Pages

Selasa, 17 Juli 2012

29. PENENTUAN HARI RAYA DAN AWAL PUASA (3)



Penentuan Hari Raya
(dan Awal Puasa)
Analisa Pandangan :
Bila Terjadi Perbedaan Pendapat Umat Islam Seharusnya Taat Pada Putusan Pemerintah
(Ulil Amri)
Oleh : Dr. H.M. Nasim Fauzi
I. Pendahuluan:

Penentuan hari raya Idul Fitri di Indonesia tahun ini sangat berkesan bagi penulis. Karena di TV, koran dan di internet penuh dengan berita pendapat para ahli tentang perbedaan system yang dipakai yaitu Rukyat dan Hisab. Perbedaan ini berakibat terjadinya perbedaan hari raya tahun ini yaitu Muhammadiyah berhari raya pada tanggal 30 Agustus 2011 sedang Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 2011.
Kemudian hari Minggu tanggal 29 Agustus 2011 di TV ditayangkan sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama yang mengundang seluruh organisasi Islam termasuk Muhammadiyah dan Badan yang terkait di antaranya adalah dari LAPAN (Lembaga Antarikasa dan Penerbangan Nasional) yang diketuai Dr. Thomas Djamaludin, untuk di mintai pendapatnya tentang penentuan awal bulan Syawal / hari raya tahun 1432 H.
Pada sidang itu terlihat bahwa dasar yang dipakai dalam penentuan hari Raya masing-masing organisasi Islam tidak sama.
Berikut penulis kutip hasil Sidang Isbath tersebut yang diunduh dari VOA-Islam.

Keputusan diambil setelah Menteri Agama Suryadharma Ali yang memimpin sidang mendengarkan 12 pandangan ormas Islam yang hadir dalam sidang yang digelar di Kementerian Agama, Jl Lapangan Banteng, Senin (29/8/2011).
"Bahwa 1 Syawal jatuh pada Rabu 31 Agustus 2011. Bisa disetujui?" tanya Suryadharma.
"Setuju," sambut mayoritas peserta sidang sembari bertepuk tangan. Suryadharma pun mengetuk palu tanda disetujuinya keputusan.
Suryadharma sebelumnya mempertimbangkan 4 intisari masukan 12 ormas yang telah disampaikan kepadanya. Intisari itu antara lain:
Pertama, meminta agar kriteria disatukan, dan agar Kemenag lebih kuat lagi untuk memusyawarahkan kriteria penentuan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah.
Kedua, perbedaan penentuan Romadon, Syawal dan Dzulhijjah masih berpeluang terjadi. Namun sebaiknya pengumuman dilakukan pada saat yang sama.
Ketiga, kesimpulan lain yang menjurus untuk diambil keputusan. Pemberi saran, laporan dari berbagai titik yang melakukan rukyah, dan memperhatikan fatwa dan pandangan majelis ulama menyetujui secara mayoritas, bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.
Keempat, dari Muhammadiyah yang menghargai dan menghormati pandangan Lebaran jatuh pada Rabu 31 Agustus. Namun, Muhammadiyah meminta izin untuk melaksanakan Lebaran esok harinya, Selasa 30 Agustus 2011 dengan catatan saling menghormati perbedaan sehingga persatuan dan kesatuan umat dan bangsa tetap utuh.
Dengan demikian dari ormas-ormas yang hadir hanya Muhammadiyah yang menyatakan 1 Syawal jatuh pada Selasa 30 Agustus 2011. [taz/ant, dtk]
II. Permasalahan
Seluruh hadirin dalam sidang isbath itu tidak mengetahui atau tidak menyampaikan dalam sidang bahwa dalam hukum Islam terdapat ketentuan bahwa :
Bila terjadi perbedaan pendapat, Umat Islam seharusnya taat pada putusan pemerintah sebagai Ulil Amri.
III Uraian
Tulisan tentang pendapat ini penulis peroleh dari 3 sumber.

A. Tanya jawab soal agama oleh Dr. Quraisy Shihab di Internet.
B. Majalah As-Sunnah Surakarta yang memuat pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah tentang Al-Jama’ah.
C. Tafsir tentang Ulil Amri di kitab-kitab tafsir Al Qur-an.
A. Tanya jawab soal agama oleh Dr. Quraisy Shihab di Internet, khususnya pendapat kedua.
Sewaktu menjawab pertanyaan tentang penentuan awal Romadon dan Hari Raya, Dr. Quraisy Shihab menjawab bahwa ada 2 pendapat yang bila dipakai bisa menyatukan pendapat umat Islam yaitu :

1. Kelompok ulama di bawah koordinasi Organisasi Konferensi-Konferensi Islam menetapkan, bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang terpercaya, maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh ummat Islam, selama ketika melihatnya, penduduk yang berada di wilayah yang disampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu, masih dalam keadaan malam. Jika selisih waktu antara satu kawasan dengan kawasan lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu kawasan dan siang di kawasan lain, maka dalam keadaan seperti itu puasa telah wajib bagi semua. Selisih waktu antara Jakarta dengan Saudia Arabia atau Mesir, tidak lebih dari empat atau lima jam.
2. Salah satu rumus yang dikemukakan oleh pakar-pakar hukum Islam adalah: “Ketetapan pemerintah, menyingkirkan perbedaan,” dalam arti jika dalam masyarakat terdapat perbedaan pendapat, maka adalah wajar jika pemerintah menetapkan putusan, dan putusan tersebut mestinya diikuti oleh seluruh masyarakat, kendati ada yang tidak sependapat.
Komentar Penulis.
Penulis tidak setuju dengan pendapat OKI bahwa di seluruh Dunia Islam hanya ada satu Hari Raya. Karena bila umat Islam yang ada di sebelah timur misalnya Indonesia, belum melihat hilal, maka seluruh umat Islam harus bergadang pada malam itu untuk mengamati negara-negara yang ada di sebelah baratnya misalnya Arab Saudi apakah di sana hilal sudah terlihat, maka besok paginya adalah Hari Raya. Ini adalah suatu problem komunikasi yang sangat besar. Bila tidak ditangani dengan baik bisa terjadi perbedaan pendapat di masyarakat Islam.
Penulis sangat setuju pada pendapat ke dua yaitu : “Ketetapan pemerintah, menyingkirkan perbedaan”,yang akan diuraikan berikut.

B. Majalah As-Sunnah Surakarta yang memuat pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah tentang Al-Jama’ah.
Bila hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, sebagai berikut:

Pendapat Pertama. Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim di negeri lain (di seluruh dunia, sesuai dengan pendapat OKI, pen.) untuk berpuasa.
Hadits ke-1: Sabda Rosululloh s.a.w. Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. (Hadits riwayat Al Bukhori dan Muslim, dari Abu Huroiroh r.a.).
Juga berdalil dengan hadits Abu Huroiroh r.a. bahwa Rosululloh s.a.w. bersabda:
Hadits ke-2: Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin berbuka. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban.
Pendapat Kedua. Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi'iyyah.
Pendapat Ketiga. Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Pendapat Keempat. Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Dalil mereka adalah hadits Abu Huroiroh yang kami sebutkan di depan (hadits ke-2): "Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya sebagai berikut:
Beliau ditanya -semoga Allah menyucikan ruh beliau- tentang seorang lelaki yang melihat hilal seorang diri dan ia benar-benar telah melihatnya. Apakah ia boleh berhari raya sendiri atau berpuasa sendiri? Ataukah ia harus berpuasa bersama orang banyak?

Beliau menjawab: "Alhamdulillah, jika ia melihat hilal Romadhon seorang diri atau hilal Syawal seorang diri, apakah ia harus berpuasa karena ru'yatnya itu? Atau apakah ia harus berhari raya dengan ru'yatnya itu? Atau ia tidak boleh berpuasa dan berhari raya, kecuali bersama orang banyak?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama, dan rnerupakan tiga pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad.
Pertama, ia harus berpuasa dan berhari raya sembunyi-sembunyi. Ini adalah madzhab Asy Syafi'i.
Kedua, ia wajib berpuasa namun tidak wajib berhari raya, kecuali bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad Malik dan Abu Hanifah.
Pendapat ketiga, ia wajib berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang paling tepat. Berdasarkan sabda Nabi s.a.w. :
Hadits ke-3: Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari 'Idul Fithri adalah hari kaun muslimin merayakannya. Dan hari 'Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban.

Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan ia berkata, "Hasan ghorib. "Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dan dalam riwayatnya hanya disebutkan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha saja. At Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdulloh bin Ja'far dari Utsman bin Muhammad dari Al Maqbur dan Abu Huroiroh r.a., bahwa Rosululloh s.a.w. bersabda:
Hadits ke-4: Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak. Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber'idul flthri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber'idul adha.
At Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan gharib. Kemudian ia berkata,"Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini. Mereka mengatakan maknanya adalah berpuasa dan berhari raya bersama jama'ah dan orang banyak."
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang lain. Dia berkata: Muhammad bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hamma telah menceritakan kepada kami dan Ayyub dan Muhammad bin Al Munkadir dan Abu Huroiroh r.a., ia menyebutkan bahwa Rosululloh s.a.w. bersabda:
Hadits ke-5: Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari kamu semua ber'idul fithri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari kamu semua ber'idul adha. Dan seluruh wilayah Arpfah adalah tempat wuquf. Seluruh wilayah Mina adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Seluruh jalan-jalan di Makkah adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Dan seluruh wilayah Muzdalifah adalah tempat bermalam (mabit).
Komentar penulis
Hadits-hadits tadi adalah dasar pegangan hukum yang berpendapat: Bila terjadi perbedaan pendapat, umat Islam seharusnya taat pada putusan pemerintah
Selanjutnya pendapat bahwa penguasa adalah ulil amri yang harus ditaati oleh umat Islam diuraikan berikut ini.
C. Tafsir ulil amri pada beberapa kitab tafsir.
Tafsir-tafsir kitab kuning.
1. Tafsir Jalalain.
Di dalam kitab Tafsir Jalalain, ulil amri ditafsirkan sebagai penguasa.
2. Tafsir Ibnu Katsir.
Ibnu Katsir menafsirkan ulil amri sebagai pemimpin, yang harus ditaati perintahnya
Hadits ke-6: Abu Dawud meriwayatkan dari Abdulloh bin Umar r.a , bahwa Rosululloh saw. bersabda: “Dengar dan taat adalah kewajiban seorang Muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Dikeluarkan pula oleh Al-Bukhori dan Muslim dari hadits Qorththon).
Hadits ke-7: Dari Anas ra. bahwa Rosululloh saw. bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah oleh kalian. Sekalipun yang dijadikan penguasa untuk kalian adalah seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang kepalanya (rambutnya) seakan-akan buah kismis.” (HR. Al-Bukhori).

Tafsir Kitab Putih.
1. Kitab Tafsir Al-Misbah karangan Dr. Quraisy Shihab
Al Qur-an Surat An-Nisa ayat 59.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Maka, jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Altoh dan Hari kemudian. Yang demikian itu baik dan lebih baik akibatnya.”
Kalau diamati ayat-ayat al-Qur'an yang memerintahkan taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, ditemukan dua redaksi yang berbeda. Sekali taat kepada Alloh dirangkaikan dengan taat kepada Rosul, tanpa mengulangi kata "taatilah" seperti pada QS. Ali 'Imron [3]:35, dan di kali lain -ssperti pada ayat suroh an-Nisa' [4]: 59- kata taatilah diulangi, masing-masing sekali ketika memerintahkan taat kepada Alloh dan sekali lagi ketika memerintahkan taat kepada Rosul saw. Perhatikanlah firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rosul serta ulil amri di antara kamu.”
Apabila perintah taat kepada Alloh dan Rosul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali perintah taat, hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan Alloh swt., baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam al-Qur'an maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rosul melalui hadits-hadits beliau. Perintah taat kepada Rosul saw. di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari AIloh swt., bukan yang beliau perintahkan secara langsung.
Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada QS. an-Nisa, [4]:59 di atas, di situ Rosul saw. memiliki wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur’an.
Itu sebabnya perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Alloh swt. atau Rosul saw.
Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata uli al amr. Dari segi bahasa, uli adalah bentuk jamak dari waliy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, uli al-amr adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka ulama' dan pendapar ketiga menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.
Dalam ayat 59 ditetapkan kewajiban atas masyarakat untuk taat kepada ulil amri, walaupun –sekali lagi--harus digarisbawahi penegasan Rosul saw. bahwa: la tho'ata li makhluqin fi ma'shiyati al-kholiq/tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiyatan kepada kholiq. Tetapi bila ketaatan kepada ulil amri tidak mengandung atau mengakibatkan kedurhakaan, mereka wajib ditaati, walaupun perintah itu tidak berkenan di hati yang diperintah. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda,
Hadits ke-8: ”Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh ulil amri) suka arau tidak suka. Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat”. (HR. Bukhori dan Muslim melalui Ibn Umar).
2. Tafsir Al-Azhar karangan Prof. Dr. HAMKA
Kemudian diikuti thoat kepada “Ulil Amri minkum” orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu, atas daripada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara kamu, Kedua dari pada kamu. Maksudnya satu, yaitu mereka yang berkuasa itu adalah dari pada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya, sebagai satu kenyataan.
3. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur karangan Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.
Taati pula ulil amri, yaitu: ahlul halli wal ‘aqdi (orang-orang yang menguasai bidangnya dan diserahi kepercayaan) mengendalikan kekuasaan negara atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Mereka terdiri para hakim, pejabat pemerintahan (eksekutif), wakil rakyat (legislatif, parlemen), ulama dan tokoh masyarakat.
Taatilah mereka, bila mereka telah menetapkan sesuatu keputusan untuk kemaslahatan umat dengan syarat mereka menunaikan amanat Alloh, menaati Rosul dan menjalani aturan-aturannya srta berlaku adil.
3. Al-Qur’an dan tafsirnya yang dikarang oleh Tim Departemen Agama RI.
Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum Muslimin wajib berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an dan hadits.
IV Kesimpulan
Bila terjadi perbedaan pendapat, Umat Islam seharusnya taat pada putusan Pemerintah sebagai Ulil Amri.
Dalil-dalil yang menunjang pendapat ini adalah :
1. Sabda Alloh swt. Dalam Al Qur-an surat An-Nisa’ ayat 59:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Maka, jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan Hari kemudian. Yang demikian itu baik dan lebih baik akibatnya.”
Kaum muslimin harus taat kepada Alloh swt. Rosul-Nya dan ulil amri di antara kaum muslimin. Taat kepada ulil amri ini dengan syarat bahwa perintah mereka tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an dan hadits.
2. Hadith-hadith Nabi saw. yaitu hadith 6-9.
Hadits ke-8: ”Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh ulil amri) suka arau tidak suka. Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat”. (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn Umar).
3. Islam menganjurkan adanya kesatuan pendapat dan barisan atau jamaah, berdasarkan hadit-hadith 2-5.
Hadits ke-4: Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak. Hari 'Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber'idul flthri. Dan hari 'Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber'idul adha.
V Penutup
Penulis yakin bahwa makalah ini tidak sempurna. Bila para pembaca menemukan kejanggalan dan kesalahan mohon diberitahukan kepada penulis untuk dilakukan koreksi. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Akhirnya, Wallohul muwaffiq ila aqwamittoriq.
Wassalamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Jember, 31 Oktober 2011
Dr. H.M. Nasim Fauzi
Jalan Gajah Mada 118
Tilpun (0331) 481127, Jember

Kepustakaan

01. Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Tafsirnya”, Lembaga Percetakan Al Qur’an Depag, Bogor, 2009.
02. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Bogor, 2008.

03. http://answering.wordpress.com/2011/08/23/keputusan-ormas-islam-dan-pemerintah-tentang-hari-raya-idul-fitri-2011-1syawal-1432/
05. Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti,”Tafsir Jalalain Jilid 1”, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2005.
06. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 2, Lentera Hati, Jakarta, 2002.
07. Prof. Dr. H. A. Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Juzu’ IV, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1981.
08. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid 1”, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
09. Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Majalah “As-Sunnah”, Edisi 07/VIII/1425H/2004M., Solo, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar