Pages

Kamis, 30 Agustus 2012

48. DIALOG DENGAN SALAFI



Mereka, para anti madzhab, menuduh bahwa golongan pengikut madzhab adalah fanatik karena tidak mau beranjak dari perkara hak yang berdasarkan ribuan dalil. Akan tetapi, mereka sendiri sebenarnya terkurung dalam sangkar kefanatikan yang justeru membuat mereka seperti kehilangan akal sehatnya.
Seorang pemuda bersama kawan-kawannya datang menghadap kami dan berbicara tentang suatu masalah. Lalu kami bertanya, “Bagaimanakah cara anda memahami hukum Allah? Apakah anda mengambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah atau mengambilnya dari para imam mujtahid?
Dia menjawab, “Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid beserta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Lalu kami bertanya lagi, “Seandainya anda mempunyai uang lima ribu lira Syiria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu Anda mempergunakan untuk membeli barang dagangan, bilakah anda wajib membayar dagangan anda tersebut? Apakah setelah enam bulan kemudian atau setelah satu tahun?”
Sambil berfikir, ia menjawab, “Maksud pertanyaan tuan ialah harta dagangan itu wajib dizakati?”
Kami pun lalu berkata, “Kami ini bertanya dan kami harap anda menjawab menurut cara (pengertian) anda sendiri. Perpustakaan berada di hadapan anda dan di situ terdapat kitab-kitab tafsir, hadith, dan kitab-kitab para imam mujtahid.”
Setelah berfikir sebentar, ia berkata, “Ah tuan! Ini adalah masalah agama dan bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Untuk itu, perlu mempelajarinya dengan saksama dan memerlukan waktu. Kami datang ke mari kerana ingin membahas masalah lain.”
Kemudian, kami pun pindah pada masalah lain dan berkata, “Baiklah, kami ingin bertanya, apakah setiap orang Islam wajib meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh para imam mujtahid, kemudian mengambil mana yang paling sesuai dengan Al-Quran Al-Karim dan As-Sunnah?”
Ia menjawab, “Ya benar.”
Lalu kami bertanya lagi, “Kalau demikian, berarti semua orang Islam harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan, mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam menurut dasar Al-Kitab dan As-Sunnah sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu.”
Dia menjawab, “Sesungguhnya manusia itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu mujtahid, muqallid, dan muttabi’. Orang yang mampu membandingkan madzhab kemudian menyaring mana yang lebih dekat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, adalah muttabi’, yaitu pertengahan antara muqallid dengan mujtahid.”
Kami bertanya lagi, “Apakah sebenarnya kewajiban muqallid?”
Dia menjawab, “Taqlid kepada mujtahid yang cocok (sesuai – pen.) dengannya.”
Kami bertanya lagi, “Apakah berdosa seandainya taqlid secara terus menerus kepada seorang imam dan tidak pindah kepada imam yang lain?”
Ia menjawab, “memang, hal itu hukumnya haram.”
Kami bertanya, “Apakah dalilnya kalau hal itu memang haram?”
Dia berkata, “Karena ia menetapi sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah.”
Kami bertanya, “Dengan qira’at apakah anda membaca Al-Quran?”
Dia menjawab, “Dengan qira’at Hafas.”
Kami bertanya lagi, : Apakah anda selalu membaca Al_quran dengan qira’at hafas, atau anda juga membaca Al-Quran setiap harinya dengan qira’at yang bermacam-macam?”
Ia menjawab, “Tidak, saya selalu membaca Al-Quran dengan qira’at Hafas.”
Lalu kami bertanya lagi, “Mengapa anda menetapi qira’at Hafas, padahal Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan anda, kecuali membaca Al-Quran menurut riwayat yang diterima dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara mutawatir.”
Ia kemudian menjawab, “karena saya tidak sempurna dalam mempelajari qira’at yang lain dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al-Quran selain qira’at Hafas.”
Kami berkata kepadanya, “Demikian pula halnya bagi orang yang mempelajari fiqih menurut madzhab as-Syafi’i. Dia tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain menurut Imam Asy-Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qira’at dan anda harus membaca semuanya. Kalau anda beralasan tidak mampu, demikian pula halnya dengan si muqallid tadi. Ringkasnya, kami ingin menanyakan kepada anda, apakah alasan yang mewajibkan muqallid harus berpindah-pindah dari madzhab satu ke madzhab lain, padahal Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan seseorang untuk berpegang terus pada suatu madzhab tertentu, juga tidak mewajibkan seseorang berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain.”
Dia menjawab, “Sesungguhnya yang haram ialah kalau seseorang mempunyai i’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus menerus menetapi madzhab tertentu.”
Kami berkata, “Ini masalah lain dan apa yang anda katakan itu memang benar juga tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi, masalahnya sekarang ialah bagaimana kalau ia terus-menerus menetapi imam tertentu dan ia tahu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan kepadanya begitu. Apakah dia telah berdusta?”
Dia menjawab, “Tidak, jika demikian?”
Kami berkata lagi, “tetapi, buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari menyebutkan hal yang berbeda dengan apa yang anda ucapkan. Ia secara tegas mengharamkan hal tersebut, bahkan bagian-bagian tertentu dari buku itu menyatakan kafir kepada orang yang menetapi terus-menerus seorang imam tertentu dan tidak mau berpindah kepada yang lain.”
Dia lalu bertanya, “Mana…?”
Selanjutnya ia berfikir ibarat buku tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi, “Bahkan siapa yang menetapi seorang imam yang tertentu dalam setiap masalah, berarti ia fanatik yang salah dan taqlid buta, serta termasuk golongan yang memecah belah agama, serta mereka pun berkelompok-kelompok.”
Setelah berfikir sejenak, ia kemudian menyatakan bahwa yang dimaksud menetapi di sini ialah meyakinkan wajibnya hal tersebut menurut syariat. Jadi, dalam ‘ibarat’ tersebut terdapat kekurangan,
Kemudian kami bertanya lagi, “Apakah buktinya kalau penulis buku tersebut memaksudkan demikian? Mengapa anda tidak menyatakan bahwa penulis buku itu keliru?”
Atas pertanyaan ini dia tetap berpendirian bahwa pernyataan pada buku Halil Muslimu Mulzamun Bittibaa’I Madzabin Mu’ayyanin Minal Madzaabil Arba’ah dapat dibenarkan dan penulisnya pun tetap tidak salah karena dalam pernyataan tersebut memang ada kekurangan kata.
Lalu kami berkata lagi, “Setiap orang Islam mengetahui bahwa mengikuti seorang imam tertentu dari keempat madzhab bukan termasuk kewajiban syariat, tetapi atas dasar pilihan (kesadaran) orang itu sendiri.”
Ia menyatakan, “Bagaimana bisa demikian? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syariat untuk menetapi madzhab tertentu dan tidak boleh berpindah-pindah pada yang lain.”
Kami lalu menjawab, “Coba anda sebutkan kepada kami nama seorang saja dari orang awam atau kalangan ahli ilmu yang menyatakan demikian.”
Ia kemudian berdiam sejenak dan merasa heran dengan ucapan kami yang benar bahwa sesungguhnya apa yang ia gambarkan adalah sebagian besar manusia mengharamkan berpindah-pindah madzhab. Kami berkata kepadanya, “Anda tidak menemukan orang yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti ‘Utsmaniyyah, mereka keberatan kalau ada seorang yang bermadzhab Hanafi pindah ke madzhab lain. Hal ini kalau memang benar, termasuk fanatik buta yang terkutuk.”
Setelah itu, kami bertanya lagi kepadanya, “Dari mana anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi’? Perbedaan ini ditinjau dari segi bahasa atau istilah?”
Dia menjawab, “Perbedaannya ialah dari segi bahasa.”
Kami pun mengambil kitab-kitab lughah agar ia dapat menetapkan perbedaan makna bahasa dari dua kalimat tersebut, tetapi ia tidak menemukan apa-apa.
Kemudian kami katakan kepadanya, Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada seorang Arab Badwi (pedusunan) yang menentang pajak dan perkataannya ini pernah diakui segenap para sahabat: “Apabila para sahabat muhajirin telah rela, kamu sekalian harus menyetujui (mengikuti).”
Abu Bakar mengatakan, “taba’un” (mengikuti) yang mempunyai erti menyetujui (muwafaqah).
Kemudian ia berkata, “Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segi istilah dan bukan hak saya untuk membuat suatu istilah.
Kami menjawab, “Boleh-boleh saja anda menjawab istilah, tetapi istilah yang anda buat tetap tidak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang anda sebut muttabi’, kalau dia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti dia adalah mujtahid. Akan tetapi, bila tidak tahu dan tidak mampu melakukan istinbath, berarti dia adalah seorang muqallid. Apabila dalam suatu masalah mampu, tetapi dalam masalah lain tidak, bila tidak tahu dan tidak mampu melakukan istinbath, bererti dia adalah seorang muqallid. Apabila dalam suatu masalah mampu, tetapi dalam masalah lain tidak, beerti dia mujtahid dalam sebagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, yaitu mujtahid dan muqallid, dan hukumnya sudah cukup jelas dan diketahui.”
Ia berkata, “Sesungguhnya muttabi’ adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu darinya. Tingkatan ini berbeda dari taqlid.”
Kami menyatakan, “Kalau yang anda maksudkan membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini lebih tinggi daripada ijtihad. Apakah anda mampu akan berbuat demikian?”
Lalu ia menjawab, “Saya akan lakukan sekuat kemampuan saya.”
Kami berkata kepadanya, “Kami mengetahui bila anda telah memberi fatwa bahwa talak tiga yang dijatuhkan dalam satu majlis berarti satu talak saja. Apakah sebelum menyampaikan fatwa, anda telah meneliti pendapat para imam madzhab serta dalil-dalil mereka, kemudian anda memilih salah satu dari pendapat mereka dan anda fatwakan? Ketahuilah bahawa Uwaimir Al-Ijlani telah menjatuhkan talak tiga kepada isterinya di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. setelah ia bersumpah li’an dengan isterinya. Ia berkata, “saya akan berbohong kepadanya, ya Rasulullah, bila saya menahannya, dan saya talak tiga.” Bagaimana pengetahuan anda tentang hadith ini dan kedudukannya dalam masalah ini, serta pengertiannya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyah?”
Lalu dia menjawab, “Saya belum melihat hadith ini.”
Kemudian kami bertanya, “Bagaimana anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh keempat imam madzhab, padahal anda mengetahui dalil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalil tersebut. Kalau begitu anda belum telah meninggalkan prinsip yang anda anut, yaitu ittiba’, menurut istilah yang anda katakan sendiri.”
Pemuda itu menyatakan, “Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.”
“Kalau begitu, apa yang mendorong anda untuk tergesa-gesa memberikan fatwa yang menyalahi pendapat jumhur kaum muslimin, padahal anda belum memeriksa dalil-dalil mereka?” Kami bertanya kepadanya.
Pemuda itu menjawab, “Apakah yang harus saya lakukan ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut, sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?”
Kami katakan kepadanya, “Sesungguhnya cukup bagi anda untuk mengatakan, “Saya tidak tahu tentang masalah ini”, atau anda menukil saja pendapat madzhab empat kepada si penanya, serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat tanpa harus memberikan fatwa kepadanya dengan salah satu pendapat. Demikianlah, apa yang kami kemukakan ini sudah cukup untuk anda dan memang sampai di situlah kewajipan anda, apalagi masalah itu tidak langsung menyangkut diri anda sehingga anda harus tergesa-gesa mencari jalan keluar. Akan tetapi, bila anda memberikan fatwa dengan pendapat yang menyalahi ijma’ keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka karena anda menganggap cukup dengan dalil yang ada pada pihak yang bertentangan dengan madzhab empat, anda telah berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu anda tuduhkan kepada kita.”
Kemudian dia mengatakan, “Saya telah menelaah pendapat keempat imam dalam kitab Subulus Salam karya Asy-Syaukani dan Fiqhus Sunnah karya As-Sayyid Sabid.”
Kami menjawab, “Kitab yang anda sebutkan adalah kitab yang (pendapat pengarang tersebut) bertentangan dengan pendapat keempat-empat imam madzhab dalam masalah ini. Semuanya bicara dengan satu nada dan alasan yang sama. Apakah anda rela menjatuhkan vonis (hukum) kepada salah seorang tertuduh hanya mendengarkan keterangan tertuduh saja, keterangan saksi-saksi, dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan tertuduh lain?”
Kemudian pemuda itu menyatakan, “Saya kira apa yang telah saya lakukan tidak patut dicela. Saya telah memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan faham saya.”
Selanjutnya, kami mengatakan kepadanya, “Anda telah menyatakan sebagai seorang muttabi’ dan kita semua harus menjadi muttabi’. Dan anda telah menafsirkan ittiba’ ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakannya, kemudian mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Akan tetapi, apa yang telah anda lakukan ternyata bertolak belakang. Anda telah mengetahui bila madzhab empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus, berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahawa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja anda belum melihatnya. Namun demikian, anda berpaling dari ijma’ mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan anda. Apakah anda sejak semula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat madzhab itu tidak dapat diterima?”
Dia menjawab, “Tidak, hanya saya saja tidak melihatnya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.”
Kami bertanya kepadanya, “Mengapa anda tidak mau menunggu? Mengapa anda tergesa-gesa padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak memaksakan anda berbuat demikian? Apakah karena anda tidak melihat dalil-dalil ulama jumhur yang dapat dipakai sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibn Taimiyah? Apakah fanatik yang anda anggap dusta itu tiada lain ialah apa yang anda telah perbuat?”
Ia menyatakan, “Dalam kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah melihat beberapa dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu,”
Kemudian kami bertanya lagi, “Apabila seorang muslim melihat satu dalil dalam kitab yang ia baca, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua madzhab yang berbeda dengan fahamnya, meskipun ia belum melihat dalil-dalil dari madzhab tersebut?”
Jawabnya, “Cukup.”
Lalu kami mengatakan, “Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk Islam, dan ia sama sekali tidak mengetahui pendidikan agama Islam. Lalu ia membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Artinya: [I]”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui
Pemuda (yang baru masuk Islam) tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak melakukan shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana ditunjukkan oleh dzahirnya lafaz ayat Al-Quran. Kemudian ia mendengar bahwa keempat madzhab telah sepakat bahwa ia harus menghadap Ka'bah. Ia pun mengetahui bahwa para imam tersebut mempunyai dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum melihatnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut manakala ia akan shalat? Apakah cukup dengan mengikuti panggilan jiwanya saja karena ia telah menemukan ayat Al-Quran tersebut atau ia harus mengikuti imam-imam yang berbeda dengan fahamnya?”
Ia menjawab, “Cukup dengan mengikuti panggilan hatinya.”
“Meskipun menghadap ke arah timur, misalnya. Apakah shalatnya dianggap sah?” Demikian kami tanyakan dengan rasa heran.
“Ya, karena ia diwajibkan mengikuti panggilan hatinya,” jawabnya.
Kemudian kami mengatakan, “Andaikata panggilan jiwa pemuda itu (yang baru masuk Islam) mengilhami dirinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan isteri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar, dan merampas harta manusia tanpa hak, apakah Allah akan memberikan syafaat kepadanya lantaran panggilan jiwa (hati)?”
Kemudian dia diam sejenak, lalu berkata, “Sebenarnya contoh-contoh yang tuan tanyakan hanyalah khayalan belaka dan tidak ada buktinya,”
Lalu kami berkata, “Bukan khayalan atau dugaan semata, bahkan sering terjadi hal seperti itu atau lebih aneh lagi. Bagaimana tidak! Seorang pemuda yang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa tentang Islam, Al-Kitab, dan As-Sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Quran yang ia fahami menurut apa adanya. Ia kemudian berpendapat bahwa boleh saja shalat menghadap kearah mana saja meskipun ia tahu persis bahawa shalat diharuskan menghadap kiblat (Ka’bah) Dalam keadaan ini, apakah anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah, karena menganggap cukup dengan adanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut. Di samping itu, menurut anda, bisikan hati atau panggilan jiwa dan kepuasan mental boleh saja memutuskan segala urusan pendirian. Pendirian ini jelas bertentangan dengan prinsip anda, bahwa manusia terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mujtahid, muqallid dan muttabi’.
Setelah kami katakan demikian, ia menyatakan bahwa sebenarnya pemuda tersebut (yang baru masuk Islam) harus membahas dan meneliti. Apakah ia tidak membaca hadith atau ayat lainnya?
Kemudian kami menyatakan, “Ia tidak memiliki cukup bahan untuk membahas sebagaimana halnya anda ketika membahas tentang masalah talak. Ia tidak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain ayat di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan cara meninggalkan ijma’ para ulama?”
Lalu ia menjawab, “Memang harus demikian, kalau ia tidak mampu mambahas dan menganalisis. Baginya cukup berpegang pada hasil fikirannya sendiri dan ia tidak salah.”
Kami katakan kepadanya, “Ucapan anda sangat membahayakan dan mengherankan dan akan kami siarkan…”
Dia mengatakan, “Silakan tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut!”
Kami pun menjawab, “Bagaimana anda takut kepada saya, padahal anda sendiri tidak kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, dengan ucapan tersebut, anda telah membuang firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
Artinya:
”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.”[Q.S An-Nahl (16:43)]
Selanjutnya, dia menyatakan, “Tuan, para imam bukanlah orang yang ma’sum. Adapun ayat yang ia pegang merupakan firman Allah yang terpelihara dari kesalahan. Bagaimana mungkin ia harus meninggalkan yang ma’sum dan berpegang pada orang yang bukan ma’sum?”
Jawaban kami, “Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna hakiki yang dikehendaki oleh Allah ‘Azza wa jalla dengan firmanNya:
Artinya:”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat…”
Akan tetapi, faham pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma’sum. Jadi, masalahnya ialah perbandingan antara dua faham, yakni faham atau pemikiran dari seorang pemuda yang jahil (bodoh) dan faham tau pemikiran pada imam mujtahidin, yang kedua-duanya tidak ma’sum. Hanya saja perbedaannya ialah yang satu terlalu bodoh (jahil), sedangkan yang lain (imam mujtahidun) sangat dalam ilmunya.”
Lalu ia berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak membebani dia melebihi kemampuannya.”
Selanjutnya, kami mengatakan kepadanya, “Tolong, jawablah pertanyaan ini, “Seorang mempunyai anak kecil yang sedang sakit panas. Menurut saran semua doktor yang ada di kota, ia harus diberi obat khusus dan mereka melarang orang tua si anak untuk mengobatinya dengan antibiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orang tua si anak bila dilanggar (nasehat dokter itu) hal itu akan menyebabkan kematian sang anak. Kemudia orang tua tersebut membaca selebaran tentang kesehatan, dan menemukan keterangan bahwa antibiotok kadang-kadang bermanfaat untuk pengobatan sakit panas. Dengan adanya selebaran (pamphlet) ini, si orang tua tidak memperdulikan lagi nasehat dokter karena ia tidak mengerti alasan yang melatarbelakangi larangan dokter. Kemudian dengan panggilan hatinya, ia mengobati anaknya dengan antibiotik sehingga mengakibatkan kematian si anak. Dengan tindakan ini, apa orang tua tersebut berdosa atau tidak?”
Pemuda itu diam sejenak, lalu berkata, “Saya kira masalah tersebut lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sedang kita bicarakan.”
Kami memberikan keterangan, “Masalah ini sama hakikatnya dengan hal yang sedang kita bicarakan. Coba anda perhatikan! Orang tua tersebut sudah mendengarkan ijma’ (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pemuda tadi juga telah mendengar ijma’ ulama’. Akan tetapi orang tua tersebut justeru berpegang pada selebaran buku kesehatan, sebagaimana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.”
Kemudian ia berkata, “Tuan, Al-Quran adalah Nur. Nur Al-Quran tidak dapat disamakan dengan yang lain.”
Kami bertanya kepadanya, “Apakah pantulan Al-Quran itu dapat difahami oleh yang membaca sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata’ala? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam meneriama cahaya Al-Quran?”
Dua contoh di atas adalah sama. Anda harus menjawab apakah keduanya harus menerima begitu saja panggilan hatinya atau harus mengikuti dan taqlid kepada orang yang ahli?”
Pemuda itu menjawab, “Panggilan hati adalah yang paling pokok.”
Lalu kami menyatakan, “Orang tua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya sehingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagi orang tua, baik dari segi syariat maupun tuntunan hukum?”
Dengan tegas ia menjawab, “Dia tidak dapat dituntut apa-apa.”
Kemudian kami menyatakan, “Dengan pernyataan anda seperti ini, saya kira dialog dan diskusi ini kita cukupkan sampai di sini saja. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan anda. Dengan jawaban anda yang sangat mengherankan itu, cukuplah kiranya anda telah keluar dari ijma’ kaum muslimin.”
Coba anda renungkan! Seorang muslim yang jahil (bodoh) hanya mengandalkan hatinya dalam memahami apa yang ia temukan dalam Al-Quran Al-Karim. Lalu ia mengerjakan shalat menghadap ke arah selain kiblat dan menyalahi semua umat Islam, biasa dengan panggilan jiwanya, ia mengobati orang yang sakit sekehendaknya, sehingga menyebabkan kematian orang yang ia obati. Lalu atas perbuatannya itu, ia terbebas dari segala tuntutan.
Kalau demikian halnya, mengapa mereka tidak membiarkan orang-orang bodoh menggunakan panggilan jiwanya untuk taqlid dan mengikuti imam mujtahid karena mereka (para mujtahid) lebih waspada daripada mereka tentang urusan kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan Sunnah Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Kritikan Ilmiyyah Ustadz Ahmad Sarwat kepada Syaikh Albani ?

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Maaf beribu maaf ustad,saya ingin tabayyun ke ustad.
Di situs pribadi ustad, ada artikel judulnya "Anti mazhab, Bid'ah paling merusak" dalam artikel tersebut disebutkan tokoh terbesar anti mazhab adalah Nashirudin Albani, padahal beliau (setahu saya yg ilmunya masih sedikit ini) diakui keilmuan dan keulamaannya oleh banyak kalangan termasuk oleh syekh bin Baz, syekh qardhawi,dll. mohon penjelasan.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Artikel pada situs saya itu adalah bagian dari bedah buku yang ditulis oleh ulama besar Syria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy. Apa yang saya tulis di dalam artikel itu lebih merupakan buah pemikiran beliau sang penulis buku.
Dr. Said Ramadhan Al-Buthy sendiri juga mengakui ketokohan seorang Al-Albani. Justru karena dianggap sebagai tokoh itulah, maka kemudian perlu diajak berdialog untuk dicari titik temu. Barangkali seorang Al-Albani kurang memahami sepenuhnya tentang ilmu fiqih. Mengingat beliau itu memang bukan ulama syariah. Dan hal seperti ini bukan merupakan aib. Karena di masa sekarang ini, setiap ulama punya spesialisasi sendiri-sendiri.
Dan sebagai perwakilan dari para ulama ahli fiqih, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy berupaya membangun dialog yang baik, agar tidak terjadi salah paham.
Al-Albani sendiri memang tokoh penting di dalam dunia hadits. Sudah banyak karya beliau yang memenuhi rak-rak buku para pelajar dan mahasiswa. Dan sudah banyak orang yang menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah hadits.
Akan tetapi di dalam dunia ilmu fiqih, Al-Albani memang punya catatan tersendiri, dimana dirinya sering menyerang ilmu fiqih dan cenderung anti dan memusuhi mazhab-mazhab fiqih yang sudah ada. Hal ini dikemukakan oleh guru besar ilmu fiqih, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, ulama fiqih kenamaan dari Syria.
Buku ini menceritakan bagaimana terjadinya perdebatan seru antara kedua tokoh penting yang sama-sama tinggal di Syria. Al-Albani dengan pendiriannya yang ingin merobohkan bangunan besar ilmu Fiqih Islam, yang sudah berdiri sejak awal peradaban Islam. Sedangkan Dr. Said Ramadhan Al-Buthy berada pada posisi membela dan mempertahankan kedudukan ilmu Fiqih serta urgensinya dalam memahami Al-Quran dan Sunnah.
Menurut Al-Albani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid'ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.
Tentu saja pendapat seperti ini adalah pendapat yang keliru besar. Ilmu fiqih dan mazhab pada ulama yang ada itu bukan didirikan untuk menyelewengkan umat Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah. Justru ilmu fiqih itu sangat diperlukan sebagai metodologi yang istimewa dalam memahami Quran dan Sunnah.
Menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, kedudukan ilmu fiqih kira-kira sama dengan kedudukan ilmu hadits. Keduanya tidak pernah diajarkan secara baku oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ilmu hadits atau juga dikenal dengan ilmu naqd (kritik) hadits, juga merupakan produk manusia, hasil ijtihad, bukan ilmu yang turun dari langit.
Tapi dengan ilmu hadits, kita jadi tahu mana hadits yang shahih, mana hadits yang dhaif dan mana hadits yang maudhu'. Padahal yang menyusun ilmu hadits itu bukan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, juga bukan para shahabat, tetapi para ulama dengan ijtihad mereka.
Ketika menetapkan syarat-syarat hadits shahih agar bisa dimasukkan ke dalam kitab As-Shahih, sesungguhnya Al-Bukhari juga sedang berijtihad. Dan kita umat muslim sedunia mengikuti ijtihad beliau dan menggunakan syarat-syarat yang beliau tetapkan.
Maka ketika Al-Imam Asy-Syafi'i yang lahir jauh sebelum zaman Bukhari meletakkan syarat dan aturan dalam mengistimbath hukum dari Quran dan Sunnah, lalu mendirikan ilmu Ushul fiqih, sebenarnya beliau telah berjasa besar kepada umat Islam. Sama dengan Al-Bukhari yang juga berjasa agar umat Islam tidak salah dalam memilih hadits.
Demikian juga ketika Abu Hanifah menetapkan dasar-dasar istimbath hukumnya, agar setiap orang tidak asal main qiyas begitu saja, sebenarnya ilmu yang beliau tetapkan itu sangat bermanfaat buat umat Islam. Sama dengan Al-Bukhari yang juga berijtihad agar umat Islam tidak jatuh ke dalam hadits palsu atau lemah.
Sayangnya, ilmu fiqih dan ushul fiqih yang sudah sejak 14 abad dijadikan standar dalam mengistimbath hukum oleh seluruh umat Islam, oleh Al-Albani ingin dirobohkan begitu saja, dengan alasan kedua ilmu itu dianggap bid'ah dan hanya merupakan ijtihad manusia.
Karena itulah para ulama fiqih meradang dan marah besar kepada Al-Albani yang dengan naifnya ingin merobohkan asas-asas dan sendi pokok ilmu fiqih. Salah satunya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy yang akhirnya mengajak Al-Albani bertukar fikiran, agar jangan sampai terjadi salah paham.
Sayangnya, ternyata Al-Albani tetap ngotot dan bersikeras untuk meruntuhkan bangunan ilmu fiqih. Bahkan meski sudah berdialog semalam suntuk, dia tetap 'keukeuh' dengan pendiriannya. Dia tetap ingin meruntuhkan ilmu fiqih karena dalam pandangannya ilmu fiqih itu bid'ah.
Maka Dr. Said Ramadhan hanya bisa menghela nafas panjang. Susah rasanya bicara dengan orang yang tidak mau mengalah dan tidak mau mengerti dengan realitas yang ada. Untuk itulah beliau kemudian menyusun tulisan sebagai counter dari serang-serangan yang selalu dilancarkan oleh Al-Albani, agar umat Islam sedunia mengerti dan paham, apa sesungguhnya misi dan visi seorang Al-Albani.
Judul buku itu dalam bahasa arab adalah : Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid'atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid'ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.
Dalam pandangan saya, kita memang tidak boleh terlalu fanatik dengan mazhab fiqih. Maksudnya, pendapat para ulama itu mungkin benar dan mungkin juga salah. Namanya juga ijtihad.
Tetapi alangkah kelirunya kalau pendapat para ulama itu kita benturkan dengan Quran dan Sunnah. Tidak akan pernah terjadi hal itu. Sebab pendapat para ulama itu justru lahir dari Quran dan Sunnah.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa seorang Al-Albani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra'yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.
Sayangnya, para pendukung Al-Albani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-Albani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik.
Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-Albani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-Albani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah. Apa pun yang dikatakan Al-Albani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak. Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.
Padahal kapasitas Al-Albani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih. Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya. Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits. Al-Albani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits. Al-Albani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung.
Al-Albani adalah tokoh hadits yang cukup kontroversial. Setidaknya menurut sebagian kalangan. Baik di kalangan ulama hadits sendiri, apalagi . di kalangan ulama fiqih. Tetapi yang menarik, Al-Albani memang sangat produktif dalam menerbitkan buku. Dan dahsyatnya, buku-buku karyanya memang cukup menghebohkan dunia ilmu syariah.
Selama ini para ulama dan ahli ilmu kebanyakan hanya diam saja dan tidak terlalu menanggapi ulah Al-Albani. Dan hanya sedikit ulama yang secara serius menanggapi dan meladeninya. Salah satunya yang pernah langsung menghadapinya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy.
Kalau tertarik membaca bukunya, silahkan download disini [klik]. Tapi mohon maaf buku ini masih dalam versi Arabnya. Dahulu pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, tapi entah bagaimana, ketika saya baca versi terjemahannya, saya malah semakin bingung. Makanya saat ini saya sedang meminta salah seorang ustadz untuk menterjemahkan ulang dengan bahasa yang lebih komunikatif.
Namun artikel itu saya angkat bukan dengan niat untuk menjelekkan atau melecehkan, apalagi merendahkan seorang Al-Albani. Dalam beberapa tulisan, saya pun banyak memuji beliau, bahkan saya banyak juga mengutip pendapat beliau. Namun dalam dunia ilmiyah, mengkritik pendapat seseorang bukan hal yang tabu. Justru semakin terbuka seseorang atas kritik, semakin tinggi nilai kemampuan ilmiyahnya.
Kalau saya menampilkan kritik atas pendapat Al-Albani, jangan dianggap saya membenci beliau. Sebaliknya, justru karena saya menyukai beliau. Tapi kadang adik-adik kelas saya yang baru saja belajar agama, sering kali salah tanggap. Dikiranya kalau seseorang sudah mengkritik Al-Albani, seolah dianggap memusuhinya.
Nah, semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai 'serangan' kepada mereka.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar