Pages

Selasa, 19 Juli 2016

263. MENGENAL MAULANA MUHAMMAD ZAKARIYA (9)



Foto Maulana Muhammad Zakariyya An Kandahlawi
9. PESANTREN DARUL ULOOM BURY DI INGGRIS.

Madrasah Eropa, Lilin itu Kini Menyala

Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah adalah madrasah pertama yang berdiri di negara Inggris. Terletak di sebuah puncak bukit di Holcombe Brook, Bury, Great Manchester, madrasah ini didirikan pada tahun 1973 oleh Maulana Yusuf Motala, seorang santri kesayangan Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya, penulis kitab best seller “Fadhail A’maal” yang menjadi bacaan harian orang yang ambil bagian dalam usaha dakwah dan tabligh, yang bergerak di seluruh dunia.
Tahun 1968, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Mazahirul Ulum, Saharanpur, India, maulana muda yang tidak paham bahasa Inggris ini dikirim untuk mengemban tugas yang amat berat dan tak pernah terbayangkan waktu itu, yaitu mendirikan sebuah madrasah di Inggris, sebuah model pendidikan yang sering dipandang sebelah mata karena dianggap ketinggalan jaman dan diramalkan tak akan lama bisa bertahan dari gempuran model pendidikan modern ala barat. Maulana Muhammad Zakariyya sendiri, sang guru, menyebut tugas besar ini sebagai “menyalakan lilin Islam di tanah yang gelap”.
Madrasah ini disiapkan untuk mendidik ulama dan juru dakwah Islam yang berbicara dengan bahasa dan wawasan Eropa, ulama dengan pengetahuan Islam yang mendalam yang mampu merebut hati orang-orang dengan akhlak dan cara pandang Islami, serta ulama yang mampu mengenalkan Islam yang murni dan tidak terdistorsi dengan pendekatan yang lain.
Madrasah yang dirintis Maulana Yusuf Motala itu kini telah meluluskan ribuan alim dan hafidz yang menyebar ke berbagai penjuru dunia, mereka menjadi ujung tombak berbagai aktifitas dalam dakwah dan pendidikan Islam di berbagai negara.
Madrasah itu kini berkembang menjadi madrasah model dan telah beranakpinak melahirkan banyak madrasah di Eropa dan berbagai wilayah dunia lainnya. Madrasah-madrasah tersebut tetap menjadikan Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah sebagai induk dari madrasah-madrasah (ummul madaris) yang baru tersebut.
Masjid-masjid di Eropa lainnya kini juga diimami oleh para alim dan hafidz yang menghidmatkan hampir seluruh hidupnya untuk agama. Bacaan mereka begitu fasih dan elok, penguasaan dan kedalaman agama mereka tak diragukan lagi dan insyaallah juga tidak mencari keduniaan dan ketenaran dalam aktifitas agama mereka.
Lilin kecil itu kini telah menyala dan nyalanya insya allah akan semakin terang dari hari ke hari. Wallahu a’lam
Ilmu agama yang di ambil dari Darul Ulum Deoband mempunyai keberkatan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan pengorbanan yang di lakukan oleh bekas-bekas pelajarnya, maka ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala telah dapat di sebarkan di seluruh Eropah melalui negara Inggris.
Pengajian Dauratul Hadits Darul Ulum di Eropah
Di negara Eropah seperti di Inggris ini, ada beberapa pengajian Dauratul Hadits di sana. Dauratul Hadits adalah pembelajaran hadits yang terdiri dari enam kitab hadits utama (Shahih Sittah) dan beberapa kitab hadits terpilih. Pengajian secara berulang pada setiap tahun seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa`i dan Muwatta` Imam Malik. Pengajian dengan sistem seperti ini banyak didapati di India dan Pakistan, di mana terdapat banyak sekali pusat-pusat pengajian hadits yang menjalankan sistem pengajian seperti itu.
Kitab Hadits Utama (Shahih Sittah),
diajarkan dalam kelas Dauratul Hadits


Enam (6) Kitab Hadits Terbaik

Sejak abad ke 2 Hijriah enam kitab hadits atau Kutubus Sittah telah banyak menjadi rujukan oleh para ulama seantero dunia. Kitab-kitab tersebut adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan An-Nasai, serta Sunan Ibnu Majah.
Shahih al-Bukhari 
Kitab Shahih al-Bukhari sebenarnya bernama Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-Muktasar min Umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wa sunanihi. Kitab ini dijadikan kitab nomor satu karena penuslisan sanadnya bersambung sampai baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun ada yang terputus, namun itu merupakan hadits pengulangan.
Dengan ketekunan dan kegigihan yang tinggi selama 15 tahun, Imam Bukhari berkelana dari satu negeri ke negeri lain untuk menemui para guru hadits dan meriwayatkannya dari mereka. Ia sangat prihatin dengan banyaknya kitab hadits, pada zaman itu, yang mencampuradukan antara hadits sahih, hasan, dan dhaif – tanpa membedakan hadits yang diterima sebagai hujah (maqbul) dan hadits yang ditolak sebagai hujah (mardud).
Imam Bukhari makin giat mengumpulkan, menulis, dan membukukan hadis, karena pada waktu itu hadis palsu beredar makin meluas.
Untuk mencari kebenaran Hadits beliau tak tanggung-tanggung, beliau akan mencari perawinya dimanapun ia berada. Beliau sangat ketat dalam periwayatan hadits, ‘’Hadits yang diterimanya adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’’
Tak hanya itu. Ia juga memastikan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan serta hafalannya. Tak cukup hanya itu. Imam Bukhari juga akan selalu memastikan bahwa antara murid dan guru harus benar-benar bertemu. Contohnya, apabila rangkaian sanadnya terdiri atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – sahabat – tabiin –tabi at tabiin – A –B – Bukhari, maka beliau akan menemui B secara langsung dan memastikan bahwa B menerima hadis dan bertemu dengan A secara langsung.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab hadits nomor wahid ini memuat sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Imam Bukhari menghafal sekitar 600 ribu hadits. Ia menghafal hadis itu dari 90 ribu perawi. Hadits itu dibagi dalam bab-bab yang yang terdiri dari akidah, hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan baik dan tercela, tarik, serta sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shahih Muslim 
Menurut Imam Nawawi, kitab Shahih Muslim memuat 7.275 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam Bukahri, Imam Muslim hanya menghafal sekitar 300 ribu hadits atau separuh dari yang dikuasai Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka jumlah hadits dalam kitab itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Imam Muslim meyakni, semua hadits yang tercantum dalam kitab yang disusunnya itu adalah shahih, baik dari sisi sanad maupun matan. Seperti halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun dengan sistematika fikih dengan topiknya yang sama.
Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan, menulis, dan membukukan hadits karena pada zaman itu ada upaya dari kaum zindik (kafir), para ahli kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat dengan hadits yang mereka buat-buat sendiri. Tak heran, jika saat itu umat islam sulit untuk menilai mana hadits yang benar-benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan.
Soal syarat penetapan hadits shahih, ada perbedaan antara Imam Bukhari dan Imam Muslim. Shahih Muslim tak menerapkan syarat terlalu berat. Imam Muslim berpendapat antara murid (penerima hadits) dan guru (sumber hadits) tak harus bertemu, cukup kedua-duanya hidup pada zaman yang sama.
Sunan Abi Dawud 
Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk yang diulang. Sebanyak 4.800 hadits yang tercantum dalam kitab itu adalah hadits hukum. ‘’Di antara imam yang kitabnya masuk dalam Kutub as-Sittah, Abu Dawud merupakan imam yang paling fakih,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Karenanya, Sunan Abi Dawud dikenal sebagai kitah hadits hukum, para ulama hadits dan fikih mengakui bahwa seorang mujtahid cukup merujuk pada kitab hadits itu dan Alquran. Ternyata, Abu Dawud menerima hadits itu dari dua imam hadits terdahulu yakni Imam Bukhari dan Muslim. Berbeda dengan kedua kitab yang disusun kedua gurunya itu, Sunan Abi Dawud mengandung hadits hasan dan dhaif. Kitab hadits tersebut juga banyak disyarah oleh ahli hadits sesudahnya.
Sunan At-Tirmizi 
Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’ At-Tirmizi. Karya Imam At-Tirmizi ini mengandung 3.959 hadits, terdiri dari yang shahih, hasan, dan dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim al-Jaujiyah, di dalam kitab itu tercantum sebanyak 30 hadits palsu. Namun, pendapat itu dibantah oleh ahli hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.
‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadits palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah. Menurut dia, At-Tirmizi selalu memberi komentar terhadap kualitas hadits yang dicantumkannya.
Sunan An-Nasa’i 
Kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan Al-Mujtaba. An-Nasa’i menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan Al-Kubra yang masih mencampurkan antara hadits shahih, hasan, dan dhaif. Sunan An-Nasa’i berisi 5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’i adalah hadis-hadis sahih.
Dalam kitab ini, hadits dhaif terbilang sedikit sekali. Sehingga, sebagian ulama ada yang meyakini kitab itu lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika, para ulama menjadikan kitab ini rujukan setalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Sunan Ibnu Majah 
Kitab ini berisi 4.341 hadits. Sebanyak 3.002 hadits di antaranya terdapat dalam Al-Kutan Al-Khasah dan 1.339 hadits lainnya adalah hadits yang diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para ulama tak memasukan kitab hadits ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah, karena di dalamnya masih bercampur antara hadits shahih, hasan dan dhaif. Ahli hadits pertama yang memasukan kitab ini ke dalam jajaran enam hadits utama adalah Al-Hafiz Abu Al-fadal Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat 507 Hijiriah).
Pemandangan di Darul Ulum Bury, Inggris
Sejarah penyebaran pengajian hadits bersanad seperti ini, bermula dari fikir dan risau Maulana Muhammad Ilyas dan Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi. Merekalah yang telah memikirkan nasib umat Islam di Eropah khususnya di Inggris, yang semakin mundur dari ilmu agama karena tinggal di negara orang kafir. Maulana Muhammad Ilyas (wafat 1944 M) sebelum meninggal dunia telah berjumpa dengan Haji Muhammad Patel di Mekkah, kemudian mengajak Haji Muhammad Patel untuk memulai usaha dakwah di sana, pada tahun 1944 M. Kemudian usaha Maulana Muhammad Ilyas mendapat perhatian khusus dari puteranya yaitu Maulana Muhammad Yusuf Kandahlawi yang begitu bersemangat menghantar jamaah-jamaah ke negara itu, sehingga menimbulkan kesadaran dalam kalangan masyarakat Islam di sana untuk menghantar anak-anak mereka belajar agama di India. Maulana Muhammad Yusuf risau, bagaimana Kota London berubah menjadi seperti kota Makkah dan Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian setelah tahun 1970, Maulana Muhammad Zakariyya menyarankan muridnya yaitu Maulana Muhammad Yusuf Motala, agar membuka pusat pengajian hadits di Inggris yang di namakan dengan Darul Ulum Bury, Lancashire, Barat Inggris. Masya Allah, Allahsubhanahu wa ta’ala telah menerima pengorbanan mereka, sehingga nasib umat Islam di sana terselamatkan dan bahkan berkembang pesat.
Komunitas Umat Islam di sana telah mendapat pendidikan agama yang baik, sehingga kini madrasah-madrasah disana berhasil melahirkan ratusan ulama’ dalam berbagai disiplin ilmu. Diantara ulama’ yang berhasil dilahirkan di bumi Inggris adalah Maulana Salim Dhorat, Mufti Muhammad ibn Adam al-Kawtsari, Maulana Abdul Rahim Limbada, Maulana Riyadh ul Haq, Syaikh Zahir Mahmud dan banyak lagi.
Direktur Darul Ulum Deoband,
Maulana Qari Mohammad Tayyib Qasimi ketika berada di Inggris.
Di bawah ini, beberapa madrasah yang telah berdiri di Inggris, yang turut menawarkan pengajian secara Dauratul Hadits, antara lainadalah :  
1. Darul Ulum Bury, Syaikhul Hadits Maulana Abdul Rahim Limbada
2. Darul Ulum London, Syaikhul Hadits Maulana Umar Faruk Desai
3. Darul Ulum Bolton, Syaikhul Hadits Maulana Usman Adda
4. Darul Ulum Blackburn, Syaikhul Hadits Maulana Mufti Inayatullah
5. Darul Ulum Leicester, Syaikhul Hadits Maulana Ayyub Surti
6. Darul ulum Dewsbury, Syaikhul Hadits Maulana Muslih Hudden Bardowi
7. Darul Ulum Riaz Ul, Syaikhul Hadits Maulana Salim Dhorat
8. Darul Ulum Al-Kawtsar (Academy), Syaikhul Hadits Maulana Riyadh ul Haq
9. Darul Ulum, Birmingham, Syaikhul Hadits Maulana Dr. Abdur Rahim
dan banyak lagi. Mereka telah berhasil melahirkan ulama’-ulama’ sendiri, dan sering menerima ziarah para alim ulama’ dari Indis khususnya Syaikhul Hadits dari berbagai madrasah yang terkenal seperti Muhammad Taqi Uthmani (Syaikhul Hadits Darul Ulum Karachi), Syaikhul Hadits Maulana Mufti Ahmad Said Palanpuri (Syaikhul Hadits Darul Ulum Deoband), Maulana Yunus Jaunpuri (Syzikhul Mazahirul Ulum), Maulana Ehsan Ul Haq (Madrasah Arabia Raiwind), Maulana Yunus Luniarwi (Syaikhul Hadits Darul Ulum Qasmia Arabia, Kharod, Gujarat), Maulana Fazlur Rahman Azmi (Syaikhul Hadits Darul Ulum AzaadVille), Maulana Mufti Ahmad Khanpuri (Syaikhul Hadits Darul Ulum Dhabel) dan banyak lagi.
Maulana Muhammad Yunus Jaunpuri,
Syaikhul Hadits di Madrasah Mazahirul Ulum, Saharanpur, India.
Foto di ambil ketika program Daurah Hadits,
sebagai Kepala Majlis Khatam Bukhari,
pada tahun 2013,di Inggris.
Majlis Khatam Bukhari yang di adakan di tengah lapangan di Inggris
Dan Majlis Khatam Bukhari di Darul Ulum Bury
dan Kidderminster pada tahun 2014

HADHRAT SHAIKHUL HADITs MAULANA MUHAMMAD YUSUF MOTALA

Hadhrat Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Yusuf
bin Suleman bin Cassim Motala.


Maulana Muhammad Yusuf Motala pendiri Darul
 Ulum Bury,
Dan surat pertama Maulana Muhammad Zakariyya
kepada Maulana Yusuf Motala di Inggris.
Maulana Yusuf Motala membuka madrasah di Inggris atas saran Maulana Muhammad Zakariyya
Lineage & Early Life
Hadhrat’s father’s family has resided in the village of Varethi, within the Surat district, for centuries. Though their occupation was farming, his paternal grandfather relinquished his land on a contract and adopted business as his source of income. Due to Hadhrat’s grandfather’s premature death, Hadhrat’s father was raised in his mother’s care. After reaching puberty, he started a business. His first marriage was into an honoured family from Hathuan. From that marriage, he had a son named Mohamed Ali. This wife passed away within a few years, after which he married Hadhrat’s mother, Amina bint Mohamed bin Ismail Desai. Hadhrat’s maternal family lived in a village called Kholwad on the shores of the Tapisti River. For unknown reasons, this clan moved to Nani Naroli. There, they adopted farming as their profession and source of income.
Hadhrat’s mother did not bear any children for a period of five to six years after marriage. Then, a pious man arrived in Nani Naroli, whom Hadhrat’s father requested to supplicate for children. The pious man presented Hadhrat’s mother with a ring and imparted the glad tidings of a baby boy. He wished well for the child to be characterized with qualities of knowledge and piety. After a year, the pious man returned to Nani Naroli. Shortly prior to his arrival, Hadhrat’s brother, Hadhrat Shaikhul Hadith Maulana Abdur Rahim bin Suleman bin Cassim Motala, had been born. For a second time, the pious man presented Hadhrat’s mother with a ring and imparted the glad tidings of another child.
After having married Hadhrat’s mother, the effect of her religiousness started to overcome Hadhrat’s father. Eventually, his oath of allegiance (bay’at) was accepted at the hands of Maulana Abdul Gafoor Bangali, as a result of which he commenced dhikr. As soon as Hadhrat’s father commenced dhikr, the effects of it steadily began to influence his health to such an extent that it started to have a reclusive effect on his state of affairs. In this condition, he said to Hadhrat’s mother, “I intend to forsake the world. You must return to your house”. The elders and influential men of Hadhrat’s family attempted to dissuade him in every possible manner, but to no avail. Eventually, he was forced to sign divorce papers in case his condition reached insanity. The iddah was until the day Hadhrat was born. Hadhrat was born at his maternal grandfather’s house in Nani Naroli on the night of Monday, November 26, 1946.
In 1953, Hadhrat’s maternal aunt passed away in South Africa during the childbirth of a son, Shabir. Her husband was left a widower with eleven children. So, Hadhrat’s grandfather sent Hadhrat’s mother to South Africa to marry her brother-in-law and raise his children. Though she did not wish to abandon her sons, she agreed and reluctantly departed for South Africa. From then on, seven-year-old Hadhrat and his nine-year-old brother were raised by their grandparents. However, within a few years, they passed away. Thus, Hadhrat and his brother were raised by their maternal aunt, affectionately called Chotikala.
Education
Hadhrat’s primary Islamic education of Qur’an Sharif and Urdu was completed at Madressa-e-Targib in Nani Naroli. In 1961, Hadhrat enrolled at Jamea Hussainia a well-known madrasa in Rander. There, he studied from the first year of Persian until the first year of Hidaaya. Thereafter, in 966, Hadhrat enrolled at Mazahirul Ulum in Saharanpur. His classes commenced on February 23, 1966. He studied Mishkaat ul Masabeeh under Shaikhul Hadith Maulana Yunus, Tafsir ul Jalalayn under Maulana Muhammad Aqil, Volume 3 of Hidaaya under Mufti Yahya, and Mishkaat ul Masabeeh for a second time under Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA).
In the following year, Hadhrat studied Sahih ul Bukhari under Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA), Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasa’i, Mu’atta Imam Malik and Mu’atta Imam Muhammad under Maulana Yunus Jaunpuri, Sahih Muslim and Sunan At Timrmidhi under Maulana Muzaffar Hussain, and Surah Maiani Al Athar under Hadhrat Maulana Asadullah. At around this time, Hadhrat wrote a letter to Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA) requesting the acceptance of bay’at. He replied, accepted Hadhrat’s bay’at, and entered Hadhrat into his silsilah. After this, along with his studies, Hadhrat commenced a consistent routine of the recitation of Qur’aan Sharif and performance of Tahajjud, Ishraaq, Chaasht and Awwaabeen Salaah.
Marriage, Khilafat, and the Birth of His First Child
In 1968, after completing his final year, Hadhrat’s relatives engaged him to a close friend of the family in England. His trip to England was booked for after Ramadan. In Ramadan of 1968, Hadhrat was appointed to lead the five daily salaahs and Taraweh Salaah. Two paras were to be recited in each Taraweeh Salaah. However, after three or four days, Hadhrat became ill and was sent home to Surat. Approximately four months later, in early June, Hadhrat travelled to England. His marriage was conducted within five or six weeks.
On April 23 1969, along with four friends, Hadhrat departed from England to performUmra. There, he had the opportunity to spend six to seven months in the company of his Shaikh. Hadhrat passed the Ramadan of 1969 with his Shaikh in Makkah and Madina. One night, whilst in I’tikaaf, after the performance of Taraweeh Salaah, Hadhrat’s Shaikh called Hadhrat and Maulana Ismail Badat into his tent and granted them permission to accept Khilafat, wrapping turbans on their heads with his own hands. At the end of the month of Ramadan, Hadhrat was sent back to England.
However, Hadhrat had the opportunity to spend Ramadan of 1970 in Saharanpur. On the 30th of Ramadan, by means of a telegram, Hadhrat received glad tidings of the birth of his first child, a girl. Hadhrat’s Shaikh immediately sent a telegram: “May the name ‘Khadija’ be blessed. The birth of a daughter is an indication of resemblance to the exalted Prophet Muhammad (SAWS).”
His WorkUpon the instructions of his Shaikh, Hadhrat established Dar ul Ulum Al Arabia Al Ilamia in Holcombe, Bury, Lancashire, in 1973. At present, he is the founder and patron of numerous Islamic institutes throughout the world and spiritual guide to thousands of Muslims all over the world.
His students, who number thousands, are spread across the globe, occupied in the service of deen in varying capacities. More than 75% of English-speaking Ulama in the UK are graduates of institutes founded by Hadhrat, many of whom are actively engaged in reinforcing community relation.
Hadhrat is a dedicated educationist and has devoted much of his life to establishing schools and colleges for the betterment of the Muslim community. His work has been praised by both the community as a whole as well as OFSTED.

Institutions Established by Shaikh in the UK]

·         Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah, Bury (Boys)
·         Madinatul Uloom Al Islamiya, Kidderminster (Boys)
·         Jami'atul Imam Muhammad Zakariyya, Bradford (Girls)
·         Madrasa Misbah al-Uloom, Bradford
·         Markaz ul-Uloom, Blackburn (Boys and girls)
·         Madrasa al-Imam Muhammad Zakariyya, Bolton
·         Madrasa al-Imam Muhammad Zakariyya, Preston
·         [Azhar Academy] London, United Kingdom


·         Al Markazul Ilmi, Dewsbury, (Girls)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar