Jazirah Arab
dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab.
Beberapa diantaranya adalah suku Badui;
bangsa nomad
penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa adalah suku petani
yang tinggal di oasis
daerah utara
atau daerah yang lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman
dan Oman).
Mayoritas bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme.
Beberapa suku juga memeluk agama Yahudi, Kristen
(termasuk paham Nestorian),
dan Zoroastrianisme.
Nabi Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam lahir di Mekkah
sekitar tahun 570 M dari keluarga Bani Hasyim
dari suku Quraisy.
Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu
ketika sedang tafakkur dan tadabbur di suatu gua,
yakni Gua
Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah kepada
keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum. Dakwahnya ada yang
diterima dengan baik tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada periode ini,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam dilindungi oleh pamannya Abu Thalib.
Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619, kepemimpinan Bani Hasyim
diteruskan kepada salah seorang musuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin
wasallam, yaitu Amr bin Hisyam,[1] yang menghilangkan
perlindungan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam serta
meningkatkan penganiayaan terhadap komunitas Muslim.
Pada tahun
622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang dilakukan kaum Quraisy
kepada kaum Muslim di Mekkah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam
dan banyak pengikutnya hijrah ke
Madinah.
Hal ini menandai dimulainya kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin
wasallam sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.
Ghazawāt
Setelah
kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di Mekkah dan Madinah
semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun 623 ketika kaum Muslim
memulai beberapa serangan (sering disebut ghazawāt
dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum Quraisy Mekkah. Madinah terletak
di antara rute utama perdagangan
Mekkah. Meskipun kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy juga, mereka
yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang Quraisy Mekkah tersebut;
karena sebelumnya telah menjarah harta dan rumah kaum muslimin yang
ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan telah mengeluarkan mereka dari suku
dan kaumnya sendiri, sebuah penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat
menjunjung tinggi kehormatan.[2]
Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut,
karena mereka melihat kaum Muslim sebagai penjahat
dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan mereka[3].
Pada akhir
tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawāt semakin sering dan terjadi
di mana-mana. Pada bulan September 623, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin
wasallam memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim melakukan serangan yang gagal
terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu, kaum Quraisy
Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan
sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum Muslim.[4] Pada bulan January
624, kaum Muslim menyerang kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah,
hanya 40 kilometer di luar kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya
benar-benar membangkitkan dendam di
kalangan kaum Quraisy Mekkah.[5]
Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu terjadi
pada bulan Rajab;
bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut tradisi mereka, dalam
bulan ini peperangan dilarang dan gencatan
senjata seharusnya dijalankan.[6] Berdasarkan
latar-belakang inilah akhirnya Pertempuran Badar terjadi.
Di
musim semi tahun 624, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam
mendapatkan informasi dari mata-matanya bahwa salah satu kafilah dagang yang
paling banyak membawa harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu Sufyan
dan dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan
dari Suriah
menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena beberapa
kegagalan dalam penghadangan kafilah sebelumnya, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300 orang, yang
sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang pernah
diterjunkan ke medan perang.[7]
Pergerakan menuju Badar
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima
utamanya, termasuk pamannya Hamzah dan para
calon Kalifah
pada masa depan, yaitu Abu Bakar
ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, dan Ali
bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta
dan 3 kuda, yang berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat
orang duduk di atas satu unta[8]
Namun demikian, banyak sumber-sumber kalangan Muslim pada awal masa itu,
termasuk dalam Al-Qur'an sendiri, tidak mengindikasikan akan terjadinya suatu
peperangan yang serius,[9]
dan calon khalifah ketiga Utsman bin
Affan juga tidak ikut karena istrinya sakit.[10]
Ketika kafilah
dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan mulai mendengar
mengenai rencana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam untuk
menyerangnya. Ia
mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk memperingatkan kaumnya dan
mendapatkan bala bantuan. Segera saja kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan
sejumlah 900-1.000,
600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan
persenjataan lengkap. orang untuk melindungi kelompok dagang
tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang turut bergabung, termasuk
di antaranya Amr bin Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah,
dan Umayyah
bin Khalaf. Alasan keikut-sertaan mereka
masing-masing berbeda. Beberapa ikut karena mempunyai bagian dari barang-barang
dagangan pada kafilah dagang tersebut, yang lain ikut untuk membalas dendam
atas Ibnu al-Hadrami, penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut
karena berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum Muslim.[11]
Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya seorang bangsawan,
yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta dalam penyerangan ini. [12]
Di saat itu
pasukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam sudah mendekati tempat
penyergapan yang telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang
biasanya menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang dalam rute
perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas pengintai kaum
Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para pengintai kafilah dagang
Quraisy tersebut[13]
dan Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.[14]
Rencana pasukan Muslim
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ
إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ
الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَن يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ
وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
"Dan
(ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua
golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang
tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu,[15] dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya
dan memusnahkan orang-orang kafir". (QS. Al-Anfal: 7)
Pada saat itu
telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai keberangkatan pasukan dari
Mekkah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam segera menggelar
rapat dewan peperangan,
disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk mundur dan di antara para
pejuang Muslim banyak yang baru saja masuk Islam (disebut kaum Anshar
atau "Penolong", untuk membedakannya dengan kaum Muslim Quraisy),
yang sebelumnya hanya berjanji untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal
dalam Piagam Madinah,
mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat meninggalkan pasukan.
Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah), dinyatakan bahwa
mereka pun berjanji untuk berperang.
Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam merasa yakin bahwa yang nantinya akan ditemui adalah
pasukan perang dan bukan kafilah dagang, beliau mulai cemas dan khawatir
terhadap keteguhan dan semangat shahabat. Beliau sadar
bahwa pasukan yang akan beliau hadapi kekuatannya jauh lebih besar dari pada
kekuatan pasukan yanng beliau pimpin. Oleh karena itu, tidak heran jika ada
sebagian shahabat yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju Badar.
Allah gambarkan kondisi mereka dalam firmanNya,
كَمَا
أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
“Sebagaimana Tuhanmu
menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian
dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS.
Al Anfal: 5)
Sementara itu,
para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu Bakr dan Umar bin Al Khattab sama
sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju terus. Namun, ini belum dianggap
cukup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan dari shahabat yang lain.
Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau berunding dengan para
shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan dua pilihan: (1)
tetap melanjutkan perang apapun kondisinya, ataukah (2) kembali ke
madinah.
Majulah Al
Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai
apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama anda. Demi Allah,
kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa:
‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua,
kami biar duduk menanti di sini saja.‘” (Perkataan
Al Miqdad radhiyallahu
‘anhu
ini merupakan cuplikan dari firman Allah surat Al Maidah: 24)
Kemudian Al
Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda bersama Rab anda
(Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama
kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai anda pergi
membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kamipun siap bertempur bersama engkau
hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”
Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan komentar yang baik
terhadap perkataan Al Miqdad dan mendo’akan kebaikan untuknya. Selanjutnya,
majulah Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, komandan pasukan kaum
anshar.
Sa’ad
mengatakan, “Kami telah beriman kepada Anda. Kami telah membenarkan Anda.
Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan
itu, kami pun akan terjun bersama Anda….” Sa’ad radhiyallahu
‘anhu
juga mengatakan, “Boleh jadi Anda khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak
mau menolong Anda kecuali di perkampungan mereka (Madinah). Sesungguhnya aku
berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang anshar. Maka dari itu,
majulah seperti yang Anda kehendaki….”[16] Akan
tetapi, kaum Muslim masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran
terbuka, dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.
Pada tanggal
15 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar.
Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib)
yang telah berkuda di depan barisan utama, berhasil menangkap dua orang pembawa
persedian air dari pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat
terkejut ketika mendengar para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari
kafilah dagang, melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena menduga bahwa
mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua tawanan tersebut sampai mereka
berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan tetapi berdasarkan
catatan tradisi, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam kemudian
menghentikan tindakan tersebut.[16]
Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para
bangsawan Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah
Mekkah. Ia telah melemparkan kepada kalian potongan-potongan hatinya."[17]
Hari berikutnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam
memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi Badar dan tiba di sana
sebelum pasukan Mekkah.
Sumur Badar
terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah yang bernama
"Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit besar
bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah timur, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam pertama-tama memilih menempatkan
pasukannya pada sumur pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya
berhasil diyakinkan oleh salah seorang pejuangnya, untuk memindahkan pasukan ke
arah barat dan menduduki sumur yang terdekat dengan posisi pasukan Quraisy.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam kemudian memerintahkan agar
sumur-sumur yang lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus
berperang melawan pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air
yang tersisa.
Rencana Pasukan
Mekkah
Ketika Abu
Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan kaum muslimin, dia
langsung mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah tentang kabar dirinya dan
meminta agar pasukan Mekkah kembali pulang. Namun, dengan sombongnya, gembong
komplotan pasukan Musyrikin enggan menerima tawaran ini. Dia
justru mengatakan, “Demi Allah,
kita tidak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana
tiga hari, menyembelih onta, pesta makan, minum khamr, mendengarkan dendang
lagu biduwanita sampai masyarakat jazirah arab mengetahui kita dan senantiasa
takut kepada kita…”
Keangkuhan
mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,
وَلَا
تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Dan janganlah kamu menjadi
seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan
maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan
(ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs.
Al-Anfal: 47)
Mereka tidak
menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu di bawah pengaturan Allah, karena
ditutupi dengan kesombongan mereka. Mereka tidak sadar bahwa Allah kuasa
membalik keadaan mereka.
Di sisi lain,
meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan pasukan Quraisy sejak
saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan kedatangannya di perbatasan
Badar, beberapa hal penting dapat dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab
untuk membawa istri dan anak-anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka
selama pertempuran, tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini.
Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak menghubungi
suku-suku Badui
sekutu mereka yang banyak tersebar di seluruh Hijaz.[18]
Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu untuk
mempersiapkan penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk melindungi
kafilah dagang mereka.
Ketika pasukan
Quraisy sampai di Juhfah,
sedikit di arah selatan Badar, mereka menerima pesan dari Abu Sufyan bahwa
kafilah dagang telah aman berada di belakang pasukan tersebut, sehingga mereka
dapat kembali ke Mekkah.[19]
Pada titik ini, menurut penelitian Karen
Armstrong, muncul pertentangan kekuasaan di kalangan
pasukan Mekkah. Amr bin Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa
suku termasuk Bani Zuhrah
dan Bani
'Adi, segera kembali ke Mekkah. Armstrong
memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan yang akan diraih oleh
Amr bin Hisyam, dari penghancuran kaum Muslim. Sekelompok perwakilan Bani
Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara
sesukunya, turut pergi bersama kedua suku tersebut.[20]
Di luar beberapa kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh dengan keinginannya
untuk bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali sampai kita
berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa orang dari
kafilah dagang turut bergabung dengan pasukan utama.[21]
Hari pertempuran
Lokasi Perang Badar
Pertempuran
Badar (غزوة بدر, ghazawāt badr), adalah
pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini
terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadhan 2 Hijriah. Pasukan
kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraiys[1] dari Mekkah yang
berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan
Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur
dalam kekacauan.
Disebut
sebagai peristiwa besar, karena perang Badar merupakan awal perhelatan senjata
dalam kapasitas besar yang dilakukan antara pembela Islam dan musuh Islam.
Saking hebatnya peristiwa ini, Allah namakan hari teradinya peristiwa tersebut
dengan Yaum
Al Furqan
(hari pembeda) karena pada waktu itu, Allah, Dzat yang menurunkan syariat
Islam, hendak membedakan antara yang haq dengan yang batil. Di saat itulah
Allah mengangkat derajat kebenaran dengan jumlah kekuatan yang terbatas dan
merendahkan kebatilan meskipun jumlah kekuatannya 3 kali lipat. Allah
menurunkan pertolongan yang besar bagi kaum muslimin dan memenangkan mereka di
atas musuh-musuh Islam.
Bagi kaum
Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti pertama
bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di Mekkah.
Mekkah saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah.
Kemenangan kaum Muslim juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa
suatu kekuatan baru telah bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam sebagai pemimpin atas berbagai
golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai suku Arab
mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslim di
Madinah; dengan demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai.
Di saat fajar
tanggal 17 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya dan bergerak menuju
lembah Badar. Telah turun hujan di hari sebelumnya, sehingga mereka mereka
harus berjuang ketika membawa kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit
'Aqanqal (beberapa sumber menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka
berhasil mencapai puncak bukit).[22]
Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan Mekkah mendirikan kemah baru di dalam
lembah. Saat beristirahat, mereka mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair bin Wahab,
untuk mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa pasukan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam berjumlah kecil, dan tidak
ada pasukan pendukung Muslim lainnya yang akan bergabung dalam peperangan.[23]
Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum Quraisy bila
terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa ia melihat
"unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa kematian").[24]
Hal tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena adanya kebiasaan
peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan korban, dan menimbulkan
perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy. Meskipun demikian, menurut
catatan tradisi Islam, Amr bin Hisyam membungkam semua ketidak-puasan dengan
membangkitkan rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut mereka agar menuntaskan
hutang darah mereka.[25]
Di Sudut Malam
yang Menyentuh Jiwa…
Pada malam
itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi
Allah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih banyak mendirikan shalat di dekat
pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslimin sebagai
penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan kaum musyrikin di pihak
lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada mereka. Adapun
Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah. Memohon pertolongan dan
bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berulang-ulang adalah,
“…Ya Allah, jika Engkau
berkehendak (orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya Allah, jika
pasukan yang kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan
disembah…..”
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulang-ulang do’a ini sampai
selendang beliau tarjatuh karena lamanya berdo’a, kemudian datanglah Abu Bakar
As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakaikan selendang beliau
yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai
Rasulullah…”
Tentang kisah
ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,
إِذْ
يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ
آَمَنُوا سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ
الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ (12 (ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِقِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ (13(
“Ingatlah), ketika Tuhanmu
mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan
(pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa
ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan
pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa
menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.”
(QS. Al Anfal: 12-13)
Bukti kemukjizatan
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seusai beliau
menyiapkan barisan pasukan shahabatnya, kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berjalan di tempat pertempuran dua
pasukan. Kemudian beliau berisyarat, “Ini tempat terbunuhnya fulan, itu tempat
matinya fulan, sana tempat terbunuhnya fulan….”
Tidak satupun
orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang
diisyaratkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Data Pertempuran Badar
DATA PERTEMPURAN
BADAR
|
Tanggal
|
7
Maret 624 M/17 Ramadan 2 H
|
Lokasi
|
Kota
Badar, 80 mil
baratdaya Madinah
|
Hasil
|
Kemenangan
Muslim
|
Pihak yang Terlibat
|
Muslim dari Madinah dan Quraisy dari Mekkah
|
Komandan Islam
|
Nabi saw, Hamzah ra dan Ali ra
|
Komandan Quraisy
|
Abu Jahal
|
Kekuatan Islam
|
300 - 350
|
Kekuatan Quraisy
|
900 - 1000
|
Korban Tewas Islam
|
14 orang
|
Korban Tewas Quraisy
|
50 – 70 orang, Tertawan 43 – 70 orang
|
Bara
Peperangan Mulai Menyala
Yang pertama
kali menyulut peperangan adalah Al Aswad Al Makhzumi, seorang yang berperangai
kasar dan akhlaknya buruk. Dia keluar dari barisan orang kafir sambil
menantang. Kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthallib radhiyallahu
‘anhu.
Setelah saling berhadapan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu
langsung menyabet pedangnya hingga kaki Al Aswad Al Makhzumi putus. Setelah
itu, Al Aswad merangkak ke kolam dan tercebur di dalamnya. Kemudian Hamzah
menyabetkan sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam. Inilah korban Badar
pertama kali yang menyulut peperangan.
Selanjutnya,
muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum Musyrikin. Ketiganya berasal dari
satu keluarga.
Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah.
Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz
bin Harits, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiga orang kafir tersebut
menolak adu tanding dengan tiga orang Anshar dan mereka meminta orang
terpandang di kalangan Muhajirin. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju. Ubaidah
berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah
berhadapan dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada
kesulitan. Lain halnya dengan Ubaidah. Masing-masing saling melancarkan
serangan, hingga masing-masing terluka. Kemudian lawan Ubaidah dibunuh oleh Ali
radhiyallahu
‘anhu.
Ubaidah mendapat luka parah yang menyebabkan ia wafat.[26]
Atas peritiwa
ini, Allah abadikan dalam firmanNya,
هَذَانِ
خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ...
“Inilah dua golongan
(golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar
mengenai Rabb mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)
Selanjutnya
kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah lawannya. Dua orang Muslim
dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran
berlangsung, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam telah
memberikan perintah kepada kaum Muslim agar menyerang dengan senjata-senjata
jarak jauh mereka, dan bertarung melawan kaum Quraisy dengan senjata-senjata
jarak pendek hanya setelah mereka mendekat.[27]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan
komando terhadap pasukan. Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma
bertugas menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa melantunkan do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah.
Terkadang beliau keluar tenda dan mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan
dikalahkan dan ditekuk mundur…”
Beliau juga
senantiasa memberi motivasi kepada para shahabat untuk berjuang. Beliau
bersabda, “Demi
Allah, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh
dengan sabar dan mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti
Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Tiba-tiba
berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil membawa beberapa kurma untuk
dimakan, beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah surga lebarnya
selebar langit dan bumi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Ya.”
Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…Bakh… (ungkapan kaget). Wahai
Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika mereka membunuhku.
Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini adalah usia
yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan terjun ke medan
perang sampai terbunuh.”
Dalam
kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke barisan musuh. Sehingga tidak
ada satu pun orang kafir kecuali matanya penuh dengan pasir. Mereka pun sibuk
dengan matanya sendiri-sendiri,[28][29]
sebagai tanda kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.
Besarnya kekuatan
serbuan kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an, yang
menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran Badar untuk
membinasakan kaum Quraisy.[29][31]
Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini secara
harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam yang membahas mengenai Malaikat Jibril
dan peranannya di dalam pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan
Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang segera saja
tercerai-berai dan melarikan diri. Pertempuran itu sendiri berlangsung hanya
beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.[32]
Kuatnya
Pengaruh Teman Dekat Dalam Hidup
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh Abul
Bakhtari. Karena ketika di Mekkah, dia sering melindungi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan yang memiliki inisiatif untuk
menggugurkan boikot pada Bani Hasyim. Suatu ketika Al Mujadzar bin Ziyad
bertemu dengannya di tengah pertempuran. Ketika, itu Abul Bakhtari bersama
rekannya. Maka, Al Mujadzar mengatakan, “Wahai Abul Bakhtari,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk
membunuhmu.”
“Lalu bagaimana dengan
temanku ini?”, tanya Abul Bakhtari
“Demi
Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu.” Jawab Al
Mujadzar.
Akhirnya
mereka berdua melancarkan serangan, sehingga dengan terpaksa Al Mujadzar
membunuh Abul Bakhtari.
Setelah
pertempuran, Korban
dan tawanan
Kemenangan
Bagi Kaum Muslimin
Demikianlah
perang badar, pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar dengan
izin Allah. Allah berfirman,
كَمْ
مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
“…Betapa banyak golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (QS.
Al Baqarah: 249)
Imam Bukhari
memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh
puluh orang tertawan.[33]
Hal ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali bila
ternyata jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih sedikit, maka
persentase pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim
umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar 4% dari
jumlah mereka yang terlibat peperangan.[29]
Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua
belah pihak, dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah
pihak menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat singkat
dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika sedang bergerak mundur.
Selama
terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan beberapa orang Quraisy
Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di antara pasukan Muslim mengenai
nasib bagi para tawanan tersebut.[34][35]
Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan kaum Muslim
tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan. Sa'ad dan Umar
berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar mengusulkan pengampunan. Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam akhirnya menyetujui usulan Abu
Bakar, dan sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian karena alasan
hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan
bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan memang kemudian sebagian melakukannya).[36]
Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah, Amr bin Hisyam
dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran Badar. Demikian pula dua
orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam saat ia masih berdakwah di
Mekkah, dibunuh dalam perjalanan kembali ke Madinah.[37] Bilal,
bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan membunuhnya sehingga bersama
sekumpulan orang yang membantunya bahkan sampai melukai seorang Muslim yang
ketika itu sedang mengawal Umayyah.[38]
Beberapa saat
sebelum meninggalkan Badar, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam
memberikan perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke
dalam sumur Badar.[39]
Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi penyebabkan
kemarahan besar pada kaum Quraisy Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang
Muslim yang baru saja ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan
dibunuh sebagai pembalasan atas kekalahan yang terjadi.[40]
Berdasarkan
tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang memiliki hubungan darah
dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah merasa terpanggil untuk melakukan
pembalasan terhadap orang-orang dari suku-suku yang telah membunuh kerabat
mereka tersebut. Pihak Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk
melakukan pembalasan, karena telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh
kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun. Akan tetapi selain pembunuhan awal
yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih hidup kemudian ditempatkan
pada beberapa keluarga Muslim di Madinah dan mendapat perlakuan yang baik;
yaitu sebagai kerabat atau sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang
tebusan.
Dampak selanjutnya
Pertempuran
Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang tokoh yang akan menentukan
arah masa depan Jazirah Arabia di abad selanjutnya. Tokoh pertama adalah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam, yang dalam semalam statusnya
berubah dari seorang buangan dari Mekkah, menjadi salah seorang pemimpin utama.
Menurut Karen Armstrong, "selama bertahun-tahun Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan; tetapi
setelah keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu, semua orang di Arabia mau
tak mau harus menanggapinya secara serius."[32]
Marshall Hodgson menambahkan bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku Arab
lainnya untuk "menganggap umat Muslim sebagai salah satu penantang dan
pewaris potensial terhadap kewibawaan dan peranan politik yang dimiliki oleh
kaum Quraisy." Kemenangan di Badar juga membuat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah. Segera
setelah itu, ia mengeluarkan Bani Qainuqa'
dari Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan
politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin
Ubay, seorang Muslim pemimpin Bani Khazraj dan
penentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam, menemukan bahwa
posisi politiknya di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya, ia hanya mampu
memberikan penentangan dengan pengaruh terbatas kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihin wasallam.[41]
Tokoh lain
yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah Abu Sufyan.
Kematian Amr bin Hisyam, serta banyak bangsawan Quraisy lainnya[42]
telah memberikan Abu Sufyan peluang, yang hampir seperti direncanakan, untuk
menjadi pemimpin bagi kaum Quraisy.
Sebagai akibatnya, saat pasukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam
bergerak memasuki Mekkah enam tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang
membantu merundingkan penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada akhirnya
menjadi pejabat berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam, dan anaknya Muawiyah
kemudian melanjutkannya dengan mendirikan Kekhalifahan
Umayyah.
Keikutsertaan
dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai,
sehingga Ibnu Ishaq
memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam biografi Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam yang dibuatnya. Pada banyak
hadits, orang-orang yang bertempur di Badar dinyatakan dengan jelas sebagai
sebentuk penghormatan, bahkan kemungkinan mereka juga menerima semacam santunan
pada tahun-tahun belakangan.[43]
Meninggalnya veteran Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat
perang saudara Islam pertama.[44]
Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan
kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan,
yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat Muslim untuk mengenang kemenangan
pada Pertempuran Badar. [45]
Meskipun demikian pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi
Islam, pasukan Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka bergerak maju ke
medan pertempuran.
Badar dalam al-Qur'an
Pertempuran
Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit
dibicarakan dalam al-Qur'an.
Nama pertempuran ini bahkan disebutkan pada Surah Ali
'Imran: 123, sebagai bagian dari perbandingan terhadap
Pertempuran Uhud.
وَلَقَدْ
نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ إِذْ
تَقُولُ لِلْمُؤْمِنِينَ أَلَن يَكْفِيَكُمْ أَن يُمِدَّكُمْ رَبُّكُم بِثَلَاثَةِ
آلَافٍ مِّنَ الْمَلَائِكَةِ مُنزَلِينَ بَلَىٰ ۚ إِن
تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُم مِّن فَوْرِهِمْ هَـٰذَا يُمْدِدْكُمْ
رَبُّكُم بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِّنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ
Sungguh Allah
telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu)
orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu
mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin,
"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu
malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar
dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya
Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. QS. Ali 'Imran:
123-125)
Menurut Yusuf
Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar,
barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat; sementara
di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-orang Mekkah, sehingga
membuat pasukan berkuda Mekkah dapat menyerang dari samping dan menghancurkan
pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar merupakan "pembeda" (furqan),
yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang
sama.
قَدْ
كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا ۖ فِئَةٌ
تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَىٰ كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُم مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ
الْعَيْنِ ۚ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ
بِنَصْرِهِ مَن يَشَاءُ ۗ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُولِي الْأَبْصَارِ
"Sesungguhnya
telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur).
Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah
mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati." (QS. Ali
'Imran:13)
Badar juga
merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal,
yang membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer.
"Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada
pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi
barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut
Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat yang
umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah pertempuran tersebut
terjadi.
Catatan tradisi Islam
Sesungguhnya
seluruh pengetahuan mengenai Pertempuran Badar berasal dari catatan-catatan
tradisi Islam, baik berupa hadits
maupun biografi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam, yang dituliskan
beberapa puluh tahun setelah kejadiannya. Ada beberapa alasan mengapa hal ini
terjadi. Pertama, banyak suku-suku Arab yang hidup di jazirah Arabia buta huruf
dan tradisi oral merupakan cara mereka untuk menyampaikan informasi. Pada saat
Balatentara Islam dapat menaklukkan suku-suku Arab yang lebih berpendidikan di Suriah
dan Irak,
dapat dikatakan seluruh kaum Quraisy telah masuk Islam, sehingga menghilangkan
peluang adanya catatan-catatan non-Muslim mengenai pertempuran tersebut. Kedua,
dengan tersusunnya berbagai kompilasi hadits, maka naskah-naskah catatan
aslinya menjadi tidak dibutuhkan lagi, dan menurut Hugh Kennedy kemudian
dimusnahkan dengan "kecepatan yang menyedihkan".[46]
Terakhir, umumnya umat Muslim yang taat beranggapan bahwa para Muslim yang
tewas di Badar adalah para syahid
yang mulia, sehingga besar kemungkinan menjadi kendala bagi usaha yang
sungguh-sungguh untuk melakukan penggalian arkeologis di Badar.
Referensi
modern
Militer
Mengingat
posisi pertempuran ini dalam sejarah Islam dan makna tersiratnya berupa
kemenangan atas suatu penghalang yang sangat besar, maka pemakaian nama
"Badar" menjadi populer di kalangan tentara atau kelompok paramiliter
Islam. "Operasi Badar"
adalah nama yang digunakan oleh Mesir
untuk perannya dalam Perang Yom
Kippur pada tahun 1973, dan Pakistan
menggunakannya dalam Perang Kargil
pada tahun 1999. Di Irak, sayap militer dari Dewan Tertinggi
Revolusi Islam di Irak (SCIRI) menamakan diri sebagai Organisasi
Badar.
Orang yang
Ikut perang Badar dijamin Syurga
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa orang yang ikut perang Badar dijamin Syurga.
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ
بُهْلُولٍ حَدَّثَنَا ابْنُ
إِدْرِيسَ قَالَ حَدَّثَنِي حُصَيْنُ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالزُّبَيْرَ بْنَ
الْعَوَّامِ وَأَبَا مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ وَكُلُّنَا فَارِسٌ فَقَالَ انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا امْرَأَةً مِنْ الْمُشْرِكِينَ مَعَهَا صَحِيفَةٌ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي
بَلْتَعَةَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ فَأَدْرَكْنَاهَا تَسِيرُ عَلَى
جَمَلٍ لَهَا حَيْثُ قَالَ لَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
قُلْنَا أَيْنَ الْكِتَابُ الَّذِي مَعَكِ قَالَتْ مَا
مَعِي كِتَابٌ فَأَنَخْنَا بِهَا فَابْتَغَيْنَا فِي رَحْلِهَا فَمَا وَجَدْنَا شَيْئًا قَالَ
صَاحِبَايَ مَا نَرَى
كِتَابًا قَالَ قُلْتُ لَقَدْ عَلِمْتُ مَا كَذَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي يُحْلَفُ بِهِ لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ
لَأُجَرِّدَنَّكِ قَالَ
فَلَمَّا رَأَتْ الْجِدَّ مِنِّي أَهْوَتْ بِيَدِهَا إِلَى
حُجْزَتِهَا وَهِيَ مُحْتَجِزَةٌ بِكِسَاءٍ فَأَخْرَجَتْ الْكِتَابَ قَالَ
فَانْطَلَقْنَا بِهِ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ يَا حَاطِبُ عَلَى مَا
صَنَعْتَ قَالَ مَا
بِي إِلَّا أَنْ
أَكُونَ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَا
غَيَّرْتُ وَلَا بَدَّلْتُ أَرَدْتُ أَنْ
تَكُونَ لِي عِنْدَ الْقَوْمِ يَدٌ
يَدْفَعُ اللَّهُ بِهَا
عَنْ أَهْلِي وَمَالِي وَلَيْسَ مِنْ
أَصْحَابِكَ هُنَاكَ إِلَّا وَلَهُ مَنْ
يَدْفَعُ اللَّهُ بِهِ
عَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ قَالَ صَدَقَ فَلَا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا قَالَ
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ إِنَّهُ قَدْ
خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ فَدَعْنِي فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ قَالَ فَقَالَ يَا عُمَرُ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا
شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمْ الْجَنَّةُ قَالَ فَدَمَعَتْ عَيْنَا عُمَرَ وَقَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ
Telah menceritakan kepada kami [Yusuf
bin Buhlul] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Idris] dia berkata; telah
menceritakan kepadaku [Husain bin Abdurrahman] dari [Sa'd bin 'Ubaidah] dari
[Abu Abdurrahman bin As Sulami] dari [Ali] radliallahu 'anhu dia berkata;
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutusku, Zubair serta
Abu Martsad Al Ghanawi, sedangkan kami semua adalah para penunggang kuda, lalu
beliau bersabda; "Berangkatlah kalian hingga tiba di Raudlah Khakh, karena
di sana ada seorang wanita musyrik yang membawa surat dari Hatib Bin Abi
Balta'ah untuk orang-orang Musyrik, lalu bawalah surat itu kepadaku, "
Ali berkata; "Akhirnya kami menjumpai wanita itu tengah mengendarai
untanya sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
Ali berkata; "Lantas kami langsung bertanya kepadanya; "Di mana surat
yang ada pada kamu?" dia menjawab; "Saya tidak membawa surat."
Kemudian kami menderumkan untanya dan menggeledah kendaraannya, namun kami
tidak menemukan sesuatu, kedua sahabatku berkata; "Kita tidak menemukan
suratnya." Ali melanjutkan; "Akupun menjawab; "Saya yakin bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mungkin berdusta, demi
Dzat yang aku bersumpah dengan-Nya, jika kamu tidak mau mengeluarkan surat
tersebut, maka kami akan menelanjangimu!" Ali melanjutkan; "Ketika ia
melihat kesungguhanku, dia langsung menggapai ikat pinggangnya -karena ia
memakai ikat pinggang dengan secarik kain- dan mengeluarkan surat itu."
Ali melanjutkan; "Setelah itu kami membawa surat itu kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Beliau lalu berabda: "Wahai Hatib, apa yang
menyebabkanmu berbuat demikian?" Hatib menjawab; "Tidaklah aku
melakukan seperti ini melainkan aku ingin beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
aku tidak akan merubahnya dan tidak pula hendak menggantinya, akan tetapi aku
ingin memiliki tangan (orang yang menolong -red) di tengah-tengah suatu kaum,
yang dengannya Allah akan membela keluarga dan hartaku, sementara tidak
seorangpun dari sahabatmu di sana melainkan ada kaum yang dengannya Allah
membela keluarga dan hartanya." Beliau menjawab; "Kamu benar, maka
kalian jangan berkata kepadanya kecuali kebaikan." Ali melanjutkan;
"Kemudian Umar berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum mukminin, izinkanlah saya
memenggal lehernya." Ali melanjutkan; "Maka beliau menjawab;
"Wahai Umar, apa yang kamu ketahui?, padahal Allah telah melihat amalan
ahli Badar dan berfirman; 'lakukan apa yang kalian kehendaki sesungguhnya
kalian telah di jamin masuk syurga." Mendengar itu
berlinanglah kedua mata Umar sambil berkata; "Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui." (Hadist Imam Bukhari No. 5789)
Para Ahli Badar Radhiyallahu ‘anhum
Mereka adalah para lelaki
perwira yang turut dalam perang Badar Kubra. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam mengatakan tentang mereka dalam
do’anya kepada Allah saat perang Badar: “Ya
Allah, jika kelompok manusia ini sampai binasa hari ini, maka Engkau tidak akan
disembah lagi di permukaan bumi” ….. menyebut nama-nama mereka ada
barokahnya dan menamakan anak-anak kita dengan nama-nama mereka ada barokahnya.
A. Dari Golongan Muhajirin
a. Dari Bani Hasyim dan Muthalib bin
Abdu Manaf
1. Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
penghulu para panglima dan panglimanya para pemimpin Islam.
2. Hamzah
bin Abdul Muthalib, singa A!lah dan singa Rasul-Nya paman Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam.
3. Ali
bin Abi Thalib, putra paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
4. Zaid
bin Haritsah al-Kalbi, maula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
5. Abu
Martsad Al-Ghanawi, sekutu Hamzah.
6. Martsad
bin Abi Martsad AI-Ghanawi sekutu Hamzah.
7. Anasah,
maula Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam (dari Habsyi).
8. Abu
Kabtsah, maula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
(dari Habsyi).
9. Ubaidah
bin Harits bin Abdul Muthalib.
10.
Thufail bin Harits
bin Abdul Muthalib.
11.
Hushain bin Harits
bin Abdul Muthalib.
12.
Misthih bin ‘Utsatsah
bin Abdul Muthalib.
b. Dari Bani Abdu Syamsy bin Abdu Manaf
1. Utsman
bin ‘Affan
2. Abu
Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah
3. Salim
Maula Abu Hudzaifah
4. Shubaih,
maula Abul ‘Ashi bin Umayyah
5. Abdullah
bin Jahsy
6. Sinan
bin Mihsin
7. Ukatsah
bin Mihshin
8. Abu
Sinan bin Mihshin
9. Sinan
bin Abu Sinan
10.
Syuja’ bin Wahb
11.
‘Uqbah bin Wahb
12.
Yazid bin Ruqaisy
13.
Muhriz bin Nadhlah
14.
Rabi’ah bin Aktsam
15.
Tsaqfu dari Bani
Sulaim
16.
Malik dari Bani
Sulaim
17.
Mudlij, dari Bani
Sulaim
18.
Abu Makhsya Suwaid
bin Makhsya Ath-Tha’i
c. Dari Bani Naufal bin Abdu Manaf bin
Qushay
1. Utbah
bin Ghazwan
2. Khabbab,
maula ‘Utbah bin Ghazwan
d. Dari Bani Asad bin Abdul ‘Uzza bin
Qushay
1. Zubair
bin ‘Awwam
2. Hathib
bin Abu Balta’ah AI-Lakhmi (sekutu)
3. Sa’ad
Al-Kalbi, maula Hathib
4. Dari
Abduddar bin Qushay bin Kilab
5. Mush’ab
bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abduddar
6. Suwaibath
bin Sa’ad bin Harmalah
7. Dari
Bani Zuhrah bin Kilab bin Murrah
8. Abdurrahman
bin Auf
9. Sa’ad
bin Abi Waqqash
10.
Umair bin Abi Waqqash
11.
Miqdad bin Amru
(sekutu)
12.
Abdullah bin Mas’ud
(sekutu)
13.
Mas’ud bin Rabi’ah
(sekutu)
14.
Dzu Syimalain Umair
bin Amru (sekutu)
15.
Khabbab bin Arat
At-Tamimi (sekutu)
e. Dari Bani Taim bin Murrah
1. Abu
Bakar Ash-Shiddiq
2. Thalhah
bin Ubaidullah
3. Bilal
bin Rabah (maula Abu Bakar)
4. Amir
bin Fuhairah (maula Abu Bakar)
5. Shuhaib
bin Sinan bin Namr bin Qasith (sekutu Bani Jud’an, dia adalah Shuhaib Ar-Rumi)
f. Dari Bani Makhzum
1. Abu
Salamah bin Abdul Asad
2. Syimas,
namanya adalah Utsman bin Utsman Asy-Syarid
3. Arqam
bin Abil Arqam
4. Ammar
bin Yasir Al-Anasi (maula Fihr)
5. Mu’attib
bin Auf AI-Khuza’i (maula mereka)
g. Dari Bani Adi bin Ka’ab
1. Umar
bin Khatthab
2. Zaid
bin Khatthab
3. Amru
bin Suraqah
4. Abdullah
bin Suraqah
5. Sa’id
bin Zaid bin Amru
6. Mihja’,
maula Umar bin Khatthab
7. Waqid
bin Abdullah At-Tamimi (sekutu)
8. Khaula
bin Abi Khaula Al-’Ijli (sekutu)
9. Malik
bin Abi Khaula Al-’Ijli (sekutu)
10.
Amir bin Rabi’ah Al-Unzi
(sekutu)
11.
Amir bin Bukair
(sekutu)
12.
Aqil bin Bukair
(sekutu)
13.
Khalid bin Bukair
(sekutu)
14.
Iyas bin Bukair
(sekutu)
h. Dari Bani Jumlah
1. Utsman
bin Mazh’un
2. Qudamah
bin Mazh’un
3. Abdullah
bin Mazh’un
4. As-Sa’ib
bin Utsman bin Mazh’un
5. Ma’mar
bin Harits
i. Dari sekutu Bani Sahm
1. Khunais
bin Hudzafah
j. Dari-sekutu Bani Amir bin Luay bin
Ghalib bin Fihr
1. Abu
Sabrah bin Abi Ruhm
2. Abdullah
bin Makhramah
3. Abdullah
bin Suhail bin Amru
4. Wahab
bin Sa’ad bin Abi Syarh
5. Hathib
bin Amru
6. Umair
bin Auf, maula Suhail bin Amru
7. Sa’ad
bin Khaulah (sekutu)
k. Dari Bani Harits bin Fihr
1. Abu
Ubaidah Amir bin Jarah
2. Amru
bin Harits
3. Suhail
bin Wahab bin Rabi’ah
4. Shafwan
bin Wahab
5. Amru
bin Abi Syarh bin Rabi’ah
B. Dari golongan Anshar
I. Aus
a. Dari Bani Haritsah, kemudian dari
Bani Amru bin Malik bin Aus, kemudian dari Bani Abdul Asyhal bin Jusyam
1. Sa’ad
bin Mu’adz
2. Amru
bin Mu’adz
3. Harits
bin Aus
4. Harits
bin Anas
5. Sa’ad
bin Zaid bin Malik
6. Salamah
bin Salamah bin Waqsy
7. ‘Abbad
bin Waqsy
8. Salamah
bin Tsabit bin Waqsy
9. Rafi’
bin Yazid bin Kurz
10.
Harits bin Khazmah
bin Adi (sekutu)
11.
Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihin wasallam bin Maslamah AI-Khazraji (sekutu)
12.
Salamah bin Aslam bin
Harits (sekutu)
13.
Abul Haitsam bin
Tayyihan (sekutu)
14.
Ubaid bin Tayihan
(sekutu)
15.
Abdullah bin Sahl
(sekutu)
b. Dari Bani Zhafar, namanya Ka’ab bin
Kahzraj bin Amru bin Malik bin Aus
1. Qatadah
bin Nu’man bin Yazid
2. Ubaid
bin Aus
3. Nashr
bin Harits bin ‘Abdu
4. Mu’attib
bin Ubaid
5. Abdullah
bin Thariq Al-Balawi (sekutu)
c. Dari Bani Haritsah bin Harits bin
Khazraj bin Amru bin Malik bin Aus
1. Mas’ud
bin Sa’ad
2. Abu
Abas Jabar bin Amru
3. Abu
Burdah bin Niyyar, namanya Hani’ Al-Balawi (sekutu)
d. Dari Bani Auf bin Malik bin Aus,
kemudian dari Bani Dhabi’ah bin Zaid bin Auf
1. ‘Ashim
bin Tsabit bin Abul Aqlah
2. Mu’attib
bin Qusyair bin Mulail
3. Abu
Mulail bin Az’ar bin Zaid
4. Umair
bin Ma’bad bin Az’ar
5. Sahl
bin Hunaif bin Wahib
e. Dari Bani Umayyah bin Zaid bin Auf
1. Abu
Lubabah Basyir bin Abdul Mundzir
2. Mubasysyir
bin Abdul Mundzir
3. Rifa’ah
bin Abdul Mundzir
4. Sa’ad
bin Ubaid bin Nu’man
5. Uwaim
bin Sa’dah bin ‘Aisy
6. Rafi’
bin ‘Anjadah, ‘Anjadah adalah nama ibunya
7. Ubaidah
bin Abu Ubaid
8. Tsa’labah
bin Hathib
f. Dari Bani Ubaid bin Zaid bin Malik
bin Auf
1. Unais
bin Qatadah bin Rabi’ah
2. Ma’ni
bin Adi Al-Balawi (sekutu)
3. Tsabit
bin Akhram AI-Balawi (sekutu)
4. Zaid
bin Aslam bin Tsa’labah Al-Balawi (sekutu)
5. Rib’i
bin Rafi’ Al-Balawi (sekutu)
6. ‘Ashim
bin Adi Al-Balawi (sekutu)
g. Dari Bani Mu’awiyah bin Malik bin
Auf bin Amru bin Auf
1. Jabru
bin Atik
2. Malik
bin Numailah Al-Mazani (sekutu)
3. Nu’man
bin ‘Ashar Al-Balawi (sekutu)
h. Dari Bani Tsa’labah bin Amru bin Auf
bin Malik
1. Abdullah
bin Jubair
2. Ashim
bin Qais bin Tsabit bin Nu’man
3. Abu
Dhayyah bin Tsabit bin Nu’man
4. Abu
Hayyah bin Tsabit bin Nu’man
5. Salim
bin Umar bin Tsabit
6. Harits
bin Numan bin Umayyah
7. Khawwat
bin Jubair bin Nu’man
i. Dari Bani Jahjaba bin Kulfah bin Auf
bin Malik
1. Mundzir
bin Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihin wasallam bin ‘Uqbah
2. Abu
‘Aqil bin Abdullah bin Tsa’labah Al-Balawi (sekutu)
j. Dari Bani Amra’ul Qais bin Malik bin
Aus; kemudian dari Bani Ghanam bin As-Salam bin Amru’ul Qais bin Malik bin Aus
1. Sa’ad
bin Khaitsamah
2. Mundzir
bin Qudamah bin ‘Arfajah
3. Harits
bin ‘Arfajah
4. Tamim,
maula Sa’ad bin Khaitsamah
II. Khazraj
a. Dari Khazraj bin Harits; kemudian
dari Bani Harits, kemudian Amra’ul Qais bin Malik bin Tsa’labah bin Ka’ab bin
Khazraj bin Harits bin Khazraj bin Haritsah
1. Kharijah
bin Zaid bin Abu Zuhair
2. Sa’ad
bin Rabi’ bin ‘Amru
3. Abdullah
bin Rawahah
4. Khallad
bin Suwaid bin Tsa’labah
b. Dari Bani Zaid bin Malik saudara
Amraul Qais bin Malik bin Tsa’labah
1. Basyir
bin Sa’ad bin Tsa’labah
2. Simak
bin Sa’ad bin Tsa’labah
c. Dari Bani Adi bin Ka’ab bin Khazraj
bin Harits bin Khazraj
1. Subai’
bin Qais bin ‘Aisyah
2. ‘Abbad
bin Qais bin ‘Aisyah
3. Abdullah
bin ‘Absu
d. Dari Bani Ahmad bin Haritsah bin
Tsa’labah bin Ka’ab bin Khazraj bin Harits bin Khazraj
1. Yazid
bin Harits bin Qais (dipanggil dengan sebutan Fus-ham)
e. Dari Bani Jusya dan Zaid bin Harits
bin Khazraj
1. Khubaib
bin Isaf bin ‘Atabah
2. Abdullah
bin Zaid bin Tsa’labah
3. Huraits
bin Zaid bin Tsa’labah
4. Sufyan
bin Bisyr bin Amru
f. Dari Bani Judarah bin Auf bin Harits
bin Khazraj
1. Tamim
bin Ba’ar bin Qais
2. Abdullah
bin Umair
3. Zaid
bin Marin bin Qais
4. Abdullah
bin ‘Urfuthah
g. Dari Bani Abjar, mereka adalah Bani
Judran bin Jauf bin Harits bin Khazraj
1. Abdullah
bin Rabi’ bin Qais
h. Dari Bani Auf bin Khazraj, kemudian
dari Bani Usaid bin Malik bin Salim bin Ghanam bin Auf bin Khazraj
1. Abdullah
bin Abdullah bin Ubay bin Salul
2. Aus
bin Khaula bin Abdullah
i. Dari Bani Jaz’u bin Adi bin Malik
bin Salim dan Bani Tsa’labah bin Malik
1. Zaid
bin Wadi’ah bin Amru
2. ‘Uqbah
bin Wahab bin Kaladah (sekutu)
3. Rifa’ah
bin Amru bin Amru bin Zaid
4. Amir
bin Salamah (sekutu dari Yaman)
5. Abu
Khamishah Ma’bad bin ‘Abbad bin Qusyair
6. Amir
bin Bukair (sekutu)
j. Dari Bani Salim bin Auf bin Amru bin
Auf bin Khazraj, kemudian dari Bani ‘Ajlan bin Zaid bin Ghanam bin Salim
1. Naufal
bin Abdullah bin Nadhlah bin Malik bin ‘Ajlan
2. ‘Utbah
bin Malik bin Amru bin ‘Ajlan
k. Dari Bani Ashram bin Fihr bin
Tsa’labah bin Ghanam bin Salim bin Auf bin Khazraj
1. Ubadah
bin Shamit
2. Aus
bin Shamit
l. Dari Bani Da’du bin Fihr bin
Tsa’labah bin Ghanam
1. Nu’man
bin Malik bin Tsa’labah bin Da’du
m. Dari Banu Qarbus bin Ghanam bin
Uayyah bin Laudzan bin Salim
1. Tsabit
bin Hazzal bin Amru bin Qarbus
n. Dari Bani Mirdhakhah dan Amru bin
Ghanam bin Umayyah bin Laudzan
1. Malik
bin Dukhsyam bin Mirdhakhah
2. Rabi’
bin Iyas bin Amru bin Ghanam bin Umayyah bin Laudzan
3. Waraqah
bin Iyas bin Ghanam
4. Amru
bin Iyas (sekutu dari Yaman)
5. Mujadzdzar
bin Ziyad bin Amru AI-Balawi (sekutu)
6. Ubadah
bin Khasykhasy (sekutu)
7. Nahhab
bin Tsa’labah bin Khazamah bin Ashram (sekutu)
8. Abdullah
bin Tsa’labah bin Khazamah bin Ashram
9. ‘Utbah
bin Rabi’ah bin Khalid bin Mu’awiyah AI-Bahrani (sekutu)
o. Dari Bani Ka’ab bin Khazraj kemudian
dari Bani Sa’idah bin Ka’ab bin Khazraj, kemudian dari Bani Tsa’labah bin
Khazraj bin Sa’idah
1. Abu
Dujanah Simak bin Kharasyah
2. Mundzir
bin Amru bin Khunais
p. Dari Bani Amru bin Khazraj bin
Sa’idah
1. Abu
Usaid Malik bin Rabi’ah bin Badan
2. Malik
bin Mas’ud bin Badan
q. Dari Bani Tharif bin Khazraj bin
Sa’idah
1. Abdu
Rabbihi bin Haqqu bin Aus
2. Ka’ab
bin Himar AI-Juhani (sekutu)
3. Dhamrah
bin Amru
4. Ziyad
bin Amru
5. Basbas
bin Amru
6. Abdullah
bin Amir AI-Balawi
r. Dari Bani Jusyam bin Khazraj,
kemudian dari Bani Salimah bin Sa’ad bin Ali bin Asad bin Saridah bin Yazid bin
Jusyam
198 Khisyay bin Shimmah bin Amru bin Jamuh.
1. Hubab
bin Mundzir bin Jamuh
2. Umair
bin Humam bin Jamuh
3. Tamim,
maula Khirasy bin Shimmah
4. Abdullah
bin Amru bin Haram
5. Mu’adz
bin Amru bin Jamuh
6. Mu’awwidz
bin Amru bin Jamuh
7. Khallad
bin Amru bin Jamuh
8. ‘Uqbah
bin Amir bin Nabi bin Zaid bin Haram
9. Habib
bin Aswad (maula mereka)
10.
Tsabit bin Jidz’u
11.
Umair bin Harits bin
Labdah
12.
Bisyr bin Barra’ bin
Ma’rur
13.
Thufail bin Nu’man
bin Khansa’
14.
Sinan bin Shaifi bin
Shakhr bin Khansa’
15.
Abdullah bin Jaddu
bin Qais bin Shakhr bin Khansa’
16.
‘Utbah bin Abdullah
bin Shakr bin Khansa’
17.
Jabbar bin Umayyah
bin Shakhr bin Khansa’
18.
Kharijah bin Humayyir
AI-Asyja’i (sekutu)
19.
Abdullah bin Humayyir
AI-Asyja’i (sekutu)
20.
Yazid bin Mundzir bin
Sarhu bin Khunnas
21.
Ma’qil bin Mundzir
bin Sarhu
22.
Abdullah bin Nu’man
bin Baldumah
23.
Dhahhak bin Haritsah
bin Zaid
24.
Sawad bin Raznu bin
Zaid
25.
Ma’bad bin Qais bin
Shakhr bin Haram
26.
Abdullah bin Qais bin
Shakhr bin Haram
27.
Abdullah bin Abdu
Manaf bin Nu’man bin Sinan
28.
Jabir bin Abdullah
bin Ri’ab
29.
Khulaidah bin Qais
bin Nu’man
30.
Nu’man bin Yasar
(maula mereka)
31.
Abul Mundzir bin
Yazid bin Amir bin Hadidah
32.
Quthbah bin Amir bin
Hadidah
33.
Sulaim bin Amru bin
Hadidah
34.
‘Antarah, maula
Quthbah bin Amir bin Hadidah, dan dia dari Bani Sulaim, kemudian dari Bani
Dzakwan
35.
‘Absu bin Amir bin
‘Adi
36.
Abul Yasar Ka’ab bin
Amru bin ‘Abbad
37.
Sahl bin Qais bin Abu
Ka’ab bin Qain
38.
Amru bin Thalq bin
Zaid bin Umayyah bin Sinan
s. Dari Bani Uday bin Sa’ad, saudara
Salimah bin Sa’ad
1. Mu’adz
bin Jabal bin Amru bin Aus bin ‘Aidz
t. Dari Bani Zuraiq bin Haritsah bin
Ghadhal bin Juzyam bin Khazraj
1. Qais
bin Mihshan bin Khaid
2. Abu
Khalil Harits bin Qais bin Khalid
3. Jubair
bin Iyas bin Khalid
4. Abu
Ubadah Sa’ad bin Utsman bin Khaladah
5. ‘Uqbah
bin Utsman bin Khaladah
6. Ubadah
bin Qais bin Amir bin Khalid
7. As’ad
bin Yazid bin Fakih
8. Fakih
bin Fisyr bin Fakih
9. Dzakwan
bin ‘Abdu Qais bin Khaladah
10.
Mu’adz bin Ma’ish bin
Qais bin Khaladah
11.
‘Aidz bin Ma’ish bin
Qais bin Khaladah
12.
Mas’ud bin Qais bin
Khaladah
13.
Rifa’ah bin Rafi’ bin
‘Ajlan
14.
Khallad bin Rafi’ bin
‘Ajlan
15.
Ubaid bin Yasid bin
Amir bin ‘Ajlan
16.
Ziyad bin Lubaid bin
Tsa’labah bin Sinan
17.
Khalid bin Qais bin
‘Ajlan
18.
Rujailah bin
Tsa’labah bin Khalid
19.
‘Athiyah bin Nuwairah
bin Amir
20.
Khalifah bin Adi bin
Amru
21.
Rafi’ bin Mu’alla bin
Laudzan
u. Dari bani Amru bin Khazraj bin
Najjar
1. Abu
Ayyub bin Khalid bin Zaid AI-Anshari
2. Tsabit
bin Khalid bin Nu’man
3. Umarah
bin Hazm bin Zaid
4. Suraqah
bin Ka’ab bin Abdul ‘Uzza
5. Suhail
bin Rafi’ bin Abu Amru
6. Adi
bin Abu Za’ba’ AI-Juhani (sekutu)
7. Mas’ud
bin Aus bin Zaid bin Ashram bin Zaid
8. Abu
Khuzaimah bin Aus bin Zaid
9. Rafi’
bin Harits bin Sawad bin Zaid
v. Dari Bani Sawad bin Malik bin Ghanam
1. Auf
bin Harits bin Rifa’ah
2. Mu’awwadz
bin Harits bin Rifa’ah
3. Mu’adz
bin Harits bin Rifa’ah
4. Nu’man
bin Amru bin Rifa’ah
5. Abdullah
bin Qais bin Khalid bin Khaladah
6. ‘Ishmah
AI-Asyja’i (sekutu)
7. Wadi’ah
bin ‘Amru AI-Juhani (sekutu)
8. Tsabit
bin Amru bin Zaid bin Adi
9. Tsa’labah
bin Amru bin Mihshan
10.
Sahl bin Atik bin
Nu’man
11.
Harits bin Shimmah
bin Amru bin Atik
w. Dari Bani Mu’awiyah bin Amru bin
Malik bin Najjar
1. Ubay
bin Ka’ab bin Qais
2. Anas
bin Mu’adz bin Anas bin Qais
x. Dari Bani ‘Adi bin ‘Amru bin Malik
bin Najjar
1. Aus
bin Tsabit bin Mundzir bin Haram
2. Abu
Syeikh bin Ubay bin Tsabit bin Mundzir bin Hamra
3. Abu
Thalhah Zaid bin Sahl bin Aswad bin Haram
4. Abu
Syeikh Ubay bin Tsabit, saudara Hassan
y. Dari Bani ‘Adi bin Najjar
1. Haritsah
bin Suraqah bin Harits
2. Amru
bin Tsa’labah bin Wahab bin Adi
3. Salith
bin Qais bin Amru bin Atik
4. Abu
Salith Usairah bin Amru, dia adalah Abu Kharijah
5. Tsabit
bin Khansa’ bin Amru bin Malik
6. Amir
bin Umayyah bin Zaid bin Has-has
7. Muhriz
bin Amir bin Malik
8. Sawad
bin Ghaziyyah bin Uhayyib AI-Balawi
9. Abu
Zaid Qais bin Sakan
10.
Abul A’war bin Harits
bin Zhalim
11.
Sulaim bin Milhan
12.
Haram bin Milhan, dia
adalah Malik bin Khalid
z. Dari Bani Mazin bin Najjar
1. Qais
bin Abu Sha’sha’ah
2. Abdullah
bin Ka’ab bin Amru
3. ‘Ishmah
AI-Asadi (sekutu)
4. Abu
Dawud Umair bin Amir bin Malik
5. Suraqah
bin Amru bin ‘Athiyah
6. Qais
bin Mukhallid bin Tsa’labah bin Shakhr
aa. Dari Bani Dinar bin Najjar
1. Nu’man
bin ‘Abdu Amru bin Mas’ud
2. Dhahhak
bin ‘Abdu Amru
3. Sulaim
bin Harits bin Tsa’labah
4. Jabir
bin Khalid bin Mas’ud
5. Sa’ad
bin Suhail bin ‘Abdu Asyhal bin Dinar
ab. Dari Bani Oais bin Malik bin Ka’ab
bin Haritsah bin Dinar bin Najjar
1. Ka’ab
bin Zaid bin Qais
2. Yuhyar
bin Yuhyar AI-’Abasi (sekutu)
Mereka-mereka yang disebut ikut pula
dalam perang Badar:
1. ‘Itban
bin Malik bin Amru AI-’Ajlan bin Zaid bin Ghanam dari Khazraj
2. ‘Ishmah
bin Hushain bin Wabarah, anak saudara ‘Itban dari Khazraj
3. Hilal
bin Mu’alla AI-Khazraji
4. Shalih
bin Syuqrat, bujang Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
Catatan-catatan:
Jumlah ahli Badar adalah 313
orang, yang benar-benar ikut di antara mereka hanya 305 orang saja,
sedangkan 8 orang yang lain tidak ikut serta karena ada udzur;
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam sendiri memberikan bagian saham kepada
mereka dari ghonimah yang berhasil direbut dari tangan kaum musyrikin Quraisy,
mereka adalah:
Dari Golongan Muhajirin:
1. ‘Utsman
bin ‘Affan, beliau memerintah ‘Utsman supaya menunggui istrinya, Ruqayyah putri
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam yang sedang sakit. Dan ‘Utman
menungguinya sampai istrinya meninggal dunia.
2. Thalhah
bin ‘Ubaidullah.
3. Sa’id
bin Zaid.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
mengirim dua orang ini (Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid) untuk
mencari- cari informasi tentang kafilah dagang Quraisy.
Dari Golongan Anshar:
1. Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir, beliau menunjuknya sebagai wakilnya di Madinah.
2. ‘Ashim
bin Adi AI-’Ajlani, beliau menunjuknya sebagai wakilnya atas penduduk ‘Aliyah.
3. Harits
bin Hathib AI-Amari, beliau mengembalikannya dari Rauha’ ke Bani Amru bin Auf
lantaran beliau mendengar berita yang tidak mengenakkan tentang mereka.
4. Harits
bin Shimmah.
5. Khawwat
bin Jubair.
[Sumber: Rasulullah Sang Panglima (Terjemahan dari
Ar-Rasuul Al-Qooid, Penulis: Mahmud Syeit Khatthab). Sumber Artikel:
http://kisahislam.com)
Catatan
kaki
1.
Kebencian banyak muslim terhadap Hisyam dapat dilihat dari julukan yang
diberikan, "Abu Jahal" (Bapak Kejahilan), yaitu nama yang lebih umum dikenal oleh kaum
Muslim saat ini.
2. Al-Qur'an Surah 22: 39-40.
'Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung
halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, "Tuhan
kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan
mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah
pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuat lagi Maha Perkasa'. Al-Quran & Terjemahnya. Revisi
Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur'an Departemen Agama RI. Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, Cet. ke-10. 2005.
3. a b Hodgson, hal. 174-175.
4. http://www.quraan.com/index.aspx?tabindex=4&tabid=11&bid=7&cid=24.
5. Meskipun kaum Muslim di sisi
lain menyatakan bahwa semuanya bermula ketika mereka pertama kali dikeluarkan
dari kota Mekkah.
6.
Sahih al-Bukhari: Volume 5, Book 59, Number 293. Sumber-sum
7. Quraisy adalah suku bangsa Arab
yang menguasai kota Mekkah. Istilah "Quraisy" dan "penduduk
Mekkah" secara umum dapat digunakan saling menggantikan, yaitu pada masa
antara peristiwa Hijrah
pada tahun 622 dan Pembebasan
Mekkah oleh kaum
Muslim pada tahun 630.
8. Lings, hal. 138-139
9. Sahih
al-Bukhari: Volume 5, Book 59, Number 287
10.
Sahih
al-Bukhari: Volume 4, Book 53, Number 359
11.
Martin
Lings, hal. 139-140.
12.
Sahih
al-Bukhari: Volume 5, Book 59, Number 286
13.
Ibnu Ishaq
mengatakan bahwa Abu Sufyan sendiri yang melihat-lihat keadaan dan menemukan
tanda-tanda bahwa para pengintai Muslim telah tiba terlebih dahulu, yaitu kurma
ransum mereka yang terjatuh dari kantung-kantung di punggung unta-unta mereka
14.
Martin
Lings, hal. 140
15.
Maksudnya
kafilah Abu Sufyan yang membawa barang dagangan dari Syiria (peny.:
Suriah). Sedangkan kelompok yang berkekuatan senjata adalah kelompok yang
datang dari Mekah dibawah pimpinan Utbah bin Rabi'ah bersama Abu Jahl. Al-Quran
& Terjemahnya. Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur'an
Departemen Agama RI. Bandung: CV Penerbit Diponegoro, Cet. ke-10. 2005.
16.
a b Sahih Muslim:
Book 19, Number 4394
17.
Martin
Lings, hal. 142
18.
Lings,
hal. 154.
19.
Lings,
hal. 142.
20.
Armstrong,
hal. 174
21.
Lings,
hal. 142-143.
22.
Armstrong,
hal. 175.
23.
Lings,
hal. 143-144.
24.
Armstrong,
hal. 174-175.
25.
Lings,
hal. 144-146.
26.
Sunan Abu
Dawud: Book 14, Number 2659
27.
Sunan Abu
Dawud: Book 14, Number 2658
28.
"Defaced
be those faces!", Armstrong, hal. 176.
29.
a b c Lings, hal. 148.
30.
Al-Qur'an
Surah 3: 123-125. "Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan
Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya". "(Ingatlah),
ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, 'Apakah tidak cukup bagi kamu Allah
membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?'".
"Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu
malaikat yang memakai tanda". Al-Quran & Terjemahnya. Revisi
Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur'an Departemen Agama RI. Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, Cet. ke-10. 2005.
31.
a b Armstrong, hal. 176.
32.
Sahih
al-Bukhari: Volume 4, Book 52, Number 276
33.
al-Qur'an:
Surah 8: 67-69. "Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum
ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan
yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu
ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Al-Quran &
Terjemahnya. Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur'an
Departemen Agama RI. Bandung: CV Penerbit Diponegoro, Cet. ke-10. 2005.
34.
Kejadian
serupa terdapat pada Bible,
misalnya pada Alkitab Versi Raja James
1 Samuel: 15, ketika Tuhan menghukum Saul karena membiarkan hidup para tawanan
yang diperintahkan Tuhan untuk dibunuh.
35.
Lings,
hal. 149-151
36.
Lings,
hal. 149-152
37.
Sahih Al-Bukhari:
Volume 3, Book 38, Number 498.
38.
Al Muslim:
Book 040, Number 6870.
39.
Sahih
al-Bukhari: Volume 5, Book 59, Number 325
40.
Hodgson,
hal. 176-178.
41.
Termasuk
Abu
Lahab yang sudah
tua, yang tidak ikut ke Badar tetapi meninggal di Mekkah dalam beberapa hari
setelah pasukan kembali.
42.
Sahih
al-Bukhari: Volume 5, Book 59, Number 357
43.
Sahih
Al-Bukhari: Volume 5, Book 59, Number 358.
44.
Armstrong,
hal. 179.
45.
Kennedy,
Hugh (1985). The Prophet and the Age of the Caliphate. Longman.
ISBN
0-582-40525-4.,
hal. 355.