Pages

Rabu, 22 Januari 2014

197. HUJJATUL ISLAM IMAM ABU HAMID AL GHAZALI


Makam Imam Ghazali di Tus, kini Iran


(c. 1108) al-Munqidh min al-dalal (The Deliverer from Error), ed. J. Saliba and K. Ayyad, Damascus: Maktab al-Nashr al-‘Arabi, 1934; trans. W M. Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali, London: Allen & Unwin, 1953; trans. R.J. McCarthy, Freedom and Fulfillment: An Annotated Translation of al-Ghazali’s al-Munqidh min al-Dalal and Other Relevant Works of al-Ghazali, Boston, MA: Twayne, 1980. (Al-Ghazali’s spiritual autobiography.)

Al-Munqidz min Adh-Dhalal

Muqaddimah dari Pengarang.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, yang dengan puji-Nya terbukalah semua pintu risalah dan makalah, shalawat beserta salam semoga mengalir deras atas junjungan kita Nabi besar Muhammad Sang pilihan dan Sang pemilik nubuwwah serta risalah, dan juga kepada seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah menghantarkan manusia dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar. 
Wahai saudaraku seagama, anda telah meminta kepadaku supaya aku mengurangi puncak dari berbagai ilmu beserta rahasia-rahasianya, dan tentang berbagai madzhab yang seringkali membingungkan fikiran. Dan aka aku ceritakan kepada anda tentang :

- Kesulitan-kesulitan dalam upaya memurnikan perkara yang haq (benar) dari celah-celah kekacauan berbagai golongan yang disertai kontradiksinya beberapa cara dan metoda.

- Keberanianku mengangkat dari dasar taqlid (ikut-ikutan) menuju kepada ketinggian istibshar (mengenali sesuatu dengan analisa).

- Apa yang telah aku giring pertama kali “ilmu kalam”, kedua apa yang telah aku muat dari teori ahli ta’lim yang memiliki pemikiran sempit untuk mengetahui pengerrtian haq (kebenaran) dalam bertaqlid kepada Sang imam, ketiga tentang cara-cara kaum filsafat dalam menggunakan filsafatnya, dan yang terakhir adalah apa yang sangat disukai tentang cara-cara kehidupan yang ditempuh oleh kaum sufi.

- Apa yang telah berhasil aku urai dalam memperkuat penyelidikanku tentang berbagai pendapat publik dari intinya kebenaran.

- Apa yang menyebabkanku tidak mau menyebarkan ilmu di Baghdad padahal siswanya banyak.

- Dan faktor yang mendorongku untuk kembali pulang ke Naisabur sesudah sekian lama aku tinggalkan. Maka semua permintaan anda aku bergegas menjawabnya, sesudah aku tahu persis akan ketulusan kecintaan anda. Kemudian dalam memenuhi permintaan serta menjawab pertanyaan-pertanyaan anda itu, aku perlu minta pertolongan Allah dan berserah diri kepada-Nya guna mendapat taufik dan mendapat perlindungan-Nya.


  Sebuah kotak pena milik Imam Ghazali, diawetkan di museum Kairo.


Ketahuilah, semoga Allah Yang Maha Tinggi menambah bagusnya petunjuk yang telah Dia berikan kepadamu, dan semoga Dia melunakkan hati sanubarimu agar mau menerima sesuatu yang hak. Sesungguhnya perbedaan makhluk dalam masalah agama, kemudian perbedaan bangsa dalam segi alirannya karena banyak firqah (golongan) serta kontradiksinya metoda merupakan lautan yang amat dalam yang dapat menenggelamkan banyak manusia dan tak ada yang berhasil selamat kecuali beberapa gelintir orang saja, dan sudah bisa dipastikan bahwa tiap-tiap golongan atau kelompok punya dugaan kuat bahwa kelompoknya itulah yang selamat, seperti pernyataan Allah yang tertera dalam Al-Quran :  


...كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“...Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”. (QS. Al-Mu’minun : 53).
Hal yang demikian itu telah pula dijanjikan kepada kita oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْن فِي النَّارِ. قِيْلَ يَا رَسُولُ اللهِ مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : الْجَمَاعَة
“Dari ’Auf bin Maalik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka”. Beliau ditanya : ”Ya Rasulullah, siapakah satu golongan itu ?”. Beliau menjawab : ”Al-Jama’ah”. (HR. Ibnu Majah nomor 3992, Ibnu Abi ’Ashim 1:32 nomor 63)
Hampir saja apa yang telah dijanjikan kita itu terwujud dan senantiasa ada pada usia mudaku, yaitu ketika aku menginjak usia remaja sebelum meningkat kepada usia dua puluh tahun sampai sekarang. Dan ketika usiaku sudah mencapai lima puluh tahun lebih, aku mengarungi intinya lautan yang dalam lalu aku menyelam ke dalamnya bukanlah seperti seorang pengecut yang sangat penakut, tetapi aku menelusuri setiap sisi yang amat gelap dan aku serang setiap ada rintangan kemusykilan, aku hamburkan diriku pada setiap tanah berlumpur, dan saya memeriksa setiap akidah masing-masing golongan. Semuanya itu aku lakukan demi mengetahui dan menyingkap berbagai rahasia madzhab setiap kelompok supaya nantinya aku bisa membedakan antara yang terhapus dan yang yang tak terpakai, antara yang berdasarkan sunnah dan yang hanya berdasarkan bid’ah, dan setiap aku bertemu dengan ahli kebatinan maka aku senang untuk meneliti sampai pada kepercayaan kebatinannya, dan juga ketika berpapasan dengan ahli dzahir, akupun kepingin mengorek keberhasilan faham itu.
Demikian pula jika aku berjumpa dengan seorang ahli filsafat niscara aku berkeinginan untuk mengetahui secara mendalam tentang filsafatnya, begitu pula jika bertemu dengan seorang ahli Kalam (ahli ilmu teologi) maka aku uji dan aku selidiki secara mendalam pada pokok-pokok ajarannya serta berdebat dengannya. Dan apabila bertemu dengan seorang ahli tasauf, maka aku telusuri inti dan berbagai rahasia tasaufnya. Apabila bertemu dengan seorang ahli ibadah (Muta’abbid) niscara meneliti apa tujuan akhir dari keberhasilan ibadahnya. Dan jika berjumpa dengan seorang zindiq yang atheis, maka aku menelusup dibaliknya untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan keberaniannya dalam kekafiran serta kezindikannya.
Menghadapi masalah-masalah seperti itu benar-benar sudah merupakan kegemaranku sejak aku kecil, yaitu menyelidiki dan membuat perbandingan guna menemukan berbagai hakikat. Dan hal itu sekaligus merupakan bakat pembawaanku sebagai fitrah yang telah dianugerahkan Allah pada perangaiku, dan bukannya hasil usaha dan jerih payahku sendiri. Sehingga pada akhirnya tertukarlah segala ikatan taklid dan berantakanlah berbagai akidah warisan yang ada padaku pada usiaku yang masih muda. Sebab saya telah melihat bahwa anak-anak Kristen tidaklah hidup kecuali mengikut kekristenannya, dan anak-anak Yahudi juga tidaklah hidup melainkan mengikuti ajaran Yahudinya, demikian pula anak-anak Islam tidaklah tumbuh kecuali menganut ajaran Islam, dan saya telah mendengar sebuah hadits yang diceritakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَرَأَيْتَ لَوْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ “اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang musyrik.” Lalu seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum itu?” Beliau menjawab: “Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.” (HR. Muslim)
Maka tergeraklah hatiku untuk memperoleh hakikat fitrah yang asli itu dan hakikat kepercayaan-kepercayaan yang berada dari orang tua dan para guru. Sedangkan membedakan antara berbagai taklid ini dan beberapa permulaannya memerlukan beberapa bahan kajian dan dalam menentukan apa yang benar dengan yang batil dari beberapa taklid itu terdapat beberapa perbedaan dan perselisihan pikiran.
Oleh karena itu aku berkata kepada diriku sendiri : “Pertama-tama sasaran yang aku cari adalah mengetahui tentang beberapa hakikat perkara, sehingga aku harus mencari apa hakikat ilmu yang sebenarnya itu? Kemudian berhasil aku temukan bahwa Ilmu Yakin-lah yang dapat menyibak perkara yang sudah diketahui (ma’lum) yang sama sekali tidak meninggalkan keraguan, tidak dibarengi dengan kemungkinan salah dan terlepas dari campuran khayalan yang tidak dapat diterima oleh fikiran sehat. Dan hati tidak mampu mengira-ngirakan hal itu, bahkan keamanan dari kekeliruan sudah seyogyanya bila berbarengan dengan yakin dengan suatu perbandingan andaikata saha ada orang yang berani menyatakan kesalahan—umpamanya saja—seorang telah berhasil merubah batu menjadi emas dan tongkat menjadi seekor ular naga, niscaya hal itu semua tidak menimbulkan sedikitpun keraguan serta ketidakpercayaanku.
Sebab aku sudah tahu bahwa sepuluh itu lebih banyak dari pada tiga. Dan andaikan saja terdapat seseorang yang berkata, “Tidak, tetapi tiga bilangan yang lebih banyak daripada sepuluh berdasarkan bukti bahwa saya bisa merubah tongkat menjadi ular dan aku juga menyaksikannya, maka aku tidak lalu menjadi ragu-ragu karena aku juga tidak menjadi kagum atas bagaimana caranya dia memiliki kemampuan atas hal itu. Adapun keraguan terhadap apa yang telah menjadi pengetahuanku maka itu tidak mungkin terjadi, sebab segala sesuatu yang tidak aku ketahui dan tidak aku yakini dalam segi ini berarti dia merupakan ilmu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan sekaligus tidak bisa dijamin keamanannya, padahal setiap ilmu yang tidak bisa dijamin keamanannya tidaklah bisa dikatakan Ilmu Yakin.
Pembicaraan tentang Aliran Pengajaran dan Berbagai Bahayanya Setelah aku rampung mengkaji, mendapatkan, memahami ilmu filsafat dan mengatakan palsu mana yang mesti perlu dikatakan palsu, tahulah aku bahwa semua itu belumlah cukup mencapai sasaran secara sempurna, sebab akal secara sendirian tidaklah akan mampu menguasai semua persoalan secara menyeluruh dan tidak mampu menyingkap segala tabir kesulitan. Telah muncul kemasyhuran “Aliran Pengajaran” dan telah tenar pula dikalangan manusia akan perlawanannya terhadap pengetahuan tentang makna beberapa perkara ditinjau dari segi “Imam yang ma’shum” yang berdiri pada garis kebenaran, sehingga aku tertarik untuk membahas makalahnya untuk sekadar menilik catatan dan isi yang terkandung di dalam kitab-kitabnya.
Kemudian secara kebetulan aku mendapat perintah resmi dari Yang Mulia Khalifah untuk mengarang sebuah kitab yang mengungkap tentang aliran mereka, sehingga aku tidak kuasa lagi untuk menolak perintah Khalifah, lalu hal itu menjadi suatu yang dianggap baik dari pihak luar batinku yang sesuai dengan dorongan asli dari batinku. Aku mulai mencari kitab-kitab mereka lalu kukumpulkan makalah mereka, dan sementara kata-kata mereka yang merupakan hasil fikiran mereka telah sampai kepadaku di mana kata-kata itu melahirkan beberapa kekhawatiran terhadap penduduk masa itu, sebab tidak menempuh cara-cara yang telah dirintis oleh golongan pendahulu (Ulama Salaf).
Kemudian aku berhasil mengumpulkan kata-kata itu lalu saya urutkan dengan cara yang sedemikian rupa apiknya dan masih dibarengi dengan kecermatan dan ketelitian. Tak lama aku juga berhasil membikin sebuah jawabannya sehingga sebagian “Ahli Haq” tidak mempercayai keterlaluanku dalam menetapkan argumentasi kepada mereka dan katanya: “Ini merupakan suatu usaha untuk mengalahkan mereka, sebab masih merasa tidak mampu untuk menolong aliran mereka dalam menghadapi syubhat-syubhat ini, andaikan saja kecermatan serta ketertiban anda terhadap hujjah (argumentasi) itu tidak ada. Pengingkaran ini jika dipandang dari satu segi memang benar.
Ahmad bin Hambal telah mengecam Al-Harits Al-Muhasibi terhadap kitab karangannya tentang bantahannya terhadap Golongan Mu’tazilah. Harits berkata: “Membantah atas perkara bid’ah itu hukumnya fardhu”. Lantas Ahmad bin Hambal menjawab: “Ya, tetapi anda harus kemukakan untuk pertama kalinya kesyubhatan mereka, barulah kemudian anda menjawabnya sehingga anda tidak merasa aman jika dia menelaah syubhat dari konteks jawaban anda itu dengan memahaminya, dan tidak berpaling atau melihat kepada jawaban anda dan tidak memahami hakikatnya”.
Apa yang telah disebutkan oleh Ahmad bin Hambal memang merupakan sesuatu yang benar, akan tetapi kebenaran itu masih dalam kesyubhatan yang belum tersebar dan terkenal di kalangan orang banyak. Apabila kesyubhatan yang telah disebutkan tadi sudah tersebar secara umum, maka syubhat itu wajib ditanggapi, dan tanggapan itu tidak mungkin dilontarkan keculi sesudah dikemukakannya faktor apa yang menyebabkan kewajiban ditanggapinya syubhat.
Ya seyogyanya syubhat itu tidak dibebankan kepada mereka di mana syubhat itu tidak mampu mereka pikul dan aku pun tidak akan membebani hal itu, tetapi aku sendiri telah mendengar syubhat itu dari salah seorang temanku yang tidak sependapat sesudah dia bertemu dengan mereka dan menyelami aliran mereka. Lalu dia bercerita bahwa mereka sama mentertawakan berbagai karangannya para pengarang yang membuat sanggahan atas mereka sebab katanya mereka sama sekali tidak faham sesudah mereka melontarkan argumentasi; lalu dia pun menceritakan dan menyebutkan argumentasi itu dari mereka, sehingga aku tidak rela jika dia menganggapku sebagai orang yang teledor dari pokok argumentasi mereka. Oleh karena itu aku menyebutkannya.
Di samping itu aku pun tidak rela apabila dia menyangkaku tidak faham terhadap argumentasi itu kendati pun aku sudah mendengarnya, oleh karena itulah sekalian aku tetapkan hujjah (argumentasi) itu. Sedangkan maksud dan tujuanku ialah menjelaskan kepada mereka akan kemungkinan yang paling jauh, kemudian baru aku tujukan kekeliruannya. Walhasil tidak ada suatu keberhasilan pun bagi mereka ini dan juga tidak ada keunggulan bagi omongan mereka. Andaipun tidak ada buruknya pertolongan seorang teman yang bodoh, niscara bid’ah itu yang disertai dengan kelemahannya tiada akan sampai kepada derajat ini. Akan tetapi karena hebatnya fanatismelah yang mendorong argumentasi ini melenceng dari kebenaran menuju kepada memperpanjang perselisihan dengan mereka di dalam mukaddimah-mukaddimah omongan mereka dan untuk selalu mengingkari dan menentang setiap apa yang mereka ucapkan, sehingga pada akhirnya mereka saling bantah satu sama lainnya tentang dakwaan mereka yang membutuhkan kepada pengajaran dan kepada seorang guru dan dakwaan mereka bahwa setiap guru haruslah terdiri dari guru yang ma’shum.
Argumentasi mereka nampak sekali dalam menampilkan kebutuhan kepada pengajaan dan guru serta lemahnya sanggahan orang-orang yang mengingkari dalam rangka menentangnya, sehingga dengan demikian ada sekelompok orang yang sudah terbujuk lalu mereka mengira bahwa hal itu timbul karena kuatnya aliran mereka dan lemahnya aliran orang yang menentangnya, sedangkan mereka tidak memahami bahwa itu timbul karena lemahnya sanggahan kebenaran serta ketidak-tahuannya tentang metoda menyanggah. Mestinya yang benar adalah mengakui kebutuhan kepada seorang guru dan hal itu tidak bisa ditawar lagi, dan hendaknya seorang guru itu seorang yang ma’shum, akan tetapi guru kita yang ma’shum hanyalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka apabila mereka berkata: “Beliau telah mati”, kita jawab saja: “Guru kalian sedang tidak ada”. Jika mereka berkata: “Guru kita telah mengajar para da’i dan telah menyebar mereka di berbagai negeri dan dia sedang menanti pemeriksaan terhadap mereka jika terjadi perselisihan atau terjadi suatu kemusykilan yang sedang mereka alami”, maka kita jawab saja: “Guru kita telah mengajar kepada para da’i dan menyebar mereka di berbagai negeri dan dia telah berhasil menyempurnakan pengajarannya,” sebab Allah ta’ala telah berfirman :
...الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ...
“...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.…” (QS. Al-Maidah : 3).
Sesudah pengajaran itu dianggap sempurna, kematian seorang guru tidak akan membawa dampak apa-apa seperti halnya kepergian atau ketidak adaan guru tidak akan mengundang dampak apa-apa, sebab ucapannya masih tetap ada. Setelah dihadapkan pada argumentasi seperti ini, mereka masih saja berusaha mengemukakan sanggahan kepada kita: “Bagaimana mereka bisa menetapkan hukum terhadap sesuatu di mana mereka tidak mendengarnya? Apakah dengan nash, padahal mereka jelas tidak mendengarkannya langsung ataukah dengan ijtihad dan pendapat (ra’yu) padahal hal itu masih merupakan sumbernya khilaf?” Maka kita jawab saja: “Kita melakukan apa yang telah dilakukan oleh Muadz ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya pergi ke Yaman, atau kita menetapkan hukum dengan dasar nash jika ternyata ada, dan dengan cara ijtihad tatkala nash itu tidak ditemukan.”
Bahkan kita bisa memakai caranya beberapa da’i jika mereka bertempat jauh dari pada Imam di pojok bumi sebelah timur, karena nash-nash yang terbatas jumlahnya tidaklah mampu menjabarkan dan mengartikan peristiwa-peristiwa yang tidak terbatas jumlahnya, di samping itu tidaklah mungkin kembali ke negerinya Imam atau menempuh jarak yang sedemikian jauhnya lalu kembali lagi membawa setiap masalah yang sedang terjadi, padahal orang yang dimintai fatwa sudah mati, dan dengan demikian kita akan kembali dengan tangan hampa.
Contoh lain yang perlu kita sodorkan adalah suatu permasalahan: Jika ada seseorang yang kesulitan dalam menentukan arah kiblat, maka tiada cara lain yang dia pakai kecuali dengan ijtihad. Sebab andaikata dia pergi ke negerinya Imam untuk mengetahui arah kiblat, niscaya akan habislah waktu shalatnya. Maka andaikata shalat dilakukan menghadap kepada selain kiblat, berdasarkan atas “zhan” (sangkaan) dan katanya Ahli Ushul Fiqh: “Seorang yang keliru dalam ijtihadnya, mendapatkan ganjaran satu, dan orang yang mengena (benar) dalam ijtihadnya memperoleh dua ganjaran”, maka begitu pula dalam semua bentuk ijtihad.
Demikian pula masalah memberikan zakat kepada seorang fakir, barangkali dia akan menduganya sebagai orang fakir sungguhan berdasar pada ijtihadnya, padahal sebenarnya dia merupakan seorang yang kaya dalam batinnya dengan menyembunyikan hartanya. Oleh karena itu dia tidak akan disiksa kendatipun dia bertindak keliru, sebab dia tidak akan dituntut kecuali memenuhi persangkaannya.
Apabila dikatakan: “Persangkaan orang yang tidak cocok dengannya sesuai dengan persangkaannya”, maka kita akan menjawab: “Dia tetap diperintahkan mengikuti persangkaannya sendiri, kendatipun tidak sefaham dengan orang lain”.
Permasalahan lagi; apabila ada seorang yang berkata: “Seorang yang bertaklid kepada Abu Hanifah, Syafi’i atau lain-lainnya”, maka saya akan mengatakan: “Orang yang bertaklid dalam masalah kiblat tatkala merasa bimbang di mana para mujtahid saling tidak ada kecocokan, tindakan apa yang akan dia perbuat? Dia hendaklah melakukan ijtihad untuk mengetahui mujtahid mana yang lebih utama dan lebih tahu tentang petunjuk-petunjuk kiblat, sehingga dia boleh mengikuti ijtihadnya, demikian pula dalam madzhab-madzhab yang lain, sebab mengembalikan manusia kepada ijtihad merupakan suatu keharusan”.
Para Nabi dan para Imam yang masih disertai kepandaiannya kadang-kadang masih saja keliru, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda: “Saya menghukumi dengan yang lahir saja, namun Allah jualah yang menguasai hati”. Artinya saya menghukumi dengan persangkaan yang menang yang dihasilkan dari omongan yang nyata.
Dan terkadang mereka juga mengalami kesalahan sehingga tidak ada cara lagi untuk menghindari dari kekeliruan itu bagi para Nabi seperti dalam persoalan ijtihad ini. Dalam persoalan ijtihad ini, para mujtahid mempunyai dua problem :
1.   Pendapat mereka yang mengatakan bahwa ijtihad yang seperti di atas itu boleh, namun kalau ijtihad itu terarah pada norma-norma akidah terang tidak boleh, sebab orang yang melakukan kesalahan dalam ijtihad ini tidaklah mendapatkan kemaafan, lantas perkembangan selanjutnya bagaimana cara mengatasinya.   Saya jawab : “Norma-norma akidah telah termuat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan apa saja dari perkara yang berada di belakang itu yang terdiri dari perinciannya serta masalah yang masih diperselisihkan itu bisa diketahui dengan timbangan yaitu “Al-Qisthas Al-Mustaqim”, yaitu timbangan-timbangan yang telah disebutkan oleh Allah ta’ala dalam Kitab-Nya, di mana perkara itu ada lima yang telah saya sebutkan di dalam kitab “Al-Qisthas Al-Mustaqim”.
Andaikan ada yang berkata: “Lawan-lawan anda tidak cocok dengan anda dalam timbangan itu”, maka langsung akan saya jawab: “Tidak bisa digambarkan bagaimana cara memahami timbangan itu, kemudian bisa tidak cocoknya dengannya, karena timbangan itu tidak akan ditentang oleh Ahli pengajaran karena saya justru mengeluarkannya dari Al-Quran dan saya mengajarkannya dari situ. Dan juga tidak akan ditentang oleh Ahli Mantiq (logika) sebab dia telah sesuai dengan apa yang telah mereka syaratkan dalam ilmu mantiq dan tidak bertentangannya dengannya. Di samping itu tidak akan berselisih dengan Ahli Kalam sebab dia sesuai dengan apa yang telah mereka sebutkan dalam dalil-dalil analisa, dan karenanya bisa diketahui suatu kebenaran di dalam ketuhanan.”
Apabila ada seorang yang berkata: “Apabila anda memiliki kekuasaan contoh pada timbangan ini, lantas kenapa anda tidak menghilangkan khilaf di antara manusia?” Saya menjawab: “Andaikan mereka mau mendengarkan secara seksama kepadaku niscara aku mau menghilangkan di antara mereka, dan saya ingkatkan tentang caranya menghilangkan khilaf di dalam kitab “Al-Qisthas Al-Mustaqim”, maka camkanlah agar anda tahu bahwa hal itu merupakan perkara yang benar dan dapat menghilangkan khilaf secara pasti, andaikan mereka mau mendengarkan dengan serius, padahal mereka seluruhnya tidaklah mau mendengarkan dengan serius.”
Bahkan saya cenderung mengamati kepada salah satu kelompok sehingga aku menghilangkan khilaf di antara mereka, sementara itu di depan anda menghendaki tersirnanya suatu khilaf di antara mereka dengan tidak disertai keseriusan mereka. Maka kenapa khilaf itu tidak terhapus sampai sekarang, dan kenapa pula Ali radhiyallahu ‘anhu—padahal dia adalah seorang pemimpinnya para imam—tidak menghilangkan khilaf atau dia mengakui sebagai orang yang mampu membawa seluruh manusia untuk mendengarkan secara serius. Lalu kenapa dia tidak mau membawa mereka sampai sekarang lalu sampai kapan masanya.
Adakah antara makhluk dikarenakan da’wahnya tiada terjadi kecuali bertambahnya khilaf serta bertambahnya orang yang berselisih. Ya memang demikian adanya, sebab yang dikhawatirkan dari timbulnya khilaf adalah semacam kerusakan yang tidak akan berhenti sampai dengan mengalirkan darah, menghancurkan negeri-negeri, membikin yatimnya anak-anak, mengadakan aksi penghadangan di tengah-tengah jalan serta mengadakan penggarongan terhadap benda lain. Dari barakahnya anda dapat menghilangkan khilaf, di dunia ini terjadi sesuatu yang belum pernah anda alami.
2. Jika ada seorang yang berkata: “Anda telah mengaku bisa menghilangkan khilaf yang sedang melanda manusia, akan tetapi orang yang masih bingung tentang berbagai madzhab (aliran) yang saling bertentangan dan beberapa perselisihan yang saling berhadapan tidaklah harus mengundang keseriusan kepadamu apalagi musuhmu, padahal anda memiliki beberapa musuh yang tidak seide dengan anda sehingga akhirnya tiada lagi perbedaan lagi antara anda dan antara mereka.” Lantas jawaban saya adalah: “Pertama-tama problema ini akan membalik kepada anda sendiri.” Sebab jika anda mengundang orang yang ragu-ragu ini kepada anda lantas orang ini bertanya: “Dengan apa anda bisa menjadi orang yang lebih utama dari pada orang yang menentang anda, padahal kebanyakan ahli ilmu sama tidak cocok lagi dengan anda maka alangkah mustahilnya, dengan apa anda menjawab, apakah anda akan memberi jawaban dengan ucapan: “Di depanku terdapat sesuatu yang telah di nash”. Kemudian kapan lagi dia akan membenarkanmu dalam mengakui nash padahal dia tidak mendengar nash itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dia hanya tidak mendengar pengakuanmu bersamaan dengan kesepakatan ahli ilmu untuk mendustakanmu. Kemudian dia berusaha menyerahkan nash kepadamu. Maka apabila dia masih ragu-ragu dalam asal-usul kenabian, lantas dia berkata: “Di depan anda terpampang mu’jizatnya Isa”, maka dia berkata: “Yang membuktikan atas kebenaranku adalah bahwa saya bisa menghidupkan ayahmu”, sehingga ternyata dia bisa menghidupkannya, lalu ayahmu itu bisa bicara kepadaku bahwa sayalah yang benar. Kemudian dengan sarana apa aku mengetahui kebenarannya sedangkan semua manusia tidak mengetahui kebenaran Isa dengan mu’jizat ini, bahkan dia masih menanggung berbagai pertanyaan sulit yang belum bisa dipecahkan kecuali dengan cermatnya analisa aqli, padahal analisa aqli tidaklah dapat dipertanggung jawabkan di depan anda, di samping itu tidak bisa diketahui konotasi mu’jizat atas kebenarannya selagi belum diketahui dulu hakikat sihir dan perbedaannya dengan mu’jizat dan selagi belum diketahui bahwa Allah tidaklah menyesatkan hamba-hamba-Nya, sedangkan pertanyaan penyesatan dan sulitnya jawaban tentang pertanyaan itu sudah masyhur. Kemudian dengan apa semua itu bisa ditolak? Padahal di depan anda tidak ada yang lebih utama untuk diikuti dari pada orang yang menentangnya sehingga dia akan kembali kepada dalil analisa yang diingkarinya.
Dan penentangnya memaparkan contoh dalil itu dan lebih jelas dari pada itu. Problema di atas ini mengundang revolusi besar-besaran atas mereka andaikata orang-orang dahulu dan orang-orang yang akhir berkumpul untuk mengadakan pembebasan dari pertanyaan (problema) tersebut sebagai suatu jawaban niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, sebab kerusakan ini hanya timbul dari kelompok lemah yang mendebat mereka, sehingga mereka tidak menyibukkan dengan hatinya, tetapi dengan jawaban, padahal yang demikian itu termasuk memperpanjang omongan dan tidak cepat memberi kefahaman sehingga tidaklah patut untuk bisa mendiamkan dengan dalil-dalil.
Sekarang, jika seandainya ada seorang yang berkata: “Ini adalah hati”. Lantas apakah hal itu sudah merupakan jawabannya. Kemudian aku menjawabnya: “Ya, jawabannya adalah bahwa seorang yang ragu-ragu berkata: “Saya bingung”, sedangkan dia tidak mau menjelaskan masalah kebingungannya maka katakan saja kepadanya: “Anda seperti orang sakit yang berkata: “Saya sakit”, tetapi tidak mau menyebutkan apa sakit yang menimpanya lalu dia minta untuk diobati”. Oleh karena itu jalan satu-satunya yang paling tepat adalah katakan saja kepadanya: “Tidak disediakan obat untuk mengobati orang yang sakit secara mutlak, tetapi hanya disediakan obat bagi orang yang terkena sakit tertentu, seperti kepala pening, mencret, dan lain-lainnya”.
Begitu pula seyogyanya orang yang bingung hendaknya menjelaskan apa yang menyebabkan kebingungannya. Sehingga apabila dia telah menjelaskan masalah sebenarnya, maka masalah tersebut bisa diketahui kebenarannya dengan timbangan yaitu “Al-Mawazin Al-Khams” (timbangan lima)—yang tidak difahami oleh seseorang kecuali orang itu mengakui bahwa timbangan itu merupakan timbangan yang benar yang bisa dipercaya setiap apa yang ditimbang di situ, sehingga dia memahami timbangan itu, dari situ pula dia akan bisa memahami kebenaran timbangan itu, seperti halnya seorang yang belajar ilmu hitung akan bisa memahami hakikat ilmu hitung itu sendiri dan keadaan ahli hitung yang mengajar itu pandai berhitung dan jujur kepadanya. Hal itu telah aku jelaskan di dalam kitab “Al-Qisthas” di dalam ukuran dua puluh halaman, maka sebaiknya camkanlah.
Maksudku sekarang tidaklah menjelaskan rusaknya aliran mereka, sebab hal itu telah aku sebutkan di dalam kitab: “Al-Mustazhiri” “Hujjatul Haq”, di mana kitab ini merupakan sanggahan yang diajukan kepadaku ketika sedang berada di Baghdad. “Mufashshilul Khilaf” yang berisi dua belas fasal yang merupakan sanggahan yang dilontarkan kepadaku sewaktu berada di Hamadan. “Ad-Darjud Marqum bil Jadawil”, di mana kitab ini memuat sebagian omongan mereka yang lemah. Konon omongan ini disodorkan kepadaku sewaktu berada di Thus.
“Al-Qisthas”, di mana kitab ini merupakan kitab tersendiri yang maksudnya adalah menjelaskan neracanya berbagai ilmu dan ketidakbutuhan kepada imam bagi orang yang sudah mampu terhadap ilmu itu sendiri. Bahkan maksud utama adalah menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki sedikitpun obat yang dapat menyelamatkan dari berbagai kegelapan pendapat dan pandangan, dan justru disertai kelemahan mereka dalam memasang dalil untuk mendapatkan imam tertentu.
Sebenarnya telah lama apa yang telah kami eksperimenkan kepada mereka akan kebutuhannya kepada pengajaran dan kepada seorang guru yang ma’shum sehingga kami membenarkan kepada mereka akan hal itu, dan bahwasanya hal itulah yang telah mereka tetapkan dan telah mereka nyatakan. Kemudian kami bertanya kepada mereka tentang ilmu yang mereka pelajari dari seorang guru yang ma’shum ini, lalu kami sodorkan kepada mereka akan berbagai masalah yang sulit. Ternyata mereka tidak bisa memahaminya, apalagi berusaha untuk memecahkannya. Maka tatkala mereka sudah tidak mampu, mereka usaha mencari imam yang telah pergi (ghaib) dan mereka berkata: “Kami harus berusaha mencarinya”, sedangkan yang selalu menjadi keheranan saya adalah: kenapa mereka menyia-nyiakan umur mereka hanya sekadar mencari seorang guru dan berhasil mendapatkannya, sedangkan mereka sama sekali tidak belajar ilmu darinya seperti orang terlumuri najis di mana dia dengan susah payah mencari air, hingga tatkala dia telah mendapatkannya maka dia tidak mau memakainya dan dibiarkan dirinya masih terlumuri najis.
Di antara mereka ada seorang yang mengaku telah terbasil memiliki sesuatu ilmu mereka. Padahal apa yang dia sebutkan hanya sekelumit ilmu filsafatnya. Phithagoras (seorang filosof Yunani kuno) dan alirannya merupakan aliran filsafat yang paling lemah. Telah diturunkan dan disebutkan bahwa Aristoteles telah menganggap lemah dan menganggap rendah omongannya, dan dialah yang telah bercerita di dalam kitab “Ikhwan ash-Shafa” padahal kitab Ikhwan ash-Shafa merupakan kitab penting bagi ilmu filsafat.
Yang mengherankan bagi orang yang telah susah payah menghabiskan umur dalam meraih ilmu kemudian dia hanya puas terhadap ilmu yang sekecil itu dan dia menyangka bahwa dia telah berhasil meraih maksud-maksud ilmu yang paling final. Mereka ini, juga kamu uji dan telah kami ukur serta kami periksa lahirnya maupun hatinya, sehingga akhirnya kembalilah pada kesimpulan bahwa ternyata mereka akan hanya memperdayakan serta menjerumuskan orang-orang yang masih awam dan lemah-lemah akalnya, terbukti dengan masih butuhnya mereka kepada seorang guru dan mendebat mereka dalam keingkaran mereka yang membutuhkan kepada pengajaran dengan omongan yang kuat dan sulit dibantah, sehingga tatkala ada seorang yang membantu mereka atas kebutuhannya kepada seorang guru dan pembantu itu berkata: “Berikanlah kepada kami ilmu sang guru itu dan kami akan mendapatkan faidah dari pengajarannya”, maka dia hanya diam saja. Kemudian dia berkata” “Sekarang jika anda menyerahkan masalah ini kepadaku, maka carilah ia, sebab penyodoranku hanyalah sekadar ini saja”.
Sebab sudah diketahui andaikata lebih atas hal itu niscaya terbongkarlah skandalnya dan niscaya dia akan tidak mampu memecahkan berbagai kemusykilan yang paling rendah sekalipun, bahkan dia tidak mampu memahaminya, apalagi menjawabnya. Demikianlah ini kondisi mereka yang sebenarnya. Oleh karena itu berilah khabar tentang mereka. Maka tatkala kami mengkhabarkan mereka maka kami melepaskan tanggung jawab dari mereka juga.
Golongan-golongan Ahli Filsafat dan Tanda Kekufuran yang Mempengaruhi Mereka Perlu anda ketahui bahwa mereka, berdasarkan atas banyaknya kelompok dan perbedaan aliran, terbagi menjadi tiga kelompok :
1. Kelompok Dahriyyun (skeptik).
2. Kelompok Thabi’iyyun (kealaman).
3. Kelompok Ilahiyyun (ketuhanan).
Kelompok Dahriyyun (Skeptik): Adalah suatu kelompok dari para filosof yang terdahulu di mana mereka tidak percaya terhadap adanya Sang Pencipta Yang Mengatur alam ini dan Yang Maha Kuasa. Mereka mempunyai dugaan kuat bahwa alam ini senantiasa telah ada sejak dahulu seperti ini, tidak ada yang menciptakannya. Mereka juga beranggapan bahwa hewan itu selalu tercipta dari air sperma, sedangkan sperma itu berasal dari hewan, begitulah proses sudah dan akan terciptanya hewan untuk selama-lamanya. Mereka ini adalah kelompok zindiq (skeptik atau atheis).
Kelompok Thabi’iyyun (Kealaman): Adalah suatu golongan filosof yang banyak menaruh perhatian kepada alam natural dan banyak mengadakan penyelidikan tentang berbagai keajaiban hewan serta tumbuh-tumbuhan. Mereka banyak menyelami (dalam) ilmu urai terhadap anggota hewan sehingga di situ mereka melihat sebagian dari keajaiban ciptaan Allah ta’ala dan keindahan hikmah-Nya sehingga terpaksa mereka bersama-sama dengan ilmu itu mengakui Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana dan Yang Mengetahui segala puncaknya beberapa perkara dan beberapa maksudnya.
Tidak seorangpun yang mau menelaah anatomi (ilmu urai) dan berbagai keajaiban manfaat anggota hewan melainkan dia berhasil memperoleh ilmu dharuri ini dengan gambaran yang sempurna bagi susunan tubuh hewan, lebih-lebih susunan tubuh manusia, hanya saja golongan filsafat ini karena saking banyaknya mengadakan penyelidikan terhadap tabiat maka nampaklah pengaruh yang amat besar—karena sederhananya temperamen—pada sikap kekuatan hewan, sehingga mereka menduga bahwa kekuatan (daya) berfikir dari manusia itu ikut kepada temperamennya juga.
Mereka juga menduga bahwa daya berfikir itu bisa rusak karena rusaknya temperamen manusia itu sendiri, lantas manusia itu akan musnah. Kemudian bila manusia itu telah musnah tentu tidak mungkin mengembalikan sesuatu yang telah musnah itu diterima oleh rasio. Oleh karena itu mereka berpendapat: apabila jiwa telah mati maka dia tidak mungkin kembali, sehingga pada akhirnya mereka tidak percaya adanya akhirat dan sama mengingkari surga, neraka, kiamat dan hisab. Maka mereka berpendapat: kendatipun seseorang itu berkelakuan baik dan selalu berbuat taat namun dia tidak akan menerima ganjaran dan bagi orang yang berbuat durhaka nantinya pun tidak akan mendapat siksaan.
Dengan dasar pemikiran yang seperti ini maka terlepaslah tali kekang hewani sehingga mereka mengumbar nafsu seks mereka seperti halnya binatang. Dan mereka ini tergolong orang-orang zindiq, sebab pangkal dari pada iman adalah iman kepada Allah dan Hari Akhir, sedangkan mereka ini jelas tidak mengakui adanya Hari Akhir, kendatipun mereka beriman kepada Allah beserta segala sifat-sifat-Nya.
Kelompok Ilahiyyun (Ketuhanan): Adalah golongan filosof yang percaya kepada Tuhan, mereka datang belakangan. Di antara kelompok filosof ini terdapat Socrates gurunya Plato dan Plato adalah gurunya Aristoteles. Aristoteles inilah yang berhasil menyusun Ilmu Mantik (logika) dan yang telah merangkum ilmu ini sehingga menjadi suguhan yang matang dan dia pulalah yang telah berhasil memperjelas ilmu-ilmu ini yang belum gamblang. Kelompok Ilahiyyun ini pada garis besarnya membantah dua kelompok pertama yaitu Kelompok Dahriyyun (Skeptis) dan Kelompok Thabi’iyyun (Naturalis). Mereka membuka tabir kekeliruan serta berbagai cacat yang telah ditempuh oleh para filosof terdahulu, hingga orang-orang bisa mengetahui dan membedakan mana-mana yang baik dan mana-mana yang buruk. Allah ta’ala berfirman :
.... وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ ۚ....
“...Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan”... (QS. Al-Ahzab: 25).
Selanjutnya Aristoteles membuat sanggahan terhadap Plato dan Socrates serta filosof-filosof sebelumnya dari Kelompok Ilahiyyun dengan sanggahan yang tidak hanya dibuat-buat sehingga dia membebaskan diri dari mereka, hanya saja dia masih memiliki beberapa sisa kehinaan kekufuran dan bid’ah mereka yang tak perlu diikuti, malah sudah sewajibnya untuk mengkafirkan mereka dan mengkafirkan para pengikut mereka dari para filosof Islam seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain-lainnya; sebab dalam memindah ilmunya Aristoteles tiada seorang ahli filsafat Islam yang melakukan usaha seperti kedua orang ini. Dan apa yang dipetik oleh selain dua orang ini sudah tidak luput dari kekurangan dan kesimpang-siuran yang bisa mengganggu hatinya seorang yang mengadakan penelaahan sehingga tidak bisa difahami dan sesuatu yang tidak bisa difahami bagaimana caranya untuk bisa disanggah atau diterima.
Secara garis besar menurut pengamatan kami dari filsafatnya Aristoteles mengingat pada petikan kedua orang ini, terbatas pada tiga bagian: Satu bagian wajib dikafirkan. Satu bagian wajib dibid’ahkan. Bagian yang terakhir tidak wajib diingkari sama sekali. Cobalah kita kupas dan kita perinci bersama-sama. Pembicaraan tentang Golongan Sophistik dan Golongan yang Mengingkari Terhadap Segala Ilmu Kemudian aku periksa ilmuku ternyata aku mendapatkan diriku masih dalam keadaan kosong sama sekali belum terisi oleh ilmu yang memiliki ciri-ciri seperti ini kecuali berbagai ilmu yang terdapat di dalam beberapa indra dan berbagai ilmu dharuri (necessary).
Kemudian sekarang aku berkata sesudah mengalami keputusasaan: “Tiada lagi ambisi untuk memetik kemusykilan kecuali dari perkara-perkara yang sudah kelas yaitu ilmu-ilmu indrawi dan dharuri sehingga mau tidak mau harus menentukan hukumnya atau bahkan tidak perlu. Akan aku jelaskan bahwa kepercayaan diriku terhadap ilmu-ilmu indrawi dan ilmu-ilmu dharuri merupakan bagian dari jenis keamananku yang sudah menjadi milikku sebelumnya dalam berbagai ilmu taklid, dan merupakan bagian dari jenis keamanan makhluk dalam berbagai ilmu analisa ataukan dia merupakan keamanan yang pasti yang tidak perlu diberi alasan serta tidak memiliki titik optimal.
Aku tetap menghadapi dengan amat sungguh-sungguh, saya mengangan-angan dalam ilmu-ilmu mahsus (yang dapat diindra) dan ilmu-ilmu dharuri. Kemudian saya menganalisa apakah aku masih berkemungkinan untuk meragukan diriku sendiri dalam ilmu-ilmu itu? Sehingga akhirnya rampunglah lamanya keaguan diri sampai kepada ketidakmauan diriku untuk menyerahkan keamanan di dalam ilmu-ilmu indrawi. Mulailah keragu-raguan itu meluas lagi sehingga timbullah gagasan pertanyaan: “Dari manakah kepercayaan diri dengan ilmu-ilmu mahsus (indrawi) padahal yang paling kuat adalah indra mata di mana dia dapat dipakai untuk memandang kepada bayang-bayang sehingga anda dengan jelas bisa melihatnya dalam keadaan berdiri tidak bergerak lalu anda bisa menentukan hukumnya bahwa bayang-bayang itu tidak bergerak. Kemudian setelah melalui eksperimen (percobaan) dan kesaksian sebentar anda baru tahu bahwa bayang-bayang itu bergerak dan kadang-kadang juga tidak bergerak secara tiba-tiba dan secara mendadak tetapi dia bergerak secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga anda tidak lagi merasakannya. Lantas coba lihatlah bintang gemintangnya niscaya anda akan melihatnya sebagai benda yang kecil sama besarnya dengan uang logam dinar, kemudian setelah melalui bukti-bukti Ilmu Bangun (Geometri) ternyata bintang itu lebih besar dari pada bumi dalam ukurannya.
Demikian ini dan yang semisal dengannya dari ilmu-ilmu yang bisa diinra itu yang menentukan hukumnya adalah hakim indra, akan tetapi dia tidak diakui oleh hakim akal (rasio) dan dibohongkannya di mana dia tidak mampu untuk melawannya. Kemudian aku berpendapat: “Telah batallah kepercayaan diri terhadap ilmu-ilmu indrawi, maka barangkali tidak terdapat yang dipercaya lagi kecuali dengan beberapa ilmu akal (rasio) yang merupakan rumus-rumus permulaan yang pernah diutarakan seperti ucapan bahwa sepuluh itu lebih banyak dari pada tiga. Nafi (tidak ada) dan itsbat (ada) itu tidak bisa kumpul dalam satu perkara, sedangkan perkara satu itu pasti tidak mungkin berupa sesuatu yang baru sekaligus sebagai suatu yang qadim (dahulu), ada sekaligus tidak ada dan wajib sekaligus muhal.
Ilmu mahsus (indrawi) berkata: “Sebab apa anda merasa aman bila mempercayakan diri anda terhadap ilmu-ilmu aqli (rasional) sebagaimana kepercayaan anda terhadap ilmu-ilmu indrawi padahal dahulunya anda percaya kepadaku lantas datanglah hakim rasio lalu dia mendustakanku, dan andaikan saja tidak ada hakim rasio niscaya anda akan terus membetulkan aku, maka barangkali di balik pengetahuan rasio terdapat hakim lain yang apabila kelihatan dengan jelas tentu dia akan mendustakan rasio dalam keputusannya seperti halnya muncul hakim rasio yang telah mendustakan dan menyalahkan keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim indra.
Adapun ketidak munculan hakim lain itu bukanlah berarti ketidakadaannya. Untuk menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan yang pelik di atas maka jiwaku diam sejenak. Saya kukuhkan kesulitannya di dalam tidurku lalu diriku berkata: “Cobalah anda berfikir, di dalam tidur anda percaya terhadap berbagai perkara (impian) lalu anda dapat membayangkan dan mengkhayalkan berbagai hal dan anda tanpa ragu-ragu percaya dan mantap kepada apa saja yang telah anda lihat dalam tidur, kemudian anda bangun sehingga anda tahu bahwa semua khayalan dan keyakinan anda sama sekali tidak memiliki dasar dan kekuasaan, lantas dengan alasan apa anda merasa aman jika semua apa yang anda yakini di dalam keadaan terjaga yang telah diproses oleh indra atau akal itu benar dengan hanya menyandarkan kepada keadaan anda? Tetapi mungkin saja akan datang suatu keadaan yang memiliki ciri sama dengan keadaan jaga anda seperti halnya kesamaan ciri jaga anda terhadap tidur anda dan jadilah jaga anda merupakan tidur anda dengan menyandarkan nisbat tersebut.
Maka apabila anda telah benar-benar mendatangkan keadaan itu niscaya anda menjadi yakin bahwa segala apa yang anda fahamkan (fikir dengan tidak jelas) dengan rasio anda hanyalah merupakan khayalan-khayalan yang tidak mempunyai buah, atau barangkali keadaan itulah merupakan sesuatu yang diakui oleh kelompok tasawuf sebagai keadaan mereka sebenarnya sebab mereka menduga kuat bahwa mereka bisa mengadakan musyahadah terhadap keadaan mereka sendiri yang apabila mereka telah menyelami diri mereka sendiri serta telah terlepas dari pancaindra mereka, maka mereka akan menemui berbagai keadaan yang sesuai lagi dengan perkara-perkara yang tidak rasional lagi, dan barangkali keadaan yang seperti itu yang dinamakan maut (kematian), sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Manusia itu tidur, maka apabila mereka sudah mati sadarlah mereka”.
Maka boleh jadi kehidupan dunia merupakan tidur, jika dihubungkan dengan akhirat. Sebab tatkala seseorang telah mati maka tampaklah berbagai perkara yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah disaksikan oleh seseorang di waktu sekarang ini, dan dalam kesempatan itu perlu disampaikan firman Allah ta’ala :
لَّقَدْ كُنتَ فِي غَفْلَةٍ مِّنْ هَـٰذَا فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaaf : 22)
Maka terbetik berbagai bahaya yang telah menghunjam di dalam hati maka aku berusaha mengobati bahaya itu, namun ternyata tidaklah mudah sebab tidak mungkin menyerang dan mengusirnya kecuali dengan dalil, dan tidak mungkin memasang dalil kecuali dengan memiliki dasar-dasar ilmu yang teratur, maka apabila aku tidak dapat mengajukan dalil-dalil tersebut niscaya aku tidaklah mungkin bisa menjelaskan dalil-dalilnya secara nyata.
Penyakit itu menggerogoti dan bertahta di dalam hatiku selama dua bulan di mana dalam waktu dua bulan itu aku terombang-ambing di dalam madzhab/ aliran “Sophistik” yang hanya bisa menentukan langkah tindakan saja, tak bisa menentukan langkah logika serta ucapan. Kemudian sesudah itu Allah memberi kesembuhan kepadaku dari penyakit itu dan kembalilah hatiku sehat dan normal seperti sediakala.
Kepastian-kepastian aqli bisa diterima kembali dan bisa diakui kredibilitasnya. Datangnya kembali keyakinan itu tidaklah dengan cara penyusunan pembuktian atau mengemukakan berbagai dalil yang tersusun rapi dan apik akan tetapi berkat cahaya Allah yang telah Allah letakkan di dalam dadaku. Cahaya itu sendiri merupakan kuncinya kebanyakan orang yang telah memiliki ilmu ma’rifat. Barang siapa yang menduga bahwa “Kasyaf” itu hanya terbatas pada dalil-dalil belaka, berarti orang ini telah menyempitkan arti rahmat Allah yang amat luas itu.
Ketika suatu tempo Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang kata “Asy-Syarh” beserta maknanya di dalam firman Allah ta’ala :
فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ...
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam... ” (QS. Al-An’am: 125).
Maka beliau menjawab: “Itulah suatu cahaya yang telah Allah ta’ala curahkan di dalam hati”. Kemudian beliau ditanya lagi: “Apa tanda-tandanya”, beliau menjawab: “… menghindari dari negeri tipuan (dunia) dan kembali menuju kepada negeri kekal (akhirat)”.
Berkenaan dengan masalah cahaya ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk ini dalam kegelapan, kemudian Dia memerciki mereka dengan cahaya-Nya”.
Dari cahaya itu seyogyanya seseorang mencari “Al-Kasyf”, sebab cahaya itu tersemburat dari kemurahan Ilahi pada sementara waktu. Untuk mendapatkan itu seseorang haruslah mengincar terus terhadap cahaya itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Tuhanmu di dalam perjalanan hidupmu memiliki beberapa pemberian, maka hendaknya anda ingat dan tunggulah kesempatan itu”.
Maksud dan tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah agar seseorang beramal dengan penuh kesungguhan dalam mencari pemberian tadi, sehingga benar-benar sampai kepada pencarian sesuatu yang tidak dicari lagi. Sebab ilmu-ilmu dasar (awwaliyyat) tidaklah perlu dicari karena dia merupakan ilmu yang hadir (kelihatan) dan sesuatu yang hadir itu apabila dicari maka dia akan hilang dan tersembunyi, dan barang siapa yang mencari sesuatu yang tidak dicari maka dia tidak akan dituduh berbuat seenaknya dalam mencari sesuatu yang tidak dicari tersebut.
Hakikat Kenabian Perlu kiranya anda ketahui bahwa elemen manusia menurut asal fitrahnya memang diciptakan dalam keadaan kosong bersahaja (lugu) artinya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang beberapa alamnya Allah ta’ala. Alam yang telah diciptakan Allah amatlah banyak di mana tiada yang dapat dihitung kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala seperti firman-Nya yang telah muncul dalam Al-Quran :
... وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ ۚ...
“...Tiadalah yang dapat mengetahui balatentara Tuhanmu, melainkan Dia sendiri...” (QS. Al-Mudatstsir: 31).
Untuk mengetahui alam diperlukan perantara dan perangkat intelijensi dan setiap intelijensi diciptakan untuk manusia guna mengetahui alam yang terpampang di depan kita. Dan yang kami maksudkan dengan alam di sini adalah berbagai jenis perwujudan yang ada di sekitar kita. Permulaan sekali yang Allah ciptakan dalam diri manusia adalah indera peraba, sehingga dengan indera ini manusia dapat mengetahui berbagai jenis perkara yang terdapat di sekitar kita seperti panas, dingin, basah, kering, halus, kasar, dan lain-lainnya. Indera peraba hanya terbatas pada hal-hal itu saja dan tidak mampu menjangkau terhadap berbagai warna dan suara, bahkan seolah-olah warna dan suara itu baiknya tidak ada saja menurut indera peraba.
Kemudian setelah itu Allah menciptakan indera penglihat, sehingga dengan bantuan indera ini orang bisa mengetahui warna-warna dan beberapa bentuk. Indera ini memang lebih luas jangkauannya dari pada peraba. Sesudah itu Allah menitahkan indera pendengar, sehingga berkat indera ini orang lantas bisa mendengar berbagai suara dan beberapa bunyi-bunyian.
Kemudian sesudah itu pula Allah menciptakan indera perasa, dan berkat indera ini manusia bisa merasakan manis, pahit, kecut, getir dan lain sebagainya, sampai manusia benar-benar telah melewati batas alam inderawi.
Kemudian proses selanjutnya Allah menciptakan manusia sebagai menyandang predikat “tamyiz” yaitu masa sekitar umur tujuh tahun yang merupakan periode lain dari pada sekian periode keberadaannya di dunia ini. Dalam periode ini manusia bisa mengetahui perkara-perkara yang melebihi apa yang pernah dia kenal di dalam alam inderawi, di mana dia belum pernah menemui sesuatupun di dalam alam itu.
Sesudah itu manusia beranjak naik kepada periode lain, sehingga pada akhirnya Allah menciptakan bagi manusia itu sebuah akal. Dengan akal inilah manusia lantas bisa mengetahui berbagai perkara wajib, beberapa perkara jaiz dan perkara-perkara yang mustahil serta langkah-langkah yang belum pernah dia temui pada periode-periode sebelumnya. Di belakang akal ini terdapat lagi periode lain yang di dalamnya tersingkat mata (penglihatan) lain yang dapat melihat perkara yang ghaib dan apa saja yang akan terjadi mendatang dan masih ditambah lagi perkara-perkara lain di mana akal tidak ikut campur dan terpisah darinya seperti tersingkirnya kekuatan tamyiz dari mengetahui perkara-perkara yang masuk akal, dan juga seperti tersingkirnya kekuatan perasaan dari mengetahui artian tamyiz.
Sebagaimana sebuah contoh andaikata seorang yang tamyiz disodori berbagai pengertian yang masuk akal, niscaya dia akan menolaknya dan menjauhinya, demikian pula sebagian orang-orang berakal tentu akan enggan dan tidak mau menerima pengertian-pengertian kenabian serta menjauhinya. Dan tindakan yang seperti ini merupakan intinya kebodohan, sebab mereka sama sekali tidak merupakan intinya kebodohan, sebab mereka sama sekali tidak memiliki sandaran dan pancatan kecuali keengganannya itu hanya merupakan suatu periode dan tahapan yang belum bisa dia capai dan belum ditemukan di dalam dirinya, sehingga dia mempunyai dugaan bahwa hal itu tidak maujud (ada) di dalam dirinya.
Seorang yang buta sejak lahir, andaikan dia belum mengetahui beberapa warna dan bentuk lewat omongan orang-orang banyak ataupun lewat mendengarkan lalu dia diberitahu tentang hal itu untuk pertama kalinya, maka dia tidak akan memahaminya dan tidak akan mengaku kebenarannya. Allah ta’ala telah memberi karunia kepada manusia dengan memberi kepada mereka akan beberapa contoh dari khasiatnya kenabian yaitu tidur, sebab orang yang tidur bisa mengetahui apa yang bakal terjadi dari perkara ghaib dengan secara jelas atau masih dalam bentuk-bentuk perumpamaan (perlambang) di mana dia dapat tersingkap dengan cara dijabarkan serta ditafsiri, demikian ini bila dia tidak mampu untuk menjabarkannya sendiri. Dan ada orang yang berpendapat: “Seseorang yang jatuh pingsan tidak sadarkan diri seperti orang yang sudah mati dan sudah hilang perasaannya, pendengarannya dan penglihatannya, dia menjadi tahu perkara yang ghaib dan tidak mengingkarinya”, lalu dia berkata: “Kekuatan perasaan merupakan penyebab idrak (bisa mengetahui).
Oleh karena itu barang siapa yang tidak bisa mengetahui berbagai perkara padahal perkara itu terdapat di sekitarnya dan hadir di sisinya maka dia tidak dapat mengetahui sesuatu itu dalam keadaan tidur lebih dikatakan masuk akal dan lebih utama serta lebih benar. Ini merupakan suatu bentuk qiyas (analogi) yang bisa didustakan oleh wujud dan musyahadah. Seperti halnya akal merupakan suatu kadar dan ukuran manusia yang di situ terdapat mata yang bisa dipakai untuk melihat berbagai macam benda yang bisa diterima akal di mana indera tersisih darinya, maka kenabian juga merupakan suatu gambaran dari kadar dan ukuran yang di sana terdapat mata yang memiliki cahaya yang dalam cahayanya itu nampaklah keghaiban beserta perkara-perkara yang tidak bisa lagi diketahui oleh akal.
Ragu-ragu terhadap kenabian adakalanya terjadi karena: Kemungkinan kenabian pada umumnya. Kewujudannya dan terjadinya, atau Keberhasilannya bagi orang tertentu. Tentang bukti kemungkinannya ialah wujudnya kenabian itu sendiri, dan dalil kewujudannya ialah wujudnya ilmu pengetahuan tentang alam di mana sudah tak mungkin lagi bisa digambarkan oleh akal bagaimana caranya ilmu pengetahuan itu bisa diraih dan dicapai, seperti ilmu kedokteran dan ilmu bintang. Sebab orang yang menyelidiki dan membahas kedua cabang ilmu ini, dia akan tahu dengan sendirinya tanpa difikir bahwa kedua ilmu ini tidak bisa diketahui melainkan dengan ilham ilahi serta pertolongan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada cara yang bisa ditempuh dengan eksperimen.
Di antara hukum ilmu bintang terdapat sesuatu yang tidak bakal terjadi kecuali sesudah setiap seribu tahun sekali, lantas bagaimana caranya hal itu bisa diraih dan dicapai hanya sekadar dengan eksperimen (percobaan)? Demikian pula dengan khasiat-khasiatnya obat-obatan. Dengan bukti ini menjadi jelaslah bahwa di dalam “kemungkinan kenabian”, terdapat cara untuk mengetahui perkara-perkara ini yang tak bisa ditangkap oleh akal, dan inilah yang dimaksudkan dengan nubuwwah (kenabian) karena nubuwwah merupakan suatu ibarat daripada perkara-perkara tersebut saja, bahkan mengetahui jenis yang keluar dari penemuan akal merupakan salah satu khasiat kenabian, di samping itu masih banyak khasiat lainnya.
Sedangkan apa yang sudah kami sebutkan hanya merupakan satu tetes air di dalam lautan kenabian yang amatlah luas, di mana kami menyebutkannya karena anda memiliki contoh darinya yaitu penemuan-penemuan anda di dalam tidur, dan di samping itu anda juga memiliki berbagai ilmu yang sejenis dengannya yakni yang terdapat di dalam ilmu kedokteran dan ilmu bintang. Dan ilmu-ilmu inilah merupakan mu’jizatnya para nabi dan tidak akan bisa diraih dan dicapai oleh orang-orang yang hanya mengandalkan akalnya saja.
Adapun khasiat-khasiat kenabian lainnya, hanya bisa diketahui dengan dzauq (cita rasa) dari salah satu ajaran kaum sufi yakni “suluk”, sebab ini hanya bisa anda fahami dengan suatu contoh yang telah dikaruniakan kepada anda yaitu tidur, dan andaikan saja tidak ada tidur niscaya anda akan bisa membenarkannya. Apabila seorang nabi memiliki suatu khasiat di mana anda tidak memiliki contoh (padanan) sehingga anda tidak bisa memahami sama sekali, lantas bagaimana anda bisa membenarkannya. Padahal pembenaran itu bisa dilakukan setelah anda bisa memahaminya secara gamblang.
Contoh seperti itu bisa anda dapatkan dalam permulaan-permulaan tarekat tasawwuf sehingga anda bisa memperoleh suatu bentuk cita rasa dengan ukuran yang telah ditetapkan, dan suatu bentuk pembenaran yang tidak bisa anda peroleh lewat jalan qiyas. Khasiat yang hanya satu ini yang sudah cukup sebagai dasar untuk mempercayai pokok kenabian. Apabila di dalam hati anda terbetik keraguan terhadap orang tertentu, apakah dia benar-benar seorang nabi atau tidak? Maka anda tidak akan menjadi yakin kecuali setelah anda mengetahui keadaan orang tersebut yang adakalanya dengan musyahadah, khabar yang sudah tersebar luas atau dengan sekedar dengan-dengar saja. Sebab bila anda telah mengenai ilmu kedokteran dan ilmu fikih, maka bisa saja anda mengetahui ahli-ahli fikih dan beberapa dokter dengan hanya menyaksikan tingkah laku mereka dan ucapan-ucapan mereka kendatipun anda tidak mengetahui sendiri dengan mata kepala.
Anda juga tidak akan tak berdaya untuk mengetahui keadaan Imam Syafi’i rahimahullah sebagai seorang yang ahli dalam ilmu fikih, dan posisinya Jalinus sebagai seorang ahli dokter terkenal dengan kenyataan sebenarnya bukan hanya sekadar ikut-ikutan terhadap orang lain, yakni dengan cara anda mempelajari sedikit dari ilmu fikih dan ilmu kedokteran serta menelaah buku-buku kedua orang tadi beserta karangan-karangannya, sehingga anda mengetahuinya dan mendapatkannya secara otomatis tentang keadaan mereka berdua.
Demikian pula halnya jika anda memahami benar tentang arti kenabian, lantas anda banyak mengadakan penelitian dalam Al-Quran dan beberapa hadits, niscaya anda akan mendapat pengetahuan secara otomatis bahwa kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berada pada puncak derajat kenabian yang paling tinggi, dan yang paling kuat. Hal itu bisa dibuktikan dengan apa yang beliau ucapkan dalam beberapa ibadahnya dan pengaruhnya di dalam menjernihkan hati. Bagaimana beliau jujur dalam sabdanya :
من عمل بما علم ورثه الله تعالى علم ما لم يعمل)  رواه أبو نعيم(
“Barang siapa yang beramal dengan ilmu yang telah diketahuinya, niscaya Allah akan mewariskan ilmu yang belum dia ketahui” (HR. Abu Nu’im).
Dan bagaimana pula beliau jujur dalam sabdanya : “Barang siapa yang menolong orang yang bertindak zalim, maka Allah akan menguasakan orang zalim itu padanya” (Al-Hadits). Serta bagaimana pula beliau berlaku jujur dalam sabdanya: “Barang siapa yang menjadikan beberapa duka citanya menjadi satu duka cita, niscaya Allah ta’ala akan mencukupkan duka cita dunia dan akhirat” (Al-Hadits).
Maka apabila hal itu anda coba dan anda eksperimenkan dalam seribu dan dua ribu bahkan dalam beribu-ribu kali, anda tentu akan memperoleh ilmu yang bisa ditangkap secara otomatis yang tidak bisa dibantah lagi. Dari cara yang seperti itu, carilah keyakinan tentang kenabian dan jangan cara kebenaran tongkat yang bisa berubah wujud menjadi ular serta terbelahnya rembulan. Sebab jika anda hanya melihat hal itu saja niscaya anda tidak akan bisa mengumpulkan berbagai bukti dan karenanya yang banyak dan tidak bisa dihitung. Barangkali anda nantinya akan menduga bahwa perubahan bentuk seperti di atas merupakan sihir, imajinasi dan fatamorgana serta suatu yang menyesatkan dari Allah, sebab Allah telah berfirman:
...كَذَ‌ٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ...
“...Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya...” (QS. Al-Mudatstsir: 31).
Akan sampai pula kepada anda tentang masalah mu’jizat, sebab apabila pancatan kepercayaan anda kepada omongan yang sudah diatur di dalam arah konotasi mu’jizat, maka akan menjadi kokohlah kepercayaan anda kepada omongan yang telah diurutkan pada segi kemusykilan dan keraguan, sehingga kejadian yang di luar adat seperti ini merupakan salah satu bukti serta salah satu karena pada sejumlah analisa anda, sampai anda benar-benar mendapatkan ilmu dharuri yang tidak perlu lagi anda menyebutkan dasar dan pancatannya dengan jelas seperti orang yang menerima khabar mutawatir dari sekelompok orang, di mana dia tidak mungkin menyebutkan bahwa keyakinan itu bisa diambil faidahnya dari seorang tertentu, bahkan dia akan tidak tahu dari mana dia mendapatkannya dan yang jelas khabar itu tidak akan keluar dari sekelompok orang tersebut, tetapi dia tidak akan bisa memastikan satuan-satuan orangnya. Maka yang demikian ini merupakan iman yang kuat dan didasarkan atas ilmu.
Adapun dzauq (cita rasa), dia bagaikan musyahadah dan memegang dengan tangan. Dan ini tidak bisa ditemukan kecuali di dalam cara tasawuf. Kadar dari pada hakikat kenabian ini sudah saya anggap cukup dalam mencapai sasaran yang aku maksudkan sekarang, dan akan saya sebutkan segi kebutuhannya.
Pembicaraan tentang Keberhasilan Ilmu Filsafat.
Pembicaraan ini menyangkut Ilmu Filsafat yang perlu dicela dan yang tidak perlu mendapat celaan, Ilmu Filsafat yang dikatakan kufur bagi orang yang berbicara dengannya dan yang tidak dikatakan kufur yang dianggap bid’ah dan yang tidak, dan juga menjelaskan apa yang telah mereka curi dari omongan “Ahli Haq” lalu mereka campur adukkan dengan omongan mereka untuk dikonstruksikan dengan kebatilan mereka, bagaimana caranya melarikan jiwa dari kebenaran itu dan bagaimana caranya membebaskan diri dari pengelola hakikat-hakikat yang benar dan murni dari kemelencengan serta keburukan, yaitu dari sejumlah pembicaraan mereka.
Setelah aku rampung membicarakan Ilmu Kalam, maka sekarang aku membicarakan Ilmu Filsafat. Aku tahu dengan yakin bahwa seorang yang tidak tahu persis terhadap porosnya ilmu itu, maka dia tidak berani mengatakan rusaknya suatu macam ilmu kecuali apabila ia telah memahami benar-benar ilmu tersebut dengan sempurna, paling tidak harus mensejajarkan diri dengan seorang ahli yang paling banyak ilmunya dalam hal pokok-pokok dasar filsafat, kemudian dia mampu mengungguli dan melampaui derajat keilmuannya, sehingga dengan mudah dia bisa menelaah terhadap masalah yang belum pernah ditelaah oleh orang yang memiliki Ilmu Filsafat itu yang terdiri dari yang buruk dan yang jelek, jika sudah demikian keadaannya maka dia sudah sepantasnya apabila tuduhan yang dilontarkan terhadap rusaknya ilmu tertentu bisa diakui sebagai tuduhan yang benar.
Akan tetapi sepanjang penglihatanku, tak seorang pun ulama Islam yang menaruh minat dan perhatiannya kepada hal itu. Di dalam kitab-kitab Ahli Kalam juga tidak aku temui pembicaraan mereka yang mengungkap sanggahan atas Golongan Filsafat, kecuali hanya ada beberapa kalimat yang sulit dimengerti, acak-acakan yang nyata sekali kontradiksi dan cacatnya yang sudah tidak disangsikan lagi pasti mendatangkan kekeliruan bagi orang-orang awam, lebih-lebih terhadap orang yang mengaku telah mempelajari ilmu-ilmu yang sulit.
Akhirnya aku tahu juga bahwa memberi sanggahan terhadap suatu madzhab (aliran) sebelum faham benar dan menelaah kadarnya, berarti dia telah terlempar di dalam ketidaktahuan, oleh karena itu aku menyingsingkan lengan bajuku untuk meraih ilmu tersebut dari berbagai kitab dengan sekadar menelaah tanpa minta bantuan dari seorang guru. Hal demikian itu aku hadapi pada waktu-waktu senggangku dari mengarang dan mengajar ilmu-ilmu syar’i, kala itu aku memang diuji dengan mengajar dan memberi faidah kepada tiga ratus orang siswa di Baghdad.
Dengan hanya mengandalkan menelaah dalam waktu-waktu senggang itu Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan kepadaku batas optimal dari ilmu-ilmu mereka dalam waktu kurang dari dua tahun, kemudian senantiasa aku berdisiplin untuk berfikir sesudah aku memahaminya, dengan hanya menghabiskan masa satu tahun kurang sedikit aku mengulang-ulangnya serta mengkajinya lagi lalu aku mencari berbagai kesulitan dan kemusykilan yang telah hilang sehingga aku berhasil menemukan keculasan, kesimpang-siuran, kebenaran dan imajinasi (pengkhayalan) dengan hasil penemuan yang tidak bisa diragukan lagi.
Sekarang dengarkan cerita keberhasilan yang sudah berhasil aku raih dan juga ceritanya buah Ahli-Ahli Filsafat. Sebab aku melihat mereka terbagi menjadi beberapa golongan sedangkan ilmu-ilmu mereka juga terbagi menjadi beberapa bagian. Pada garis besarnya golongan mereka berhak mendapatkan tanda kekufuran dan ilhad (ingkar terhadap agama), kendatipun antara kelompok/ golongan yang terdahulu dan golongan yang dulu, dan antara golongan yang paling akhir dan golongan yang paling awal terdapat jenjang keterpautan yang amat besar dalam masalah dekat dan jauhnya dari kebenaran.
Pembicaraan yang Menjelaskan tentang Maksud Ilmu Kalam dan Hasilnya Selanjutnya aku mulai mengurai “Ilmu Kalam” sehingga aku telah berhasil mendapatkannya, mengotak-atiknya dan telah menelaah berbagai Ahli Tahqiq kemudian aku karang dan aku susun menurut apa yang menjadi kemauanku yaitu menyusun suatu kitab selanjutnya aku berhasil menyusunnya sebagai suatu ilmu yang sesuai dengan maksudnya tetapi belum sempurna dan sesuai dengan maksudku.
Adapun maksud daripada Ilmu Kalam adalah menjaga serta memelihara akidah Ahli Sunnah dari gangguan Ahli Bid’ah yang menyesatkan. Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi kepada hamba-hamba-Nya dengan dihantarkan oleh lisannya utusan akan sebuah akidah yang benar di mana di dalamnya terdapat suatu kemaslahatan terhadap agama dan dunia mereka yang semua pengetahuannya tu telah termaktub dan diucapkan oleh Al-Quran dan Al-Hadits, kemudian syetan melontarkan di dalam waswasnya Ahli Bid’ah tentang berbagai perkara yang bertentangan dan tidak sesuai dengan As-Sunnah sehingga mereka menjadi tersangkut padanya dan hampir saja mereka bisa mengecoh orang-orang yang memiliki akidah yang benar.
Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala menumbuhkan Golongan Mutakallimun (Ahli Tauhid) dan menggerakkan motivasi mereka untuk membela As-Sunnah dengan omongan yang tersusun rapi dan apik di mana dia dapat menyingkap kesimpang siuran Ahli Bid’ah yang sengaja membikin hal-hal baru yang tidak cocok lagi dengan As-Sunnah yang sudah teralisir. Maka dari situlah tumbuh Ilmu Kalam beserta Ahlinya. Telah bangkit sekelompok Ahli Kalam dengan membawa amalan-amalan yang telah dianjurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga mereka benar-benar memperbaiki As-Sunnah dan berhasil membela akidah yang telah diterima dari ajaran-ajaran asli Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian mereka mengadakan perubahan pada sisi yang telah dirusak oleh Ahli Bid’ah, dan untuk mencapai usaha itu mereka berpancatan kepada beberapa pendahuluan yang telah mereka terima dari pada lawan fahamnya dan ternyata berhasil memaksa mereka untuk menyerah, yaitu bisa dengan taklid, konsensus (ijma’) umat atau hanya sekadar menerima dari Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan kebanyakan penyelaman mereka dalam usahanya mengeluarkan argumentasi-argumentasi debatnya dan pengambilan mereka adalah dengan mengandalkan bukti-bukti yang lazim, dan cara seperti ini sedikit sekali manfaatnya dalam menghadapi orang-orang yang tidak mau menyerah sama sekali kecuali terhadap dalil-dalil dharuri.
Oleh karena itu, Ilmu Kalam dalam pandanganku tidaklah bisa banyak diandalkan dan juga tidak bisa menyembuhkan penyakit yang telah aku keluhkan di atas. Ya, tatkala Ilmu Kalam itu muncul dengan pesatnya dan banyak orang yang menaruh simpati padanya sehingga masa yang seperti ini berlangsung lama, Ahli Ilmu Kalam mempunyai ide untuk maju selangkah dari pemeliharaan terhadap As-Sunnah yaitu dengan mengadakan pembahasan tentang berbagai hakikat perkara dan mereka mengadakan pendalaman dalam membahas tentang beberapa elemen dan beberapa benda beserta hukum-hukumnya, akan tetapi manakala hal itu tidaklah merupakan maksud ilmu mereka, maka pembicaraan mereka tidaklah sampai pada batas optimal, sehingga tidak bisa menghasilkan apa yang secara menyeluruh dapat menghapus berbagai kegelapan terhadap beberapa perselisihan faham di dalam masyarakat.
Aku tidak memandang terlalu jauh dan tidak mengesampingkan berbagai kemungkinan bila cara yang seperti itu bisa diterima oleh orang selainku, namun saya juga tidak menyangsikan bila cara yang seperti itu dapat diterapkan terhadap salah satu kelompok. Tapi perlu diingat bahwa keberhasilan itu sudah sedemikian kaburnya dan telah bercampur aduk dengan taklid dalam suatu perkara yang tidaklah merupakan dasar-dasar pertama. Tujuan sekarang yang harus disampaikan adalah menceritakan keadaanku bukannya mencela dan mengingkari terhadap orang yang minta kesembuhan sebab obat kesembuhan itu berbeda-beda mengingat kepada perbedaan penyakit. Bukankah sudah banyak sekali obat yang mujarab terhadap si sakit tertentu tetapi obat itu dapat mendatangkan bahaya dan merupakan racun bagi orang lain.
Membahas Beberapa Bagian Ilmunya Para Filosof
1. Ilmu Mantiqiyyah (Logika): Ilmu ini juga sama sekali tidak ada konteksnya dengan agama, baik ditetapkan atau tidak ditetapkan, bahkan dia hanya merupakan analisa tentang cara-cara mencari dalil-dalil, cara mencari analog, cara mencari beberapa syarat dalil pendahuluan dan cara merangkumnya, cara mencari beberapa syarat definisi yang benar dan bagaimana cara mengurutkannya. Ilmu ini bisa terdiri dari :
Ilmu Tashawwur, sedangkan cara mengetahuinya adalah dengan mengetahui definisinya yang pas.
Ilmu Tasdiq, adapun cara mengetahuinya adalah dengan mengemukakan dalil. Dalam masalah ini tidak ada lagi sesuatu yang perlu untuk diingkari sebab dia merupakan jenis yang telah disebutkan oleh Ulama ahli kalam (Teologian) dan orang-orang yang ahli menganalisa dalam berbagai dalil. Hanya saja mereka berbeda cara mengutrakannya dan cara memberikan istilah dan ditambah lagi dengan terlalu bertele-tele dalam mendefinisikan dan mencabangkannya. Kita ambil saja sebuah contoh dari ucapan mereka: “Jika telah ditetapkan bahwa setiap A pasti B, maka sudah seharusnya bila sebagian B berarti A, dengan pengertian apabila setiap insan pasti hewan, maka sudah sewajibnya bila sebagian hewan adalah insan”. Dari contoh di atas ini mereka memberikan gambaran bahwa “Mujabah Kulliyyah”(*) berkebalikan dengan “Mujabah Juz’iyyah”, lalu mana hubungan yang ada kaitannya dengan kepentingan agama sehingga mesti harus diingkari dan tidak diakui. Maka apabila tidak diakui, tidak membuahkan hasil apa-apa terhadap mantik (logika) yang paling jelek itikadnya terhadap akalnya orang yang ingkar, bahkan dalam agamanya yang telah mempunyai dugaan kuat bahwa agama itu hanya mandeg pada pengingkaran yang seperti ini.
Ya, mereka memang memiliki semacam kezaliman dari ilmu ini, yaitu mereka berkonsensus membikin beberapa syarat bagi sebuah dalil yang bisa diketahui bahwa syarat-syarat itu menghasilkan suatu keyakinan yang tidak bisa ditawar lagi, tetapi ketika mereka sampai kepada tujuan-tujuan agama, ternyata mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu bahkan mereka menganggap mudah sepenuhnya.
Barangkali mereka melihat di dalam ilmu Mantik juga, akan adanya seseorang yang dia anggap baik lalu dia melihatnya sebagai yang lebih menonjol dia menduga bahwa apa saja yang diambil dari mereka termasuk perkara yang kufur sembari memperkuat dengan dalil-dalil itu. Oleh karena itu dia tergesa-gesa melakukan kekufuran sebelum dia sampai kepada ilmu-ilmu ketuhanan, sehingga hal ini merupakan bahaya juga.
2. Ilmu Thabi’iyyah (Alam): Ilmu ini membahas tentang benda-benda langit dan beberapa bintang serta apa saja yang terdapat di bawahnya dari benda-benda tunggal seperti air, udara, debu, dan api dan benda-benda yang memiliki bagian-bagian (susunan) seperti hewan, tumbuh-tumbuhan dan pertambangan. Ilmu ini juga membahas tentang sebab-sebab perubahan, peralihan, dan tabiat benda-benda itu. Semuanya itu menyerupai pembahasan seorang dokter tentang badan manusia beserta anggota-anggotanya yang pokok dan yang tidak pokok, dan juga membahas tentang peralihan temperamennya. Seperti halnya tiada satupun syarat agama yang mengharuskan untuk mengingkari “ilmu kedokteran”, maka tidak merupakan syarat agama untuk mengingkari ilmu alam kecuali dalam beberapa masalah tertentu yang kami sebutkan di dalam kitab “Tahafut al-Falasifah” dan masalah-masalah lain selain masalah ini yang terus ditentang. Jika sudah diangan-angan, niscaya akan menjadi jelaslah bahwa masalah-masalah itu sebenarnya tersusun rapi di bawah ilmu alam, sedangkan garis besarnya haruslah diketahui bahwa ala mini dikendalikan oleh Allah Ta’ala, jadi tidak bekerja dengan sendirinya, bahkan alam ini dipekerjakan dari sisi Penciptanya. Matahari, bulan, dan bintang serta unsure-unsur alam semesta adalah tunduk di bawah perintah-Nya, sehingga tiada satupun benda yang bekerja dengan sendirinya tanpa perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Ilmu Ilahiyyah (Teologi): Di dalam ruang lingkup ilmu ini terjadi banyak kesalahan yang diperbuat oleh kebanyakan para filosof. Mereka tidak mampu menepati dalil-dalil yang telah mereka syaratkan dalam ilmu mantik, sehingga dengan demikian banyak terjadi berbagai macam perselisihan faham di kalangan mereka sendiri mengenai ilmu ini. Mengenai ilmu teologi ini, aliran Aristoteles hampir menyerupai alirannya orang-orang Islam menurut pendapat yang telah dinukil oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.
Akan tetapi semua kekeliruan pendapat mereka kembali kepada dua puluh pokok permasalahan, yang tiga dari kedua puluh masalah itu wajib mengkafirkan mereka, sedangkan yang tujuh belas wajib membid’ahkan mereka. Demi menghapus aliran mereka dalam dua puluh masalah ini kami sengaja mengarang kitab “Tahafut al-Falasifah”. Adapun masalah yang tiga itu memang tidak disetujui oleh keseluruhan orang Islam, yaitu pendapat mereka yang mengatakan: Sesungguhnya badan manusia tidak dibangkitkan di Padang Mahsyar. Yang mendapat ganjaran serta siksaan itu hanyalah ruh saja atau badan ruh saja. Berbagai siksaan itu sifatnya ruhani tidaklah jasmani.
Jadi mereka telah membenarkan dalam penetapan ruhani, sehingga badan ruhani itu benar-benar ada juga tetapi mereka mendustakan terhadp pengingkaran jasmani lalu mereka mengingkari syariah dalam masalah-masalah yang mereka ucapkan.
Di antaranya adalah ucapan mereka: “Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya mengetahui perkara-perkara yang bersifat global dan tidak mengetahui perkara-perkara yang sifatnya perincian (parsial)”. Maka ucapan seperti ini juga merupakan kekufuran yang nyata. Sebab yang benar adalah apa yang telah difirmankan Allah Ta’ala :
... لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِن ذَ‌ٰلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“...Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)" (QS. Saba : 3).
Di antaranya lagi adalah ucapan mereka: “Dunia ini dahulu azali”. Sehingga tiak ada seorang Islam pun yang mempunyai pendapat yang sesuai dengan salah satu dari masalah-masalah ini. Adapun masalah-masalah yang di balik masalah di atas yang berupa perhatian terhadap sifat-sifat Allah dan pendapat mereka bahwa Allah itu hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak pernah dari itu dan apa yang yang berkisar pada zat itu sendiri maka aliran mereka yang seperti ini mirip dengan aliran Mu’tazilah. Dan kita tidak boleh mengkafirkan Mut’azilah sebab contoh yang seperti itu.
Di dalam Kitab “Faishal At-Tafriwah baina’l wa Al-Zindiqah” telah kami sebutkan sesuatu yang menjelaskan rusaknya pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan segala sesuatu yang bertentangan dengan alirannya.
4. Ilmu Siyasiyyah (Politik): Semua pembicaraan mereka (para filosof) tentang ilmu ini kembali kepada hukum kemaslahatan yang masih ada konteksnya dengan urusan-urusan kekuasaan dunia. Mereka mengambilnya dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan dari hikmah-hikmah (kata-kata mutiara) yang biasa dipakai oleh para wali yang dahulu.
5. Ilmu Khalqiyyah (Etika): Seluruh pembicaraan para filosof mengenai masalah ilmu etika ini kembali kepada pembatasan sifat-sifat jiwa dan beberapa pekertinya, menyebutkan jenis dan macam ragamnya, bagaimana cara mengobatinya dan melatihnya. Mereka mengambil ilmu ini dari golongan sufi yaitu golongan ketuhanan yang senantiasa ingat kepada Allah ta’ala dan senantiasa memerangi hawa nafsu, menempuh jalan untuk sampai kepada Allah dengan cara berpaling dari kelezatan duniawi. Dalam melatih jiwa mereka ini, tersingkaplah dari etika jiwa, cacat-cacat jiwa, dan berbagai pekerjaan jiwa akan sesuatu yang telah mereka jelaskan.
Kemudian cara yang seperti ini diambil oleh kelompok filosof lalu mereka campur aduk dengan omongan-omongan mereka sebagai sarana untuk menghias diri dengan teori yang telah dilakukan oleh golongan sufi guna melariskan kebatilan mereka. Pada masa mereka, bahkan pada setiap masa terdapat sekelompok ahli ketuhanan yang sengaja oleh Allah dunia ini tidak dikosongkan dari mereka, sebab mereka merupakan paku-paku bumi yang dengan barakah mereka turunlah rahmat kepada penghuni bumi ini sebagaimana pernyataan yang telah disebutkan dalam hadits di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebab adanya mereka, penghuni bumi dituruni hujan, sebab mereka pula penghuni bumi diberi rizki, dan di antara mereka pula terdapat penghuni Gua (Ash-habul Kahfi). Konon mereka pada masa-masa dulu berdasarkan atas apa yang telah diucapkan oleh Al-Quran sehingga dari percampur-adukan mereka ini lahirlah omongan (perkataan) nubuwwah dan perkataan golongan sufi yang dicatatan mereka terdapat dua afat (bahaya): bahaya pertama bagi orang yang menerima sedangkan bahaya yang kedua bagi haknya orang yang menolak.
Bahaya 1: Bahayanya bagi orang yang menolaknya amatlah besar, jika sekelompok orang yang lemah menduga bahwa omongan itu, bila telah dibukukan di dalam kitab-kitab mereka dan telah dicampur-aduk dengan kebatilan mereka sudah seyogyanya disingkiri dan tidak perlu disebut-sebut, bahkan hendaknya tidak percaya kepada setiap prang yang menyebut-nyebutnya. Sebab jika pertama kali mereka tidak mendengarnya kecuali dari mereka, maka oleh akal mereka yang lemah itu akan timbullah kesan bahwa omongan itu merupakan omongan yang batil, karena orang yang mengomongkannya saja adalah orang yang batil.
Contohnya seperti orang yang mendengar dari orang Nasrani akan ucapan: “Tiada Tuhan selain Allah, Isa adalah Rasul (utusan) Allah”, lantas dia mengingkarinya dan berkata: “Ini adalah omongannya seorang Nasrani” dan dia tidak ragu lagi tatkala dia mengangan-angan bahwa orang Nasrani itu kafir menilik kepada ucapannya ini atau menilik kepada pengingkarannya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka apabila dia tidak kafir kecuali dengan menilik pada pengingkarannya terhadap kenabian Muhammad, seyogyanyalah tidak menentang selain kekafirannya itu yakni perkara yang ternyata benar pada dirinya, dan kendatipun baginya juga merupakan perkara yang benar.
Demikian inilah kebiasaan orang yang lemah dan kerdil akalnya di mana mereka membuat batasan kebenaran dipandang dari orangnya dan tidak membikin suatu ukuran kebenaran terhadap orangnya. Seorang yang berfikir secara rasional pasti dia akan mengikuti cara berfikirnya pemuka ahli fikir Ali radhiyallahu ‘anhu di mana dia pernah mengatakan : “Janganlahlah kamu mengenali suatu kebenaran dari manusianya, tetapi kenalilah apa kebenaran itu, kemudian kamu baru akan dapat mengenali siapa yang memiliki kebenaran itu”.
Memang ada sekelompok orang yang belum meneliti secara cermat akan rahasia berbagai ilmu dan belum mencoba menelusuri poin-poin madzhab yang paling jauh, membantah sementara kata-kata paten di dalam karangan-karangan kami tentang berbagai rahasia agama. Mereka menduga bahwa kata-kata itu merupakan sebagian omongannya orang-orang filosof jaman dulu di mana sebagiannya melahirkan berbagai kegentingan dan tidak ayal lagi akan terjerumus di dalam lobang, sedangkan yang lainnya terdapat di dalam kitab-kitab syariat dan kebanyakan kitab-kitab syariat ini maksudnya terdapat di dalam kitab-kitab sufi yang kemungkinan tidak bakal ditemukan di dalam kitab-kitab mereka. Maka apabila omongan mereka itu logis (bisa diterima akal) dan diperkuat serta ditopang oleh dalil-dalil yang nyata serta tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunah, tidaklah seyogyanya apabila omongan mereka itu disingkiri dan diingkari.
Andaikata kita membuka bab ini lalu kita mengambil langkah menyingkiri setiap kebenaran karena didahuluinya orientasi kita pada pemikirannya orang yang keliru, maka wajiblah bagi kita menyingkiri banyak kebenaran dan haruslah kita menyingkiri sejumlah ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah, hikayat-hikayat Ulama Salaf. Perkataannya para cerdik cendekia dan orang-orang sufi, sebab pengarang kitab “Ikhwan Ash-Shafa” telah menurunkannya di dalam kitabnya sembari mencari kesaksian dan memperdayakan hatinya orang-orang bodoh dengan perantaraan hal-hal itu menuju kepada kebatilannya dan kepalsuan yang dibuatnya, dan hal itu mengajak kepada usahanya orang-orang yang senantiasa menyalahkan kebenaran dari tangan-tangan kita dengan menitipkan omongan-omongannya di dalam kitab-kitab mereka. Setidak-tidaknya orang yang yang memiliki pengetahuan akan bisa membedakan dirinya dari orang awam yang dungu tidak berpendidikan, sebab orang-orang yang berpengetahuan tidaklah bakalan mengatakan madu itu busuk tidak enak kendatipun dia menemukannya di dalam tempat (bejana) pembekam, dan dia akan berkeyakinan bahwa bejana pembekam itu tidak akan bisa merubah zat madu.
Sedangkan keengganan tabiat dari madu itu berdasar atas kebodohan umum yang punya persepsi bahwa tempat (bejana) pembekan itu hanya sengaja dibikin untuk tempat darah yang menjijikkan, sehingga ia beranggapan bahwa darah itu menjijikkan karena ditempatkan dalam kaleng pembekam dan dia tidak tahu bahwa darah itu mempunyai ciri yang menjijikkan dengan sendirinya. Sebab tatkala sifat ini hilang pada madu itu maka keadaannya di dalam tempatnya tidak menjadi masalah lagi bagi madu itu sehingga tidak perlu dianggap busuk dan menjijikkan, dan anggapan yang semacam ini adalah suatu anggapan yang keliru dan sudah merupakan anggapan yang lumrah bagi kebanyakan makhluk.
Sedangkan omongan itu dinisbatkan dan disandarkan kepada pembicara yang sesuai dengan keyakinan mereka maka mereka terima omongan itu kendatipun omongan itu tidak benar. Dan jika omongan itu disandarkan dan dilontarkan oleh orang yang tidak cocok lagi dan tidak berkenan di hati mereka, niscaya omongan itu mereka tolak meskipun kenyataannya omongan tersebut merupakan omongan yang benar.
Oleh karena itu selamanya mereka akan mengetahui bahwa kebenaran itu tergantung kepada siapa yang berbicara dan mereka tidak akan mengenali seseorang dari sisi kebenarannya, dan inilah kesesatan yang paling final, di samping itu, ini juga merupakan bahayanya orang yang tidak mau menerima omongan kaum filosof etik.
Bahaya kedua: Bahayanya orang yang menerima omongan kaum filosof etik. Sebab orang yang telah melihat di dalam kitab-kitab mereka seperti “Ikhwan As-Shafa” dan lain-lainnya lalu dia melihat apa yang telah mereka campur aduk dengan omongan mereka dari hikmah-hikmah kenabian serta kata-katanya golongan sufi, barangkali dia akan menganggap bagus lalu menerimanya dan mempunyai itikad baik terhadap kaum filosof etik ini sehingga dia akan tergesa-gesa menerima kebatilan mereka yang telah diramu dengan dugaan baik dari hasil penglihatannya dan anggapan baiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk pemerdayaan ke arah kebatilan. Karena bahaya inilah, wajib hukumnya melarang menelaah kitab-kitab mereka, sebab di sana terdapat kecurangan dan tipuan.
Seperti halnya kita wajib menjaga orang yang tidak pandai berenang dari licinnya tepi laut, kita juga wajib menjaga manusia dari menelaah kitab-kitab itu. Contoh lain, juga wajib menjaga anak-anak dari usaha memegang ular, maka kita wajib menjaga pendengaran dari campur aduknya omongan-omongan mereka. Demikian pula seorang pawang ular wajib menyelamatkan putranya yang masih kecil dari usahanya menjamah ular yang berada di dekatnya, bila kenyataannya dia tahu bahwa anaknya itu akan menirunya seperti apa yang dia lakukan karena setidak-tidaknya anaknya ini mempunyai dugaan akan bisa melakukan seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya.
Oleh karena itu tindakan yang harus dilakukan adalah menakut-nakuti anaknya untuk takut kepada ular tersebut di samping itu dia sendiri harus berlaku hati-hati di depan ular pada saat anaknya berada di sisinya. Begitulah semestinya keteladanan yang harus ditiru oleh seorang yang alim yang amat mapan ilmunya. Seperti halnya sorang pawang yang telah mahir, jika dia memegang seekor ular lalu dia bisa membedakan mana yang air penawar dan mana yang bisa, sehingga karena keahiannya pawang ini bisa mengeluarkan air penawar dan mensirnakan bisa.
Maka tindakan selanjutnya dia tidak perlu bertindak bakhil untuk memberikan air penawar sebagai obat atas orang yang membutuhkannya. Demikian pula seorang kasir yang cermat dan pengalaman, jika telah memasukkan tangannya di dalam kantong yang berisi berbagai mata uang lalu di sana dia bisa mengeluarkan emas yang murni dan dia tinggalkan yang palsu dan yang tiruan maka dia tidak boleh bertindak bakhil tidak mau memberikan uang emas yang masih murni lagi pula disenangi kepada orang yang membutuhkannya, dan seperti demikian itulah mestinya seorang yang pandai mengambil suatu missal.
Demikian pula seorang yang butuh kepada air penawar sebagai obat, jika dirinya tidak suka terhadap air penawar itu karena dia sudah tahu bahwa air penawar tersebut berasal dari seekor ular yang merupakan tempatnya bisa. Seorang kafir yang amat membutuhkan kepada harta, jika dia berpaling dari emas yang telah dikeluarkan dari kantong yang berbagai macam uang, maka dia harus diingatkan bahwa keengganannya menerima uang emas merupakan suatu kebodohan yang menyolok yang sekaligus merupakan terdindingnya dari keberhasilan yang sudah merupakan tuntunannya dan dia harus diberitahu bahwa berkumpulnya emas murni yang murni dengan emas yang palsu tidaklah akan menjadikan yang murni itu menjadi palsu, dan sebaliknya berkumpulnya emas yang palsu dengan emas yang murni juga tidak bisa merubah yang palsu itu menjadi murni.
Demikian pula berkumpulnya perkataan yang benar dengan perkataan yang batil tidaklah bisa menjadikan perkataan yang batil itu menjadi benar dan sebaliknya perkataan yang benar itu menjadi batil. Inilah ukuran yang kami maksudkan dari bahayanya ilmu filsafat. (*) Susunan di dalam Ilmu Mantik terdapat susunan mujabah (positif) dan susunan salibah (negatif).
Ilmu Riyadhiyyah (Matematika)
1. Ilmu Riyadhiyyah (Matematika): Ilmu ini ada konteknya dengan Ilmu Hitung. Ilmu Hindasah (Geometri) dan Ilmu Bumi Alam. Tiada satupun dari ilmu-ilmu ini yang ada konteknya dengan perkara-perkara agama, baik ditetapkan atau tidak ditetapkan, bahkan ilmu ini hanya merupakan dalil-dalil belaka yang tiada cara lagi untuk mengingkarinya sesudah terlebih dahulu faham dan mengerti secara jelas. Dari ilmu ini juga lahirlah dua afat (bahaya):
a) Bahaya pertama: Siapa saja yang menganalisis ilmu ini pasti dia akan merasa kagum betapa rumit dan sulitnya ilmu ini, di samping itu dia juga merasa kagum terhadap jelasnya dalil atau argumentasinya sehingga sebab kekagumannya itu dia percaya benar terhadap ilmu filsafat lalu dia menduga bahwa semua ilmunya para filosof itu jelas dan dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya seperti halnya ilmu ini.
Kemudian karena dia mendengar kekufuran mereka serta keatheisan mereka dan kebiasaan mereka menganggap remeh terhadap agama, maka mulutnya menjadi lancang sehingga dia berani mengatakan kufur terhadap taklid makhdi (taklid murni), tambah lagi dia berani berkata: “Andaikan agama itu memang benar-benar hak niscaya agama itu tidak akan samar bagi orang-orang filsafat ini, sebab mereka memiliki pengetahuan yang mendalam dalam ilmu ini.
Maka apabila dia sudah tahu—berdasarkan pada pendengaran mereka—kekafiran serta keingkaran mereka terhadap agama, niscaya dia mengambil suatu bukti bahwa yang hak (benar) adalah kekafiran serta pengingkaran terhadap agama itu sendiri. Beberapa yang sudah anda lihat dari orang yang tersesat dari kebenaran sebab kedudukan ini dan sama sekali dia tidak memiliki pancaran selain ilmunya ini.
Anggaplah misalnya ada seorang yang amat pandai dalam bidang pekerjaan/ karya tertentu, belum tentu dia pandai dalam segala bidang pekerjaan. Seorang yang ahli dalam ilmu fikih dan ilmu kalam belum tentu dia ahli dalam ilmu kedokteran. Seperti halnya orang yang bodoh tentang ilmu metafisika belum tentu dia bodoh tentang ilmu nahwu, bahkan bagi setiap pekerjaan memiliki orang yang ahli di mana dia sudah sampai pada puncak kepandaiannya kendatipun kebodohan dan ketidaktahuan senantiasa dimiliki olehnya dalam bidang-bidang yang lain.
Orang-orang yang baru pertama-tama menyelami ilmu matematika merupakan hal yang sifatnya berisi dengan dalil-dalil, sedangkan orang yang baru pertama kali menyelami dalam ilmu ketuhanan (teologi) dia akan terbentur dengan hal-hal yang sifatnya teka-teki. Tidak akan mengetahui hal itu kecuali orang yang sudah mengadakan eksperimen dan menyelaminya.
Apabila seseorang telah terpaku hatinya mempercayai dan menerima ilmu matematika (riyadhiyyah) maka dia tidak bisa mengelak dari dalil itu, bahkan dia akan terbawa oleh dorongan hawa nafsu dan keinginan untuk dipandang sebagai seorang yang jagoan dan ingin dipandang sebagai orang yang cerdik yang senantiasa berbaik sangka terhadap para filosof yang pasti menguasai segala ilmu. Tindakan yang seperti ini merupakan kerugian dan bahaya besar, oleh karena itu sudah sewajibnyalah kita melarang atau mencegah setiap orang yang menyelami ilmu itu. Sebab ilmu ini kendatipun tidak berkaitan dengan urusan agama, akan tetapi tatkala seseorang dalam permulaan ilmu mereka sudah berjalan kepada keburukan dan cacat mereka niscara sedikit sekali orang yang menyelami ilmu filsafat itu kecuali dia keluar dan berbalik dari agamanya dan terbebaslah tali kekang takwa dari kepalanya.
b) Bahaya kedua: Timbul dari orang yang merasa dirinya tahu tentang Islam, namun sebenarnya dia tidak tahu tentang Islam. Dia mempunyai keyakinan bahwa agama itu haruslah dibela dengan mengingkari terhadap semua ilmu yang masih ada kaitannya kepada golongan filosof, sehingga agama harus tidak mengakui semua ilmu mereka dan menganggap mereka bodoh, sampai-sampai tidak diakuinya pendapat mereka tentang gerhana Matahari dan gerhana Rembulan dan dia mempunyai dugaan kuat bahwa apa yang mereka ucapkan benar-benar bertentangan dengan syara’.
Tatkala hal itu didengar oleh orang yang tahu persis terhadap masalah itu dengan diperkuat oleh dalil yang pasti di mana dia sudah tidak ragu lagi terhadap dalilnya, malah dia sudah punya keyakinan kuat bahwa Agama Islam itu bertengger di atas kebodohan dan pengingkaran terhadap dalil yang pasti, maka akan menambah kecintaannya terhadap golongan filsafat dan menambah kebenciannya kepada Islam. Padahal sudah besar sekali teror dari orang yang menyangka bahwa Islam memang ditopang oleh pengingkarannya terhadap filsafat.
Di dalam syara’ sendiri tidak menyinggung sama sekali terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam ilmu-ilmu ini sama sekali tidak menyinggung perkara-perkara agama. Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidaklah bergerhana karena matinya seseorang dan bukan karena hidupnya seseorang. Bilamana engkau melihat hal itu, maka segeralah engkau ingat kepada Allah dan segeralah shalat”.
Maka jelaslah bahwa di dalam hadits itu tidak terdapat adanya sesuatu pengingkaran terhadap Ilmu Hisab (aritmetika) yang bisa dipakai untuk mengetahui perjalanan matahari dan bulan, kumpulnya dua benda tersebut atau saling berhadap-hadapannya dua benda itu menurut cara yang tertentu.
Mengenai ucapan: “Akan tetapi Allah tatkala menampakkan diri-Nya kepada sesuatu, maka sesuatu itu tunduk kepada-Nya”, tidaklah ditemukan di dalam Kitab Ash-Shihah. Demikian itulah hikmahnya Ilmu Matematika dan bahayanya.
Menyebarkan Ilmu
Ketika saya melakukan uzlah dan khalwat secara aktif selama kurang lebih sepuluh tahun, nampaklah olehku di tengah-tengah pekerjaanku dari sebab-sebab yang tidak bisa aku hitung lagi, sekali tempo dengan dzauq dan sesekali dengan ilmu yang berdasar pada dalil dan suatu kesempatan dengan iman yang bisa diterima bahwa sebenarnya manusia itu dititahkan dari badan dan hati.
Yang saya maksudkan hati di sini adalah hakikat ruh di mana dia merupakan tempat untuk mengetahui Allah subhanahu wa ta’ala, bukannya daging dan darah yang bisa dimiliki oleh orang yang mati dan hewan. Perlu diketahui bahwa badan memiliki sehat yang dengan kesehatan ini badan menjadi bahagia, di samping itu badan juga mengalami sakit yang menjadikan kehancurannya. Demikian pula hati dia memiliki kesehatan dan keselamatan, dan tidak ada yang akan selamat kecuali “orang yang datang kepada Allah dengan hati yang suci”. Dan hati juga mempunyai penyakit yang menyebabkan kehancuran abadi dan bersifat ukhrawi, seperti apa yang telah Allah ta’ala firmankan :

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ...
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakit nya...”. (QS. Al Baqarah : 10)


Di tambah lagi bahwa tidak tahu kepada Allah merupakan racun yang amat membahayakan, dan bahwasanya durhaka kepada Allah dengan mengikuti hawa nafsu merupakan penyakit yang menyakitkan. Sebaliknya ma’rifat (tahu) kepada Allah ta’ala merupakan air penawar yang bisa menghidupkan, dan taat kepada Allah dengan tidak mengikuti hawa nafsu merupakan obatnya hati yang menyembuhkan. Tiada jalan lain untuk mengobati hati guna menghilangkan penyakitnya dan mencari kesehatannya kecuali dengan memakai berbagai obat, seperti halnya tiada jalan lain untuk menyembuhkan badan kecuali dengan bermacam-macam obat.
Seperti obat-obat badan bisa berpengaruh dalam upaya memberi kesembuhan dengan khasiat yang terkandung di dalamnya di mana khasiat itu tidak bisa ditemukan oleh orang-orang yang berakal dengan bagian akalnya, bahkan di situ seseorang harus ikut kepada para dokter yang telah mengambil khasiat itu dari nabi-nabi yang telah melihat khasiat kenabian atas khasiat-khasiat berbagai perkara. Demikian pula dengan sendirinya tampaklah olehku bahwa obat-obat ibadah dengan segala batasan dna ukurannya yang telah ditentukan dari pihak nabi-nabi yang tidak bisa diketahui segi pengaruhnya dengan bagian akalnya orang-orang yang berakal, tetapi seseorang diharuskan mengikuti para nabi yang telah mengetahui khasiat-khasiat itu dengan cahaya kenabian, bukannya dengan bagian akal. Seperti juga obat-obatan yang tersusun dari macam dan ukuran, maka sebagian obat-obatan itu berlipat ganda atas sebagian yang lain dalam timbangan dan ukurannya sehingga perbedaan berbagai ukuran obat-obatan tersebut tak lepas dari rahasia di mana rahasia itu tercipta dari arah khasiat.
Demikian pula halnya dengan ibadah-ibadah yang merupakan obatnya penyakit hati yang tersusun dari beberapa pekerjaan yang beraneka ragam bentuk dan macamnya serta beraneka ragamnya ukuran, sehingga sujud merupakan penggandaan dari pada rukuk, dan shalat shubuh adalah separo dari pada shalat ashar dalam ukurannya, dengan demikian dia tidak terlepas dari suatu rahasia yang datangnya dari beberapa khasiat yang tidak bisa dilihat kecuali dengan cahaya kenabian.
Sungguh amat bodoh dan sangat dungu sekali orang yang hendak beristimbat (mengeluarkan khasiat) dengan cara akal di mana khasiat itu memiliki hikmah atau dia menduga bahwa hikmah itu hanya bisa disebutkan secara kebetulan saja dan bukannya lewat rahasia larangan yang terdapat di dalamnya yang mengharuskan untuk memakai cara khasiat tersebut. Sebagaimana obat-obatan itu memiliki beberapa pokok yang merupakan sendi-sendinya, dan memiliki beberapa tambahan yang merupakan kesempurnaannya di mana masing-masing mempunya pengaruh khusus dalam mengamalkan pokok-pokok khasiat tersebut, maka beberapa nafilah dan beberapa kesunatan juga merupakan kesempurnaan untuk menyempurnakan beberapa sendi ibadah.
Secara garis besarnya, para nabi merupakan dokternya penyakit hati. Adapun faidah akal dan manfaatnya ialah supaya kita tahu akan hal-hal yang disebutkan tadi dan bisa menyaksikan kenabian dengan mengakui kebenarannya serta mengerti kelemahan dirinya untuk mengetahui sesuatu yang dapat diketahui dengan mata kenabian dan mengambil dengan tangan kita lalu kita menyerahkannya seperti penyerahannya orang buta kepada penuntunnya dan seperti penyerahan orang sakit yang bingung kepada para dokter yang mengasihinya.
Nah, hanya sampai sejauh itulah yang bisa dicapai oleh kekuatan akal. Ia terletak di seberang, terpisah dari sebagian yang lain yang dapat difahami hanya yang ada pertaliannya dengan apa yang diberikan oleh dokter kepadanya. Semua ini merupakan perkara-perkara yang telah kami ketahui secara spontan yang berjalan pada jalur musyahadah yang aku alami selama aku beruzlah dan berkhalwat. Kemudian aku amati adanya kelemahan serta kemunduran pada sendi kenabian, kemudian pada hakikat kenabian, kemudian pada pengamalan terhadap apa yang telah dijabarkan oleh kenabian (nubuwwat).
Kami membuktikan sendiri akan meluasnya hal itu di tengah-tengah masyarakat, lantas aku menganalisa tentang sebab-sebab terjadi lemahnya manusia serta lemahnya iman mereka ternyata aku bisa menyimpulkan empat sebab: Karena ada hubungannya dengan mereka yang mendalami ilmu filsafat. Karena ada kaitannya dengan mereka yang menyelami tarekat tasawuf. Karena ada hubungannya dengan mereka mengaku diirnya sebagai kelompok ta’lim (pengajaran). Karena pergaulan dengan orang-orang yang memiliki tanda sebagai yang berilmu di kalangan manusia.
Lantas aku mengadakan pendekatan kepada manusia satu demi satu di mana aku bertanya siapa di antara mereka yang seenaknya saja dalam menjalankan hukum syara’, aku tanyakan tentang kebimbangannya dan aku selidiki akidah serta rahasia pribadinya. Kemudian aku bertanya kepada salah seorang: “Kenapa anda seenaknya saja dalam mengikuti hukum syara’? Jika anda benar-benar percaya kepada kehidupan akhirat, kenapa anda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya kelak, bahkan anda suka menjual perkara akhirat dengan perkara dunia? Ini merupakan suatu tindakan yang bodoh sekali. Sebab anda tentunya tidak akan menjual dua barang dengan satu barang. Lantas bagaimana anda menjual perkara yang tidak ada akhirnya dengan hari-hari tertentu? Dan apabila anda tidak percaya kepada kehidupan akhirat, berarti anda kafir. Maka aturlah diri anda dalam upaya mencari iman lalu buatlah analisa apa yang menyebabkan kekafiran anda yang khafi (tidak kentara) di mana dialah yang merupakan aliranmu yang berada di dalam, dan dia yang menyebabkan keberanian anda kepada Allah di luar.
Jika anda tidak menjelaskannya dengan berbasa-basi iman dan merasa mulia dengan menyebutkan syara’ niscaya akan ada orang yang berkata, “Ini adalah suatu perkara, andaikata wajib dipelihara, niscaya ulamalah yang lebih pantas untuk menganiaya”.
Si Fulan seorang yang terkenal di kalangan orang-orang utama tidak melakukan shalat. Si Fulan minum arak. Si Fulan memakan harta wakaf dan hartanya anak yatim. Dan Fulan memakan uangnya penguasa dan tidak mau menjaga dirinya dari harta haram. Si Fulan suka menerima uang sogok dalam pengadilan atau dalam persaksian dan masih banyak contoh lainnya yang sepadan dengan hal-hal di atas.
Orang kedua berkata di mana dia mengakui berilmu tasawuf dan menurut anggapannya sendiri bahwa dia telah sampai pada suatu tingkatan yang sudah tidak membutuhkan lagi untuk beribadah.
Orang ketiga berkata dengan memberi alasan suatu syubhat lain dari sekian syubhatnya ahli ibadah, mereka ini adalah orang-orang yang tersesat dari tarekat tasawuf.
Orang keempat yang bertemu dengan ahli ta’lim berkata: “Perkara yang hak (benar) itu musykil sedangkan jalan untuk menuju ke sana tersumbat dan perbedaan pendapat tentang kebenaran amatlah banyak, sementara itu sebagian aliran (madzhab) tidak ada yang lebih utama dari yang lainnya, dan dalil-dalil akal saling bertentangan sehingga pendapatnya “Ahlur Ra’yi” tidak bisa dipertanggung jawabkan lagi, orang yang mengaku “Ahlit Ta’lim” mengambil hukum sendiri dan tidak memiliki argumentasi, lantas bagaimana aku dapat mengusir keyakinan dengan keragu-raguan”.
Orang kelima berkata: “Saya melakukan hal ini tidaklah semata-mata karena taklid, tetapi aku melakukannya karena aku telah membaca ilmu filsafat lalu di sana aku menemukan hakikat kenabian, dan bahwa hasil hakikat kenabian itu kembali kepada hikmah dan maslahah. Adapun maksud dari pada pelaksanaan ibadah adalah membatasi dan mengekang orang-orang awam supaya tidak saling bunuh-membunuh, tidak saling bertengkar dan tidak mengumbar hawa nafsu. Tetapi saya bukan termasuk orang awam, sehingga aku harus masuk di dalam kandang taklif, saya adalah termasuk cendekiawan yang selalu mengikuti hikmah, dan saya tahu benar tentang seluk-beluk ibadah dan tidak lagi membutuhkan taklid”. Inilah kesudahan imannya orang yang membaca “Aliran Filsafat Ketuhanan” dan mempelajari aliran filsafat tersebut dari beberapa kitab karangannya Ibnu Sina dan Abu Nasr Al-Farabi. Mereka itulah yang pura-pura tahu benar tentang Islam. Dan bahkan terkadang anda akan menyaksikan dan melihat bahwa salah satu di antara orang yang beraliran ini membaca Al-Quran, menghadiri shalat jamaah, dan melakukan shalat-shalat fardhu, dan mengagungkan syariat dengan lisannya, namun kendatipun demikian dia tidak meningalkan minum arak dan beberapa bentuk kefasikan serta berbagai bentuk perbuatan mesum lainnya.
Jika ditanyakan kepadanya: “Apabila kenabian itu tidak benar, lantas untuk apa anda mengerjakan shalat?” Barangkali dia akan bilang: “Untuk berolahraga, kebiasaan penduduk negeri ini dan menjaga harta serta anak”. Dan barangkali dia akan berkomentar: “Undang-undang syara memang benar dan kenabian juga merupakan sesuatu yang benar”. Kemudian tanyakan kepadanya: “Lantas untuk apa anda meminum arak?”. Spontan dia akan menjawab: “Arak dilarang dan haram untuk diminum karena ia bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian, akan tetapi saya berkat hikmah (kebijaksanaan) yang aku miliki dapat terhindar dari hal-hal itu semua, dan saya melakukan ini dengan tujuan menajamkan serta mengarah pikiranku”.
Sampai-sampai Ibnu Sina telah menyebutkan di dalam wasiatnya yang telah ditulisnya bahwa dia telah mengangkat janji kepada Allah ta’ala untuk melakukan ini dan melakukan itu dan dia berjanji akan mengagungkan siapa saja yang telah digariskan oleh syara dan tidak akan seenaknya saja dalam melakukan ibadah agama (diniyyah) dan ibadah badan (badaniyyah) dan dia tidak akan minum (arak) karena hanya senang-senang belaka, namun meminumnya karena dipakai sebagai obat dan sebagai penyembuh. Sehingga kondisi final Ibnu Sina dalam kejernihan serta kemurnian iman dan dalam menjalani ibadah adalah mengecualikan minum arak demi tujuan penyembuhan. Gambaran seperti itulah, gambaran imannya orang yang mengaku dirinya telah beriman dari golongan “Filsafat Ketuhanan”.
Iman yang seperti ini beserta orang-orang yang sejalan dengan aliran ini telah memperdaya sekelompok manusia dan ia tambah memperdaya mereka dengan suatu tipu muslihat yang bisa melemahkan sanggahannya orang-orang yang tidak sependapat tatkala mereka mengeluarkan sanggahannya dengan menentang ilmu pasti, ilmu logika dan lain-lainnya yang terdiri dari sesuatu yang telah mereka miliki secara otomatis, sebagaimana keterangan yang telah kami singgung di muka.
Ketika aku melihat beberapa kelompok makhluk telah mengalami lemah iman sampai pada batas ini dengan beberapa sebab ini pula dan jiwaku saya lihat memang terpanggil untuk menyingkap ketidaktentuan ini, sehingga aib dan cacat mereka itu sudah terasa begitu gampangnya bagiku dari pada sekadar meminum air karena aku banyak menyelami ilmu mereka yakni golongan sufi, golongan filsafat, golongan ta’limiyyah dan orang-orang yang tercatat sebagai ulama, maka terpecahkan olehku bahwa hal itu bisa dipastikan terwujudnya di saat ini. Maka tidak ada gunanya lagi anda melakukan khalwat dan melakukan uzlah sebab penyakit benar-benar telah merata dan dokter-dokter sama sakit dan manusia semuanya hampir terjerumus dalam kehancuran.
Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri: “Kapan anda sendirian menyibakkan mendung dan mendobrak kegelapan ini? “Padahal zaman ini adalah zaman fatrah (kosong mujaddid), periodenya adalah periode kebatilan. Dan andaikata anda menyibukkan diri mengajak kepada manusia untuk meninggalkan cara-cara hidup mereka menuju kepada kebenaran, niscaya anda akan dimusuhi seluruh manusia pada zaman ini, lalu dari mana anda harus menentang mereka?
Lantas bagaimana anda bergaul dengan mereka? Sedangkan hal itu bisa sukses secara sempurna haruslah ditunjang dengan zaman yang menolong dan penguasa yang benar-benar beragama kuat. Kemudian aku minta keringanan kepada Allah ta’ala dengan tetap melangsungkan uzlahku sembari beralasan karena tidak mampu untuk menampakkan kebenaran dengan argumentasi. Lantas Allah ta’ala mentakdirkan dengan menggerakkan hatinya penguasa pada waktu itu dari dirinya sendiri dengan tanpa ada yang menggerakkannya dari luar, sehingga penguasa tersebut mengeluarkan perintah tegas kepadaku untuk segera pergi ke Naisabur guna mengisi kekosongan ulama. Dan perintah tegas itu memang sudah sampai pada batas yang sudah tidak bisa dibantah lagi, andaikata aku bantah niscaya akan memuncak kepada keadaan yang membahayakan.
Kemudian terlintaslah di dalam benakku bahwa sebab rukhsah (kemurahan) sudah benar-benar lemah, sehingga tidak seyogyanya apabila pembangkit dan yang mendorongku untuk melakukan uzlah yang tidak ada henti-hentinya adalah kemalasan dan ingin beristirahat, mencari kemuliaan diri dan menjaganya dari gangguan makhluk, dan tidak mau menempatkan diri secara enak dengan menghadapi kesulitan dan kekerasan manusia. Dan bukankah Allah ta’ala berfirman :
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ  وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabut: 1-3).
Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Rasul-Nya di mana dia adalah makhluk-Nya yang paling mulia :
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِن نَّبَإِ الْمُرْسَلِينَ
“Dan sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelum kamu, maka mereka bersabar atas apa yang telah menyebabkan mereka didustakan dan mereka disakiti sehingga datanglah pertolongan Kami kepada mereka. Tiadalah bisa ditukar peraturan Allah. Sesungguhnya telah datang kepada engkau dari pekabaran rasul-rasul itu” (QS. Al-An’am: 34).
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يس  وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ  إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ  عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ  تَنزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ  لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ  لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَىٰ أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ  وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ  وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ  إِنَّمَا تُنذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَـٰنَ بِالْغَيْبِ ۖ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
“Yaasiin. Demi Al-Quran yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul (yang berada) di atas jalan yang lurus (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum diberi peringatan, karena itu mereka lalai”. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia” (QS. Yaasiin : 1-11).
Ayat-ayat tersebut di atas aku musyawarahkan bersama dengan sekelompok ahli fikir dan orang-orang yang sudah mencapai tingkat musyahadah. Kemudian mereka sepakat memberi isyarah untuk meninggalkan uzlah dan keluar dari tempat menyepi. Dan hal itu masih diperkuat oleh beberapa impiannya orang-orang shalih yang banyak sekali jumlahnya dan sudah mutawatir di mana impian itu memberi kesaksian bahwa gerakan yang seperti ini merupakan tonggak awal daripada kebaikan dan petunjuk yang telah ditakdirkan dan digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada setiap penghujung seratus tahun.
Dan Allah juga telah menjanjikan akan menghidupkan agamanya, sehingga harapanku menjadi semakin kokoh saja dan “husnuzan” saya menjadi menang disebabkan adanya kesaksian-kesaksian ini. Dan ternyata Allah ta’ala memberi karunia kegampangan untuk bergerak ke Naisabur untuk melaksanakan urusan penting ini pada bulan Dzulqa’dah tahun 2999 H, sedangkan masa keluarku dari Baghdad pada bulan Dzulqa’dah tahun 488 H, sebab masa uzlahku berlangsung sampai sebelas tahun. Ini merupakan suatu gerakan yang telah ditakdirkan oleh Allah ta’ala, di samping itu gerakan ini merupakan salah satu keajaiban takdir Allah yang belum terpecahkan di dalam hati selama menjalankan uzlah, seperti halnya keluarku dari Baghdad dan meninggalkan keadaan-keadaan seperti itu sama sekali tak pernah terlintas di dalam benakku.
Memang Allah-lah yang merubah dan membolak-balik hatiku serta keadaanku, seperti yang ditandaskan oleh sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Hatinya orang-orang mu’min itu terletak di celah-celah dua jari Ar-Rahman (Allah)”.
Saya tahu benar terhadap keadaanku, kendatipun aku kembali menyebarkan ilmu namun aku tidak kembali kepada keadaan sebenarnya, sebab kembali yang sebenarnya adalah kembali menjalankan kegiatan yang pernah terjadi dan pernah saya alami pada zaman itu di mana aku pernah menyebarkan ilmu demi meraih pangkat. Saya mengajak kepada ilmu itu dengan ucapan dan amalku, dan itulah yang menjadi maksud dan niatku. Adapun keadaan sekarang ini memang aku sedang mengajak kepada ilmu yang mengarah kepada suatu sasaran untuk meninggalkan pangkat dan ilmu yang bisa dipakai untuk mengetahui betapa rendahnya posisi pangkat. Tujuan seperti inilah yang merupakan niatku serta angan-angan yang telah saya idam-idamkan. Allah tentu tahu hal itu dariku dan saya sangat ingin memperbaiki diri serta gairahku. Saya tidak tahu apakah nantinya aku bisa sampai kepada maksudku ataukah nantinya aku gagal dalam mewujudkan maksudku tersebut, namun aku percaya sepenuhnya bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dari Allah Yang Maha Agung, dan sesungguhnya aku tahu bahwa saya tidak bergerak tetapi aku digerakkan oleh Allah.
Di samping itu aku juga tahu bahwa saya tidaklah bekerja namun aku dibekerjakan Allah. Dengan demikian langkah yang aku ambil, aku minta kepada Allah agar Dia sudi memperbaiki keadaanku, kemudian memperbaiki apa yang ada padaku, Dia mau memberi petunjuk kepadaku sehingga aku mendapatkan petunjuk. Dan hendaklah Dia mau memberi kekuatan kepadaku untuk melihat perkara yang benar sebagai sesuatu yang benar. Dan hendaknya memberi rizki kepadaku untuk bisa mengikuti perkara yang benar secara konstan. Hendaknya Dia memperlihatkan suatu kebatilan kepadaku sehingga dengan demikian aku bisa dan mampu untuk menjauhi serta menghindarinya.
Sekarang aku kembali kepada apa yang pernah aku sebutkan dari berbagai sebab lemahnya iman dengan menyebutkan metoda pemberian petunjuk dan penyelamatan mereka dari berbagai kerusakan. Sedangkan orang-orang yang mengaku bingung terhadap apa yang pernah mereka dengan dari “ahli pengajaran”, cara pengobatannya adalah uraian yang telah kami sebutkan di dalam “Al-Qisthas Al-Mustaqim”, dan sengaja kami tidak membahas dan menguraikan secara panjang lebar di dalam risalah yang sekecil ini.
Tentang hal yang dibingungkan Ahli Ibadah itu telah kami ringkas kesyubhatan-kesyubhatan mereka di dalam tujuh macam dan kami tuangkan serta telah kami ungkapkan di dalam kitab “Kaimiya As-Sa’adah”. Dalam memberi sanggahan serta pengarah kepada orang-orang yang telah rusak imannya karena mereka menempuh jalannya ahli filsafat sehingga orang-orang ini mengingkari akan benarnya pokok-pokok kenabian, telah kami sebutkan hakikat serta wujudnya kenabian dengan suatu bukti adanya ilmu khasiat-khasiat obat-obatan, ilmu perbintangan dan lain sebagainya.
Kami kedepankan muqaddimah ini demi menunjang hal-hal tersebut. Di samping itu aku juga menurunkan bukti-bukti dari khasiat-khasiat ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan sebab bukti-bukti tersebut bersumber dari ilmu mereka (Ahli Filsafat). Kami sendiri memberi penjelasan kepada setiap orang yang alim (pandai) terhadap salah satu vak (disiplin) ilmu tertentu misalnya, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu alam, ilmu sihir dan ilmu perazimatan (tilsamah), dari ilmunya sendiri akan bukti-bukti kenabian. Mereka yang menetapkan kenabian hanya dengan lisannya saja, tetapi kemudian meletakkan peraturan-peraturan syara berdasarkan hikmah, maka orang-orang yang seperti ini sudah jelas kafir terhadap kenabian, namun mereka percaya kepada seorang yang bijaksana dan penelaah tertentu di mana penelaahaannya itu sudah seharusnya untuk diikuti.
Ini sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai percaya kepada kenabian, tetapi percaya kepada kenabian haruslah disertai ikrar dengan menetapkan perkembangan di belakang akal yang di situ terbukalah mata yang bisa mengetahui beberapa penemuan tertentu di mana akal tidak lagi berfungsi terhadapnya, seperti tidak berfungsinya pendengaran untuk bisa mengetahui berbagai warna, tidak berfungsinya penglihatan untuk bisa menangkap beberapa suara dan tidak berfungsinya seluruh indera untuk bisa mengetahui segala sesuatu yang didapat dari akal.
Jika sekiranya mereka tidak mau mengakui hal-hal ini, terpaksa aku mengemukakan bukti-bukti atas kemungkinannya bahkan atas kewujudannya. Dan bila mereka mau mengakui hal-hal ini, berarti telah menetapkan dan meyakini bahwa di sana terdapat beberapa perkara yang disebut dengan khasiat-khasiat yang sama sekali tidak bisa dijangkau oleh akal, bahkan akal cenderung membohongkannya dan menghukumi dengan kemustahilannya. Sebab seperenam dirham dari afiun merupakan racun yang mematikan, karena dia bisa membikin darah membeku di dalam pembuluh-pembulhnya saking dinginnya pengaruh yang dihasilkannya. Sedangkan orang yang mengaku tahu sedikit tentang ilmu alam tentunya akan menduga bahwa susunan benda itu menjadi dingin hanya disebabkan adanya dua unsur, yaitu unsur air dan unsur tanah, sebab keduanya merupakan dua unsur dingin. Dan sudah tidak asing lagi bahwa sekian liter air dan sekian liter tanah tidak bisa merasukkan kadar kedinginannya di dalam tubuh sampai kepada batas ini.
Kemudian andaikata seorang ahli ilmu alam diberitahu hal ini, tetapi dia belum mencoba dan membuktikannya, tentulah dia akan berkomentar: “Ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi”. Adapun bukti kemustahilannya bisa dilihat bahwa di dalam tubuh manusia terdapat unsur api dan unsur udara, sedangkan unsur api dan unsur udara itu tidaklah bertambah kedinginannya sehingga kita bisa memperkirakan semuanya sebagai air dan tanah. Maka dengan demikian kesangatan dalam menimbulkan kedinginan itu tidaklah harus terjadi. Maka apabila dua unsur panas bergabung di dalam diri manusia, sudah barang tentu lebih tidak mendatangkan pendinginan darah yang sampai membeku, dan ini dibilang sebagai suatu tanda bukti.
Pada dasarnya kebanyakan bukti ahli-ahli filsafat di dalam ilmu alam dan ilmu ketuhanan bertumpu pada jenis ini, sebab mereka membayangkan berbagai perkara itu hanyalah berdasar pada perkiraan sesuatu yang telah mereka temukan dan yang sudah bisa mereka cerna dengan akalnya, sedangkan perkara-perkara yang tidak bisa mereka jangkau dengan akal, maka mereka perkirakan saja kemustahilannya. Andaikan saja tidak cepat tertolong oleh impian yang benar lagi terkenal dan ada orang yang mengaku bahwa tatkala seseorang itu tidur dapat melihat dan mengetahui perkara-perkara yang gaib, niscaya orang-orang yang melakukan jalan pemikiran seperti ini akan tidak mempercayainya.
Katakanlah kepada salah seorang: “Apakah mungkin terjadi di dunia ini ada sesuatu benda yang ukurannya sebesar biji-bijian yang diletakkan di suatu negeri. Kemudian tak antara lama sesuatu itu bisa menelan segala apa saja yang berada di dalam negeri tersebut, dan tak antara lama dia menghabiskan dirinya sendiri, sehingga tiada sesuatupun yang rupanya masih tertinggal dan tersisa dari negeri tersebut berikut segala isinya dan benda itupun sudah habis dan musnah sama sekali”, orang tersebut tentu akan bilang: “Ini merupakan sesuatu yang mustahil terjadi, dan merupakan salah satu dari bentuk cerita-cerita khayal yang dibikin-bikin saja”.
Padahal hal ini merupakan keadaannya api, dan sudah barang tentu dia akan diingkari seseorang yang sama sekali belum pernah melihat api seumur hidupnya tatkala dia baru mendengarnya. Dan kebanyakan dari pada keajaiban-keajaiban akhirat memang senada dan searah dengan cerita di atas. Kami katakan kepada seorang ahli dalam ilmu kalam: “Anda terpaksa mengakui bahwa di dalam afiun terdapat khasiat yang berfungsi mendinginkan yang tidak perlu menganalogikan kepada sesuatu yang bisa diterima akal. Jika demikian halnya kenapa di dalam peraturan-peraturan syara tidak boleh terjadi adanya khasiat dalam memberi pengobatan terhadap hati serta menjernihkan nya yang tidak bisa diketahui oleh kebijaksanaan serta kecerdikan akal? Malah khasiat itu tidak bisa dilihat kecuali dengan mata kenabian (fakta kenabian). Dan yang paling aneh dan ajaib adalah bahwa mereka bisa mengakui berbagai khasiat yang lebih aneh lagi daripada khasiat ini, yaitu suatu khasiat yang telah mereka turunkan di dalam kitab mereka di mana khasiat tadi memberi petunjuk manjur tentang bagaimana caranya mengobati seorang wanita hamil yang kesulitan dalam melahirkan dengan sebuah skema tulisan seperti berikut ini:
 ع ٩ ٢ د ط ب ٣ ٥ ٧ ج ه ز ٨ ١ ٦ ح ا و
Petunjuk Penggunaan : Tulislah skema tersebut pada dua lembar kain yang belum dibasahi air kemudian wanita yang hamil tadi suruhlah melihat pada dua kain yang telah bertuliskan skema dengan kedua matanya, lalu taruhlah di bawah kedua telapak kakinya, niscaya dia akan cepat melahirkan seketika itu pula. Ahli ilmu alam itu mengakui dan mempercayai kebuktiannya hal-hal yang seperti itu dan mereka tungkan di dalam kitab “Aja’ibul Khawwash”.
Skema tersebut terdiri dari sembilan ruang dengan diberi angka-angka tertentu pada tiap-tiap ruang yang apabila dijumlah pada setiap garisnya akan ketemu lima belas (15) di mana anda bisa membacanya ke bawah maupun ke atas artinya vertikal maupun horisontal atau menyudut (diagonal). Alangkah ruginya orang yang mempercayai akan hal itu, namun akal fikirannya tidak mau membenarkan bahwa kepastian shalat subuh dua rakaat, shalat zhuhur empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat mengandung berbagai khasiat yang tidak bisa dicerna oleh akal fikiran dengan mengandalkan kebijaksanaan serta kecerdasannya. Sedangkan sebab khasiat-khasiatnya justru karena perbedaan waktunya. Dan barangkali khasiat ini bisa ditemukan dengan menggunakan cahaya (nur) kenabian.
Yang aneh adalah andaikata kami merubah suatu gambaran dengan gambarannya ahli-ahli perbintangan, tentulah mereka akan dapat mencerna dengan akalnya tentang perbedaan waktu-waktu ini. Kemudian kami bisa berkomentar: “Bukankah perbedaan waktu itu merupakan perbedaan hukum pada tukang ramal dengan suatu gambaran matahari berada di tengah-tengah langit, atau pada saat matahari terbit atau matahari di kala terbenam, sehingga mereka mempunyai dasar yang kuat atas perkara ini dalam menentukan langkah-langkah mereka terhadap perbedaan pekabaran yang belum jelas dan beberapa keterpautan umur dan ajal. Dan tidak ada perbedaan antara kedudukan matahari tergelincir (rembang) dan antara matahari berada di barat (tenggelam). Maka apakah untuk membenarkan nya terdapat jalan kecuali bahwa hal itu hanya didengarnya dengan gambaran seorang ahli perbintangan, barangkali dia telah menguji dan mencoba kebohongannya seratus kali. Dan senantiasa anda akan mengulangi untuk membenarkannya, sehingga andaikata seorang ahli perbintangan (astrolog) berkata: “Jika matahari bercokol di tengah langit, lalu berhadapan dengan bintang Anu sedangkan yang muncul adalah zodiak Anu, maka anda kebetulan mengenakan baju pada waktu itu, niscaya anda akan mati di dalam pakaian tersebut”.
Spontan adanya omongan tersebut, dia melepas pakannya pada waktu itu pula, sekalipun dia akan merasakan kedinginan yang sampai merasuk tulang dan kendatipun dia mendengar hal itu dari seorang ahli perbintangan yang sudah terbukti dan sudah seringkali melakukan kebohongan berkali-kali. Kasihan sekali!
Siapa yang mau melapangkan pikirannya untuk menerima keanehan-keanehan ini dan terpaksa mau mengakui bahwa keanehan-keanehan tersebut merupakan khasiat-khasiat yang bisa diketahui lewat mu’jizatnya sebagian para nabi. Bagaimana dia bisa mengingkari hal-hal seperti ini menurut apa yang dia dengar dari ucapan nabi yang senantiasa jujur lagi pula diperkuat dengan kehadirannya berbagai mu’jizat di mana nabi itu sama sekali belum pernah melakukan suatu kebohongan. Dan jika dia mau menganalisa tentang kemungkinan khasiat-khasiat ini terdapat di dalam bilangan rakaat, dalam lemparan jumrah, pada bilangan rukun-rukun haji dan ibadah-ibadah syara lainnya, niscaya dia tidak akan menemukan antara khasiat-khasiat berbagai ibadah tersebut dan antara khasiat-khasiat obat-obatan suatu perbedaan sama sekali.
Jika terdapat seseorang yang berkata: “Aku telah mengadakan eksperimen sedikit dari ilmu perbintangan dan sedikit dari ilmu kedokteran; sehingga aku telah berhasil menemukan sebagaimana sebagai suatu yang benar, dan sebagai akibatnya terbetiklah suatu kepercayaan dalam diri saya untuk membenarkannya tetapi hatiku menentukan untuk menjauhi serta berlari dari padanya. Sedangkan yang ini belum pernah saya uji, lalu dengan cara apa aku bisa mengetahui kewujudan serta kebenarannya, kendatipun aku telah mengakui kemungkinan nya”, cukuplah aku katakan: “Sesungguhnya anda tidak cukup hanya membenarkan apa yang telah anda eksperimenkan, tetapi anda juga harus mendengarkan berita-beritanya orang-orang yang telah melakukan eksperimen dan anda haruslah mengikuti mereka. Dengarkanlah ucapan-ucapan para wali, sebab merekalah yang telah melakukan eksperimen dan benar-benar telah menyaksikan kebenaran pada segala apa yang telah diturunkan oleh syara. Ikuti dan berjalanlah di atas jalan yang telah ditempuh mereka, kelak anda akan menemukan dan mengetahui sebagian perkara-perkara itu dengan penglihatan yang nyata kendatipun anda tidak mengadakan eksperimen lebih dulu, sehingga dengan sendirinya akal fikiran anda memutuskan dan bisa memastikan wajib membenarkan dan mengikuti dengan tanpa bisa dibantah lagi. Andaikata kita berasumsi ada seorang yang telah dewasa lagi pula berakal, namun dia belum pernah mengalami takut, tanpa disangka-sangka sebelumnya ternyata dia jatuh sakit. Dan kenyataannya dia masih memiliki seorang ayah yang sayang sekali kepadanya dan pandai sekali tentang ilmu kedoktrean di mana dia sudah mendengar pengakuan ayahnya yang terkenal pandai ilmu kedokteran semenjak dua mulai bisa berfikir. Kemudian ayahnya meracik obat-obatan untuk dirinya sembari berkata: “Ini baik sekali untuk mengobati sakitmu dan ini bisa menyembuhkan dari sakitmu”.
Maka keputusan apa yang akan dicetuskan oleh akal fikiran anda, kendatipun obat tersebut terasa pahit di mulut dan tidak enak rasanya, apakah obat tadi anda minum? Ataukah anda mendustakannya dan berkata: “Saya tidak bisa mencerna dan menerima dengan akal fikiran saya akan segi persamaan obat ini untuk bisa menghasilkan kesembuhan, sebab saya belum mencobanya?” Sudah tidak diragukan lagi anda tentu akan mengatakan, orang yang berkata seperti itu adalah orang yang dungu.
Demikian pula halnya, anda akan dikatakan dungu oleh orang-orang yang telah mempunyai penglihatan hati (Ahlul Bashair) dalam ketidaktentuan dan kepasifan anda. Jika anda menanyakan: “Dengan cara apa aku bisa mengetahui belas kasih Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengetahuinya dengan mengkaitkannya kepada ilmu kedokteran?” Jawabannya adalah: “Dengan cara apa anda bisa mengetahui kasih sayang ayahmu?” Bukankah hal kasih sayang merupakan perkara yang tidak bisa diraba dengan indera? Tetapi anda bisa mengetahinya lewat qarinah-qarinah tindak lakunya, bukti-bukti perbuatan nya, dan lewat beberapa penampilannya di mana semuanya itu bisa anda ketahui secara alami yang tidak perlu adanya latihan dan andapun tidak akan bisa menyangkal kebenarannya.
Seorang yang mau memperhatikan dengan cermat terhadap ucapan-ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah-sunnah yang diturunkannya dalam tugas pentingnya memberi petunjuk kepada makhluk serta kasih sayang beliau kepada sesama manusia yang telah beliau curahkan tanpa pilih kasih sampai kepada pembentukan akhlak yang luhur serta usaha beliau dalam membaikkan hubungan antara kedua orang yang bertengkar, dan pokoknya secara keseluruhan usaha-usaha beliau yang mengarah kepada perbaikan umat di dunia dan akhirat, itu bisa dia peroleh lewat pengetahuan yang sifatnya dharuri (tak usah dicari) bahwa kasih sayang Nabi kepada umatnya itu lebih besar bila dibanding dengan kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
Apabila seseorang mau menilik dan mau menganalisa terhadap berbagai keajaiban suatu perkara yang nampak pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mulai dari tindakan-tindakannya, keajaiban-keajaiban perkara ghaib yang telah dikhabarkan Al-Quran lewat omongannya, dan pada berita-berita yang lain sampai kepada berita-berita yang telah beliau tuturkan tentang keadaan akhir zaman sedangkan munculnya hal-hal tadi yang telah beliau sebutkan bisa diketahui dengan spontanitas—bahwa perkara-perkara tersebut memang telah sampai pada suatu tingkatan atau lingkungan yang berada di belakang akal fikiran, sehingga terbukalah mata yang bisa menyingkap segala tabir keghaiban di mana hal ini tidak bisa dilakukan kecuali olrah orang-orang khusus, di samping itu tersingkap pulalah berbagai perkara yang tidak bisa ditangkap oleh akal.Ini merupakan suatu jalan untuk menghasilkan ilmu dharuri tentang kebenaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu ujilah dan renungkanlah Al-Quran dan lihatlah hadits-hadits beliau niscaya anda akan mengetahui itu semua dengan mata kepala. Kiranya uraian yang tidak begitu panjang ini mampu untuk mengingatkan dan menyadarkan ahli-ahli filsafat, di mana uraian singkat ini kami kedepankan mengingat perlu sekali di zaman yang sudah seperti ini. Adapun sebab keempat adalah lemahnya iman dikarenakan buruknya perilaku para ulama, sehingga penyakit ini perlu adanya pengobatan tiga perkara: Hendaknya anda berkata bahwa seorang pandai (alim) yang telah anda duga bahwa dia memakan makanan yang haram, pengetahuannya terhadap haramnya perkara yang haram itu seperti pengetahuan anda terhadap haramnya khamar (tuak) dan harta riba, bahkan terhadap keharamannya mempergunjing orang lain dan adu domba, padahal anda tahu hal itu, tetapi anda melakukannya.
Alasannya bukan tidak percaya bahwa hal itu merupakan tindakan durhaka, namun karena anda telah dikalahkan oleh nafsu anda sendiri. Demikian pula hawa nafsunya juga seperti hawa nafsu anda, di mana hawa nafsu itu telah berhasil menguasainya sebagaimana anda juga kalah oleh hawa nafsu. Sedangkan pengetahuannya selain hal-hal ini berbeda sekali dengan anda di mana pengetahuan tersebut tidak lagi berimbang bila hanya dikaitkan dengan sekadar melarang untuk tidak melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh syara.
Berapa saja orang yang percaya terhadap ilmu kedokteran namun dia tidak betah menahan dirinya untuk tidak makan buah-buahan dan air kendatipun dia dilarang oleh seorang dokter untuk tidak memakannya. Dan hal itu bukannya menunjukkan bahwa makanan dan minuman itu tidak membahayakan atau bukannya menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap dokter itu tidak tulus, namun hal ini sangat ditentukan sekali terhadap kekhilafan ulama itu sendiri.
Katakanlah kepada seorang yang masih awam: “Seyogyanya anda menanam kepercayaan bahwa seorang yang pandai (alim) membikin ilmunya sebagai simpanan untuk dirinya untuk diambil kelak di akhirat, dan orang alim ini menduga bahwa ilmunya itulah yang nantinya akan bisa menyelamatkannya serta menolongnya sehingga dia tenang-tenang serta enak-enakan dalam beramal karena keutamaan ilmunya. Sekalipun kini mungkin akan menambah argumentasi bagi orang awam tersebut, namun hal itu akan menambah derajat bagi seorang alim dan ini sangat mungkin sekali. Sebab bagaimanapun juga andaikata dia (orang alim) tidak melakukan amal sama sekali, namun dia masih punya cadangan ilmu. Tetapi kalau anda, wahai orang awam, jika anda selalu menelitinya sedangkan anda sama sekali tidak mempunyai imu niscaya anda akan rusak sebab buruknya amal anda dan anda tidak memiliki penolong”.
Menurut kenyataannya orang alim itu tidak akan senantiasa berbarengan dengan kemaksiatan, kecuali jika terjadi dengan tidak disengaja atau khilaf. Di samping itu dia tidak akan selalu menjalankan kemaksiatan-kemaksiatan, sebab ilmu hakiki (yang sebenarnya) adalah ilmu yang bisa untuk melihat dan mengetahui bahwa maksiat merupakan racun yang mematikan, bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia. Seseorang yang telah mengerti demikian itu niscaya dia tidak akan mau menjual perkara yang baik dengan sesuatu yang buruk. Ilmu yang seperti inilah yang tidak bisa didapat dengan mengetahui berbagai macam ilmu yang digeluti oleh kebanyakan manusia.
Oleh sebab itulah ilmu-ilmu tersebut tidaklah menambah kepada mereka kecuali berani untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun ilmu hakiki mempunyai ciri khas menambah takut dan takwa bagi si pemiliknya, sehingga ilmu tersebut akan bisa merupakan benteng antara dirinya dan maksiat kecuali kekhilafan-kekhilafan yang senantiasa menempel pada diri setiap insan pada beberapa kesempatan, dan hal itu bukan berarti menunjukkan kemahnya iman. Sebab seorang mu’min tentu terkena fitnah lagi pula banyak taubatnya, dan dia sendiri tentunya dijauhkan dari terus-menerus melakukan maksiat.
Demikian inilah sesuatu yang hendak aku sebutkan dalam mencela ilmu filsafat dan Ta’lim beserta afat-afatnya serta berbagai afatnya orang yang mengingkari kedua ilmu tersebut kecuali dengan metodologinya.
Akhirnya kami memanjatkan do’a dan pertolongan kepada Allah Yang Maha Agung agar Dia mau menjadikam kami termasuk orang-orang yang telah Dia beri petunjuk menuju ke jalan yang benar serta Dia beri petunjuk dan selalu Dia beri ilham untuk senantiasa ingat kepada-Nya sehingga tidak akan melupakan-Nya, dan Dia jadikan termasuk orang-orang yang Dia lindungi dari kejahatan dirinya sendiri sehingga tidak ada yang bisa mempengaruhinya selain Allah dan semoga Dia menjadikan kami termasuk orang yang Dia murnikan untuk diri-Nya sendiri sehingga tidak akan menyembah kecuali kepada-Nya.
Pembicaraan tentang Metode Kaum Sufi
Tatkala aku sudah rampung membicarakan berbagai ilmu ini, aku hadapkan cita-cita kuatku untuk membicarakan metodanya kaum sufi. Aku telah tahu bahwa metoda mereka dapat tercapai dan terwujud dengan sempurna hanya melalui ilmu dan amal. Sedangkan keberhasilan ilmu mereka adalah menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkannya dari budi pekertinya yang buruk dan sifat-sifatnya yang tidak baik, sehingga jiwa ini benar-benar akan sampai kepada pengosongan hati dari selain Allah ta’ala serta menghiasinya dengan dzikir kepada Allah.
Menurut pandanganku ilmu itu lebih mudah dari pada amal. Oleh karena itu aku mulai dulu untuk mendapatkan ilmu mereka dengan cara menelaah kitab-kitab mereka, seperti kitab “Qutul Qulub” oleh Abi Thalib Al-Makki rahimahumullah dan beberapa kitabnya Al-Harits Al-Muhasibi serta berbagai karangan terkenal yang berhasil dikarang oleh Imam Junaid, Asy Syibli, Abu Yazid Al-Busthami dan lain-lainnya yang terdiri dari pembicaraan guru-guru mereka, hingga aku benar-benar berhasil melihat dan menelaah secara mendalam mengenai hakikat maksud keilmuwan mereka.
Di samping itu aku juga telah berhasil meraih apa yang bisa aku dapatkan dari metoda mereka dengan cara belajar dan mendengarkan. Dan nampaklah olehku untuk mengkhususkan orang-orang khusus mereka selagi tidak sampai kepadanya kecuali dengan belajar bahkan dengan citarasa, keadaan dan pergantian berbagai sifat. Kemudian berapa saja perbedaan untuk mengetahui batasan sehat dan batasan kenyang disertai beberapa sebab dan berbagai syaratnya serta perbedaan yang menjelaskan bahwa seseorang itu dikatakan sehat dan dikatakan sebagai orang yang kenyang, dan perbedaan untuk mengetahui batasan mabuk. Mabuk adalah suatu gambaran dari suatu keadaan di mana uap itu membumbung naik dari perut besar menuju ke atas rongga fikiran. Dan bagaimana keadaan seseorang yang sedang mabuk itu. Bahkan orang yang mabuk tidak akan mengetahui batasan mabuk dan pengetahuan tentangnya. Akan tetapi orang yang sadar sepenuhnya, dia akan tahu tentang batasan mabuk, sendi-sendinya dan keadaan yang berkaitan dengan mabuk itu sendiri.
Seorang dokter dalam keadaan sakit, tentu tahu batasan sehat, sebab-sebabnya serta obat-obatnya, padahal dia sendiri tidak dalam keadaan sehat dan kehilangan kesehatannya. Demikian halnya perbedaan ada untuk mengetahui hakikat zuhud, syarat-syaratnya dan sebab-sebabnya, dan antara keadaan anda sebagai orang yang zuhud dan keterasingan diri anda dari dunia, sehingga secara yakin anda akan tahu bahwa kenyataannya mereka merupakan orang-orang yang banyak bertindak dan bukannya orang-orang yang hanya pandai bicara.
Apa saja yang dapat diraih dengan cara ilmu, tentu sudah aku raih dan tiada yang tersisa kecuali apa yang tidak bisa ditempuh dengan cara mendengarkan, mempelajari bahkan dengan cita rasa dan suluk. Keberhasilanku dari berbagai ilmu yang telah aku latih dan telah aku coba dan beberapa suluk yang telah aku tempuh dan aku alami dalam rangka meneliti tentang fak ilmu-ilmu syar’iyyah dan aqliyyah, merupakan keimanan yang yakin terhadap Allah ta’ala, terhadap kenabian dan hari akhir.
Tiga pokok keimanan ini yang justru telah menancap dalam jiwaku, bukan hanya sekadar dengan dalil tertentu, namun disertai pula dengan berbagai sebab dan bukti-bukti konkrit serta berbagai eksperimen yang tidak mungkin bisa diuraikan secara terperinci satu persatu.
Sampailah aku pada suatu kesimpulan bahwa tiada lagi suatu ambisi dan angan-angan untuk meraih kebahagiaan akhirat kecuali hanya dengan taqwa dan mencegah serta mengekang hawa nafsu. Sedangkan pangkal dari hal itu semua adalah memutuskan kontaknya hati dengan dunia melalui cara menjauhkan diri dari alam yang penuh tipu daya dan kepalsuan menuju kepada alam yang kekal dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah ta’ala. Dan semua itu tidak akan tercapai dan sempurna kecuali dengan memalingkan diri dari pangkat, harta dan lari dari berbagai kesibukan serta kerepotan.
Kemudian aku mengadakan penelitian terhadap kondisiku, ternyata aku menemukan diriku sedang terbenam dalam berbagai kesibukan. Saya telah mengadakan liputan dan mengadakan pengamatan terhadap amal-amalku dari berbagai sisi—sedangkan yang paling baik adalah bidang pengajaran dan pendidikan—ternyata aku dihadapkan kepada ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat dalam menempuh akhirat.
Kemudian aku berfikir tentang niatku dalam memberi pengajaran, tetapi tak tahunya niat itu tidak lagi murni ke hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan pembangkit dan penggeraknya adalah usaha mencari pangkat dan menyebarkan nama baik sehingga aku berkeyakinan bahwa saya benar-benar sudah berada di bibir jurang yang membahayakan dan saya benar-benar telah berada di pinggir neraka, jika saja aku tidak menyibukkan diri untuk menarik keadaanku yang sudah seperti ini. Senantiasa aku berfikir mencari pemecahannya selama beberapa waktu, untuk menentukan langkah dan arah secara mantap. Sesudah itu barulah aku menemukan suatu kesempatan baik di mana aku sudah mempunyai tujuan dan cita-cita kuat untuk keluar dari Baghdad dan berpisah dengan beberapa pengaruh lingkungan.
Dalam cita-citaku yang demikian itu terbentur oleh keragu-raguan yang kadang-kadang mau dan kadang-kadang mundur. Kesenanganku mencari akhirat tidaklah menjadi bersih dan jernih pada pagi hari melainkan dia terbawa oleh pasukan syahwat (keinginan) sehingga dia yang membikinnya lemah dan letih pada waktu sore hari. Kemudian keinginan-keinginan dunia itulah yang menyeretku dengan rantai-rantainya kepada suatu tempat. Adapun panggilan iman selalu mengumandangkan: “Mengembara! Mengembara! Padahal umur yang tersisa tinggal sedikit, sementara itu perjalanan yang terbentang di depan anda amatlah panjang dan amal serta ilmu yang anda miliki hanya merupakan riya dan imajinasi. Jika tidak mempersiapkan diri sejak sekarang untuk meraih akhirat, lantas kapan lagi anda persiapkan hal itu. Dan jika anda tempuh sekarang, lantas kapan anda menempuhnya? Setelah itu, terbetiklah ajakan serta teguhnya pendirian untuk melarikan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.
Tetapi kemudian syaitan datang kembali seraya berkata: “Ini adalah keadaan baru dan hendaklah anda jangan menyetujuinya, sebab dia sebentar saja akan musnah dan sirna. Jika anda menurutinya lalu anda meninggalkan pangkat serta jabatan yang penting ini ditambah kedudukan yang sudah teratur dan sepi dari kesukaran serta kesulitan masih ditambah lagi urusannya orang Islam yang sudah murni dan jernih dari pertentangan, maka barangkali jiwa anda menjadi senang, namun anda tidak akan mudah untuk mengulanginya lagi”.
Oleh karena itulah aku senantiasa ragu-ragu antara terseret oleh keinginan-keinginan dunia dan dorongan-dorongan untuk meraih akhirat selama kurang lebih enam bulan yang berawal dari bulan Rajab tahun 488 H. Dan dalam bulan inilah keadaannya memang benar-benar telah melampaui batas kebiasaan sampai kepada batas dharurat (terpaksa), sebab Allah telah mengunci lidahku sehingga aku benar-benar kesulitan untuk memberikan pengajaran serta kuliah-kuliah. Dalam keadaan sudah seperti itu aku berusaha sekuat tenaga untuk belajar sehari penuh guna menyenangkan hati yang sedang bentrok. Dan pada hari itu lidahku tidak lagi bisa berkata sepatah pun danjuga tidak mampu untuk mengatakannya sama sekali. Kemudian penderitaan yang berupa kegaguan lidahku menimbulkan suatu kesusahan yang mengganggu pada pencernaan makanan serta minuman, sehingga minuman tidak terasa segar lagi begitu pula suapan pun tidak lagi bisa dicerna dan akhirnya berlanjut kepada lemahnya kekuatan jiwaku.
Sampailah pada suatu kesimpulan di mana para dokter sudah memutuskan untuk mengobatiku. Mereka berkata: “Ini merupakan suatu penyakit yang telah menyerang di dalam hati, dan dari sana penyakit itu menjalar kepada suhu badan. Maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan dan mengusir rahasia tentang kesedihan yang amat menyakitkan”. Ketika aku telah merasakan ketidakmampuanku dan sudah gugur semua ikhtiarku, maka aku berlindung diri kepada Allah ta’ala sebagaimana mestinya orang yang kepepet dan sudah tidak ada tempat untuk menghindar lagi.
Maka tak antara lama permintaanku itu diijabahi oleh Dzat yang memperkenankan permintaan orang yang terjepit bila dia mau meminta. Kemudian dengan gampang hatiku berpaling dari pangkat, harta, keluarga, anak dan beberapa sahabat. Saya sengaja menampakkan niatku untuk pergi ke Makkah, padahal dibalik itu aku menyembunyikan diri akan pergi ke Syam, karena aku sendiri khawatir bila ketahuan oleh khalifah dan sejumlah teman dan sahabatku atas niatku menetap di Syam.
Kemudian aku mengadakan ramah-tamah dengan tipu muslihat yang amat halus dalam usahaku keluar dari Baghdad dengan niat tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya. Lantas aku menghadap dan sowan kepada seluruh imannya penduduk Iraq, sebab di antara mereka tidak ada yang membolehkan jika berpalingku dari apa yang sedang aku alami sekarang merupakan sebab agama, karena mempunyai dugaan bahwa hal itu merupakan kedudukan yang paling tinggi dalam agama. Dan kata mereka bahwa kedudukan itu merupakan kedudukan yang paling puncak dari pada ilmu.
Kemudian di kalangan masyarakat timbullah kekacauan dalam mengadakan dan mengeluarkan buah fikiran mereka dan dari kalangan orang-orang Iraq timbul suatu anggapan bahwa hal itu merupakan peringatan dari pihak penguasa. Adapun orang-orang yang kedudukannya dekat dengan penguasa tentu mereka tahu dan benar-benar menyaksikan betapa para penguasa itu amat menggantungkan dirinya kepadaku, tidak senang kepadaku, di samping itu mereka juga menyaksikan bagaimana saya tidak memperdulikan mereka dan dari menengok kepada ucapan mereka, sehingga mereka berkata: “Ini merupakan perkara samawi (langit) dan tidak ada sebabnya kecuali mata yang telah mengena kepada pemeluk Islam dan kelompok ilmu”.
Tak antara lama, aku meninggalkan Baghdad lalu aku lepaskan semua yang pernah menjadi milikku yang terdiri dari harta benda dan tidak ada yang aku simpan melainkan sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan dan sekadar makanan pokoknya anak-anak dengan pertimbangan harta yang berada di Iraq memang disediakan untuk kemaslahatan sebab dia merupakan harta yang telah diwakafkan kepada orang-orang Islam. Karena saya tidak melihat di dunia ini akan harta yang telah digunakan oleh seorang yang alim untuk mencukupi keluarganya melebihi harta tersebut dalam hal kemaslahatannya.
Kemudian aku masuk negeri Syam lalu aku menempat di sana kurang lebih dua tahun di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali uzlah, khalwah riyadhah dan mujahadah dengan maksud utama membersihkan diri, melatih dan mendidik akhlak dan memurnikan hati untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana petunjuk ilmu tasawuf yang telah berhasil aku kuasai.
Lantas aku mengadakan kunjungan ke masjid Damsyik (Damaskus) dan aku melakukan I’tikaf di sana beberapa saat lamanya. Kemudian aku naik di atas menara masjid sepanjang hari dan tak lupa aku mengunci pintunya. Setelah aku selesai beri’tikaf di Masjid Damaskus, aku kembali meneruskan perjalanan menuju ke Baitul Muqaddas kemudian aku melakukan tindakan yang sama seperti di kala aku berada di Masjid Damaskus. Setelah beberapa lama aku berada di Baitul Mmuqaddas, tergeraklah olehku keinginan dan panggilan untuk menunaikan ibadah haji dan minta bantuan dari beberapa barakahnya Makkah dan Madinah serta berziarah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah rampung melakukan ziarah ke Al-Khalil Ibrahim ‘alaihis salam.
Kemudian aku melakukan perjalanan menuju Hijaz, tetapi aku terseret oleh cita-citaku dan seruan anak-anakku untuk menengoknya, sesudah sekian lama aku tidak kembali kendatipun tadinya aku sudah memutuskan tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya. Lagi-lagi uzlah mendapatkan kedudukan utama dan mendatangkan keinginan yang kuat untuk berkhalwat dan membersihkan hati hanya untuk berdzikir kepada Allah.
Adalah berbagai kejadian dan peristiwa zaman, tugas-tugas penting keluarga dan beberapa keharusan penghidupan yang justru merubah tujuan yang sedang dicita-citakan serta mengganggu kejernihan khalwat, sehingga keadaan tidak menjadi tenang dan jernih lagi kecuali dalam waktu-wakatu yang berbeda-beda. Namun kendatipun demikian aku tidak akan memutuskan keinginan untuk berkhalwat serta membersihkan hati tersebut. Sehingga demi mencapai keinginanku itu aku harus menghadapi berbagai rintangan dan kembali bertarung dengannya. Dan keadaan seperti itu berlangsung kira-kira sepuluh tahun.
Di tengah-tengah khalwatku ini tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitung dan tidak mungkin diselidiki sedalam-dalamnya. Sedangkan ukuran yang aku sebutkan yang sekadar untuk dipetik manfaatnya adalah bahwa golongan sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah subhanahu wa ta’ala saja dan perjalanan hidup mereka merupakan jalan yang paling lurus, akhlak mereka merupakan akhlak yang paling bersih dan suci. Bahkan andaikata akalnya orang-orang yang kreatif, kebijaksanaannya para cendekiawan, ilmunya orang-orang yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syara’ yang terdiri dari pada ulama mau merubah saja sedikit dari perjalanan hidup mereka dan akhlak mereka lalu mereka menggantinya dengan yang lebih baik niscara tidak mungkin akan bisa.
Sebab segala gerakan mereka dan ketenangan mereka di dalam lahir dan batinnya memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian, padahal di balik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak lagi ditemukan cahaya yang bisa dipakai untuk menerangi. Secara globalnya saja, lantas apa kata orang tentang terikat (cara) golongan sufi itu? Padahal syarat utama dari pada tarikat ini adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah ta’ala sedangkan kuncinya yang menempati kedudukan keharaman dari pada shalat adalah menenggelaman hati secara keseluruhan dengan berdzikir kepada Allah.
Dan akhir dari pada syaratnya adalah melebur diri secara keseluruhan kepada Allah, di mana ini merupakan bagian akhir bila disandarkan kepada sesuatu yang hampir saja masuk di bawah ikhtiar dan kasab sejak dari permulaan. Dan tarekat semacam ini menurut kenyataannya merupakan permulaan tarekat, sedangkan apa yang sebelum itu hanya bagaikan koridor (gang yang terdapat di dalam rumah) bagi seorang yang akan berjalan melewatinya. Dan justru dari permulaan tarekat inilah mukasyafah (tersingkapnya segala tabir) dan musyahadah (dapat melihat dengan jelas) dimulai, sehingga mereka dalam keadaan terhadi dapat menyaksikan malaikat dan ruh-ruhnya para nabi ditambah lagi mereka masih bisa mendengarkan suara-suara mereka lalu dari mereka pula golongan tarekat ini dapat memetik berbagai faidah.
Kemudian keadaannya menjadi meningkat mulai dari penyaksian terhadap beberapa gambar dan lukisan sampai kepada derajat yang sulit untuk diucapkan oleh mulut dan sudah sulit lagi untuk digambarkan. Dan kalaupun harus diucapkan niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang besar sekali di mana sudah tidak mungkin lagi untuk dilindungi dan secara kesimpulannya perkara yang demikian ini akan sampai kepada suatu tempat yang hampir saja mendekati imajinasi yang telah digambarkan oleh “Kelompok Hulul”, “Kelompok Ittihad”, dan “Kelompok Wushul”.
Sedangkan semua itu adalah keliru, di mana segi kekeliruannya telah kami jelaskan di dalam “Kitab Al-Maqshad Al-Iqsha”, bahkan orang telah mengena dan mengalami keadan yang semacam itu tidak seyogyanya menambah atas apa yang telah diucapkan oleh syair : “Dan apa yang telah terjadi termasuk sesuatu yang tidak perlu aku sebutkan, sebab dia disangka baik, tetapi anda tidak bertanya dulu tentang khabar kebaikan itu”.
Sedangkan secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa siapa saja yang tidak mendapat anugerah sedikit dari cita rasa, niscaya dia tidak akan mampu mengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan hanya sekadar mengena namanya saja, menurut kenyataannya beberapa karamahnya wali merupakan langkah awal dari pada nabi, dan terbukti bahwa hal itu merupakan keadaan permulaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau menuju Ke Gua Hira di mana di sana beliau menyadari serta beribadah kepada Tuhannya sehingga bangsa Arab berkata : “Sesungguhnya Muhammad sangat rindu kepada Tuhannya”.
Keadaan yang seperti ini hanya bisa diketahui secara pasti dengan menggunakan cita rasa oleh orang yang biasa menggunakan cara yang seperti itu. Maka barang siapa yang tidak dikarunia cita rasa niscaya dia akan bisa menyakiti keadaan yang seperti itu dengan cara eksperimen (percobaan) dan dengan cara dengar mendengarkan jika hanya dia banyak bersahabat dengan mereka sehingga dia benar-benar faham dengan beberapa bukti keadaan. Lantas barang siapa yang mau satu majlis dengan mereka niscaya dia akan dapat menyerap faidah keimanan ini dari mereka. Sebab mereka merupakan suatu kaum di mana teman duduknya tidak akan mengalami celaka. Dan barang siapa yang tidak mendapatkan bagian menemani mereka, niscaya dia akan tahu kemungkinannya hal itu secara yakin dengan saksi dalil-dalil sebagaimana yang telah kami sebutkan di dalam “Kitab Ajaib Al-Qalb” yang kami sunting dari “Kitab Ihya Ulumiddin”.
Menegaskan dengan dalil merupakan suatu ilmu, sedangkan mengenakan inti keadaan itu merupakan cita rasa, dan menerima dari hasil dengan mendengarkan dengan husnuzan (baik sangka) merupakan keimanan. Inilah tiga derajat, sebagaimana yang sudah tertuang di dalam firman Allah ta’ala :
... يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ...
“...Niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat”... (QS. Al-Mujadalah: 11).
Di samping kaum sufi ini yang telah mencapai derajat yang demikian tadi, banyak terdapat kaum yang dungu. Mereka inilah yang tidak mengakui pokok dan asal hal itu di mana mereka mengagumi omongan ini, mereka mendengarkan lalu mereka mengejek dan katanya: “Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisa mengigau.”
Terhadap orang-orang yang berkomentar demikian ini Allah ta’ala berfirman :
وَمِنْهُم مَّن يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّىٰ إِذَا خَرَجُوا مِنْ عِندِكَ قَالُوا لِلَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا ۚ أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataan sehingga apabila mereka ke luar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apa yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Muhammad: 16).
Di antara latihan tarekat kaum sufi yang telah berhasil aku kuasai dengan jelas adalah hakikat kenabian serta khasiatnya. Oleh karena itu sudah seharusnya dikemukakan menurut aslinya, mengingat kepada sangat pentingnya kebutuhan akan hal itu.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar