Pages

Sabtu, 16 Juli 2016

262. MENGENAL MAULANA MUHAMMAD ZAKARIYYA (8)

Foto Maulana Muhammad Zakariyya An Kandahlawi
8. PESANTREN DARUL ULOOM ZAKARIYYA, PESANTREN MULTIBANGSA DI JOHANNESBURG - AFRIKA SELATAN
Perguruan Tinggi Agama Islam Darul Uloom Zakariyya,
Afrika Selatan.
Nun jauh disana di sebuah tempat di negara Afrika Selatan, tepatnya di kawasan Lenasia kira-kira 20 kilometer sebelah selatan kota Johannesburg, berdiri sebuah madrasah bernama Darul Ulum Zakariyya.
Madrasah ini adalah satu dari banyak tempat dari para pengikut Usaha Dakwah dan Tabligh memperdalam ilmu agama mereka, selain di India, Pakistan dan Bangladesh. Pesantren modern dengan luas 9,7 hektar ini terletak di tengah bekas lahan pertanian yang sejuk di Lenasia.
Madrasah Darul Uloom Zakariyya didirikan pada tahun 1983 dengan jumlah santri pertamanya  35 anak. Awal berdiri perguruan tinggi ini dipimpin oleh Qori Addul Hamid dari Panoli, India, tahun 1986. Saat itu fasilitas madrasah masih sangat minim. Untuk belajar, para santri masih harus belajar di bawah pohon, sementara untuk tempat istirahat disediakan sebuah rumah yang cukup besar. Tahun berikutnya, jumlah santri bertambah menjadi 100 anak, dibawah bimbingan 6 ustadz dan dibagi menjadi 6 kelas.
Pada tahun-tahun berikutnya madrasah ini terus berkembang. Pada tahun 1991, kelas Daurah Hadits mulai dibuka setelah beberapa santri dari madrasah ini menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut di beberapa madrasah di India dan Pakistan. Secara garis besar, jurusan di madrasah ini dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas Tahfidz dan kelas ‘Alim. Kelas Tahfidz disiapkan untuk menghasilkan para hafidz, penghafal Alquran. Para hafidz ini sangat penting keberadaannya untuk menjaga kemurnian dan kesucian Alquran. Jadi disamping dicetak dalam bentuk mushaf, alquran juga tersimpan di dada para hafidz.
Sementara kelas ‘Alim disiapkan untuk melahirkan ulama-ulama yang mumpuni dan mampu membimbing umat agar kehidupannya selaras dengan kaidah-kaidah agama. Kepada mereka lah umat akan meminta nasihat dan bimbingan dalam mengahadapi problematika hidup dan mencari jalan pemecahannya.
Saat ini antri yang belajar di madrasah ini berjumlah 715 santri, 300 satri berasal dari Afrika Selatan sendiri, sisanya berasal dari 56 negara di antaranya dari Amerika Serikat, Australia, Kenya, Turjikistan, Vietnam, Thailand, Malaysia, termasuk Indonesia.
Untuk kelas belajar, saat ini 300 santri mengambil kelas Hafidz, sisanya mengambil kelas ‘Alim. Hingga saat ini, madrasah ini telah melahirkan ribuan hafidz, ulama dan qari yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Masa pendidikan di madrasah ini sekitar 7 tahun. Selama masa belajar di madrasah, para santri juga aktif diterjunkan dalam kegiatan dakwah dan tabligh di lingkungan sekitar madrasah.
Setelah menyelesaikan masa pendidikan, mereka biasanya diminta untuk melakukan perjalanan dakwah dan tabligh ke beberapa negara selama satu tahun. Bahasa pengantar yang dipakai di madrasah ini digunakan tiga bahasa. Untuk pergaulan sehari-hari antar santri digunakan bahasa Inggis. Sementara untuk mengaji digunakan bahasa Urdu dan Arab. Kenapa bahasa Urdu? Karena pendiri dan santri dari madrasah ini semula berasal dari keturunan India dan Pakistan. Jadi semua santri yang lulus dari madrasah ini dijamin mahir tiga bahasa tersebut.
Nama Zakariyya
Nama madrasah ini diambil sebagai penghormatan kepada seorang Syaikhul Hadits dari Madrasah Mazahirul Ulum Saharanpur, India, yang bernama Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi. Beliau lah inisiator berdirinya madrasah ini. Pada suatu kesempatan kunjungan beliau di afrika selatan tahun 1981, Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi berdoa dan mengajak seluruh hadirin yang hadir pada saat itu untuk berusaha dengan keras mewujudkan berdirinya sebuah madrasah  sebagai tempat untuk mendidik, menjaga dan mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan. Keinginan tersebut akhirnya terwujud pada tahun 1983. Untuk saat ini,  madrasah ini juga telah mempunyai cabang di Eikenhof, kira-kira 13 km dari lokasi madrasah pertama, satunya lagi berdiri di Mandane–Soweto.
Bagi teman-teman yang aktif dalam kegiatan dakwah dan tabligh insyaallah akrab dengan nama ini. Beliau adalah penulis Kitab Himpunan Fadhilah Amal yang terdiri dari Fadhilah Dzikir, Shalat, Haji, Tabligh, Ramadhan dan Shadaqah. Kitab ini hingga saat ini menjadi bacaan utama para dai yang bergerak di seluruh dunia.
Madrasah di Eropa tidak hanya di Afrika Selatan, di beberapa negara lain juga tumbuh subur madrasah-madrasah semacam. Di Inggris, madrasah serupa bahkan sudah berdiri pada tahun 1973, ditandai dengan berdirinya Madrasah Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah di Holcombe Brook, Bury, Great Manchester. Pendirinya adalah Maulana Yusuf Motala, juga santri dari Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi dari Madrasah Mazahirul Ulum Saharanpur India Kini madrasah di Inggris tersebut telah menjadi madrasah induk (ummul madaris) yang cabang-cabangnya menyebar di berbagai kota di Eropa.
Madrasah ini juga telah melahirkan ribuan imam dan dai yang mengabdikan diri mereka untuk agama. Jadi sekarang ini, kalau kita ingin menjadi santri maka semakin banyak pilihan tempat. Bisa di dalam negeri sendiri, bisa juga di luar negeri seperti di Malaysia, Thailand, India, Pakistan, Arab Saudi, Yaman, Afrika, bahkan di Eropa juga bisa. Istilah kerennya adalah menjadi santri transnasional, bergabung dengan santri dari berbagai Negara di Pondok Pesantren Darul Uloom Zakariya.
Perkembangan Madrasah ini sangat pesat, seiring bertambahnya orang yang ambil bagian dalam usaha Dakwah dan Tabligh di seluruh dunia. Menurut data tahun 2011 lalu, ada sekitar 715 santri di perguruan tinggi ini. Hanya 300 yang berasal dari Afsel, sisanya dari 56 negara yang berbeda, termasuk Indonesia. Diantara santrinya bernama Mas Dedi bin Muhammad Masyril. Saya (penulis blog ini) pernah memberikan semangat dan ikut mendoakan ketika beliau akan berangkat ke Afrika Selatan sekitar 2 tahun (tahun 2014) yang lalu.
Ada lima fakultas yang tersedia, yaitu Hifdhul-Qur'an (Menghafal Al-Qur'an), Aalimiyah (Studi Fikih dan Ilmu Islam), Tajwid dan Qira'aat (Ilmu al-quran, Qira’aah Sab’ah dan Asyarah), Ifta' (Spesialisasi dalam Ilmu Fikih dan Penelitian Islam) serta Sastra Arab. Sejak didirikan hingga 2011, perguruan tinggi ini telah melahirkan ribuan tahfidz (penghafal Al-Quran), 619 ulama, 137 qori.
KURNIAWAN MUHAMMAD, JOHANNESBURG BERCERITA :
BEGITU mendengar di Johannesburg ada pondok pesantren bernama Darul Uloom Zakariyya, saya langsung penasaran ingin mengunjungi. Nama itu tak asing buat saya. Sebab, di Jombang, Jawa Timur, tempat kelahiran saya, ada pondok pesantren yang terbilang besar bernama Darul Ulum. Saya kira, arti Darul Uloom di Afrika Selatan dan Darul Ulum di Jombang tidak berbeda.
Berbekal peta dan ancar-ancar lokasi yang diberikan petugas KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Pretoria, Minggu (13/6) sekitar pukul 10.00 waktu setempat, saya mencari alamat Ponpes Darul Uloom.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit dari tempat penginapan di Sandton, saya sampai di Lenasia, lokasi Ponpes Darul Uloom. Lenasia masih termasuk kawasan Johannesburg, Provinsi Gauteng. Lenasia banyak dihuni warga Afrika Selatan (Afsel) keturunan India. 
Nama Ponpes Darul Uloom, tampaknya, cukup terkenal di wilayah pinggiran Johannesburg itu. Terbukti, begitu masuk ke Lenasia, warga yang saya temui langsung menunjukkan arah alamat Darul Uloom. 
Saya pun dengan gampang sampai ke pondok khusus pria itu. Pondok tersebut terletak di hamparan lahan tandus. Semua bangunan pondok yang didirikan pada 1985 oleh Hafiz Bashir, seorang ulama Afsel keturunan India, tersebut dikelilingi pagar tembok. Mirip bangunan benteng peperangan. 
Untuk masuk ke kompleks pondok yang menempati lahan seluas sekitar 5 hektare itu, tamu harus melewati pintu gerbang yang membuka-tutup secara otomatis. Pintu gerbang tersebut dijaga dua petugas keamanan. 
"Assalamu’alaikum... From Indonesia" Ahlan wa sahlan," ujar seorang santri berwajah India, bercambang lebat, dan mengenakan gamis (baju kurung) menyambut kedatangan saya. 
Semula, saya mengira dia orang India. Tapi, ketika saya ajak berbicara bahasa Inggris, dia malah tersenyum. "Saya orang Indonesia, Mas. Ibu saya asli Blauran, Surabaya. Bapak saya yang orang India. Saya lahir dan besar di Palembang," kata pria yang memperkenalkan diri bernama Muhammad Zaki itu.
Zaki adalah murid madrasah aliyah kelas akhir (setingkat kelas 3 SMA). Dia hampir lima tahun nyantri di Ponpes Darul Uloom. Dia lantas mengenalkan saya dengan Abdurrahim, ketua pelajar Indonesia yang tinggal di Darul Uloom. Dua santri muda itu lalu mengantar saya berkeliling pondok, mulai asrama tempat tinggal para santri, masjid, hingga tempat makan. 
"Di sini, tugas santri hanya belajar. Untuk makan, sudah disediakan pengelola pondok. Begitu pula cuci pakaian, sudah ada yang mengerjakan," ungkap Abdurrahim yang menempuh pendidikan di ma"had ali (setingkat perguruan tinggi) jurusan ilmu hadits itu.
Sudah tiga tahun pemuda asal Lombok tersebut tinggal di Darul Uloom. Ketika ditanya biaya yang harus dibayar setiap santri, Abdurrahim menyebut sekitar 12 ribu rand per tahun (sekitar Rp 15 juta). "Itu sudah semua. Tapi, hampir separo yang tinggal di sini tidak membayar karena mendapat beasiswa dari lembaga-lembaga yang bekerja sama dengan pondok ini," jelas santri yang juga menjadi ketua Presidium Persatuan Pelajar Indonesia Afrika Selatan tersebut.
Saya sebenarnya sangat ingin bertemu pengasuh pesantren tersebut. Tapi, pimpinannya tidak berada di tempat. "Maaf, Al Ustad Maulana Shabber Ahmad Saloojee tidak ada di sini. Beliau sedang ke Durban," kata Zaki. 
Maulana Shabber adalah penanggung jawab untuk semua jenjang pendidikan di pesantren tersebut. Dia adalah keturunan India, namun lahir dan besar di Afsel. Pendidikan di Darul Uloom terdiri atas tiga tingkat. Yakni, tingkat tsanawiyah (setingkat SMP), aliyah (SMA), dan ma’had ali (perguruan tinggi). Sama seperti di Indonesia, untuk tsanawiyah dan aliyah, masing-masing ditempuh tiga tahun.
Untuk ma"had ali, ada beberapa jurusan. Di antaranya, dakwah, ilmu hadis, dan darul ifta. Jurusan terakhir itu khusus mempelajari seputar fatwa tentang hal-hal yang pada zaman Rasulullah tidak ada. "Misalnya, hukum rokok dan hukum Facebook," jelas Abdurrahim.
Saat ini, terdaftar sekitar 700 santri belajar di pondok tersebut. Di antara jumlah itu, sekitar 600 orang tinggal di lingkungan pondok. Mereka berasal dari 54 negara. Di antaranya, Amerika Serikat, Australia, Kenya, Turjikistan, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Mereka juga berasal dari beberapa daerah di Afsel. "Dari Asia Tenggara, yang terbanyak dari Malaysia. Ada 50-an orang. Dari Thailand sekitar 20 orang, Indonesia 30 orang, dan Vietnam 4 orang," tuturnya. 
Abdurrahim melanjutkan, dari Afsel, terdapat sekitar 200 orang kulit hitam yang tinggal di pondok tersebut. "Kebanyakan mereka adalah mualaf," ujarnya.
Untuk bahasa sehari-hari di lingkungan pondok, digunakan tiga bahasa. "Untuk bahasa pergaulan antarsantri, digunakan bahasa Inggris. Saat mengaji menggunakan bahasa Arab dan Urdu," kata Abdurrahim.
Mengapa menggunakan bahasa Urdu? "Sama seperti pondok-pondok di Jawa. Saat mengaji kitab, selain bahasa Arab, bahasa Jawa kan juga digunakan. Bahasa Jawa itu kalau di sini adalah bahasa Urdu," lanjut pria yang pernah setahun mondok di Magelang, Jawa Tengah, tersebut.
Untuk materi yang diajarkan, Ponpes Darul Uloom punya kurikulum sendiri. "Selain dasar-dasar ilmu agama mulai ilmu fikih, hadits, tajwid, bahasa Arab, serta nahwu sorof, diajarkan beberapa kegiatan ekstrakurikuler," lanjutnya. 
Di antaranya, bahasa Persia, ilmu astronomi, dan pencak silat Al-Azhar asal Indonesia. "Ada juga di sini program menghafal Alquran," katanya.
Saya sempat bertemu seorang santri asal Michigan, AS, yang sedang mengikuti program menghafal Alquran. Namanya Imtyaz, warga AS keturunan Arab yang baru setahun mondok di sana. Bocah 13 tahun itu mengaku sudah bisa menghafal empat juz. 
Jika dibanding pondok-pondok pesantren di Indonesia, Darul Uloom tergolong pondok modern. Di sana, santri tinggal di asrama yang didesain cukup nyaman. Ada 16 unit asrama yang setiap unitnya terdiri atas enam kamar. Masing-masing kamar berukuran sekitar 8 x 8 meter dan dihuni enam santri.
Setiap santri mendapat jatah satu ranjang dan satu lemari. Di setiap kamar juga disediakan satu kulkas, enam kamar mandi, enam WC, serta enam tempat wudu. Terdapat pula satu ruangan untuk dapur di setiap unit. "Saat Sabtu, biasanya santri-santri suka memasak," ungkap Zaki.
Seperti halnya di Indonesia, aturan di Pondok Darul Uloom juga ketat. Di sana tidak ada pesawat televisi. Para santri juga tidak boleh membawa HP. Kalaupun membawa, mereka harus menitipkannya kepada para ustad. Mereka hanya boleh menggunakan HP saat libur mingguan, Sabtu dan Minggu. Tapi, saat libur Sabtu, para santri tak boleh keluar dari areal pondok. 
"Biasanya libur Sabtu digunakan untuk mengikuti ekstrakurikuler dan menelepon sanak saudara para santri," kata Zaki. 
Pada libur Minggu, para santri boleh keluar dari kompleks pondok. "Biasanya ada yang main ke mal atau nonton film. Karena di Afsel sedang berlangsung Piala Dunia, hari ini (Minggu, 13/6) ada yang ramai-ramai nonton pertandingan," ujarnya. "Yang punya uang, ada yang nonton langsung ke stadion. Tapi, bagi yang tak punya uang, cukup nonton melalui televisi," imbuhnya.
Jika ada santri yang melanggar aturan pondok, hukumannya berat dan tegas. Misalnya, jika ada yang telat shalat berjamaah, terlambat mengikuti pelajaran, atau sengaja membolos, hukumannya bisa disuruh membersihkan WC, dijemur di lapangan, atau kepalanya digundul. 
Hukuman paling berat adalah dikeluarkan dari pondok. "Aturan ketat itu semata-mata ditujukan agar para santri di sini benar-benar belajar," tegas Abdurrahim yang diamini Zaki.


ZAINAL NURISKY (ALM) PUTRA MANTAB PANGAB WIRANTO MENINGGAL DI PESANTREN DARUL ULOOM ZAKARIYYA 
Di Madrasah Darul Uloom Zakariyya, Johannesburg, Afrika Selatan pernah ada yang meninggal santri yang berasal dari Indonesia, yang bernama Zainal Nurizky, putra mantan Pangab Bapak Wiranto.
Dia meninggal dalam usia 23 tahun setelah menderita sakit selama beberapa hari dan langsung dimakamkan di tempat tersebut. Banyak komentar di beberapa media online berkenaan dengan meninggalnya Zainal Nurizky tersebut. Dari mulai kenapa anak jendral kok tidak disekolahkan tetapi malah dimasukkan ke madrasah yang lulusannya “tidak” menjanjikan karier dan keduniaan.
Terus kenapa juga dia memilih pesantren di Afrika Selatan, sebuah tempat yang hampir tidak pernah dibicarakan sebagai tempat untuk studi keislaman. Bukankah di Indonesia sendiri juga banyak pesantren semacam itu? Pertanyaan lain lagi, kenapa Pak Wiranto tidak meminta jenazah anaknya untuk dipulangkan ke Indonesia, sedangkan para jasad TKI saja biasanya dipulangkan? Apakah Pak Wiranto tidak sayang pada anak lelaki satu-satunya itu ?
Untuk masalah kenapa jenazah tidak dibawa pulang, Pak Wiranto telah memberikan penjelasan secara langsung. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk dari sudut agama, kepraktisan dan lain-lainnya, beliau memutuskan bahwa jenazah Zainal Nurizky tetap dikuburkan di tempat dimana ia meninggal. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala melapangkan kubur almarhum Zainal Nurizky dan menempatkannya di tempat yang mulia, Amin.
Untuk pertanyaan yang lainnya, saya yakin almarhum Zainal Nurizky punya alasan sendiri yang cukup kuat kenapa dia sampai memilih nyantri di madrasah tersebut dan tidak pada madrasah yang lain.
Almarhum Zainal Nurizky santri Madrasah Darul Ulum Zakariyya Afrika Selatan 
Inilah jalan yang telah dipilih Zainal Nurizky dan jalan ini pula yang telah mengantarkannya menemui Rabbnya. Selamat jalan Inal, insyaallah jalanmu akan semakin lapang dan engkau akan mendapatkan kedudukan yang mulia !













Tidak ada komentar:

Posting Komentar