Foto
Maulana Muhammad Zakariyya An Kandahlawi
8. PESANTREN DARUL ULOOM ZAKARIYYA, PESANTREN
MULTIBANGSA DI JOHANNESBURG - AFRIKA SELATAN
Perguruan Tinggi Agama Islam Darul Uloom Zakariyya,
Afrika Selatan.
Nun jauh disana di sebuah tempat di negara Afrika Selatan, tepatnya di
kawasan Lenasia kira-kira 20 kilometer sebelah selatan kota Johannesburg,
berdiri sebuah madrasah bernama Darul Ulum Zakariyya.
Madrasah ini adalah satu dari banyak tempat dari para pengikut Usaha
Dakwah dan Tabligh memperdalam ilmu agama mereka, selain di India, Pakistan dan
Bangladesh. Pesantren modern dengan luas 9,7 hektar ini terletak di tengah
bekas lahan pertanian yang sejuk di Lenasia.
Madrasah Darul Uloom Zakariyya
didirikan pada tahun 1983 dengan jumlah santri pertamanya 35 anak. Awal berdiri perguruan tinggi ini dipimpin oleh Qori Addul Hamid dari
Panoli, India, tahun 1986. Saat itu fasilitas madrasah masih
sangat minim. Untuk belajar, para santri masih harus belajar di bawah pohon,
sementara untuk tempat istirahat disediakan sebuah rumah yang cukup besar.
Tahun berikutnya, jumlah santri bertambah menjadi 100 anak, dibawah bimbingan 6
ustadz dan dibagi menjadi 6 kelas.
Pada tahun-tahun berikutnya
madrasah ini terus berkembang. Pada tahun 1991, kelas Daurah Hadits mulai
dibuka setelah beberapa santri dari madrasah ini menyelesaikan pendidikan
tingkat lanjut di beberapa madrasah di India dan Pakistan. Secara garis besar,
jurusan di madrasah ini dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas Tahfidz dan kelas
‘Alim. Kelas Tahfidz disiapkan untuk menghasilkan para hafidz, penghafal
Alquran. Para hafidz ini sangat penting keberadaannya untuk menjaga kemurnian
dan kesucian Alquran. Jadi disamping dicetak dalam bentuk mushaf, alquran juga
tersimpan di dada para hafidz.
Sementara kelas ‘Alim disiapkan
untuk melahirkan ulama-ulama yang mumpuni dan mampu membimbing umat agar
kehidupannya selaras dengan kaidah-kaidah agama. Kepada mereka lah umat akan
meminta nasihat dan bimbingan dalam mengahadapi problematika hidup dan mencari
jalan pemecahannya.
Saat ini antri yang belajar di
madrasah ini berjumlah 715 santri, 300 satri berasal dari Afrika Selatan
sendiri, sisanya berasal dari 56 negara di antaranya dari Amerika Serikat,
Australia, Kenya, Turjikistan, Vietnam, Thailand, Malaysia, termasuk Indonesia.
Untuk kelas belajar, saat ini 300
santri mengambil kelas Hafidz, sisanya mengambil kelas ‘Alim. Hingga saat ini,
madrasah ini telah melahirkan ribuan hafidz, ulama dan qari yang tersebar di
seluruh penjuru dunia. Masa pendidikan di madrasah ini sekitar 7 tahun. Selama
masa belajar di madrasah, para santri juga aktif diterjunkan dalam kegiatan
dakwah dan tabligh di lingkungan sekitar madrasah.
Setelah menyelesaikan masa
pendidikan, mereka biasanya diminta untuk melakukan perjalanan dakwah dan
tabligh ke beberapa negara selama satu tahun. Bahasa pengantar yang dipakai di
madrasah ini digunakan tiga bahasa. Untuk pergaulan sehari-hari antar santri
digunakan bahasa Inggis. Sementara untuk mengaji digunakan bahasa Urdu dan
Arab. Kenapa bahasa Urdu? Karena pendiri dan santri dari madrasah ini semula
berasal dari keturunan India dan Pakistan. Jadi semua santri yang lulus dari
madrasah ini dijamin mahir tiga bahasa tersebut.
Nama Zakariyya
Nama madrasah ini diambil sebagai
penghormatan kepada seorang Syaikhul Hadits dari Madrasah Mazahirul Ulum
Saharanpur, India, yang bernama Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi.
Beliau lah inisiator berdirinya madrasah ini. Pada suatu kesempatan kunjungan
beliau di afrika selatan tahun 1981, Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi
berdoa dan mengajak seluruh hadirin yang hadir pada saat itu untuk berusaha
dengan keras mewujudkan berdirinya sebuah madrasah sebagai tempat untuk
mendidik, menjaga dan mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan. Keinginan tersebut
akhirnya terwujud pada tahun 1983. Untuk saat ini, madrasah ini juga
telah mempunyai cabang di Eikenhof, kira-kira 13 km dari lokasi madrasah
pertama, satunya lagi berdiri di Mandane–Soweto.
Bagi teman-teman yang aktif dalam
kegiatan dakwah dan tabligh insyaallah akrab dengan nama ini. Beliau adalah
penulis Kitab Himpunan Fadhilah Amal yang terdiri dari Fadhilah Dzikir, Shalat,
Haji, Tabligh, Ramadhan dan Shadaqah. Kitab ini hingga saat ini menjadi bacaan
utama para dai yang bergerak di seluruh dunia.
Madrasah di Eropa tidak hanya di
Afrika Selatan, di beberapa negara lain juga tumbuh subur madrasah-madrasah
semacam. Di Inggris, madrasah serupa bahkan sudah berdiri pada tahun 1973,
ditandai dengan berdirinya Madrasah Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah di
Holcombe Brook, Bury, Great Manchester. Pendirinya adalah Maulana Yusuf Motala,
juga santri dari Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi dari Madrasah
Mazahirul Ulum Saharanpur India Kini madrasah di Inggris tersebut telah menjadi
madrasah induk (ummul madaris) yang cabang-cabangnya menyebar di berbagai kota
di Eropa.
Madrasah ini juga telah
melahirkan ribuan imam dan dai yang mengabdikan diri mereka untuk agama. Jadi
sekarang ini, kalau kita ingin menjadi santri maka semakin banyak pilihan
tempat. Bisa di dalam negeri sendiri, bisa juga di luar negeri seperti di
Malaysia, Thailand, India, Pakistan, Arab Saudi, Yaman, Afrika, bahkan di Eropa
juga bisa. Istilah kerennya adalah menjadi santri transnasional, bergabung
dengan santri dari berbagai Negara di Pondok Pesantren Darul Uloom Zakariya.
Perkembangan Madrasah ini sangat pesat, seiring bertambahnya orang
yang ambil bagian dalam usaha Dakwah dan Tabligh di seluruh dunia. Menurut data
tahun 2011 lalu, ada sekitar 715 santri di perguruan tinggi ini. Hanya 300 yang
berasal dari Afsel, sisanya dari 56 negara yang berbeda, termasuk Indonesia. Diantara
santrinya bernama Mas Dedi bin Muhammad Masyril. Saya (penulis blog ini) pernah
memberikan semangat dan ikut mendoakan ketika beliau akan berangkat ke Afrika
Selatan sekitar 2 tahun (tahun 2014) yang lalu.
Ada lima fakultas yang tersedia, yaitu Hifdhul-Qur'an (Menghafal
Al-Qur'an), Aalimiyah (Studi Fikih dan Ilmu Islam), Tajwid dan Qira'aat (Ilmu
al-quran, Qira’aah Sab’ah dan Asyarah), Ifta' (Spesialisasi dalam Ilmu Fikih
dan Penelitian Islam) serta Sastra Arab. Sejak didirikan hingga 2011, perguruan tinggi ini telah melahirkan
ribuan tahfidz (penghafal Al-Quran), 619 ulama, 137 qori.
KURNIAWAN MUHAMMAD, JOHANNESBURG BERCERITA :
BEGITU mendengar di Johannesburg ada pondok pesantren bernama
Darul Uloom Zakariyya, saya langsung penasaran ingin mengunjungi. Nama itu tak
asing buat saya. Sebab, di Jombang, Jawa Timur, tempat kelahiran saya, ada
pondok pesantren yang terbilang besar bernama Darul Ulum. Saya kira, arti Darul
Uloom di Afrika Selatan dan Darul Ulum di Jombang tidak berbeda.
Berbekal peta dan ancar-ancar lokasi yang diberikan
petugas KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Pretoria, Minggu (13/6)
sekitar pukul 10.00 waktu setempat, saya mencari alamat Ponpes Darul Uloom.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit dari tempat
penginapan di Sandton, saya sampai di Lenasia, lokasi Ponpes Darul Uloom.
Lenasia masih termasuk kawasan Johannesburg, Provinsi Gauteng. Lenasia banyak
dihuni warga Afrika Selatan (Afsel) keturunan India.
Nama Ponpes Darul Uloom, tampaknya, cukup terkenal di
wilayah pinggiran Johannesburg itu. Terbukti, begitu masuk ke Lenasia, warga
yang saya temui langsung menunjukkan arah alamat Darul Uloom.
Saya pun dengan gampang sampai ke pondok khusus pria
itu. Pondok tersebut terletak di hamparan lahan tandus. Semua bangunan pondok
yang didirikan pada 1985 oleh Hafiz Bashir, seorang ulama Afsel keturunan
India, tersebut dikelilingi pagar tembok. Mirip bangunan benteng peperangan.
Untuk masuk ke kompleks pondok yang menempati lahan
seluas sekitar 5 hektare itu, tamu harus melewati pintu gerbang yang
membuka-tutup secara otomatis. Pintu gerbang tersebut dijaga dua petugas
keamanan.
"Assalamu’alaikum... From Indonesia" Ahlan wa
sahlan," ujar seorang santri berwajah India, bercambang lebat, dan
mengenakan gamis (baju kurung) menyambut kedatangan saya.
Semula, saya mengira dia orang India. Tapi, ketika saya
ajak berbicara bahasa Inggris, dia malah tersenyum. "Saya orang Indonesia,
Mas. Ibu saya asli Blauran, Surabaya. Bapak saya yang orang India. Saya lahir
dan besar di Palembang," kata pria yang memperkenalkan diri bernama
Muhammad Zaki itu.
Zaki adalah murid madrasah aliyah kelas akhir
(setingkat kelas 3 SMA). Dia hampir lima tahun nyantri di Ponpes Darul Uloom.
Dia lantas mengenalkan saya dengan Abdurrahim, ketua pelajar Indonesia yang
tinggal di Darul Uloom. Dua santri muda itu lalu mengantar saya berkeliling
pondok, mulai asrama tempat tinggal para santri, masjid, hingga tempat makan.
"Di sini, tugas santri hanya belajar. Untuk makan,
sudah disediakan pengelola pondok. Begitu pula cuci pakaian, sudah ada yang
mengerjakan," ungkap Abdurrahim yang menempuh pendidikan di ma"had
ali (setingkat perguruan tinggi) jurusan ilmu hadits itu.
Sudah tiga tahun pemuda asal Lombok tersebut tinggal di
Darul Uloom. Ketika ditanya biaya yang harus dibayar setiap santri, Abdurrahim
menyebut sekitar 12 ribu rand per tahun (sekitar Rp 15 juta). "Itu sudah
semua. Tapi, hampir separo yang tinggal di sini tidak membayar karena mendapat
beasiswa dari lembaga-lembaga yang bekerja sama dengan pondok ini," jelas
santri yang juga menjadi ketua Presidium Persatuan Pelajar Indonesia Afrika
Selatan tersebut.
Saya sebenarnya sangat ingin bertemu pengasuh pesantren
tersebut. Tapi, pimpinannya tidak berada di tempat. "Maaf, Al Ustad
Maulana Shabber Ahmad Saloojee tidak ada di sini. Beliau sedang ke
Durban," kata Zaki.
Maulana Shabber adalah penanggung jawab untuk semua
jenjang pendidikan di pesantren tersebut. Dia adalah keturunan India, namun
lahir dan besar di Afsel. Pendidikan di Darul Uloom terdiri atas tiga tingkat.
Yakni, tingkat tsanawiyah (setingkat SMP), aliyah (SMA), dan ma’had ali
(perguruan tinggi). Sama seperti di Indonesia, untuk tsanawiyah dan aliyah,
masing-masing ditempuh tiga tahun.
Untuk ma"had ali, ada beberapa jurusan. Di
antaranya, dakwah, ilmu hadis, dan darul ifta. Jurusan terakhir itu khusus
mempelajari seputar fatwa tentang hal-hal yang pada zaman Rasulullah tidak ada.
"Misalnya, hukum rokok dan hukum Facebook," jelas Abdurrahim.
Saat ini, terdaftar sekitar 700 santri belajar di
pondok tersebut. Di antara jumlah itu, sekitar 600 orang tinggal di lingkungan
pondok. Mereka berasal dari 54 negara. Di antaranya, Amerika Serikat,
Australia, Kenya, Turjikistan, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Mereka juga
berasal dari beberapa daerah di Afsel. "Dari Asia Tenggara, yang terbanyak
dari Malaysia. Ada 50-an orang. Dari Thailand sekitar 20 orang, Indonesia 30
orang, dan Vietnam 4 orang," tuturnya.
Abdurrahim melanjutkan, dari Afsel, terdapat sekitar
200 orang kulit hitam yang tinggal di pondok tersebut. "Kebanyakan mereka
adalah mualaf," ujarnya.
Untuk bahasa sehari-hari di lingkungan pondok,
digunakan tiga bahasa. "Untuk bahasa pergaulan antarsantri, digunakan
bahasa Inggris. Saat mengaji menggunakan bahasa Arab dan Urdu," kata
Abdurrahim.
Mengapa menggunakan bahasa Urdu? "Sama seperti
pondok-pondok di Jawa. Saat mengaji kitab, selain bahasa Arab, bahasa Jawa kan
juga digunakan. Bahasa Jawa itu kalau di sini adalah bahasa Urdu," lanjut
pria yang pernah setahun mondok di Magelang, Jawa Tengah, tersebut.
Untuk materi yang diajarkan, Ponpes Darul Uloom punya
kurikulum sendiri. "Selain dasar-dasar ilmu agama mulai ilmu fikih, hadits,
tajwid, bahasa Arab, serta nahwu sorof, diajarkan beberapa kegiatan
ekstrakurikuler," lanjutnya.
Di antaranya, bahasa Persia, ilmu astronomi, dan pencak
silat Al-Azhar asal Indonesia. "Ada juga di sini program menghafal
Alquran," katanya.
Saya sempat bertemu seorang santri asal Michigan, AS,
yang sedang mengikuti program menghafal Alquran. Namanya Imtyaz, warga AS
keturunan Arab yang baru setahun mondok di sana. Bocah 13 tahun itu mengaku
sudah bisa menghafal empat juz.
Jika dibanding pondok-pondok pesantren di Indonesia,
Darul Uloom tergolong pondok modern. Di sana, santri tinggal di asrama yang
didesain cukup nyaman. Ada 16 unit asrama yang setiap unitnya terdiri atas enam
kamar. Masing-masing kamar berukuran sekitar 8 x 8 meter dan dihuni enam
santri.
Setiap santri mendapat jatah satu ranjang dan satu
lemari. Di setiap kamar juga disediakan satu kulkas, enam kamar mandi, enam WC,
serta enam tempat wudu. Terdapat pula satu ruangan untuk dapur di setiap unit.
"Saat Sabtu, biasanya santri-santri suka memasak," ungkap Zaki.
Seperti halnya di Indonesia, aturan di Pondok Darul
Uloom juga ketat. Di sana tidak ada pesawat televisi. Para santri juga tidak
boleh membawa HP. Kalaupun membawa, mereka harus menitipkannya kepada para
ustad. Mereka hanya boleh menggunakan HP saat libur mingguan, Sabtu dan Minggu.
Tapi, saat libur Sabtu, para santri tak boleh keluar dari areal pondok.
"Biasanya libur Sabtu digunakan untuk mengikuti
ekstrakurikuler dan menelepon sanak saudara para santri," kata Zaki.
Pada libur Minggu, para santri boleh keluar dari
kompleks pondok. "Biasanya ada yang main ke mal atau nonton film. Karena
di Afsel sedang berlangsung Piala Dunia, hari ini (Minggu, 13/6) ada yang
ramai-ramai nonton pertandingan," ujarnya. "Yang punya uang, ada yang
nonton langsung ke stadion. Tapi, bagi yang tak punya uang, cukup nonton
melalui televisi," imbuhnya.
Jika ada santri yang melanggar aturan pondok, hukumannya
berat dan tegas. Misalnya, jika ada yang telat shalat berjamaah, terlambat
mengikuti pelajaran, atau sengaja membolos, hukumannya bisa disuruh
membersihkan WC, dijemur di lapangan, atau kepalanya digundul.
Hukuman paling berat adalah dikeluarkan dari pondok.
"Aturan ketat itu semata-mata ditujukan agar para santri di sini
benar-benar belajar," tegas Abdurrahim yang diamini Zaki.
ZAINAL NURISKY (ALM) PUTRA MANTAB PANGAB WIRANTO
MENINGGAL DI PESANTREN DARUL ULOOM ZAKARIYYA
Di Madrasah Darul Uloom
Zakariyya, Johannesburg, Afrika Selatan pernah ada yang meninggal santri yang
berasal dari Indonesia, yang bernama Zainal Nurizky, putra mantan Pangab Bapak Wiranto.
Dia meninggal dalam usia 23 tahun
setelah menderita sakit selama beberapa hari dan langsung dimakamkan di tempat
tersebut. Banyak komentar di beberapa media online berkenaan dengan
meninggalnya Zainal Nurizky tersebut. Dari mulai kenapa anak jendral kok tidak
disekolahkan tetapi malah dimasukkan ke madrasah yang lulusannya “tidak” menjanjikan
karier dan keduniaan.
Terus kenapa juga dia memilih
pesantren di Afrika Selatan, sebuah tempat yang hampir tidak pernah dibicarakan
sebagai tempat untuk studi keislaman. Bukankah di Indonesia sendiri juga banyak
pesantren semacam itu? Pertanyaan lain lagi, kenapa Pak Wiranto tidak meminta
jenazah anaknya untuk dipulangkan ke Indonesia, sedangkan para jasad TKI saja
biasanya dipulangkan? Apakah Pak Wiranto tidak sayang pada anak lelaki
satu-satunya itu ?
Untuk masalah kenapa jenazah
tidak dibawa pulang, Pak Wiranto telah memberikan penjelasan secara
langsung. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk dari sudut
agama, kepraktisan dan lain-lainnya, beliau memutuskan bahwa jenazah Zainal
Nurizky tetap dikuburkan di tempat dimana ia meninggal. Mudah-mudahan Allah subhanahu
wa ta’ala melapangkan kubur almarhum Zainal Nurizky dan menempatkannya di
tempat yang mulia, Amin.
Untuk pertanyaan yang lainnya,
saya yakin almarhum Zainal Nurizky punya alasan sendiri yang cukup kuat kenapa
dia sampai memilih nyantri di madrasah tersebut dan tidak pada madrasah yang
lain.
Almarhum Zainal Nurizky santri Madrasah Darul Ulum Zakariyya Afrika
Selatan
Inilah jalan yang telah dipilih Zainal Nurizky dan jalan ini pula yang
telah mengantarkannya menemui Rabbnya. Selamat jalan Inal, insyaallah
jalanmu akan semakin lapang dan engkau akan mendapatkan kedudukan yang mulia !