Foto
Maulana Muhammad Zakariyya An Kandahlawi
9.
PESANTREN DARUL ULOOM BURY DI INGGRIS.
Madrasah
Eropa, Lilin itu Kini Menyala
Darul Uloom Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah adalah madrasah pertama yang
berdiri di negara Inggris. Terletak di sebuah puncak bukit di Holcombe Brook,
Bury, Great Manchester, madrasah ini didirikan pada tahun 1973 oleh Maulana
Yusuf Motala, seorang santri kesayangan Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya, penulis kitab best seller “Fadhail A’maal” yang menjadi bacaan harian
orang yang ambil bagian dalam usaha dakwah dan tabligh, yang bergerak di
seluruh dunia.
Tahun 1968, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Mazahirul
Ulum, Saharanpur, India, maulana muda yang tidak paham bahasa Inggris ini
dikirim untuk mengemban tugas yang amat berat dan tak pernah terbayangkan waktu
itu, yaitu mendirikan sebuah madrasah di Inggris, sebuah model pendidikan yang
sering dipandang sebelah mata karena dianggap ketinggalan jaman dan diramalkan
tak akan lama bisa bertahan dari gempuran model pendidikan modern ala barat.
Maulana Muhammad Zakariyya sendiri, sang guru, menyebut tugas besar ini sebagai
“menyalakan lilin Islam di tanah yang gelap”.
Madrasah ini disiapkan untuk mendidik ulama dan juru dakwah Islam yang
berbicara dengan bahasa dan wawasan Eropa, ulama dengan pengetahuan Islam yang
mendalam yang mampu merebut hati orang-orang dengan akhlak dan cara pandang
Islami, serta ulama yang mampu mengenalkan Islam yang murni dan tidak
terdistorsi dengan pendekatan yang lain.
Madrasah yang dirintis Maulana Yusuf Motala itu kini telah meluluskan
ribuan alim dan hafidz yang menyebar ke berbagai penjuru dunia, mereka menjadi
ujung tombak berbagai aktifitas dalam dakwah dan pendidikan Islam di berbagai
negara.
Madrasah itu kini berkembang menjadi madrasah model dan telah
beranakpinak melahirkan banyak madrasah di Eropa dan berbagai wilayah dunia
lainnya. Madrasah-madrasah tersebut tetap menjadikan Darul Uloom Al-Arabiyyah
Al-Islamiyyah sebagai induk dari madrasah-madrasah (ummul madaris) yang baru
tersebut.
Masjid-masjid di Eropa lainnya kini juga diimami oleh para alim dan
hafidz yang menghidmatkan hampir seluruh hidupnya untuk agama. Bacaan mereka
begitu fasih dan elok, penguasaan dan kedalaman agama mereka tak diragukan lagi
dan insyaallah juga tidak mencari keduniaan dan ketenaran dalam aktifitas agama
mereka.
Lilin kecil itu kini telah menyala dan nyalanya insya allah akan semakin
terang dari hari ke hari. Wallahu a’lam
Ilmu agama yang di ambil dari Darul
Ulum Deoband mempunyai keberkatan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan pengorbanan yang di lakukan oleh
bekas-bekas pelajarnya, maka ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala telah dapat di sebarkan di seluruh Eropah
melalui negara Inggris.
Pengajian Dauratul Hadits Darul Ulum
di Eropah
Di negara Eropah
seperti di Inggris ini, ada beberapa pengajian Dauratul Hadits di sana. Dauratul
Hadits adalah pembelajaran hadits yang terdiri dari enam kitab hadits utama
(Shahih Sittah) dan beberapa kitab hadits terpilih. Pengajian secara berulang
pada setiap tahun seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmizi, Sunan
Abu Daud, Sunan Nasa`i dan Muwatta` Imam Malik. Pengajian dengan sistem seperti
ini banyak didapati di India dan Pakistan, di mana terdapat banyak sekali
pusat-pusat pengajian hadits yang menjalankan sistem pengajian seperti itu.
Kitab
Hadits Utama (Shahih Sittah),
diajarkan
dalam kelas Dauratul Hadits
Enam (6) Kitab Hadits Terbaik
Enam (6) Kitab Hadits Terbaik
Sejak abad ke 2 Hijriah
enam kitab hadits atau Kutubus Sittah telah banyak menjadi rujukan oleh para
ulama seantero dunia. Kitab-kitab tersebut adalah Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan An-Nasai, serta Sunan Ibnu
Majah.
Shahih al-Bukhari
Kitab Shahih al-Bukhari sebenarnya
bernama Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-Muktasar min Umur Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam wa sunanihi. Kitab ini dijadikan kitab nomor satu karena
penuslisan sanadnya bersambung sampai baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Walaupun ada yang terputus, namun itu merupakan hadits
pengulangan.
Dengan ketekunan dan kegigihan yang
tinggi selama 15 tahun, Imam Bukhari berkelana dari satu negeri ke negeri lain
untuk menemui para guru hadits dan meriwayatkannya dari mereka. Ia sangat
prihatin dengan banyaknya kitab hadits, pada zaman itu, yang mencampuradukan
antara hadits sahih, hasan, dan dhaif – tanpa membedakan hadits yang diterima
sebagai hujah (maqbul) dan hadits yang ditolak sebagai hujah (mardud).
Imam Bukhari makin giat mengumpulkan,
menulis, dan membukukan hadis, karena pada waktu itu hadis palsu beredar makin
meluas.
Untuk mencari kebenaran Hadits beliau
tak tanggung-tanggung, beliau akan mencari perawinya dimanapun ia berada.
Beliau sangat ketat dalam periwayatan hadits, ‘’Hadits yang diterimanya adalah
hadis yang bersambung sanadnya sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’’
Tak hanya itu. Ia juga memastikan bahwa
hadits itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan serta hafalannya.
Tak cukup hanya itu. Imam Bukhari juga akan selalu memastikan bahwa antara
murid dan guru harus benar-benar bertemu. Contohnya, apabila rangkaian sanadnya
terdiri atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – sahabat – tabiin
–tabi at tabiin – A –B – Bukhari, maka beliau akan menemui B secara langsung
dan memastikan bahwa B menerima hadis dan bertemu dengan A secara langsung.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab
hadits nomor wahid ini memuat sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis
ulang. Imam Bukhari menghafal sekitar 600 ribu hadits. Ia menghafal hadis itu
dari 90 ribu perawi. Hadits itu dibagi dalam bab-bab yang yang terdiri dari
akidah, hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan baik dan tercela,
tarik, serta sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shahih Muslim
Menurut Imam Nawawi, kitab Shahih
Muslim memuat 7.275 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam
Bukahri, Imam Muslim hanya menghafal sekitar 300 ribu hadits atau separuh dari
yang dikuasai Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka jumlah hadits
dalam kitab itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Imam Muslim meyakni, semua hadits yang
tercantum dalam kitab yang disusunnya itu adalah shahih, baik dari sisi sanad
maupun matan. Seperti halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun dengan
sistematika fikih dengan topiknya yang sama.
Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan,
menulis, dan membukukan hadits karena pada zaman itu ada upaya dari kaum zindik
(kafir), para ahli kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat dengan hadits yang
mereka buat-buat sendiri. Tak heran, jika saat itu umat islam sulit untuk
menilai mana hadits yang benar-benar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan bukan.
Soal syarat penetapan hadits shahih,
ada perbedaan antara Imam Bukhari dan Imam Muslim. Shahih Muslim tak menerapkan
syarat terlalu berat. Imam Muslim berpendapat antara murid (penerima hadits)
dan guru (sumber hadits) tak harus bertemu, cukup kedua-duanya hidup pada zaman
yang sama.
Sunan Abi Dawud
Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk
yang diulang. Sebanyak 4.800 hadits yang tercantum dalam kitab itu adalah hadits
hukum. ‘’Di antara imam yang kitabnya masuk dalam Kutub as-Sittah, Abu Dawud
merupakan imam yang paling fakih,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Karenanya, Sunan Abi Dawud dikenal
sebagai kitah hadits hukum, para ulama hadits dan fikih mengakui bahwa seorang
mujtahid cukup merujuk pada kitab hadits itu dan Alquran. Ternyata, Abu Dawud
menerima hadits itu dari dua imam hadits terdahulu yakni Imam Bukhari dan
Muslim. Berbeda dengan kedua kitab yang disusun kedua gurunya itu, Sunan Abi
Dawud mengandung hadits hasan dan dhaif. Kitab hadits tersebut juga banyak
disyarah oleh ahli hadits sesudahnya.
Sunan At-Tirmizi
Kitab ini juga dikenal dengan nama
Jami’ At-Tirmizi. Karya Imam At-Tirmizi ini mengandung 3.959 hadits, terdiri
dari yang shahih, hasan, dan dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim al-Jaujiyah, di
dalam kitab itu tercantum sebanyak 30 hadits palsu. Namun, pendapat itu
dibantah oleh ahli hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.
‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadits
palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah.
Menurut dia, At-Tirmizi selalu memberi komentar terhadap kualitas hadits yang
dicantumkannya.
Sunan An-Nasa’i
Kitab ini juga dikenal dengan nama
Sunan Al-Mujtaba. An-Nasa’i menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadits-hadits
yang tercantum dalam kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan Al-Kubra yang
masih mencampurkan antara hadits shahih, hasan, dan dhaif. Sunan An-Nasa’i
berisi 5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’i adalah hadis-hadis sahih.
Dalam kitab ini, hadits dhaif terbilang
sedikit sekali. Sehingga, sebagian ulama ada yang meyakini kitab itu lebih baik
dari Sunan Abi Dawud dan Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika, para ulama
menjadikan kitab ini rujukan setalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Sunan Ibnu Majah
Kitab ini berisi 4.341 hadits. Sebanyak
3.002 hadits di antaranya terdapat dalam Al-Kutan Al-Khasah dan 1.339 hadits
lainnya adalah hadits yang diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para ulama tak
memasukan kitab hadits ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah, karena di dalamnya
masih bercampur antara hadits shahih, hasan dan dhaif. Ahli hadits pertama yang
memasukan kitab ini ke dalam jajaran enam hadits utama adalah Al-Hafiz Abu
Al-fadal Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat 507 Hijiriah).
Sejarah penyebaran pengajian hadits
bersanad seperti ini, bermula dari fikir dan risau Maulana Muhammad Ilyas dan
Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi. Merekalah yang telah memikirkan nasib
umat Islam di Eropah khususnya di Inggris, yang semakin mundur dari ilmu agama
karena tinggal di negara orang kafir. Maulana Muhammad Ilyas (wafat 1944 M)
sebelum meninggal dunia telah berjumpa dengan Haji Muhammad Patel di Mekkah,
kemudian mengajak Haji Muhammad Patel untuk memulai usaha dakwah di sana, pada
tahun 1944 M. Kemudian usaha Maulana Muhammad Ilyas mendapat perhatian khusus
dari puteranya yaitu Maulana Muhammad Yusuf Kandahlawi yang begitu bersemangat
menghantar jamaah-jamaah ke negara itu, sehingga menimbulkan kesadaran dalam
kalangan masyarakat Islam di sana untuk menghantar anak-anak mereka belajar
agama di India. Maulana Muhammad Yusuf risau, bagaimana Kota London berubah
menjadi seperti kota Makkah dan Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian setelah tahun 1970, Maulana
Muhammad Zakariyya menyarankan muridnya yaitu Maulana Muhammad Yusuf Motala, agar
membuka pusat pengajian hadits di Inggris yang di namakan dengan Darul Ulum
Bury, Lancashire, Barat Inggris. Masya Allah, Allahsubhanahu wa ta’ala telah menerima pengorbanan mereka, sehingga
nasib umat Islam di sana terselamatkan dan bahkan berkembang pesat.
Komunitas Umat Islam di sana telah
mendapat pendidikan agama yang baik, sehingga kini madrasah-madrasah disana
berhasil melahirkan ratusan ulama’ dalam berbagai disiplin ilmu. Diantara
ulama’ yang berhasil dilahirkan di bumi Inggris adalah Maulana Salim Dhorat, Mufti
Muhammad ibn Adam al-Kawtsari, Maulana Abdul Rahim Limbada, Maulana Riyadh
ul Haq, Syaikh Zahir Mahmud dan banyak lagi.
Direktur
Darul Ulum Deoband,
Di bawah ini, beberapa madrasah yang
telah berdiri di Inggris, yang turut menawarkan pengajian secara Dauratul
Hadits, antara lainadalah :
1. Darul Ulum Bury, Syaikhul Hadits
Maulana Abdul Rahim Limbada
2. Darul Ulum London, Syaikhul Hadits
Maulana Umar Faruk Desai
3. Darul Ulum Bolton, Syaikhul Hadits
Maulana Usman Adda
4. Darul Ulum Blackburn, Syaikhul
Hadits Maulana Mufti Inayatullah
5. Darul Ulum Leicester, Syaikhul
Hadits Maulana Ayyub Surti
6. Darul ulum Dewsbury, Syaikhul
Hadits Maulana Muslih Hudden Bardowi
7. Darul Ulum Riaz Ul, Syaikhul
Hadits Maulana Salim Dhorat
8. Darul Ulum Al-Kawtsar (Academy), Syaikhul
Hadits Maulana Riyadh ul Haq
9. Darul Ulum, Birmingham, Syaikhul
Hadits Maulana Dr. Abdur Rahim
dan banyak lagi. Mereka telah
berhasil melahirkan ulama’-ulama’ sendiri, dan sering menerima ziarah para alim
ulama’ dari Indis khususnya Syaikhul Hadits dari berbagai madrasah yang
terkenal seperti Muhammad Taqi Uthmani (Syaikhul Hadits Darul Ulum Karachi), Syaikhul
Hadits Maulana Mufti Ahmad Said Palanpuri (Syaikhul Hadits Darul Ulum Deoband),
Maulana Yunus Jaunpuri (Syzikhul Mazahirul Ulum), Maulana Ehsan Ul Haq
(Madrasah Arabia Raiwind), Maulana Yunus Luniarwi (Syaikhul Hadits Darul Ulum
Qasmia Arabia, Kharod, Gujarat), Maulana Fazlur Rahman Azmi (Syaikhul Hadits
Darul Ulum AzaadVille), Maulana Mufti Ahmad Khanpuri (Syaikhul Hadits Darul
Ulum Dhabel) dan banyak lagi.
Maulana
Muhammad Yunus Jaunpuri,
Syaikhul
Hadits di Madrasah Mazahirul Ulum, Saharanpur, India.
Foto di ambil ketika
program Daurah Hadits,
sebagai
Kepala Majlis Khatam Bukhari,
pada
tahun 2013,di Inggris.
Majlis
Khatam Bukhari yang di adakan di tengah lapangan di Inggris
Dan
Majlis Khatam Bukhari di Darul Ulum Bury
dan
Kidderminster pada tahun 2014
HADHRAT SHAIKHUL HADITs MAULANA MUHAMMAD
YUSUF MOTALA
Hadhrat
Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Yusuf
HADHRAT SHAIKHUL HADITs MAULANA MUHAMMAD
YUSUF MOTALA
Hadhrat
Shaikhul Hadits Maulana Muhammad Yusuf
bin Suleman bin Cassim Motala.
Maulana
Muhammad Yusuf Motala pendiri Darul
Ulum Bury,
Ulum Bury,
Dan
surat pertama Maulana Muhammad Zakariyya
kepada
Maulana Yusuf Motala di Inggris.
Maulana Yusuf Motala membuka madrasah di Inggris atas saran Maulana Muhammad Zakariyya
Hadhrat’s father’s family has resided in the
village of Varethi, within the Surat district, for centuries. Though their
occupation was farming, his paternal grandfather relinquished his land on a
contract and adopted business as his source of income. Due to Hadhrat’s
grandfather’s premature death, Hadhrat’s father was raised in his mother’s
care. After reaching puberty, he started a business. His first marriage was into
an honoured family from Hathuan. From that marriage, he had a son named Mohamed
Ali. This wife passed away within a few years, after which he married Hadhrat’s
mother, Amina bint Mohamed bin Ismail Desai. Hadhrat’s maternal family lived in
a village called Kholwad on the shores of the Tapisti River. For unknown
reasons, this clan moved to Nani Naroli. There, they adopted farming as their
profession and source of income.
Hadhrat’s mother did not bear any children for a
period of five to six years after marriage. Then, a pious man arrived in Nani
Naroli, whom Hadhrat’s father requested to supplicate for children. The pious
man presented Hadhrat’s mother with a ring and imparted the glad tidings of a
baby boy. He wished well for the child to be characterized with qualities of
knowledge and piety. After a year, the pious man returned to Nani Naroli.
Shortly prior to his arrival, Hadhrat’s brother, Hadhrat Shaikhul Hadith
Maulana Abdur Rahim bin Suleman bin Cassim Motala, had been born. For a second
time, the pious man presented Hadhrat’s mother with a ring and imparted the
glad tidings of another child.
After having married Hadhrat’s mother, the effect
of her religiousness started to overcome Hadhrat’s father. Eventually, his oath
of allegiance (bay’at) was accepted at the hands of Maulana Abdul Gafoor
Bangali, as a result of which he commenced dhikr. As soon as Hadhrat’s father
commenced dhikr, the effects of it steadily began to influence his health to
such an extent that it started to have a reclusive effect on his state of
affairs. In this condition, he said to Hadhrat’s mother, “I intend to forsake
the world. You must return to your house”. The elders and influential men of
Hadhrat’s family attempted to dissuade him in every possible manner, but to no
avail. Eventually, he was forced to sign divorce papers in case his condition
reached insanity. The iddah was until the day Hadhrat was born. Hadhrat was
born at his maternal grandfather’s house in Nani Naroli on the night of Monday,
November 26, 1946.
In 1953, Hadhrat’s maternal aunt passed away in
South Africa during the childbirth of a son, Shabir. Her husband was left a
widower with eleven children. So, Hadhrat’s grandfather sent Hadhrat’s mother
to South Africa to marry her brother-in-law and raise his children. Though she
did not wish to abandon her sons, she agreed and reluctantly departed for South
Africa. From then on, seven-year-old Hadhrat and his nine-year-old brother were
raised by their grandparents. However, within a few years, they passed away.
Thus, Hadhrat and his brother were raised by their maternal aunt,
affectionately called Chotikala.
Education
Hadhrat’s primary Islamic education of Qur’an
Sharif and Urdu was completed at Madressa-e-Targib in Nani Naroli. In 1961,
Hadhrat enrolled at Jamea Hussainia a well-known madrasa in Rander. There, he
studied from the first year of Persian until the first year of Hidaaya.
Thereafter, in 966, Hadhrat enrolled at Mazahirul Ulum in Saharanpur. His
classes commenced on February 23, 1966. He studied Mishkaat ul Masabeeh under
Shaikhul Hadith Maulana Yunus, Tafsir ul Jalalayn under Maulana Muhammad Aqil,
Volume 3 of Hidaaya under Mufti Yahya, and Mishkaat ul Masabeeh for a second
time under Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA).
In the following year, Hadhrat studied Sahih ul
Bukhari under Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhlawi (RA), Sunan
Abu Dawud, Sunan An Nasa’i, Mu’atta Imam Malik and Mu’atta Imam Muhammad under
Maulana Yunus Jaunpuri, Sahih Muslim and Sunan At Timrmidhi under Maulana
Muzaffar Hussain, and Surah Maiani Al Athar under Hadhrat Maulana Asadullah. At
around this time, Hadhrat wrote a letter to Hadhrat Shaikh Maulana Muhammad
Zakariyya Kandhlawi (RA) requesting the acceptance of bay’at. He replied,
accepted Hadhrat’s bay’at, and entered Hadhrat into his silsilah. After this,
along with his studies, Hadhrat commenced a consistent routine of the
recitation of Qur’aan Sharif and performance of Tahajjud, Ishraaq, Chaasht and
Awwaabeen Salaah.
Marriage, Khilafat, and the Birth of His First
Child
In 1968, after completing his final year, Hadhrat’s
relatives engaged him to a close friend of the family in England. His trip to
England was booked for after Ramadan. In Ramadan of 1968, Hadhrat was appointed
to lead the five daily salaahs and Taraweh Salaah. Two paras were to be recited
in each Taraweeh Salaah. However, after three or four days, Hadhrat became ill
and was sent home to Surat. Approximately four months later, in early June,
Hadhrat travelled to England. His marriage was conducted within five or six
weeks.
On April 23 1969, along with four friends, Hadhrat
departed from England to performUmra. There, he had the opportunity to spend
six to seven months in the company of his Shaikh. Hadhrat passed the Ramadan of
1969 with his Shaikh in Makkah and Madina. One night, whilst in I’tikaaf, after
the performance of Taraweeh Salaah, Hadhrat’s Shaikh called Hadhrat and Maulana
Ismail Badat into his tent and granted them permission to accept Khilafat,
wrapping turbans on their heads with his own hands. At the end of the month of
Ramadan, Hadhrat was sent back to England.
However, Hadhrat had the opportunity to spend
Ramadan of 1970 in Saharanpur. On the 30th of Ramadan, by means of a telegram,
Hadhrat received glad tidings of the birth of his first child, a girl.
Hadhrat’s Shaikh immediately sent a telegram: “May the name ‘Khadija’ be
blessed. The birth of a daughter is an indication of resemblance to the exalted
Prophet Muhammad (SAWS).”
His WorkUpon the instructions of his Shaikh, Hadhrat
established Dar ul Ulum Al Arabia Al Ilamia in Holcombe, Bury, Lancashire, in
1973. At present, he is the founder and patron of numerous Islamic institutes
throughout the world and spiritual guide to thousands of Muslims all over the
world.
His students, who number thousands, are spread
across the globe, occupied in the service of deen in varying capacities. More
than 75% of English-speaking Ulama in the UK are graduates of institutes
founded by Hadhrat, many of whom are actively engaged in reinforcing community
relation.
Hadhrat is a dedicated educationist and has devoted
much of his life to establishing schools and colleges for the betterment of the
Muslim community. His work has been praised by both the community as a whole as
well as OFSTED.
Institutions Established by Shaikh in the UK]
·
Darul Uloom Al-Arabiyyah
Al-Islamiyyah, Bury (Boys)
·
Madinatul
Uloom Al Islamiya, Kidderminster (Boys)
·
Jami'atul Imam
Muhammad Zakariyya, Bradford (Girls)
·
Madrasa Misbah al-Uloom, Bradford
·
Markaz ul-Uloom, Blackburn (Boys and
girls)
·
Madrasa
al-Imam Muhammad Zakariyya, Bolton
·
Madrasa
al-Imam Muhammad Zakariyya, Preston
·
[Azhar
Academy] London, United Kingdom
·
Al Markazul Ilmi, Dewsbury, (Girls)