Suasana Ta'lim di Darul Ulum Deoband, India
Kenapa Harus Terjadi Perbedaan Pendapat
Ketahuilah,
bahwa tidak pernah terdengar, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
orang-orang yang benar-benar shaleh lagi ikhlas. Perbedaan ini akan tetap ada
dan akan terus berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Bagi orang yang
berpengetahuan agama, hal ini tidak mengherankan, bahkan di kalangan alim ulama
juga terdapat perbedaan pendapat.
Dalam
kuliah hadits Maulana Zakariyya, dimana kalender akademiknya dimulai dari bulan
Syawwal dan berakhir di bulan Rajab, selama masa sepuluh bulan perkuliahan
tersebut, dapat dikatakan tidak pernah terlewat sehari pun, minimal 20 x dalam
sehari—terdengar ucapan,” ... berkenaan dengan masalah ini, Imam fulan
berpendapat demikian, Imam fulan lainnya berpendapat demikian...Para shahabat
Nabi berpendapat demikian, sedangkan para tabi’in berpendapat demikian, dan
seterusnya.”
Jika
kita menyangka bahwa perbedaan yang terjadi itu sebagai tanda kekurangikhlasan
mereka, berarti kita sedang menghadapi suatu masalah dan kebingungan yang
besar, sebab prasangka demikian berpotensi akan melahirkan suatu dugaan
(na’udzubillahi min dzalik) bahwa orang-orang seperti shahabat radhiyallahu
‘anhum dan alim ulama di atas—yang tergolong orang-orang mukhlisin—telah
tersisih dari barisan kekasih Allah, hanya disebabkan mereka berbeda pendapat.
Tulisan
ini merupakan tanggapan Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih sehubungan
dengan terjadinya perbedaan yang amat tajam di antara 2 orang ulama yang
termasyhur di India yaitu Syekh Madani rahmatullah ‘alaih dan Syekh
Thanwi rahmatullah ‘alaih. Seperti diketahui, India, pada paruh tahun
1930-1950, diwarnai dengan situasi perpolitikan yang amat hangat. Menghadapi
situasi yang demikian dinamis, dua orang ulama memberikan respon dan sikap yang
berbeda, tentang bagaimana sebaiknya peran ummat Islam. Di satu pihak,
menghendaki ummat Islam harus berjuang secara aktif dalam pemerintahan dan
membentuk partai Islam tersendiri, agar bisa memberikan faedah yang maksimal
bagi ummat. Namun, di pihak lainnya berpendapat sebaiknya ummat Islam berjuang
di luar politik pemerintahan. Di mata kalangan awam, perbedaan kedua ulama
terpandang ini, demikian tajam. Tetapi dalam pandangan Maulana Zakariyya rahmatullah
‘alaih, perbedaan pendapat di antara keduanya bukanlah perbedaan yang
tajam. Menurutnya, situasi perpolitikan yang terjadi pada saat itulah yang
menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.
Maulana
Zakariyya rahmatullah ‘alaih mengemukakan, bahwa pada saat ini,
seyogyanya orang-orang yang berakal sehat-dengan melihat situasi dan kondisi-
untuk berusaha memahami keadaan tersebut sesuai dengan aturan syari’at,
sehingga setiap orang/ Ummat Islam dapat memilih jalan yang diyakininya benar,
tanpa paksaan terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang yang tidak memahami
seluk beluk permasalahan ini dengan benar, dianjurkan agar ia duduk beberapa
hari di majelis mereka, sehingga dapat mengikuti dengan jelas, pendapat mana yang
lebih cocok/ kuat untuk diikuti.
“Siapapun
di antara mereka yang kamu ikuti, kamu akan mendapatkan petunjuk.”
Dengan
demikan, kita tidak perlu bertengkar dan berdebat mengenai hal ini.
Maulana
Zakariyya rahmatullah ‘alaih justru heran dan bertanya kepada muridnya
(dan juga kepada kebanyakan kaum muslimin awam) yang terlalu meributkan masalah
ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Bukankah
perbedaan itu tidak hanya terjadi di jaman sekarang saja? Bahkan sudah terjadi
di jaman Nabi dan para shahabat? Kalau ada yang berpandangan bahwa perbedaan
pendapat itu buruk dan kontraproduktif, maka bagaimana dengan kisah Perang
Jamal, yang merupakan buntut dari perbedaan pendapat yang terjadi antara
Shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dengan Shahabiah utama sekaligus salah
satu istri Nabi yang berkedudukan sebagai Ummahatul Mukminin (Ibunya
orang-orang beriman ), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.?
Semua
orang Islam hendaknya mengetahui bahwa semua shahabat Nabi, siapapun dia,
adalah generasi awal ummat Islam dan mereka telah dinyatakan oleh Nabi sebagai
generasi manusia yang terbaik yang pernah Allah tampilkan di atas muka bumi.
Tentu tidak diragukan lagi tentang derajat keikhlasan mereka dan pengorbanan
mereka yang luar biasa demi tegaknya dien ini. Jadi sungguh tidak punya etika
dan sangat sembrono, jika seorang muslim memberikan komentar yang tidak
berkualitas, tanpa didasari pengetahuan tentang agama yang memadai, mengenai
perbedaan-perbedaan dalam masalah agama.
Maulana
Zakariyya rahmatullah ‘alaih bahkan bertanya kepada santrinya,”
Beritahukanlah kepada saya, manakah di antara dua golongan dalam Perang Jamal
ini ( Yaitu golongan Ali radhiyallahu ‘anhu dan golongan Aisyah radhiyallahu
‘anha), yang akan Anda sisihkan dari barisan orang-orang shaleh dan ikhlas?
Dapatkah Anda melakukannya?” Ketika nama Ali disebut, kita akan mengucapkan ‘radhiyallahu
‘anhu ( semoga Allah meridhoinya ), karena ia seorang khalifah yang benar
dan penghulu segala wali Allah. Begitu pula ketika nama ‘Aisyah disebut, kita
pun akan berkata radhiyallahu ‘anha’, karena beliau adalah Ummul
Mukminin (Ibu orang-orang beriman) dan istri yang paling dicintai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(catatan:
ketika seseorang menyebutkan nama shahabat/ shahabiah (shahabat wanita), maka
setiap orang Islam hendaknya mengucapkan radhiyallahu ‘anhu (untuk
shahabat laki-laki) dan atau radhiyallahu ‘anha (bagi shahabat wanita).
Perselisihan
di antara shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang sedemikian tajam bahkan berujung pada perang saudara yang
dikenal dengan nama Perang Jamal, menjadikan perang ini akan senantiasa
dikenang dalam sejarah ummat Islam sampai hari kiamat. Tentu saja ada hikmah
yang besar dari kisah mereka, agar menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman.
Bahkan
Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih memberikan peringatan yang amat
tegas kepada santrinya ( dan secara umum kepada kaum muslimin ), agar jangan
sekali kali berprasangka buruk kepada 2 orang shaleh ini ( yaitu Ali radhiyallahu
‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), padahal mereka berdua adalah
benteng-benteng Islam yang tangguh. Apabila ada perasaan demikian dalam hati
kita dan rasa dengki dalam dada kita kepada mereka ( 2 orang sahabat ini ),
maka ini sama sekali tidak akan merugikan mereka berdua sedikitpun, namun
kitalah, ummat Islam, yang akan mendapatkan kerugian dan kesulitan yang besar.
Sungguh
suatu hal yang amat keterlaluan dan tidak beradab, ketika segolongan ummat
Islam yang tidak berpengetahuan ( bodoh dalam agama, tapi merasa pintar dan sok
tahu), berani melontarkan kata-kata, komentar-komentar yang tidak patut kepada
dua orang shahabat yang mulia ini. Bahkan seyogyanya mereka berdua ini patut
dicemburui, karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan
perjuangan menegakkan agama Islam yang mulia. Dan sudah sewajarnya mereka
mendapatkan derajat dan pahala yang tertinggi dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Dan lebih dari itu, mereka pun mendapatkan limpahan pahala dari orang-orang
yang mengumpat dan menghamburkan kata-kata hina kepada mereka. Seolah-olah,
para penghina dan pengumpat Shahabat Nabi itu, yang menceburkan diri mereka
sendiri dalam kehinaan dengan menghujat para kekasih Allah subhanahu wa
ta’ala, berkata,” Karena saya sangat marah dengan diri Anda, maka ambillah
segala pahala baik, yang telah saya usahakan selama ini”.
Jadi
bukankah ini suatu kezaliman yang besar terhadap diri sendiri, dengan
menghibahkan pahala amal sholeh kepada orang yang dihujatnya? Berarti orang
yang menghujat dan menghina itulah yang sebenarnya orang fakir dan pendosa.
Dalam
satu hadits dikatakan, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepada para shahabatnya, “Siapakah orang yang muflis (
bangkrut ) di antara kalian?” Mereka menjawab,” Orang yang tidak
berharta.” Beliau menjelaskan., ”Bukan. Orang yang bangkrut adalah
seorang yang datang pada hari kiamat dengan kebajikan yang banyak, namun ia
telah menzalimi seseorang dan memaki yang ini dan menghina yang itu dan
mengambil harta orang lain. Pada hari itu, tidak bernilai lagi dinar dan
dirham. Akan diserahkan amal kebajikannya kepada orang yang telah ia zalimi.
Dan jika itu semua tidak mencukupi, maka dosa-dosa orang yang dizalimi akan
ditimpakan kepada orang yang menzalimi. “ (dari kitab Majma’ul Fawaid)
Pada
hari itu, setiap orang hanya akan diadili amalan baik dan buruknya. Tetapi ada
orang-orang, yang karena amal buruknya, menyebabkan semua amal sholehnya
diserahkan kepada orang yang telah ia zalimi, sebagai balasan atas
kezhalimannya. Bahkan, walaupun semua kebaikannya telah habis diserahkan,
keadilan tetap harus ditegakkan, sehingga perbuatan dosa mereka yang dizalimi
akan dilimpahkan ke atas orang yang menzalimi.
Sangat
mengherankan dengan kelakuan orang-orang jaman sekarang yang sedemikian mudah
menghina, mengkritik dan mencela orang-orang shaleh dan para kekasih Allah.
Namun di sisi lain pada saat yang sama, justru mereka ini memuji-muji para ahli
maksiat, orang fasiq dan orang-orang kafir. Orang-orang Islam yang bodoh (
bodoh dalam perkara agama, dan malas mengaji dan mempelajari hukum-hukum agama.
Tidak ada hubungan dengan latar belakang akademis. Meskipun seseorang bergelar
insiyur, doctor S3 lulusan perguruan tinggi terkemuka di luar angkasa, tetapi
tidak tahu, tidak mau tahu dan malas mempelajari hukum Allah dan sunnah-sunnah
Nabi, maka orang seperti ini masuk kategori jahil atau bodoh dalam pandangan
Allah subhanahu wa ta’ala) dan error ini, hendaklah memperhatikan hadits
di bawah ini: “Apabila seorang fasiq dipuji, maka Allah subhanahu wa ta’ala
akan murka dan Arsy Illahi akan bergoncang.” ( Kitab Misykat ).
Pernyataan
di atas janganlah serta merta disimpulkan bahwa kita tidak perlu memberikan
pujian atau apresiasi kepada orang lain. Tetapi masalahnya adalah bergantung
pada siapa yang perlu dipuji? Dalam kapasitas apa ia harus dipuji? Sejauhmana
ia perlu dipuji? Yang harus ditegaskan di sini adalah, bahwa janganlah
sekali-kali menghina dan mengkritik secara membabi buta dan tanpa dasar terhadap
orang-orang shaleh, dalam hal ini para Shahabat, para Tabi’in, para wali Allah subhanahu
wa ta’ala, alim ulama, pemimpin-pemimpin pemerintahan yang ikhlas dan taqwa
(bukan karena strategi pencitraan) dan orang-orang Islam yang awam tetapi
memiliki tekad dan kemauan keras untuk belajar dan meningkatkan kualitas iman
dan ketaqwaannya dan sangat tidak perlu memuji mereka mereka yang tidak
mempedulikan aturan syariat agama.
Sebuah
pertanyaan, ”Jika seorang shahabat Nabi, atau ulama, atau orang shaleh
berbuat suatu kekhilafan atau salah memberikan pertimbangan dalam satu masalah,
apakah hal itu bermakna kita harus menutup mata atas semua sifatnya yang
mulia?”
Syariat
Islam yang suci ini telah mengajarkan kepada kita hingga perkara sekecil apapun
dalam masalah kehidupan dan agama kita. Namun, walaupun kita mengaku sebagai
pemeluk Islam, nampaknya kita tetap tidak mempedulikannya. Sementara
orang-orang dari agama lain, banyak yang mengadopsi ajaran Islam ini, sehingga
justru kini mereka menuai kesuksesan, sedangkan kita sibuk menyingkirkan
syariat ini dari kehidupan kita yang pada akhirnya kita mendapatkan kerugian
yang besar.
Pentingnya Memuliakan Ulama
Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada saat ini --
bahwa kita tidak saja berprasangka buruk dan mengabaikan adab-adab terhadap
ulama, bahkan kita banyak menentang dan menghina mereka. Menurut ajaran Islam,
perbuatan ini sangat berbahaya. Memang, dalam setiap kalangan selalu ada yang
baik dan ada yang buruk. Begitu pula di kalangan alim ulama. Namun, tentu saja
ulama yang baik lebih banyak daripada yang buruk. Benar bahwa ada ulama suu'
(buruk) dan ada ulama rasyad (yang diberi petunjuk), namun tidak ada
batasan tertentu dalam hal ini.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan dalam masalah
ini: Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu',
janganlah sekali-kali kita membuat keputusan apa pun terhadapnya. Kedua, jika
hanya karena berprasangka buruk bahwa si pembicara adalah ulama' suu',
janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih
dahulu, karena sikap seperti itu merupakan kezhaliman. Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak
ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, serta hati,
semuanya akan ditanya." (QS. Al-Israa: 36).
Pernah orang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam
bahasa Arab, lalu membacakannya kepada orang Islam. Nabi saw. bersikap sangat
hati-hati, dan terhadap hal itu beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin,
janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula menolaknya. Katakanlah,
'Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.'" Maksudnya,
meskipun itu ucapan orang kafir, janganlah kita membenarkan atau menyalahkannya
begitu saja sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. Namun, yang terjadi
sekarang adalah sebaliknya. Apabila ada orang yang mengatakan sesuatu yang
bertentangan dengan pendapat kita, kita bukan saja menolaknya, bahkan kita
menentangnya. Bahkan yang lebih parah, kepada ahli kebenaran pun kita
berbuat demikian.
Satu hal lagi yang harus kita ingat, bahwa ulama Haqqani
(Haq), ulama Rusydi (yang benar), dan ulama Khairi (yang
baik) adalah manusia juga. Yang ma'sum hanyalah para Anbiya a.s.. Oleh sebab
itu; jika ada kesalahan, kelemahan, dan kekurangan pada diri mereka,
tanggungjawabnya kembali pada diri mereka sendiri. Hanya Allah Yang berhak
menentukan apakah adzab atau ampunan bagi mereka. Insya Allah, dengan
Rahim-Nya, mereka akan diampuni sebagaimana majikan yang menyuruh pembantunya
meninggalkan urusan pribadinya dan menyibukkan diri dalam tugas majikannya,
sudah pasti majikan itu akan menyayanginya dan mudah memaafkannya. Apalagi
Allah, tidak ada Majikan Yang lebih mulia daripada-Nya. Walaupun dengan
keadilan-Nya Dia menyiksa seseorang, itu masalah lain.
Dengan demikian, apabila ada orang yang mengajak untuk
berburuk sangka kepada alim ulama, membenci alim ulama, berusaha menjauhkan
manusia dari alim ulama dan menyebabkan kekacauan dalam masalah agama, mereka
adalah penyebab kerusakan agama, dan orang yang berbuat demikian akan mendapat
siksa yang keras. Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya
sebagian dari mengagungkan Allah ialah: memuliakan orang tua muslim, memuliakan
pembawa (hafizh) Al-Quran yang tidak melewati batas dan memuliakan pemimpin
yang adil." (Abu Dawud - At-Targhib).
Hadits lain berbunyi:
"Bukan
termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi
anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama." (Ahmad,
Thabrani, Hakim - At-Targhib).
Dari Abu
Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Ada tiga jenis manusia, yang tidak merendahkan mereka kecuali
orang munafik, yaitu orang muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang
adil." (Thabrani - At-Targhib).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Aku tidak
mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal: (1) Keduniaan berlimpah sehingga
manusia saling mendengki. (2) Orang jahil berusaha menafsirkan Al-Quran dan
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali
Allah. "Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, kami beriman
kepada ayat-ayat Mutasyaabihaat, semuanya dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal." Apabila
alim ulama dalam ilmunya saja tidak berani melangkah lebih jauh, adakah hak
bagi orang-orang awam untuk berkomentar? (3) Alim ulama ditelantarkan dan tidak
akan dipedulikan oleh umatku." (Thabrani - At-Targhib).
Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan
kepada alim ulama. Dalam kitab Fatwa Alamghiri disebutkan bahwa
kebanyakan ucapan buruk yang diucapkan mereka itu menyebabkan mereka terkena
hukum kufur, namun kita mengabaikan hal ini. Oleh sebab itu, kita harus
berhati-hati dalam membicarakan ulama. Jika di dunia ini tidak ada alim ulama
yang benar dan jujur, dan yang ada hanyalah orang-orang jahil dan ulama suu',
Kita tetap tidak boleh menuduh seseorang itu ulama suu' hanya berdasarkan
ucapan orang. Dalam keadaan demikian, setiap muslim di seluruh dunia wajib
mewujudkan masyarakat Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki.
Keberadaan alim ulama di tengah-tengah kita hukumnya fardhu kifayah. Apabila
suatu jamaah sudah mewujudkan hal ini, maka tuntutan hukum fardhu gugur dari
semuanya dan jika kita lalaikan usaha mewujudkan ulama yang hakiki ini, maka
kita semua berdosa.
Dewasa ini, perbedaan pendapat di kalangan alim
ulama telah menimbulkan kegelisahan dan perpecahan di kalangan masyarakat.
Dalam taraf tertentu mungkin ini ada benarnya, namun sebenarnya perbedaan
pendapat ini bukan hanya terjadi pada lima puluh atau seratus tahun yang lalu,
bahkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah
terjadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan sandalnya
kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan bersabda, "Ambillah
sandalku ini sebagai tanda, dan umumkanlah kepada kaum muslimin bahwa
barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah dengan
ikhlas, ia dijamin masuk surga." Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu
berjumpa dengan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan bertanya, "Engkau
hendak ke mana?" Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya. Umar radhiyallahu
‘anhu marah kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebab ia tidak
sependapat mengenai hal tersebut. Umar radhiyallahu ‘anhu memukul dada
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu hingga terjatuh ke belakang. Pada saat
itu tidak ada protes, aksi unjuk rasa, ataupun resolusi untuk menentang
perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhu berkenaan dengan perselisihan
tersebut.
Di antara para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdapat
ribuan pendapat; dan diantara empat imam yang masyhur pun ada perbedaan
pendapat dalam masalah fiqih. Mengenai shalat saja, dari takbir hingga salam,
terdapat kurang lebih dua ratus perselisihan (misalnya cara mengangkat tangan,
mengucapkan amin dengan keras atau pelan, dan sebagainya). Itu baru yang
saya ketahui, belum yang di luar pengetahuan saya. Meskipun demikian, tidak
pernah ada pamflet-pamflet dan poster-poster serta perdebatan mengenai
masalah tersebut. Rahasianya, masalah-masalah yang diperselisihkan itu tidak
sampai ke telinga masyarakat awam. Perselisihan pendapat di antara alim ulama
adalah rahmat dan merupakan sesuatu yang mesti terjadi. Misalnya, jika seorang
ulama berfatwa mengenai suatu hukum syar'i dengan suatu hujjah, lalu ada ulama
lain yang berpendapat bahwa hujjahnya salah, maka ulama tersebut harus
mengeluarkan fatwa yang berbeda. Jika tidak, ulama itu telah berdosa dan
bermaksiat.
Sebenarnya, orang-orang telah menjadikan perbedaan
pendapat antar ulama sebagai alasan untuk tidak beramal. Padahal, di antara
para dokter dan ahli hukum pun ada perbedaan pendapat, namun hal ini tidak
pernah membuat orang-orang tidak berobat dan tidak mengajukan masalah tersebut
ke pengadilan. Lalu mengapa dalam masalah agama, perbedaan pendapat di antara
alim ulama dijadikan alasan? Bagi mereka yang ingin beramal, sangat penting
agar mengikuti ulama yang mengamalkan sunah dan tidak perlu menjelek-jelekkan
ulama lainnya. Mereka yang pemahamannya tidak sampai pada dalil-dalil dan
pentarjihan (putusan dalil terkuat) tidak berhak campur tangan. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Mengajarkan ilmu kepada orang
yang bukan ahlinya berarti menyia-nyiakan ilmu."
Akan tetapi, kemerosotan agama sudah sedemikian rupa
sehingga setiap orang merasa berhak untuk mengomentari dan menjelaskan
firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala. dan sabda-sabda Nabi saw. yang
sudah jelas maknanya. Dalam keadaan seperti ini, adakah mereka
dikatakan sebagai ulama?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
…وَمَن
يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"…Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang zhalim." (QS.
Al-Baqarah : 229).
Syarat-syarat
ilmu
Syaikh Nawawi al-Bantani rahmatullah ‘alaih telah
menulis dalam salah satu kitab karangannya Salalimul Fudhola,
syarat-syarat ilmu ada 8 perkara yaitu :
1) Syarat pertama adalah mengamalkan segala
yang diketahuinya
2) Syarat kedua menyebarkan Ilmu
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah:122)
Anas radhiyallahu anhu meriwayatkan,
bahwasanya Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya, “Inginkah
kalian aku beritakan tentang yang paling dermawan diantara para dermawan?” Para
sahabat berkata: “Tentu Ya rasulullah” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Allah adalah dzat yang paling dermawan diatara para
dermawan, dan aku anak adam yang paling dermawan, dan mereka yang paling
dermawan setelahku adalah:
1. Orang yang mempelajari ilmu, lalu
menyebarkannya, ia akan dibangkitkan di hari kiamat sebagai umat yang sendirian
(istimewa) dan
2. Orang yang merdermakan dirinya di jalan Allah (fi sabilillah)
hingga terbunuh. (Terdapat
dalam kitab Jamiush shogir, Juz 1, di dalam Syuabul iman, juz 2, dan di dalam
At targhib wa tarhib, juz 1)
3) Syarat ketiga, tidak membanggakan diri
dan berbantahan /berdebat
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bahwasanya beliau bersabda,
” Siapa saja yang menuntut ilmu karena 4 hal, niscaya masuk neraka:
1. Untuk membanggakan ilmunya kepada ulama,
atau
2.Membimbangkan orang-orang bodoh, atau
3.Mengambil harta-harta dengan ilmunya, atau
4.Memalingkan
perhatian masyarakat kepadanya dengan ilmunya itu” (Di dalam Sunan
Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darami, Syuabul Iman juz 2, Az Zuhd, At Targibu
wat Tarhib juz1, Al Kabir, kitab Tanbihul Ghofilin, ‘Awariful Ma’arif)
4) Syarat keempat, mempertimbangkan dalam
penyebaran ilmunya dan tidak pelit dengan ilmunya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
…قُل
لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا…
“….Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikannya”…(QS. Al An’am : 90)
…قُل
لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَ…
“…Katakanlah:
"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih
sayang dalam kekeluargaan"... (QS Asy
Syuro : 23)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa saja yang mengetahui satu
pengetahuan, lalu ia menyembunyikannya, niscaya Alloh akan memasangkan kendali
(di lehernya) di hari kiamat dengan tali kekang dari api. (Di dalam Sunan Tirmidzi,
Sunan Abu Daud, Sunan ibnu majah, Musnad Ahmad, Syuabul Iman, Targibu wat Tarhib,
Ihya Ulumuddin)
5) Syarat kelima, tidak gengsi mengucapkan
“Aku Tidak Tahu”
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang derajatnya tinggi
tatkala beliau ditanya tentang hari kiamat, beliau bersabda, “Orang yang
ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari orang yang bertanya” (Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Nasai)
Dan tatkala ditanya mengenai ruh, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Aku
tidak tahu” (Shahih bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Musnad Ahmad)
6) Syarat keenam, Bersikap tawadhu’ (rendah
hati)
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَعِبَادُ
الرَّحْمَـٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ
الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik.” (QS. Al Furqon
: 63)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Dzar radhiyaallahu
‘anhu, ” Wahai Abu Dzar, jagalah wasiat Nabimu, semoga saja Allah
memberikan manfaat kepadamu sebab wasiat itu, rendah hatilah kamu karena Allah
azza wa jalla, semoga saja Allah akan mengangkatmu di hari kiamat, Ucapkanlah
salam kepada orang yang telah engkau temui dari umatku, orang baik-baik dan
orang jahatnya, dan Kenakanlah pakaian berkain kasar, dan janganlah engkau
menginginkan (melakukan semua itu), kecuali (bertujuan meraih ridha) Allah,
semoga saja kesombongan dan amarah tidak diperkenankan ada dalam hatimu.
7) Syarat ketujuh, siap menanggung rasa
sakit dalam mencurahkan nasihat dan mengikuti perilaku ulama salaf yang shaleh
mengenai hal itu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
…وَانْهَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ...
“..Dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS. Luqman : 17)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang Nabi yang
disakiti sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan” (Hilyatul Awliya, juz VI)
8.) Syarat kedelapan, ia bertujuan dengan
ilmunya kepada orang yang lebih membutuhkan untuk belajar, sebagaimana ia
bertujuan dalam bersedekah dengan harta kepada orang yang lebih membutuhkan,
lalu kepada orang yang membutuhkan.
Maka siapa yang telah menghidupkan
orang bodoh dengan mengajarkan ilmu, maka seakan-akan ia telah menghidupkan
seluruh manusia..Kita niatkan ketika dakwah wa tabligh saat khuruj fi
sabilillah (keluar di jalan Allah)………..Insya Allah
Suasana di Darul Ulum Deoband
Jamaah Jalan Kaki