Pages

Rabu, 04 Mei 2016

247. MENGIKUT SALAH SATU MADZHAB ARBA’AH BUKAN BERARTI MENINGGALKAN MANHAJ SALAF

Biografi Tokoh 4 Imam Mazhab ~ Jarang Beli
Imam Ahmad rahmatullah ‘alaih berkata : “Jangan sekali-kali engkau berfatwa pada suatu masalah yang tiadalah engkau padanya seorang Imam,
jika ada suatu masalah engkau tidak menemukan perkataan seseorang ulama salaf,
maka berfatwalah engkau padanya dengan perkataan Imam Syafi’i.”

MUQADDIMAH
Dengan nama Allah. Segala puji hanya milik Allah, dan Shalawat dan Salam tercurah atas Rasulullah dan atas keluarganya dan para shahabatnya. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya bagi kita semua untuk sesuatu yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya.
Dan sesudah itu:
Apabila kita memahami hakikat permasalahan maka tiada seorang dari Imam yang Empat itu yang keluar dari pada Madzhab Salaf, sama sekali tidak, karena mereka berpegang pada satu prinsip; “Bahwa Sungguh Suatu Perkara Yang Telah Disepakati (Ijmak/Konsensus) Atasnya Oleh Para Orang Dahulu Yakni Para Shahabat Dan Tabi’in Itu Tidak Boleh Tidak Dari Pada Mengambilnya”.
Namun bilamana suatu perkara telah berselisih padanya oleh shahabat dan oleh tabi’in maka Imam Madzhab yang Empat tersebut memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya menurut pemahaman mereka. Dan dalam hal ini tiap-tiap mereka pada yang demikian itu ada aturan-aturan yang umum.
1. IMAM HANAFI rahimahullah (80 – 150 H.) :
Bilamana dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka pada kebanyakan masalah Imam Hanafi memilih perkataan dua orang shahabat, yang pertama dan utama adalah perkataan Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan yang kedua adalah perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
Kenapa Imam Hanafi memilih perkataan Sayyidina ‘Ali?
Karena Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menempati kedudukan yang tinggi pada masalah ilmu, bahkan sangat banyak keutamaan Beliau pada ilmu. Hal ini dibuktikan dengan pujian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ilmu.
Kenapa Imam Hanafi memilih perkataan Ibnu Mas’ud?
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memuji Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dengan sabda Beliau: “Dan apapun yang dikatakan kepada kalian oleh Ibnu Ummi ‘Abdi yakni Ibnu Mas’ud maka benarkanlah perkataannya.
Kenapa Imam Hanafi memilih perkataan Sayyidina ‘Ali dan Ibnu Mas’ud?
Karena keduanya adalah dua orang shahabat yang telah mengembangkan ilmu di negeri Iraq, dan keduanya telah memberi faham ahli ilmu Iraq pada masalah agama di sana beberapa tahun lamanya. Dari fakta ini maka sandaran kedua orang shahabat tersebut kepada Imam Hanafi itu lebih dekat.
2. IMAM MALIKI rahimahullah (93 – 179 H):
Bilamana dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka pada kebanyakan masalah Imam Malik memilih perkataan dua orang shahabat, yang pertama dan utama adalah perkataan Sayyidina ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan yang kedua adalah perkataan Ibnu ‘Umar yakni ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Kenapa Imam Malik memilih perkataan Sayyidina ‘Umar?
Karena ‘Umar radhiyallahu ‘anhu selalu bermusyawarah”. Hal demikian menunjukan bahwa fatwa-fatwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu adalah fatwa-fatwa yang sudah disepakati oleh kumpulan para Shahabat.
Kenapa Imam Malik memilih perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar?
Karena ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berfatwa diantara kalangan shahabat selama 40 tahun. Hal demikian menunjukkan bahwa sungguh para shahabat mengetahui fatwa-fatwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, maka tiada dari para shahabat Nabi yang mengingkarinya. Adapun perselisihan shahabat dengan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang terjadi kemudian itu bukanlah ia suatu keingkaran tetapi perbedaan hasil ijtihad seorang mujtahid.
Bilamana dikalangan tabi’in terjadi khilaf pendapat maka Imam Malik memilih perkataan Sa’id bin Musayyab rahimahullah.
Kenapa Imam Malik memilih perkataan Sa’id bin Musayyab?
Karena Sa’id rahimahullah adalah pembesar Tabi’in yang mengambil ilmu dari pembesar Shahabat yakni Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lagi pula Sa’id bin Musayyab rahimahullah pernah berfatwa pada masa shahabat masih hidup. Inilah kepercayaan besar Imam Malik kepada fatwa Sa’id bin Musayyab rahimahullah.
3. IMAM SYAFI’I rahimahullah (150 – 204 H) :
Bilamana dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka Imam Syafi’i tidak memberatkan pada memilih seseorang shahabat, karena semua shahabat Nabi adalah bintang. Dan bintang mana saja yang diikuti maka orang itu berada dalam petunjuk. Namun dari sejumlah perkataan shahabat dan tabi’in beliau menguatkan perkataan yang lebih dekat kepada dalil yang khusus dari yang Beliau riwayatkan dari Tabi’in dari Shahabat pada segala masalah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Imam Syafi’i tetap konsekwen dan tidak keluar dari perkataan shahabat.
4. IMAM HANBALI rahimahullah (164 – 241 H)
Bilamana dikalangan shahabat sudah terjadi khilaf pendapat maka Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti konsep gurunya yakni Imam Syafi’i dalam hal tidak memberatkan pada memilih seseorang shahabat. Namun bedanya adalah Imam Ahmad berfatwa dengan perkataan siapapun dari perkataan shahabat yang sehingga dalam satu-satu masalah terdapat beberapa pendapat Imam Ahmad. Banyaknya perkataan ini tentu tidak lepas dari banyaknya perkataan dikalangan shahabat.
Kenapa Imam Ahmad memilih perkataan Shahabat?
Karena semangat besar Imam Hanbali bahwa Beliau tidak ingin mengeluarkan manusia pada segala masalah yang dihadapi pada zamannya dari perkataan salaf. Dan adalah Imam Ahmad sangat membenci bila seseorang berfatwa dengan sesuatu yang tidak datang dari Imam-Imam terdahulu. Sehingga kepada orang-orang yang bermusyawarah dengan beliau tentang bagaimana mereka berfatwa, maka Imam Ahmad berkata: “Jangan sekali-kali engkau berfatwa pada suatu masalah yang tiadalah engkau padanya seorang Imam, apabila pada suatu masalah engkau tidak menemukan perkataan seseorang dari ulama salaf maka berfatwalah engkau padanya dengan perkataan Imam Syafi’i.”
IJTIHAD IMAM YANG EMPAT
Kemudian, apabila mereka tidak mendapat suatu pendapat dari pendahulu mereka yakni dari para shahabat dan tabi’in niscaya mereka berijtihad menurut sekira-kira kaedah ijtihad disisi mareka. Ijtihad ini tentu suatu hal yang mesti dilakukan apabila tidak didapatkan pendapat salaf. Ijtihad juga merupakan suatu jalan yang sudah mendapat legitimasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengirim Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman.
IMAM YANG EMPAT TERMASUK ULAMA SALAF
Dan bila kita masih ingin memahami maka kita pun menyadari bahwa ternyata semua imam yang empat tersebut adalah mereka dari jumlah ulama salaf.
Imam Abu Hanifah yang lahir pada tahun 80 Hijriah diriwayatkan bahwa Beliau sempat berjumpa dengan sebagian shahabat Rasulullah. Hal itu bermakna bahwa Imam Abu Hanifah tergolong dalam tabi’in. Dan apabila Beliau bukan tabi’in maka Beliau adalah bagian dari sebesar-besar murid tabi’in.
Imam Malik yang dilahirkan pada tahun 93 Hijriah adalah bagian dari sebesar-besar murid tabi’in pula. Imam Syafi’i bagian dari sekecil-kecil murid tabi’in, dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah bagian dari generasi sesudahnya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i adalah ahli kurun yang tiga dari segala kurun yang diutamakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda Beliau: Sebaik-baik kalian adalah kurunku, kemudian sesudah kalian, kemudian sesudah mereka. Dan pada satu riwayat ada empat kurun, maka Imam Ahmad termasuk dalam kurun yang keempat.
Jadi, seakan-akan seseorang Imam yang empat tersebut dilahirkan untuk suatu kurun dari empat kurun yang diutamakan dan dikatakan baik oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bila mana Imam-Imam yang empat adalah bagian dari ulama salaf, yang lahir, hidup dan wafat pada empat kurun yang utama maka mengikut madzhab mereka berarti mengikuti manhaj salaf. Dan juga mengikuti madzhab mereka juga berarti mengikuti manhaj shahabat karena mereka tidak keluar dari perkataan shahabat kecuali pada perkataan-perkataan yang tidak dikatakan oleh shahabat.
Perbedaan pendapat antara Imam-Imam yang empat yang hari ini tidak dimengerti oleh sebagian kalangan umat Islam terutama mereka yang anti madzhab itu sebenarnya didasari atas perbedaan diantara guru-guru mereka yang terdiri dari shahabat dan tabi’in.
Akhirnya kami mengajak semua umat Islam mari kita kembali kepada madzhab yang empat karena madzhab yang empat sesungguhnya adalah madzhab salaf. Jangan tertipu dengan seruan yang menyeru “kembali kepada manhaj salaf” jika seruan itu mengarah kepada ada mata rantai dan sanad ilmu yang putus dan hilang. Kebenaran itu datangnya dari Allah, maka janganlah kalian menjadi orang yang ragu.
Dan Allah yang maha tinggi yang lebih mengetahui. Segala puji bagi Allah pemilik semesta alam.
Boleh juga dibaca artikel dibawah ini untuk menambah kefahaman, insya Allah.
SECUIL DALIL PEUSIJUK
MUQADDIMAH
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وأصحابه وأتباعه ومن والاه، أما بعد،
Risalah kecil ini ditulis atas permintaan beberapa ikhwan dan rekan untuk pegangan dalam suatu amalan yang dilakukan. Untuk sekedar mudah mengingatkan maka kepada risalah ini diberikan nama: “Secuil Dalil Tentang Peusijuk (Tepung Tawar)”.
Semoga risalah ini ada manfaatnya bagi masyarakat Islam semua. Dan semoga disampaikan pahalanya kepada penulis, kepada orang tua penulis, semua guru-guru penulis, semua rekan, shahabat dan ikhwan dan seluruh kaum muslimin dan muslimat semuanya. Amin.
DALIL YANG MEMBOLEHKAN PEUSIJUK (TEPUNG TAWAR)
Peusijuk (tepung tawar) merupakan satu perbuatan yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama Islam sejak masa lampau. Namun belakangan ini perbuatan tersebut terusik oleh ide-ide dan pemikiran sebagian kelompok Islam yang menganggap diri mereka pendiri sunnah dan seakan sangat mengerti dengan dalil-dalil agama, sehingga suatu amalan yang menurut mereka tidak ada dalilnya itu langsung dianggap bid’ah, dianggap kufur, kurafat dan syirik. Mereka tidak perduli walaupun perbuatan tersebut sudah dilakukan berabad-abad lamanya dan pelakunya adalah ulama-ulama umat ini. Bahkan, jika ada sebagian orang awam berdalil dengan perbuatan ulama-ulama terdahulu maka mereka menvonis bahwa orang awam tersebut telah mengambil agama dari jalur yang salah yaitu dari ulama-ulama, bukan Salafuna Shalih radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan bukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Peusijuk bukanlah perkara yang sangat penting dilakukan lalu dijadikan pembahasan, namun mereka benar-benar kurang pekerjaan selalu mengusik dan bertanya tentang amalan yang sudah menjadi adat dalam masyarakat yang tidak menyalahi dengan hukum Islam. Dimana saja mereka melihat peusijuk, maka selalu dilihatnya dengan pandangan sinis dan sadis karena menurut mereka bahwa dengan melakukan itu maka pelakunya adalah penghuni neraka. Lalu mereka sibuk bertanya tentang dalilnya.
Wahai kaum muslimin semua dan kaum yang melaksanakan peusijuk pada khususnya.
Ketahuilah bahwa jika mereka bertanya-tanya tentang dalil peusijuk itu cukup menjadi bukti bagi kita bahwa mereka bukan orang-orang yang mengerti dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi menguasainya dan mendirikannya.
Jika mereka paham dengan sunnah maka kenapa mereka bertanya dalil peusijuk? Apa mereka tidak baca dalam kitab-kitab hadits tentang hukum dasar peusijuk.
Berikut ini kami nukilkan dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan peusijuk terhadap Sayyidatina Fathimah radhiyallahu ‘anha dan Sayyidina ‘Ali radhiyallahu ‘anhu sa’at keduanya menikah, yaitu:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بن حَمَّادٍ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بن يَعْلَى الأَسْلَمِيُّ، عَنْ سَعِيدِ بن أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَنَسِ بن مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ، أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ: مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، فَقَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ، فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي، وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي، يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ، فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ، وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي، فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ، فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ. (المعجم الكبير: للإمام الطبراني)
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami oleh Muhammad bin ‘Abdullah al-Khazramiy, telah mengabarkan kepada kami oleh al-Hasan bin Hammad al-Khazramiy, telah mengabarkan kepada kami oleh Yahya bin Ya’la al-Aslamiy, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Qatadah dari al-Hasan dari Anas bin Malik berkata ia: Telah datang Abubakar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka duduk ia dihadapan Nabi, lalu berkata: Ya Rasulallah! Sungguh engkau mengetahui akan menasehatiku dan kakiku dalam Islam, dan bahwa sungguh aku, dan bahwa sungguh aku, (disini Abubakar tergagap-pent). Dan Rasulullah bertanya: dan apa itu? Maka Abubakar menjawab: Kawinkah aku dengan Fathimah. Maka Rasulullah diam atau berpaling dari Abubakar. Maka kembalilah Abubakar kepada ‘Umar, lalu berkata: Celakalah aku, dan Celakalah engkau. ‘Umar berkata: apa itu?. Abubakar menjawab: aku meminang Fathimah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berpaling daripadaku. Maka ‘Umar berkata: tetap engkau disini sehingga aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku meminta seumpama permintaan engkau. maka datanglah ‘Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka duduk ia dihadapan Nabi, lalu berkata:  Ya Rasulallah! Sungguh engkau mengetahui akan menasehatiku dan kakiku dalam Islam, dan bahwa sungguh aku, dan bahwa sungguh aku, (disini ‘Umar tergagap-pent). Dan Rasulullah bertanya: dan apa itu? Maka ‘Umar menjawab: Kawinkah aku dengan Fathimah. Maka Rasulullah berpaling dari ‘Umar. Maka kembalilah ‘Umar kepada Abubakar, lalu ‘Umar berkata: sesungguhnya Rasulullah itu menunggu perintah Allah pada urusan Fathimah. Berangkat kami kepada ‘Ali sehingga kami perintah ‘Ali untuk meminta apa yang sudah kami minta. Berkata ‘Ali: maka keduanya datang kepadaku sedang aku berada di jalan. Maka keduanya berkata: anak (cucu) perempuan paman engkau itu engkau pinang. Maka keduanya memperhatikan aku satu pekerjaan. Maka aku berdiri sambil menarik ridakku, satu ujung diatas leherku dan satunya lagi pada bumi, sehingga aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku duduk dihadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Maka aku berkata: Ya Rasulallah! Sungguh engkau mengetahui akan kakiku dalam Islam dan menasehatiku, dan bahwa sungguh aku, dan bahwa sungguh aku, (disini ‘Ali pun tergagap-pent). Dan Rasulullah bertanya: dan apa itu wahai ‘Ali? Maka aku (‘Ali) menjawab: Kawinkah aku dengan Fathimah. Maka Rasulullah berkata: dan apa yang ada bersamamu (sebagai mahar-pent)? Aku berkata: Kudaku dan baju besiku. Rasulullah berkata: adapun kuda engkau maka tidak boleh tidak bagi engkau daripadanya. Dan adapun baju besi engkau maka jual olehmu baju tersebut. Maka aku jual baju tersebut dengan 480 (dirham-pent). Maka aku membawanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka aku meletakkannya dalam pangkuan beliau, maka beliau menerimanya, lalu berkata: wahai Bilal! Beritahu olehmu kepada Fathimah secara baik, dan perintah olehmu akan mereka supaya mereka mempersiapkan Fathimah. Maka Bilal membuat untuk Fathimah ranjang yang dijalin dengan pita, bantal dari sepotong kulit yang diisi didalamnya dengan sabut (jerami atau rumput kering), menimbuni kamar dengan pasir. Dan Rasulullah berkata, apabila Fathimah datang kepada engkau maka jangan engkau ucap apapun kepadanya sehingga aku datang akan engkau. Maka datanglah Fathimah bersama Ummu Ayman, maka duduklah ia pada sisi kamar, dan aku pada sisi yang lain. Maka datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: Disini saudaraku. Maka berkata Ummu Ayman: saudara engkau (yakni ‘Ali) sungguh engkau kawinkan akannya dengan putri engkau (yakni Fathimah). Maka masuklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berkata kepada Fathimah: Bawalah olehmu kepadaku akan air! Maka Fathimah pun berdiri menuju kepada gelas besar didalam kamar, maka menuangkan kedalamnya akan air, maka dibawanya air tersebut kepada Rasulullah maka  Rasulullah meludahi dalam air tersebut, kemudian berkata kepada Fathimah: Luruslah kamu, maka memercikkan ia akan air diantara dua dada Fathimah dan atas kepada Fathimah, kemudian berkata: Ya Allah sesungguhnya aku memohon dengan Engkau perlindungan untuk Fathimah dan juga untuk keturunannya daripada syaithan yang terkutuk. Kemudian Rasulullah berkata kepada Fathimah, berbaliklah engkau (yakni membelakangi Rasul), maka Fathimah pun berbalik, maka Rasulullah memercikkan air diantara dua bahunya, kemudian berkata: Ya Allah sesungguhnya aku memohon dengan Engkau perlindungan untuk Fathimah dan juga untuk keturunannya daripada syaithan yang terkutuk. Kemudian Rasulullah berkata (kepada ‘Ali); bawakan air kepadaku!, maka aku melakukan apa yang dikehendaki oleh beliau, maka aku penuhkan gelas dengan air maka aku bawa kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengambil air itu dengan mulutnya, kemudian meludah kembali air tersebeut kedalam gelas, kemudian menuangkan ia diatas kepalaku (kepada ‘Ali), dan diantara dua dadaku, kemudian beliau berkata: Ya Allah sesungguhnya aku memohon dengan Engkau perlindungan untuk “Ali dan juga untuk keturunannya daripada syaithan yang terkutuk. Kemudian ia berkata: masuklah engkau wahai ‘Ali kepada keluargamu (yakni Fathimah) dengan Nama Allah dan Berkat. (lihat kitab al-Mu’jam Kabir karangan Imam Thabraniy).
Setelah dalil diatas mereka bacakan maka mereka masih tetap tidak percaya dan ujung-ujungnya mereka katakan itu hadits dha’if atau bahkan maudhu’ yakni palsu. Dan jika hadits tersebut mereka anggap shahih maka amalan peusijuk yang dilakukan hari menurut mereka tetap tidak ada dalilnya karena peusijuk yang dilakukan hari ini bukan seperti peusijuk yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits.
Diantara perbuatan yang tidak mereka terima dalam peusijuk adalah: memakai Daun Sedingin, Rumput “Seumbo”, Daun Pandan, Batang Talas, Tunas Pinang, Bunga, Inai, Emas, Beras & Padi, Garam, Gula, Minyak Wangi, Kunyit, Limau Purut, Kemenyan, Kapas, Tepung Tawar / Bedak, Air, Kaki Ayam, Hati Ayam dan sebagainya.
Kenapa mereka tidak menerima peusijuk semacam ini? Karena pemahaman mereka terhadap nash secara tekstual. Mereka tidak membolehkan tafaul karena mereka tidak mengerti apa itu tafaul.
Jika mereka mengerti tafaul maka mereka akan berkata:
1. Daun Sedingin: bersifat dingin dan aman ketika dimanfaatkan.
2. Rumput Seumbo: bisa tumbuh ditanah yang keras dan tetap tegar dalam segala masalah.
3. Daun Pandan: kehadirannya menyedapkan dan mendatangkan kewangian bagi yang lain.
4. Batang Talas: cepat berkembang dan batangnya selalu bermanfaat.
5. Tunas Pinang: kuat dan lurus bermanfaat.
6. Bunga: selalu wangi dan sangat disenangi.
7. Inai: kuat manfaat dari segi apapun.
8. Emas: barang yang dituju sesuatu yang sangat berharga.
9. Beras & Padi: makanan pokok yang berkembang banyak dan selalu dimanfaatkan.
10. Garam: sesuatu yang menyedapkan semua makanan dan memuaskan.
11. Gula: barang yang dituju agar mendapat kesenangan.
12. Minyak Wangi: selalu diagungkan.
13. Kunyit: cepat berkembang serta makmur.
14. Limau Purut: membawa kebahagiaan.
15. Kemenyan: disukai Malaikat pembawa rahmat.
16. Kapas: beban yang berat jadi ringan.
17. Tepung Tawar/Bedak: semoga dihias dengan kebahagiaan.
18. Air: semoga selalu dalam hak Allah.
19. Kaki Ayam: giat mencari rizki yang halal.
20. Hati Ayam: agar terbolak-balik hati.
Mereka juga tidak menerima ini juga karena mereka tidak membedakan Islam yang bersifat ajaran dan Islam yang bersifat Kultural.
Contohnya adalah bersedekah. Bersedekah adalah perintah Rasul, dan ini dinamakan ajaran. Tetapi apa dan bagaimana serta dalam bentuk apa kita bersedekah itu bergantung kepada kultur dan budaya setempat, maka ini dinamakan kultural.
Begitulah dengan peusijuk. Peusijuk itu ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hadits diatas, dan ini dinamakan ajaran. Tetapi bagaimana cara peusijuk untuk daerah kita maka itu kembali kepada kultural. Namun hal itu tentu dengan menjaga agar tidak memasukkan kedalamnya akan hal-hal yang dilarang.
Jika mereka katakan bahwa peusijuk itu berasal dari agama Hindu maka kepada mereka kita katakan:
1. Sebelum Islam masuk ke Nusantara, maka orang di Nusantara adalah orang Hindu, agamanya Hindu, bangsanya Hindu, budayanya Hindu dan orang-orangnya pun Hindu. Maka ketika orang yang tadinya Hindu itu di-Islamkan oleh para pembawa Islam maka seluruh atribut Hindu pun di-Islamkan sampai kepada budayanya pun di-Islamkan. Maka acara peusijuk yang dilakukan Hindu yang memanggil-manggil dewa maka diganti dengan doa dan kepada Tuhan. Makanan yang menurut Hindu dibuat sebagai persembahan, maka diganti bahwa makanan itu tetap untuk dimakan sebagai keberkatan. Jika mereka tanyakan darimana sumber peusijuk yang dibawa oleh pembawa Islam itu? maka tanyakan kepada mereka darimana sumber Islam yang dibawa oleh pembawa Islam.
2. Jangan terpengaruh dengan cerita-cerita agama lain yang mengatakan bahwa agama mereka adalah agama tertua didunia. Jika pengaruh ini telah merasuk kita maka akan sangat banyak ajaran agama ini harus kita tinggalkan karena kita anggap berasal dari mereka. Ada seorang yang beragama Hindu yang kemudian masuk Islam ditangan saya. Setelah masuk Islam dia bercerita bahwa “Batu Hitam (Hajar Aswad) itu menurut dia adalah Dewa Siwa sembahan Hindu, dan batu itu berasal dari India.” Nah.. coba bayangkan jika saya tidak mengerti asal usul Hajar Aswad, maka mungkin saya sudah berkata “celakalah orang Islam mengagungkan batu sembahan Hindu”. Tetapi itu tentu tidak saya lakukan dan kepada muallaf itu saya katakan bahwa batu itu berasal dari syurga, kami memuliakan batu itu tetapi bukan menyembahnya.
Demikianlah yang kami sampaikan yang sungguh masih sangat jauh dari harapan tetapi mudah-mudahan berguna bagi mereka yang mencari jalan kebenaran.
سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Sampaikan Tulisan Ini Kepada Kawan Dan Lawan Untuk Mewujudkan Kebenaran
Oleh Tgk. Kasman ‘Arifa Abdya.

Penulis adalah Guru Dayah Darul Khairat &  Imam Meunasah Kota Bireuen. Bireuen, 12 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar