Pages

Rabu, 11 September 2013

181. ULAMA MUJAHADAH



Bagaimana dulu mereka mengutamakan mata pelajaran tazkiyah bagi para santrinya. Ada seorang ulama mempunyai anak laki-laki, dan dia berkeinginan anaknya bisa lebih sholeh dan lebih alim dari dia. Walaupun ulama ini mempunyai pesantren, tetapi dia lebih memilih anaknya ini dikirim ke pesantren lain, karena dia berpikir kalau anaknya belajar di pesantrennya sendiri maka akan menjadi manja, tidak mau susah payah. Si ulama khawatir jika dikirim ke pesantrennya sendiri maka tidak akan ada mujahaddah. Maka si anak ini dikirim oleh ulama ini ke pesantren kawannya sesama ulama supaya ada pendidikan khusus agar bisa lebih alim dari beliau dan supaya lebih paham agama dari beliau. Ketika dia masuk ke pesantren, ayahnya si ulama, memberi nasehat bahwa apapun yang diperintahkan oleh gurunya nanti ikuti saja, jangan banyak bertanya dan jangan dibantah, walaupun kamu belum bisa mencernanya dengan pemikiran, jalankan saja.
Setelah masuk ke pesantren, si anak ini tidak langsung diajarkan ilmu agama, tetapi diperintahkan untuk berkhidmat di dapur pesantren. Di dapur si anak ini mencuci piring, memasak, memotong sayur, menyediakan masakan, tidak diajarkan kepada anak ini walaupun satu alif pun. Anak ini dengan tekun dengan ikhlas dia jalankan perintah gurunya berbulan-bulan, tidak ada mengeluh, di dapur untuk khidmat, tidak mempelajari Quran dan Hadits. Si anak ini taat dan selalu ingat pesan ayahnya bahwa apapun yang diperintahkan laksanakan saja. Setelah melihat kepatuhan anak ini menjalankan perintahnya, tidak mengeluh dan ikhlas menerimanya, maka si ulama pemimpin pesantren memanggilnya. Si ulama pimpinan pesantren berkata, “Wahai anakku, Kamu sudah khidmat di dapur, bekerja dengan baik, sekarang kamu pindah dari dapur untuk berkhidmat pada WC umum.” Namun WC jaman dulu beda dengan WC jaman sekarang. Dulu WC pakai periuk untuk buang air kecil dan air besar. Jadi untuk membersihkannya dia bawa periuk kotoran itu di kepalanya ke suatu tempat untuk dibuang lalu dibersihkan. Setiap pagi inilah rutinitas yang dilakukan si anak ini dalam waktu yang sangat lama tanpa diajarkan satu alifpun.
Setelah sekian lama si anak berkhidmat seperti itu, akhirnya gurunya memanggil. Si guru berkata, “Anakku kamu sudah berkhidmat di dapur, lalu berkhidmat di wc, sekarang kamu akan ditugaskan sebagai istiqbal, menjaga didepan pintu pesantren, menerima tamu-tamu pesantren. Sekarang kamu harus berpakaian yang bersih dan rapih tidak seperti pakian yang kamu pakai waktu di dapur ataupun ketika khidmat wc.”
Mendengarkan perintah ini, sama si anak langsung dijalankan, dia berpakaian rapi, menunggu di depan gerbang sebagai istiqbal. Ketika si anak ini sedang bertugas, si guru ini memanggil salah satu santri yang bekerja di khidmat WC. Si guru berkata kepada si santri yang berkhidmat di WC tersebut, “kamu tahu anak itu.” Si santri bilang, “Tahu ustadz.” Si guru berkata, “Nanti ketika kamu bawa periuk kotoran untuk dibersihkan dari wc, kamu bawa periuk itu kedepan dia sehingga periuk itu melewati hidungnya dengan jarak yang dekat sekali. Nanti kamu laporkan kepada saya apa reaksinya.”
Mendengar perintah ini si santri besoknya langsung melaksanakan perintah Ustadznya. Dia bawa periuk wc itu tadi dan dilewatkan kedepan hidung si anak tersebut. Namun si anak tersebut tidak ada reaksi marah atau rsa tidak senang ketika periuk itu dilewatkan secara sengaja di depan hidungnya. Si santri lapor ke ustadnya bahwa tugas sudah dilaksanakan, tetapi si anak tidak memberikan reaksi apa-apa, biasa saja. Si Ustadz berkata, “Bagus, besok kamu lakukan lagi, tapi kali ini kamu pura-pura tersandung lalu percikkan sedikit saja kotoran itu tadi kebajunya. Nanti apa sikap dia kamu laporkan kepada saya.”
Besoknya si santri jalankan perintah si ustadz tadi. Si Santri jalan di depan si anak tadi lalu dia pura-pura tersandung lalu terperciklah sedikit kotoran ke baju anak itu. Namun si anak bukannya marah malah minta maaf, bahwa ini salah dia, tidak seharusnya dia menghalangi jalannya si santri yang bawa periuk kotoran tersebut. Maka dilaporkanlah kejadian tersebut kepada si ulama pimpinan pondok pesantren. Si Ulama bilang, “Bagus, besok kamu lewat lagi kedepan dia kali ini, pura-pura kesandung, lalu tumpahkan seluruh isi periuk kotoran wc tadi ke badan dia.” Besoknya dia jalankan perintah si pimpinan pondok pesantren tadi, dia jalan pura-pura kesandung lalu ditumpahkan periuk kotoran tadi seluruhnya kebadan si anak yang sedang istiqbal tersebut. Namun apa reaksi anak tersebut ? itu anak bukannya marah malah menangis, dia berkata, “Apa saya ini terus-terusan berbuat salah ? kemarin saya mengganggu jalan saudara, hari ini juga begitu, kenapa saya dalam belajar selalu buat kersalahan.”
Maka dilaporkanlah kejadian ini pada si ulama tersebut. Kali ini si ulama memanggil si anak tersebut, “Wahai anakku, kamu sudah khidmat di dapur, sudah khidmat di wc, dan sudah khidmat di istiqbal, sekarang ada tugas masih khidmat juga, yaitu mencari daging.” Kalau dulu yang namanya mencari daging yaitu dengan berburu ke hutan. Jadi si anak ini berburu ke hutan dengan membawa anjing pemburu. Caranya dia disuruh memakai ikat pinggang yang kuat yang di ikatkan kepada 6 ekor anjing.
Waktu pergi ke hutan si anjing mencium bau daging binatang buruan maka si anjing berlari sehingga si anak yang kecil ini badannya terbanting-banting badannya. Si anak tersebut terseret kesana kemari karena kuatnya tarikan anjing-anjing pemburu, sehingga dia pulang ke pesanten dalam keadaan babak belur. Si Ulama pimpinan pondok pesantren bertanya, “Gimana berburunya di hutan ?” si anak menjawab, “Alhamdullilah baik, semuanya lancar tidak ada masalah.” Si anak tidak mengeluh apapun kepada gurunya, bahkan mengatakan semuanya baik-baik saja, padahal dia babak belur. Setelah kejadian ini si ulama pimpinan pondok memeluk anak itu, dan berkata, “Wahai anakku kamu sekarang sudah punya modal untuk belajar agama, kamu boleh pulang, mau belajar disini, atau ditempat lain, ataupun di pesantren ayahmu, silahkan saja, karena kamu sudah ada modal untuk belajar agama.” Maksudnya apa ? si anak ini sudah punya modal belajar agama yaitu kesabaran dan ketabahan.
Kalau kita mempunyai sifat seperti itu maka Nur Quran dan Hadits akan mudah masuk ke hati kita. Tapi kalau kita ingin asik-asik dan senang-senang inilah yang menyebabkan susahnya kita memahami daripada Al Quran dan Hadits, sehingga susah membawa kita kepada pengamalan, apalagi kepada penghayatan.
Untuk mengomentari cerita tadi kenapa terakhir ini anak disuruh berburu dengan membawa 6 ekor anjing yang banyak hingga dia babak belur terbawa kesana kemari. Ini karena si anak ini adalah calon ulama. Ulama itu akan mengayomi masyarakat, sedangkan keinginan masyarakat itu berbeda-beda, yang satu mau begini, yang satu mau begitu. Jadi ulama-ulama itu harus siap babak belur, supaya masyarakat bisa menerima mereka, tidak memihak kepada siapapun, karena ulama ini calon pimpinan. Sedangkan yang dipimpin mempunyai sifatdan karakter yang berbeda-beda.
Demikian orang-orang terdahulu belajar agama tidak dengan senang-senang, tetapi dengan mujahadah. Ketika kita membuka riwayat hidup imam-imam besar seperti Imam Bukhari, Imam Muslims, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dalam hidup mereka mempelajari agama penuh dengan mujahadah, baru kemudian Allah subhanahu a ta’ala memberikan kemuliaan pada mereka menjadi Imam, dan pemahaman atas agama yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar