Riwayat Ashabul Kahfi
dari Qishashul-Anbiya dalam Kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah
فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَداً
“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun
dalam gua itu,” (QS. Al kahfi (18) :
11)
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظاً وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَاراً وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْباً
“Dan kamu mengira
mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan
dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu
gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka
dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan
terhadap mereka.” (QS. Al Kahfi (18) : 18)
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِئَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعاً
“Dan mereka tinggal
dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al Kahfi (18) : 25)
إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala
pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai
Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi
kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS. Al-Kahfi :10)
Dalam surat al-Kahfi,
Allah 'Azza wa jalla menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah
Ashabul Kahfi, kisah pertemuan Nabi Musa 'Alaihis salam dan Nabi Khidzir
'Alaihis salam serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat
perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah
tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul
Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata,
tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah
nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi,
beberapa ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Isa 'Alaihis salam. Mereka
hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim.
Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala,
maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk
mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari,
dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja,
sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat
persembunyian.
Dengan izin Allah
mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan
kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan
raja yang beriman kepada Allah 'Azza wa jalla (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran
al-‘Adzim; jilid : 3 ; hal. 67-71).
Berikut adalah suatu
versi kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan
ceritanya oleh pengarang kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid
II, halaman 291-300), menukilkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab
Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah
Al-Kahfi:
إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala
pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a:
“Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah
bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS. Al-Kahfi : 10)
Dengan panjang lebar
kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul
Khattab radhiallahu 'anhu memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin,
pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah:
“Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan
sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada
anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti
bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.
Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam
itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya
tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar radhiallahu 'anhu.
“Jelaskan kepada kami
tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai
pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah
kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami
tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia
bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk
yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah
yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat
ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?”
Khalifah Umar radhiallahu
'anhu menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi
Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang
tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban
Khalifah Umar radhiallahu 'anhu
seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak
kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang
bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi radhiallahu 'anhu yang saat itu hadir,
segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu
sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi
ke rumah Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu. Setelah bertemu, Salman radhiallahu 'anhu berkata: “Ya
Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali radhiallahu
'anhu bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman radhiallahu
'anhu kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar
Ibnul Khattab. Imam Ali radhiallahu
'anhu segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan
lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasul Allah sallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Umar melihat Ali bin
Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,
sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil!”
Setelah
berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu,
Ali bin Abi Thalib berkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan. Rasul Allah sallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengajarku
seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam
cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian,
yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian
sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama
kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah
satu demi satu,” kata Ali bin Abi
Thalib radhiallahu 'anhu.
Mereka mulai
bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria
maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik
sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi
bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi
itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!”
Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah
ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu. “Nabi Yunus ‘alaihis salam dibawa keliling ketujuh
samudera!”
Pendeta-pendeta itu
meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang
dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan
bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib
menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas
salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke
dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan
pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi
itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis
makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara
makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua,
Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat
Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga
orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan
yang diberikan oleh Imam Ali radhiallahu 'anhu lalu mengatakan: “Kami
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang
pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai
Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman
dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi
yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja
yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan
kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309
tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka
itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib
menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat
tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada
Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu
menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau
memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka,
nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua
mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai
saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah shallallahu ‘alaihi wasallam kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota
bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu
pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu
berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja
itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia
datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ,
pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi
dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang
sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan
lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya
terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya
terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang
terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang
harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak
seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai
terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat
sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di
sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah
para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah
kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi
lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas
kepala.”
Sampai di situ
pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,”
kata Imam Ali
menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki
9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang
pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan
baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna
hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah.
Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di
belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari
anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di
kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang
lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya
itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar,
coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu,
Sayyidina 'Ali radhiallahu 'anhu menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul
Allah sallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang
berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding
dengan mereka mengenai segala urusan.”
Tiap hari setelah
raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para
punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya
membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala
perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor
burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu
burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu
berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya,
sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa
burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu
hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di
dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian
murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa
burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di
atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas
kepala raja.
Demikianlah raja itu
berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia
tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala,
sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja
merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia
mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah subhanahu
wa ta’ala.
Raja itu kemudian
memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan
patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia
akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.
Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia
disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah subhanahu wa
ta’ala.
Pada suatu hari
perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu,
bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan
maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan
bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh
dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana.
Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang
bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia
berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan
sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak
buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu
raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari
mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima
kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan
dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya
bertanya : “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau
minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan
oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak
ingin tidur.”
Teman-temannya
mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku
memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu bertanya pada diriku sendiri:
‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan
terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari
bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah
yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian
kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak
goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti
ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha
lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai
Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam
hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita
semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian
tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi
kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan
pendapatmu,” sahut
teman-temannya.
Tamlikha lalu
berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil
mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong
baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3
mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara,
kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang
turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah
akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari
kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka
bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah
seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai
penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua
yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian
semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri.
Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang
ini,” jawab mereka. “Kami
sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat
jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan
teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di
sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku
akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama
teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan
kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki,
diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita
Sayyidina 'Ali radhiallahu 'anhu sampai di situ, pendeta Yahudi yang
bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau
benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Sayyidina 'Ali radhiallahu 'anhu
memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan kepadaku,
bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu melihat
kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang,
menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai
orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada
tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian
dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah
subhanahu wa ta'ala.”
Anjing itu akhirnya
dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke
sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah
nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Sayyidina 'Ali radhiallahu
'anhu menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah
Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Sayyidina 'Ali radhiallahu
'anhu meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh
pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan
dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka
masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka,
berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi
pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut
nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah 'Azza wa jalla
mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah
lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu
raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang
pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para
pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang
batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu
dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para
pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau
benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka
yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam gua tertutup
rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang
amat panjang itu lampau, Allah subhanahu wa ta'ala mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat
matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun
dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam
tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada
di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan
pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah subhanahu wa
ta’ala membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah
di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang
untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya
hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian
berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan
makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah
bajuku ini!”
Setelah Tamlikha
memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia
melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui
jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain
Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti
sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang
diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan
mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum
pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja
roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja
kalian?” tanya Tamlikha lagi.
“Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau
katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku
ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu,
penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman
lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang
bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Sayyidina 'Ali radhiallahu
'anhu: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan
kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Sayyidina 'Ali radhiallahu
'anhu menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru,
ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Sayyidina 'Ali radhiallahu
'anhu kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada
Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan
harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku
hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan
harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang
ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga
dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah
Diqyanius!”
Penjual roti itu
marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga
tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah
menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal
raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu
engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu
ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang
yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang
membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta
karun,” jawab orang-orang
yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja
berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami
hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima
itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda,
aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil
keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang
kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa
namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut
nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal
oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…,
semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi,
apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang
menyertai aku!”
Raja kemudian
memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka
diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di
sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu
diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis
di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata
karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada
orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang
menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya!”
Orang tua itu marah,
memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa
namamu?”
“Aku Tamlikha anak
Filistin!”
Orang tua itu lalu
berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut
lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha
sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara
orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian
diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha
Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa ‘alaihis salam, dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan
hidup kembali!”
Peristiwa yang
terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang
berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun
dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak
beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai
Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka
Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota
Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan
seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama
pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Sayyidina 'Ali radhiallahu 'anhu
melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha
semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata
kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau
sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata.
Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena
itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!”
Semua berhenti
menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang,
teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada
Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah
menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada
urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian
tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari
atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal
di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi
generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha
menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini
orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang
kalian inginkan?” Tamlikha balik
bertanya.
“Angkatlah tanganmu
ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua
mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang
telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami
sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah 'Azza wa jalla
mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut
kembali nyawa mereka. Kemudian Allah 'Azza wa jalla. melenyapkan pintu gua
tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati
gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa
hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada
saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Allah 'Azza wa jalla. Dua orang bangsawan itu memandang semua
peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang
beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang
beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan
itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan
Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya
peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
“Dan begitulah Kami
menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah
benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka
berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di
atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai
mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan
membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ
Sayyidina 'Ali radhiallahu 'anhu berhenti menceritakan kisah para penghuni
gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah,
hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku
hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa
yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu
menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau
satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi,
sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang
yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat
tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya
yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan
As Sayyid Murtadha Al Husainiy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya
ilmu pengetahuan yang diperoleh Sayyidina 'Ali radhiallahu 'anhu dari
Rasul Allah sallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar