduniaan tetapi bodoh dalam urusan keakhiratan."(HR. Baihaqi, Ibnu Hibban, hadits sahih).
Dalam hadis lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam  menyatakan, "Sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa membenci orang yang suka melakukan perbuatan keji dan buruk akhlaknya."(HR. Ibnu Hibban, Thabrani, hadits sahih)

Kita sebagai ummat Islam wajib selalu berhubungan dengan Allah. Allah telah memberikan jalan bagaimana setiap perubahan waktu, minimal 5 kali setiap hari, manusia harus mengadakan dialog dengan Allah dengan merasa bahwa dirinya hanya bergantung kepada Allah. Tanpa pertolongan Allah, dirinya tidak bisa mengadakan aktifitas apapun, dan bahkan tidak akan bisa hidup di dunia ini. Hubungan semacam ini disebut shalat. Shalat yang dikehendaki oleh Allah adalah menurut tata cara dan tertib Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah telah mecontohkan dalam seumur hidupnya, yaitu shalat dengan berjama’ah, di awal waktu dan di tempat dimana adzan dikumandangkan (di masjid)/mushalla). Orang-orang jaman dahulu sering memberikan nasehat agar berhati-hati dalam mengerjakan shalat, karena shalat itu titik pertahanan terakhir agama. Walaupun sudah mengerjakan shalat, dan istiqomah dalam mengerjakannya, siapa tahu sesungguhnya dia tidak melakukan shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebuah hadits mengatakan : "Seorang shalat selama 60 tahun, tapi sebenarnya tidak ada shalat baginya sedikitpun. Lalu ditanya: Kenapa begitu? Bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: Disempurnakan rukunya’, tetapi sujudnya tidak sempurna; disempurnakan sujudnya, tetapi ruku’nya tidak sempurna. "
Dan sebuah khabar pula dari Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu :  "Bahwa ia melihat seorang shalat, tapi tidak sempurna ruku’ dan tidak pula sujudnya. Berkatalah Hudzaifah: Sudah sejak berapa lama engkau shalat begitu? Orang itu menjawab : Sejak 40 Tahun. Berkata Hudzaifah: Engkau tidak shalat. Bila engkau mati (sebelum bertaubat dan memperbaiki cara shalatmu), engkau mati tidak dalam keadaan fitrah (suci)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari tanpa menyebutkan 40 tahun karena Hudzaifah meninggal tahun 35 H, sedang shalat baru diwajibkan 1 tahun sebelum Hijrah, maka tidak mungkin di saat Hudzaifah hidup ada orang yang sudah shalat selama 40 tahun. Mungkin kata-kata 40 tahun di sini, adalah kata-kata secara mubalaghah (diekstremkan) seperti juga dalam Al-Quran surat At-Taubah : 80, artinya :
"Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuhpuluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka "
Khabar dari Abdullah Ibnu Mas'ud radhiyallaahu ‘anhu : "Suatu hari ketika ia sedang bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya, tiba-tiba ia memutuskan pembicaraan. Para sahabat bertanya: Kenapa engkau memutuskan pembicaraan engkau hai Abu ‘Abdurrahman! la menjawab: Aku bermimpi melihat sesuatu yang menarik. Aku lihat dua orang laki-laki. Yang seorang, Allah subhaanahuu wa ta’aalaa tidak melihat kepadanya, sedang yang seorang lagi tidak diterima shalatnya. Para sahabat bertanya: Siapa kedua orang itu? ]awab Ibnu Mas'ud: Orang yang tidak dilihat oleh Allah subhaanahuu wa ta’aalaa itu ialah orang yang berjalan dengan sombong. Sedangkan orang yang tidak diterima shalatnya ialah orang yang shatat tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya."

Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
"Akan datang satu masa atas manusia, dimana mereka shalat namun sebenarnya mereka tidak shalat."
 Saya sangat khawatir bahwa zaman tersebut dalam sabda Rasulullah itu adalah zaman kita sekarang ini (yaitu zaman Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal, dalam tahun 164-241 Hijrah). Sekiranya engkau melakukan shalat di dalam 100 masjid, engkau tidak akan melihat satu masjid pun dimana manusia shalat dengan betul sebagai yang dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Sebab itu takutilah kamu akan Allah, perhatikanlah tentang shalat kamu dan shalat orang-orang yang bershalat bersama kamu.
Saya sangat khawatir bahwa zaman tersebut dalam sabda Rasulullah itu adalah zaman kita sekarang ini (yaitu zaman Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal, dalam tahun 164-241 Hijrah). Sekiranya engkau melakukan shalat di dalam 100 masjid, engkau tidak akan melihat satu masjid pun dimana manusia shalat dengan betul sebagai yang dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Sebab itu takutilah kamu akan Allah, perhatikanlah tentang shalat kamu dan shalat orang-orang yang bershalat bersama kamu.
Bilal Ibnu Sa'd radhiyallaahu ‘anhu berkata : "Kesalahan yang tersembunyi tidak akan mendatangkan bahaya, kecuali hanya kepada orang yang bersalah itu, tetapi satu kesalahan yang kelihatan kalau dibiarkan saja, akan membahayakan orang lain, bila tidak segera dicegah atau diubah."
“Membiarkan orang bershalat dengan cara yang salah akan lebih besar dosanya bagi orang yang tahu bila ia tidak segera menasihati dan mengubahnya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak ahli hadits.
Anas radhiyallaahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Kecelakaan (Neraka Wail) bagi si alim yang membiarkan si jahil karena tidak mengajarinya." [Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Ya'laa)
Mengajar orang yang bodoh (tidak tahu) bagi seorang alim (yang tahu) adalah wajib, bukan sunnat karena itulah si alim akan mendapat siksa Wail bila berdiam diri atau tidak mengajar orang yang tidak tahu. Allah tidak menyiksa orang yang meninggalkan pekerjaan sunnat, yang disiksa ialah bila meninggalkan pekerjaan fardhu atau wajib.
Maka takutilah kamu akan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa dalam hal apa saja, lebih-lebih dalam hal shalat. Takutiah kamu akan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa perkara orang yang tidak tahu. Mengajari orang yang tidak tahu adalah wajib. Meninggalkannya bersalah dan berdosa.
Perintahkanlah ahli masjidmu untuk memperbaiki cara mereka melakukan shalat dan menyempurnakannya. Jangan sampai ada yang bertakbir melainkan sesudah selesai imam bertakbir. Begitu juga dalam ruku’ dan sujud, ketika bangkit dan turun. Semua itu harus dilakukan makmum sesudah takbir imam, sesudah ruku’ imam, sesudah bangkit imam, sesudah sujud imam. Secara singkatnya dalam setiap gerak, di setiap perpindahan rukun ke rukun dalam mengerjakan shalat.
Sungguh ajaib seorang yang sedang berada di rumahnya sendiri, mendengar adzan lalu bergegas ke masjid untuk melaksanakan shalat. Tiada yang ditujunya selain mengerjakan shalat. Kadang-kadang ia keluar dari rumahnya di malam yang gelap dan hujan, jalan berlumpur, digenangi air sehingga pakaiannya menjadi basah dan kadang-kadang justru ia sedang kurang sehat badan dan lemah. la memaksa diri datang ke masjid dengan tujuan melakukan shalat berjamaah. Semua itu ditanggungkannya karena cintanya kepada shalat berjamaah di dalam masjid. Tetapi sayang, tatkala ia berdiri di belakang imam untuk memulai shalat, dia diperdaya oleh setan. la mendahului imam dalam bertakbir, ruku’, sujud, ketika bangkit dan turun sehingga karena terperdaya oleh setan itu, sehingga shalatnya menjadi rusak.
Sementara ada orang mengatakan mengenai orang-orang yang shalat di dalam Masjidil Haram di musim-musim haji. Mereka datang dari segala penjuru dunia, baik yang jauh dan dekat : dari Khurasan, Afrika, Armenia, Asia dan lain-lain negeri. Engkau akan lihat orang Khurasan datang menunaikan ibadah haji, lalu mendahului imam dalam shalatnya. Begitu juga orang Syam, Afrika, Asia, dan orang-orang Hijaz sendiri dan lainnya, kebanyakan mereka mendahului imamnya. Sungguh mengherankan, mereka berlomba-lomba mengerjakan kebajikan, datang pagi-pagi ke masjid untuk shalat Jumat karena mengharapkan pahala dengan menyingkirkan keinginan-keinginan duniawi. Ada diantaranya yang datang ke masjid Jami' shalat Subuh mencari kelebihan dan pahala. Ada diantaranya yang berada di masjid sampai maghrib, dengan mengerjakan berbagai ibadah seharian dengan shalat, membaca ayat-ayat Al-Quran, berdzikir, dan berdoa kepada Allah dengan perasaan harap dan takut. Tetapi mereka shalat dengan mendahului imam karena tipu-daya setan atas dirinya. Setan sudah berhasil menjadikan ibadah fardhu sebagai alat tipu-dayanya. la ruku’, sujud, bangkit, turun dengan seenaknya saja. la mencoba mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai shalat sunah (nawafil) tapi melalaikan perkara-perkara yang wajib dari ibadah itu yaitu biasa mendahului imam dalam shalat berjama’ah.
Kebanyakan orang, kecuali yang dikehendaki Allah subhaanahuu wa ta’aalaa mendahului imam dalam ruku’, sujud dan ketika bangkit dan turun. Itu adalah perdaya setan terhadap mereka sehingga mereka memandang ringan terhadap shalat, melakukannya dengan sembarangan atau ceroboh. Ya, hanya bagian itulah yang mereka peroleh dari amalnya.
Siapa saja yang meringankan shalatnya, berarti meremehkan Islam agamanya. Bagian yang diperolehnya hanya sekedar bagian yang diperolehnya dari shalatnya semata. Kecenderungan seseorang terhadap Islam adalah sekedar kecenderungannya terhadap shalatnya saja. Pada saat menemui Allah subhaanahuu wa ta’aalaa kelak diakhirat dalam keadaan tiada nilai Islam pada dirimu. Bahwa kadar Islam di dalam kalbumu sekedar nilai shalat dalam hatimu.
Berkata lmam Ahmad rahmatullaah ‘alaih : Kaumku, aku pernah shalat beserta kamu. Maka aku lihat sebagian dan ahli masjid kamu mendahului imam dalam ruku’, sujud,  ketika bangkit (dari duduk) atau ketika akan duduk. Tidak (ada) shalat bagi orang yang mendahului imam. Tentang ini banyak hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dari banyak sababat, semoga ridha Allah atas mereka."

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam bahwa Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah mengubah wajahnya menjadi wajah keledai!" Dalam hadits (riwayat) lain "menjadi kepala anjing"
Kalau orang yang shalatnya salah mendapat ganjaran pahala, tentu Allah tidak akan menghukum/menghinakannya, sehingga akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.
Kalau orang yang shalatnya salah mendapat ganjaran pahala, tentu Allah tidak akan menghukum/menghinakannya, sehingga akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Imam ruku’ sebelum kamu, sujud sebelum kamu dan bangkit sebelum kamu." (HR. Muslim; Ahmad,Abu Dawud dari Abu Hurai-rah radhiyallaahu ‘anhu)
Al Barra’ radhiyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Dijadikan seseorang imam untuk diikuti, sebab itu bila ia sudah bertakbir, maka hendaklah kamu bertakbir dan janganlah kamu bertakbir sehingga ia bertakbir dan bila ia ruku’, maka hendaklah kamu ruku’ dan janganlah kamu ruku’ sehingga imam ruku’ dan bila ia telah sujud, maka hendaklah kamu sujud dan janganlah kamu bersujud sehingga imam bersujud." (HR. Bukhari, Muslim; HR. Al Bazzar dari Nu’man bin Basyir radhiyallaahu ‘anhu)
Berkata Al-Barra'Ibnu'Azib : "Pernah kami (shalat) di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Rasulullah sebagai imam dan kami sebagai makmum), maka jika Rasulullah telah membungkukkan badannya dari berdiri untuk bersujud, tidak seorangpun dari kami yang membungkukkan punggung sehingga Rasulullah telah meletakkan dahi beliau di atas bumi (lantai), sedang para makmum semuanya tetap berdiri, kemudian baru mereka mengikuti beliau (bersama-sama sujud)."
Demikian juga banyak hadits yang diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata : “Sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah lurus berdirinya, sedangkan kami masih dalam keadaan sujud.”
Jelasnya di waktu Rasulullah masih bergerak badannya untuk bangkit berdiri, dari sujud, kami semuanya tetap dalam keadaan sujud dan setelah Rasulullah berdiri lurus, barulah kami bangkit dari sujud.
Demikian pula sebuah atsar dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu : "Bahwa ia melihat seorang mendahuluii imam, maka berkata lbnu Umar kepadanya : “Engkau tidak shalat sendirian, tidak pula mengikuti imam, kemudian ia memerintahkan orang itu agar mengulangi shalatnya.” (R. Muslim, Abu Dawud dan Nasai).
Menurut Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar, orang yang mendahului imam itu tidak dapat dikatakan shalat sendirian, sebab ada imamnya dan tidak pula dapat dikatakan shalat berjamaah karena ia tidak mengikuti imam yang ada di depannya. Bila tidak shalat sendiri dan tidak pula berjamaah, berarti seolah-olah ia tidak shalat sama sekali, sehingga beliau memerintahkan orang itu kembali mengulangi shalatnya. Sebagai diketahui, Ibnu Mas'ud adalah sahabat yang teralim, begitu juga Ibnu Umar. Ibnu Mas'udlah tempat orang bertanya, bila Rasulullah tidak berada di tempat.
Diriwayatkan dari Hiththan Ibnu Abdullah Ar-Raqaasyi radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Abu Musa al Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkhutbah kepada kami, menerangkan sunah shalat dan apa yang harus kita sebut didalamnya. Rasulullah bersabda : “Bila kamu shalat, maka luruskanlah barisanmu, dan salah seorang menjadi imam. Apabila imam sudah bertakbir, maka baru kamu bertakbir dan bila ia membaca, maka kamu harus mendengarkan dan apabila imam berkata: Ghairil-maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhaalliin, maka hendaklah kamu berkata Aamiin. Allah akan mencintai kamu. Dan apabila imam sudah bertakbir dan ruku’, maka hendaklah kamu bertakbir dan ruku’. Jadi imam ruku’ sebelum kamu ruku’. Dan imam bangkit sebelum kamu bangkit. Dan apabila imam mengangkat kepalanya dan berkata : Sami'allaahuliman hamidah, maka angkatlah olehmu akan kepalamu dan katakanlah: Allahuma rabbanaa lakalhamdu. Allah akan mendengar ucapanmu itu. Dan apabila imam sudah bertakbir dan sujud, hendaklah kamu bertakbir dan sujud. Dan apabila ia telah mengangkat akan kepalanya dan bertakbir, maka hendaklah kamu mengangkat kepalamu dan bertakbir. Dan apabila imam sudah duduk, maka yang pertama harus kamu ucapkan ialah: At-Tahiyyaatu lillaahi wash-shalawaatut wath-thayyibaatu sehingga kamu selesai dari tasyahhud."
Menurut Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam "Bila imam sudah bertakbir hendaklah kamu bertakbir, maknanya atau cara mempraktekkannya ialah agar menunggu imam sehingga selesai ia bertakbir. Bila imam sudah selesai bertakbir dan suaranya sudah terhenti, baru di saat itulah bertakbir.
Banyak yang kurang mengetahui perkara ini, sehingga saat imam bertakbir, mereka mulai bertakbir. Jadi bersamaan waktunya. Ini salah. Tidak diperbolehkan mereka memulai bertakbir sehingga imam selesai mengucapkan takbir dan sudah putus suaranya. Ini maksudnya sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : "Idzaa Kabbaral-Imaamu fakabbiru, artinya bila imam sudah bertakbir, maka (barulah) kamu bertakbir." Seorang imam tidak dikatakan selesai bertakbir sehingga ia selesai mengucapkan "Allaahu Akbar." Karena kalau imam baru mengucapkan "Allaahu" kemudian berhenti, maka tidaklah dikatakan ia sudah bertakbir. Dikatakan imam bertakbir, kalau ia sudah selesai mengucapkan "Allaahu Akbar." Kemudian barulah makmum bertakbir menyebut "Allaahu Akbar". Jadi memulai bertakbir bersamaan dengan imam adalah salah yang berarti meninggalkan apa yang telah diperintahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apalagi bila ada imam yang kurang mengerti, ia terlalu memanjangkan ucapan takbir, sedangkan para makmum mengucapkannya dengan secara ringkas, maka sudah pasti para pengikut/makmum lebih dahulu selesai bertakbir daripada imam. Ini berarti sudah mendahului imam karena itu berarti ia sudah shalat sebelum imam memulainya karena ia selesai bertakbir, sebelum imamnya selesai.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa kabbara waraka'a, fa kabbiruu warka'uu, artinya bila imam sudah bertakbir dan ruku’, maka bertakbirlah kamu dan ruku’lah kamu, maknanya ialah agar kamu menunggu sampai imam bertakbir dan ruku’ dan sudah putus suaranya, sedang di saat itu kamu harus tetap berdiri, kemudian itu baru kamu mengikutinya.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : wa idzaa rafa'a ra'sahuu faqaala : sami'allaahu liman hamidah, farfa'uu ru-uusakum wa quuluu : Allabumma rabbanaa lakalhamdu, artinya maka apabila imam sudah mengangkat kepalanya dan berkata sami'allaahu liman hamidah, maka angkatlah kepala kamu dan berkatalah Alaahumma rabbanaa lakal hamdu. Maknanya kalimat ini ialah agar para makmum menunggu imam, tetap ruku’ sehingga imam mengangkat kepalanya lalu berkata sami'allaahu liman hamidah, sesudah terputus suaranya. Hendaklah para makmum tetap dalam keadaan ruku’ lalu mengikuti imam dengan mengangkat kepala lalu berkata Allaahumma rabbanaa lakal hamdu.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa kabbara wasajada, fa kabbiruu wasjuduu, artinya bila imam bertakbir dan sujud, maka hendaklah kamu bertakbir dan bersujud, maknanya ialah para makmum harus tetap berdiri sehingga imam bertakbir, lalu membungkukkan badannya untuk bersujud dan ia meletakkan dahinya di atas lantai. Sesudah imam meletakkan dahinya di atas lantai atau sesudah terputus suara takbirnya, barulah para makmum mulai menggerakkan badannya untuk bersujud sambil membaca Allaahu Akbar. Itulah yang dinamakan mengikuti Imam.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan dari Al-Barraa' Ibnu Aazib. Dan ini semuanya sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: Al-lmaamu yarka-u qablakum, wayarfa'u qablakum, artinya imam ruku’ sebelum kamu ruku’ dan bangkit sebelum kamu bangkit.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa rafa'a ra'sahuu wakabbara, far fa'uu ru-uusakum, wakabbiruu, artinya bila imam mengangkat kepalanya dan bertakbir, maka hendaklah kamu mengangkat kepalamu dan bertakbir. Artinya agar para makmum tetap dalam keadaan sujud sehingga imam mengangkat kepalanya, lalu bertakbir dan sujud, kemudian baru mereka mengikuti dan mengangkat kepala mereka yaitu sesudah terdengar suara takbir dari imam.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Idzaa rafa'a ra'sahuu wakabbara, far fa'uu ru-uusakum, wakabbiruu, artinya bila imam mengangkat kepalanya dan bertakbir, maka hendaklah kamu mengangkat kepalamu dan bertakbir. Artinya agar para makmum tetap dalam keadaan sujud sehingga imam mengangkat kepalanya, lalu bertakbir dan sujud, kemudian baru mereka mengikuti dan mengangkat kepala mereka yaitu sesudah terdengar suara takbir dari imam.dengan itu maknanya ialah para makmum menunggu imam mereka dalam keadaan berdiri sehingga imam bertakbir, lalu ruku’, begitu juga makmum harus menunggu imam dalam keadaan ruku’ sehingga imam mengangkat kepalanya dan selesai menyebut sami'allaahu liman hamidah, barulah makmum mulai mengangkatkan kepalanya dan berkata Allahumma rabbana lakal hamdu. Demikianlah dalam setiap gerak, baik gerak turun atau gerak naik. Jangan mendahului dan jangan bersamaan, sebab bila dikerjakan bersamaan, ada kemungkinan besar para makmum geraknya lebih cepat daripada imam sehingga mendahului pada akhirnya, sekalipun bersamaan pada awalnya. Demikianlah gerakan shalat yang sempurna dan mari kita usaha mencoba untuk mengamalkannya. Di samping itu juga ada usaha untuk membetulkan kesalahan yang dibuat orang lain, terutama dalam shalat berjama’ah yang ada di kanan kiri kita.

IX.    SHALAT KITA MENGHADAP KEPADA ALLAH ATAU BERSAMA SYETAN?
Fenomena yang menyedihkan tetapi sering terjadi dalam shalat adalah keadaan seseorang yang tidak lagi memahami apa yang dilakukan dalam shalatnya. Bisikan – bisikan setan telah menggerogoti shalat kita, sehingga hanya sedikit yang dilakukan penuh kesadaran apalagi dalam keadaan hati yang terpaut pada Allah. Dari keseluruhan waktu shalat hanya sedikit untuk mengingat Allah sedang sisanya telah disambar oleh setan sehingga kita memanjangkan angan-angan, memikirkan problema kita, menguap, ngantuk bahkan malas. Bukannya justru ‘berbicara’ dan ‘menghadap’ Allah dengan penuh rasa takut, malu, tawadhu.. malah sradag-srudug, asal shalat ditunaikan.
Coba bayangkan jika kita dipanggil atasan kita atau malah presiden kita, kemudian kita menghadap, lantas ketika sampai di hadapannya, kita menguap, ngantuk, malas, bahkan tertidur. Bagaimana perasaan dan sikap bos kita? Kira-kira tersinggung tidak dia? marah tidak dia? Dia yang menggaji kita tapi kita tidak menghormati dia bahkan mengabaikan saat berhadapan dengannya. Akibat paling ringan, kita diusirnya, atau malah di-phk. Demikian juga Allah,  ketika melihat kita shalat tapi pikiran dan hati kita bukan padaNya, betapa kecewanya Dia, betapa kurang ajarnya kita. Masih bagus jika Allah tidak murka pada kita, jika Dia murka.. menutup saluran rezeki kita, kita tidak mendapat perlindunganNya mau jadi apa kita?
Mungkin sedikit orang yang bisa selamat dari fenomena aneh ini, yaitu orang-orang yang mau dengan jujur dan ikhlas mengendalikan rohaninya dengan olah jiwa (riyadhah). Bisikan setan saat shalat memang dahsyat! dia iblis laknatullah mampu membuat pikiran & hati seseorang yang di awal shalat, begitu khusyu’..tiba-tiba berubah menjadi sibuk memikirkan segala hal yang tidak seharusnya dipikirkan saat menghadap Allah. Hutang piutang, kemajuan usaha, kebangkrutan usaha atau bahkan suami atau istri idaman. Semua berkecamuk dalam pikiran sehingga hati jadi tidak lagi bertaut denganNya dan rusaklah shalat kita.
Seandainya kita langsung berlindung (isti’adzah) kepada Allah saat mendapat godaan setan, tentu akan selamatlah shalat kita. Tetapi seringkali kita tidak memohon perlindunganNya. Godaan setan itu lemah, kuasa Allah itu di atas segalanya.. ketika kita mau memohon perlindunganNya Allah akan selamatkan kita. Tetapi jika kita tidak memohon perlindungan Allah, kita yang kalah karena kita tidak memiliki tameng belum lagi dikuasai nafsu dan nafsu inilah tunggangan utama setan dan tentaranya untuk mengalahkan kita.
Sebenarnya setan menggoda manusia bukan hadir di klub malam, diskotik dan tempat-tempat maksiat lainnya. Karena setan tahu orang-orang yang ada di sini tanpa digodapun telah menjadi budaknya. Karena itu setan justru berada di tempat dan saat orang-orang yang menempuh jalan yang lurus, alias orang yang taat pada perintah Allah. Dan saat paling istimewa bagi setan untuk merusak ibadah seseorang adalah saat shalat, karena shalat memiliki kedudukan yang sangat mulia.
Setan ibarat pencuri, ia tidak akan mengintai rumah yang jelek dan tidak ada isinya, ia mengintai rumah yang bagus, indah dan isinya penuh. Orang beriman ibarat pemilik rumah yang indah ini, yang senantiasa terjaga, menjaga barang-barang miliknya, waspada terhadap bahaya yang akan merusak rumahnya. Tentu si pencuri akan enggan masuk ke rumah tsb dan akan berpindah ke rumah lain yang pemiliknya lebih banyak tidur terlelap. Setanpun demikian, setiap saat ia akan berusaha untuk merusak iman kita, menyambar ketaatan kita saat kita lengah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar