Pages

Rabu, 28 November 2012

92. ILMU, ULAMA’ DAN PERBEDAAN PENDAPAT


http://alchishti.files.wordpress.com/2006/08/dsc00913.JPG


 Suasana Ta'lim di Darul Ulum Deoband, India
Kenapa Harus Terjadi Perbedaan Pendapat
Ketahuilah, bahwa tidak pernah terdengar, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang benar-benar shaleh lagi ikhlas. Perbedaan ini akan tetap ada dan akan terus berlangsung hingga masa-masa berikutnya. Bagi orang yang berpengetahuan agama, hal ini tidak mengherankan, bahkan di kalangan alim ulama juga terdapat perbedaan pendapat.
Dalam kuliah hadits Maulana Zakariyya, dimana kalender akademiknya dimulai dari bulan Syawwal dan berakhir di bulan Rajab, selama masa sepuluh bulan perkuliahan tersebut, dapat dikatakan tidak pernah terlewat sehari pun, minimal 20 x dalam sehari—terdengar ucapan,” ... berkenaan dengan masalah ini, Imam fulan berpendapat demikian, Imam fulan lainnya berpendapat demikian...Para shahabat Nabi berpendapat demikian, sedangkan para tabi’in berpendapat demikian, dan seterusnya.”
Jika kita menyangka bahwa perbedaan yang terjadi itu sebagai tanda kekurangikhlasan mereka, berarti kita sedang menghadapi suatu masalah dan kebingungan yang besar, sebab prasangka demikian berpotensi akan melahirkan suatu dugaan (na’udzubillahi min dzalik) bahwa orang-orang seperti shahabat radhiyallahu ‘anhum dan alim ulama di atas—yang tergolong orang-orang mukhlisin—telah tersisih dari barisan kekasih Allah, hanya disebabkan mereka berbeda pendapat.
Tulisan ini merupakan tanggapan Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih sehubungan dengan terjadinya perbedaan yang amat tajam di antara 2 orang ulama yang termasyhur di India yaitu Syekh Madani rahmatullah ‘alaih dan Syekh Thanwi rahmatullah ‘alaih. Seperti diketahui, India, pada paruh tahun 1930-1950, diwarnai dengan situasi perpolitikan yang amat hangat. Menghadapi situasi yang demikian dinamis, dua orang ulama memberikan respon dan sikap yang berbeda, tentang bagaimana sebaiknya peran ummat Islam. Di satu pihak, menghendaki ummat Islam harus berjuang secara aktif dalam pemerintahan dan membentuk partai Islam tersendiri, agar bisa memberikan faedah yang maksimal bagi ummat. Namun, di pihak lainnya berpendapat sebaiknya ummat Islam berjuang di luar politik pemerintahan. Di mata kalangan awam, perbedaan kedua ulama terpandang ini, demikian tajam. Tetapi dalam pandangan Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih, perbedaan pendapat di antara keduanya bukanlah perbedaan yang tajam. Menurutnya, situasi perpolitikan yang terjadi pada saat itulah yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.
Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih mengemukakan, bahwa pada saat ini, seyogyanya orang-orang yang berakal sehat-dengan melihat situasi dan kondisi- untuk berusaha memahami keadaan tersebut sesuai dengan aturan syari’at, sehingga setiap orang/ Ummat Islam dapat memilih jalan yang diyakininya benar, tanpa paksaan terhadap orang lain. Sedangkan bagi orang yang tidak memahami seluk beluk permasalahan ini dengan benar, dianjurkan agar ia duduk beberapa hari di majelis mereka, sehingga dapat mengikuti dengan jelas, pendapat mana yang lebih cocok/ kuat untuk diikuti.
“Siapapun di antara mereka yang kamu ikuti, kamu akan mendapatkan petunjuk.”
Dengan demikan, kita tidak perlu bertengkar dan berdebat mengenai hal ini.
Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih justru heran dan bertanya kepada muridnya (dan juga kepada kebanyakan kaum muslimin awam) yang terlalu meributkan masalah ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Bukankah perbedaan itu tidak hanya terjadi di jaman sekarang saja? Bahkan sudah terjadi di jaman Nabi dan para shahabat? Kalau ada yang berpandangan bahwa perbedaan pendapat itu buruk dan kontraproduktif, maka bagaimana dengan kisah Perang Jamal, yang merupakan buntut dari perbedaan pendapat yang terjadi antara Shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dengan Shahabiah utama sekaligus salah satu istri Nabi yang berkedudukan sebagai Ummahatul Mukminin (Ibunya orang-orang beriman ), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.?
Semua orang Islam hendaknya mengetahui bahwa semua shahabat Nabi, siapapun dia, adalah generasi awal ummat Islam dan mereka telah dinyatakan oleh Nabi sebagai generasi manusia yang terbaik yang pernah Allah tampilkan di atas muka bumi. Tentu tidak diragukan lagi tentang derajat keikhlasan mereka dan pengorbanan mereka yang luar biasa demi tegaknya dien ini. Jadi sungguh tidak punya etika dan sangat sembrono, jika seorang muslim memberikan komentar yang tidak berkualitas, tanpa didasari pengetahuan tentang agama yang memadai, mengenai perbedaan-perbedaan dalam masalah agama.
Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih bahkan bertanya kepada santrinya,” Beritahukanlah kepada saya, manakah di antara dua golongan dalam Perang Jamal ini ( Yaitu golongan Ali radhiyallahu ‘anhu dan golongan Aisyah radhiyallahu ‘anha), yang akan Anda sisihkan dari barisan orang-orang shaleh dan ikhlas? Dapatkah Anda melakukannya?” Ketika nama Ali disebut, kita akan mengucapkan ‘radhiyallahu ‘anhu ( semoga Allah meridhoinya ), karena ia seorang khalifah yang benar dan penghulu segala wali Allah. Begitu pula ketika nama ‘Aisyah disebut, kita pun akan berkata radhiyallahu ‘anha’, karena beliau adalah Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman) dan istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(catatan: ketika seseorang menyebutkan nama shahabat/ shahabiah (shahabat wanita), maka setiap orang Islam hendaknya mengucapkan radhiyallahu ‘anhu (untuk shahabat laki-laki) dan atau radhiyallahu ‘anha (bagi shahabat wanita).
Perselisihan di antara shahabat Ali radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang sedemikian tajam bahkan berujung pada perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Jamal, menjadikan perang ini akan senantiasa dikenang dalam sejarah ummat Islam sampai hari kiamat. Tentu saja ada hikmah yang besar dari kisah mereka, agar menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman.
Bahkan Maulana Zakariyya rahmatullah ‘alaih memberikan peringatan yang amat tegas kepada santrinya ( dan secara umum kepada kaum muslimin ), agar jangan sekali kali berprasangka buruk kepada 2 orang shaleh ini ( yaitu Ali radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha), padahal mereka berdua adalah benteng-benteng Islam yang tangguh. Apabila ada perasaan demikian dalam hati kita dan rasa dengki dalam dada kita kepada mereka ( 2 orang sahabat ini ), maka ini sama sekali tidak akan merugikan mereka berdua sedikitpun, namun kitalah, ummat Islam, yang akan mendapatkan kerugian dan kesulitan yang besar.
Sungguh suatu hal yang amat keterlaluan dan tidak beradab, ketika segolongan ummat Islam yang tidak berpengetahuan ( bodoh dalam agama, tapi merasa pintar dan sok tahu), berani melontarkan kata-kata, komentar-komentar yang tidak patut kepada dua orang shahabat yang mulia ini. Bahkan seyogyanya mereka berdua ini patut dicemburui, karena mereka adalah orang-orang yang senantiasa sibuk dengan perjuangan menegakkan agama Islam yang mulia. Dan sudah sewajarnya mereka mendapatkan derajat dan pahala yang tertinggi dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan lebih dari itu, mereka pun mendapatkan limpahan pahala dari orang-orang yang mengumpat dan menghamburkan kata-kata hina kepada mereka. Seolah-olah, para penghina dan pengumpat Shahabat Nabi itu, yang menceburkan diri mereka sendiri dalam kehinaan dengan menghujat para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala, berkata,” Karena saya sangat marah dengan diri Anda, maka ambillah segala pahala baik, yang telah saya usahakan selama ini”.
Jadi bukankah ini suatu kezaliman yang besar terhadap diri sendiri, dengan menghibahkan pahala amal sholeh kepada orang yang dihujatnya? Berarti orang yang menghujat dan menghina itulah yang sebenarnya orang fakir dan pendosa.
Dalam satu hadits dikatakan, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para shahabatnya, “Siapakah orang yang muflis ( bangkrut ) di antara kalian?” Mereka menjawab,” Orang yang tidak berharta.” Beliau menjelaskan., ”Bukan. Orang yang bangkrut adalah seorang yang datang pada hari kiamat dengan kebajikan yang banyak, namun ia telah menzalimi seseorang dan memaki yang ini dan menghina yang itu dan mengambil harta orang lain. Pada hari itu, tidak bernilai lagi dinar dan dirham. Akan diserahkan amal kebajikannya kepada orang yang telah ia zalimi. Dan jika itu semua tidak mencukupi, maka dosa-dosa orang yang dizalimi akan ditimpakan kepada orang yang menzalimi. “ (dari kitab Majma’ul Fawaid)
Pada hari itu, setiap orang hanya akan diadili amalan baik dan buruknya. Tetapi ada orang-orang, yang karena amal buruknya, menyebabkan semua amal sholehnya diserahkan kepada orang yang telah ia zalimi, sebagai balasan atas kezhalimannya. Bahkan, walaupun semua kebaikannya telah habis diserahkan, keadilan tetap harus ditegakkan, sehingga perbuatan dosa mereka yang dizalimi akan dilimpahkan ke atas orang yang menzalimi.
Sangat mengherankan dengan kelakuan orang-orang jaman sekarang yang sedemikian mudah menghina, mengkritik dan mencela orang-orang shaleh dan para kekasih Allah. Namun di sisi lain pada saat yang sama, justru mereka ini memuji-muji para ahli maksiat, orang fasiq dan orang-orang kafir. Orang-orang Islam yang bodoh ( bodoh dalam perkara agama, dan malas mengaji dan mempelajari hukum-hukum agama. Tidak ada hubungan dengan latar belakang akademis. Meskipun seseorang bergelar insiyur, doctor S3 lulusan perguruan tinggi terkemuka di luar angkasa, tetapi tidak tahu, tidak mau tahu dan malas mempelajari hukum Allah dan sunnah-sunnah Nabi, maka orang seperti ini masuk kategori jahil atau bodoh dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala) dan error ini, hendaklah memperhatikan hadits di bawah ini: “Apabila seorang fasiq dipuji, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan murka dan Arsy Illahi akan bergoncang.” ( Kitab Misykat ).
Pernyataan di atas janganlah serta merta disimpulkan bahwa kita tidak perlu memberikan pujian atau apresiasi kepada orang lain. Tetapi masalahnya adalah bergantung pada siapa yang perlu dipuji? Dalam kapasitas apa ia harus dipuji? Sejauhmana ia perlu dipuji? Yang harus ditegaskan di sini adalah, bahwa janganlah sekali-kali menghina dan mengkritik secara membabi buta dan tanpa dasar terhadap orang-orang shaleh, dalam hal ini para Shahabat, para Tabi’in, para wali Allah subhanahu wa ta’ala, alim ulama, pemimpin-pemimpin pemerintahan yang ikhlas dan taqwa (bukan karena strategi pencitraan) dan orang-orang Islam yang awam tetapi memiliki tekad dan kemauan keras untuk belajar dan meningkatkan kualitas iman dan ketaqwaannya dan sangat tidak perlu memuji mereka mereka yang tidak mempedulikan aturan syariat agama.
Sebuah pertanyaan, ”Jika seorang shahabat Nabi, atau ulama, atau orang shaleh berbuat suatu kekhilafan atau salah memberikan pertimbangan dalam satu masalah, apakah hal itu bermakna kita harus menutup mata atas semua sifatnya yang mulia?”
Syariat Islam yang suci ini telah mengajarkan kepada kita hingga perkara sekecil apapun dalam masalah kehidupan dan agama kita. Namun, walaupun kita mengaku sebagai pemeluk Islam, nampaknya kita tetap tidak mempedulikannya. Sementara orang-orang dari agama lain, banyak yang mengadopsi ajaran Islam ini, sehingga justru kini mereka menuai kesuksesan, sedangkan kita sibuk menyingkirkan syariat ini dari kehidupan kita yang pada akhirnya kita mendapatkan kerugian yang besar.
Pentingnya Memuliakan Ulama
Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada saat ini -- bahwa kita tidak saja berprasangka buruk dan mengabaikan adab-adab terhadap ulama, bahkan kita banyak menentang dan menghina mereka. Menurut ajaran Islam, perbuatan ini sangat berbahaya. Memang, dalam setiap kalangan selalu ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula di kalangan alim ulama. Namun, tentu saja ulama yang baik lebih banyak daripada yang buruk. Benar bahwa ada ulama suu' (buruk) dan ada ulama rasyad (yang diberi petunjuk), namun tidak ada batasan tertentu dalam hal ini.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan dalam masalah ini: Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu', janganlah sekali-kali kita membuat keputusan apa pun terhadapnya. Kedua, jika hanya karena  berprasangka buruk bahwa si pembicara adalah ulama' suu', janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih dahulu, karena sikap seperti itu merupakan kezhaliman. Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, serta hati, semuanya akan ditanya." (QS. Al-Israa: 36).
Pernah orang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab, lalu membacakannya kepada orang Islam. Nabi saw. bersikap sangat hati-hati, dan terhadap hal itu beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin, janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula menolaknya. Katakanlah, 'Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.'" Maksudnya, meskipun itu ucapan orang kafir, janganlah kita membenarkan atau menyalahkannya begitu saja sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Apabila ada orang yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kita, kita bukan saja menolaknya, bahkan kita menentangnya. Bahkan yang lebih parah,  kepada ahli kebenaran pun kita berbuat demikian.
Satu hal lagi yang harus kita ingat, bahwa ulama Haqqani (Haq), ulama Rusydi (yang benar), dan ulama Khairi (yang baik) adalah manusia juga. Yang ma'sum hanyalah para Anbiya a.s.. Oleh sebab itu; jika ada kesalahan, kelemahan, dan kekurangan pada diri mereka, tanggungjawabnya kembali pada diri mereka sendiri. Hanya Allah Yang berhak menentukan apakah adzab atau ampunan bagi mereka. Insya Allah, dengan Rahim-Nya, mereka akan diampuni sebagaimana majikan yang menyuruh pembantunya meninggalkan urusan pribadinya dan menyibukkan diri dalam tugas majikannya, sudah pasti majikan itu akan menyayanginya dan mudah memaafkannya. Apalagi Allah, tidak ada Majikan Yang lebih mulia daripada-Nya. Walaupun dengan keadilan-Nya Dia menyiksa seseorang, itu masalah lain.
Dengan demikian, apabila ada orang yang mengajak untuk berburuk sangka kepada alim ulama, membenci alim ulama, berusaha menjauhkan manusia dari alim ulama dan menyebabkan kekacauan dalam masalah agama, mereka adalah penyebab kerusakan agama, dan orang yang berbuat demikian akan mendapat siksa yang keras. Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan Allah ialah: memuliakan orang tua muslim, memuliakan pembawa (hafizh) Al-Quran yang tidak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil." (Abu Dawud - At-Targhib).
Hadits lain berbunyi:
"Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama." (Ahmad, Thabrani, Hakim - At-Targhib).
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Ada tiga jenis manusia, yang tidak merendahkan mereka kecuali orang munafik, yaitu orang muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang adil." (Thabrani - At-Targhib).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal: (1) Keduniaan berlimpah sehingga manusia saling mendengki. (2) Orang jahil berusaha menafsirkan Al-Quran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. "Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat Mutasyaabihaat, semuanya dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal." Apabila alim ulama dalam ilmunya saja tidak berani melangkah lebih jauh, adakah hak bagi orang-orang awam untuk berkomentar? (3) Alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku." (Thabrani - At-Targhib).
Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan kepada alim ulama. Dalam kitab Fatwa Alamghiri disebutkan bahwa kebanyakan ucapan buruk yang diucapkan mereka itu menyebabkan mereka terkena hukum kufur, namun kita mengabaikan hal ini. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam membicarakan ulama. Jika di dunia ini tidak ada alim ulama yang benar dan jujur, dan yang ada hanyalah orang-orang jahil dan ulama suu', Kita tetap tidak boleh menuduh seseorang itu ulama suu' hanya berdasarkan ucapan orang. Dalam keadaan demikian, setiap muslim di seluruh dunia wajib mewujudkan masyarakat Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki. Keberadaan alim ulama di tengah-tengah kita hukumnya fardhu kifayah. Apabila suatu jamaah sudah mewujudkan hal ini, maka tuntutan hukum fardhu gugur dari semuanya dan jika kita lalaikan usaha mewujudkan ulama yang hakiki ini, maka kita semua berdosa.
Dewasa ini,  perbedaan pendapat di kalangan alim ulama telah menimbulkan kegelisahan dan perpecahan di kalangan masyarakat. Dalam taraf tertentu mungkin ini ada benarnya, namun sebenarnya perbedaan pendapat ini bukan hanya terjadi pada lima puluh atau seratus tahun yang lalu, bahkan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah terjadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan sandalnya kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan bersabda, "Ambillah sandalku ini sebagai tanda, dan umumkanlah kepada kaum muslimin bahwa barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah dengan ikhlas, ia dijamin masuk surga." Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu berjumpa dengan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan bertanya, "Engkau hendak ke mana?" Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya. Umar radhiyallahu ‘anhu marah kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebab ia tidak sependapat mengenai hal tersebut. Umar radhiyallahu ‘anhu memukul dada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu hingga terjatuh ke belakang. Pada saat itu tidak ada protes, aksi unjuk rasa, ataupun resolusi untuk menentang perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhu berkenaan dengan perselisihan tersebut.
Di antara para sahabat radhiyallahu ‘anhum terdapat ribuan pendapat; dan diantara empat imam yang masyhur pun ada perbedaan pendapat dalam masalah fiqih. Mengenai shalat saja, dari takbir hingga salam, terdapat kurang lebih dua ratus perselisihan (misalnya cara mengangkat tangan, mengucapkan amin dengan keras atau pelan, dan sebagainya). Itu baru yang saya ketahui, belum yang di luar pengetahuan saya. Meskipun demikian, tidak pernah ada pamflet-pamflet dan poster-poster serta perdebatan  mengenai masalah tersebut. Rahasianya, masalah-masalah yang diperselisihkan itu tidak sampai ke telinga masyarakat awam. Perselisihan pendapat di antara alim ulama adalah rahmat dan merupakan sesuatu yang mesti terjadi. Misalnya, jika seorang ulama berfatwa mengenai suatu hukum syar'i dengan suatu hujjah, lalu ada ulama lain yang berpendapat bahwa hujjahnya salah, maka ulama tersebut harus mengeluarkan fatwa yang berbeda. Jika tidak, ulama itu telah berdosa dan bermaksiat.
Sebenarnya, orang-orang telah menjadikan perbedaan pendapat antar ulama sebagai alasan untuk tidak beramal. Padahal, di antara para dokter dan ahli hukum pun ada perbedaan pendapat, namun hal ini tidak pernah membuat orang-orang tidak berobat dan tidak mengajukan masalah tersebut ke pengadilan. Lalu mengapa dalam masalah agama, perbedaan pendapat di antara alim ulama dijadikan alasan? Bagi mereka yang ingin beramal, sangat penting agar mengikuti ulama yang mengamalkan sunah dan tidak perlu menjelek-jelekkan ulama lainnya. Mereka yang pemahamannya tidak sampai pada dalil-dalil dan pentarjihan (putusan dalil terkuat) tidak berhak campur tangan.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Mengajarkan ilmu kepada  orang yang bukan ahlinya berarti menyia-nyiakan ilmu."
Akan tetapi, kemerosotan agama sudah sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa berhak untuk mengomentari dan menjelaskan firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala. dan sabda-sabda Nabi saw. yang sudah  jelas  maknanya. Dalam keadaan seperti ini, adakah mereka dikatakan sebagai ulama?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"…Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Baqarah : 229).
Syarat-syarat ilmu
Syaikh Nawawi al-Bantani rahmatullah ‘alaih telah menulis dalam salah satu kitab karangannya Salalimul Fudhola, syarat-syarat ilmu ada 8 perkara yaitu :
1) Syarat pertama adalah mengamalkan segala yang diketahuinya
2) Syarat kedua menyebarkan Ilmu
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah:122)
Anas radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda kepada para sahabatnya, “Inginkah kalian aku beritakan tentang yang paling dermawan diantara para dermawan?” Para sahabat berkata: “Tentu Ya rasulullah” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah adalah dzat yang paling dermawan diatara para dermawan, dan aku anak adam yang paling dermawan, dan mereka yang paling dermawan setelahku adalah:
1. Orang yang mempelajari ilmu, lalu menyebarkannya, ia akan dibangkitkan di hari kiamat sebagai umat yang sendirian (istimewa) dan
2. Orang yang merdermakan dirinya di jalan Allah (fi sabilillah) hingga terbunuh.  (Terdapat dalam kitab Jamiush shogir, Juz 1, di dalam Syuabul iman, juz 2, dan di dalam At targhib wa tarhib, juz 1)
3) Syarat ketiga, tidak membanggakan diri dan berbantahan /berdebat
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bahwasanya beliau bersabda, ” Siapa saja yang menuntut ilmu karena 4 hal, niscaya masuk neraka:
1. Untuk membanggakan ilmunya kepada ulama, atau
2.Membimbangkan orang-orang bodoh, atau
3.Mengambil harta-harta dengan ilmunya, atau
4.Memalingkan perhatian masyarakat kepadanya dengan ilmunya itu” (Di dalam Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darami, Syuabul Iman juz 2, Az Zuhd, At Targibu wat Tarhib juz1, Al Kabir, kitab Tanbihul Ghofilin, ‘Awariful Ma’arif)
4) Syarat keempat, mempertimbangkan dalam penyebaran ilmunya dan tidak pelit dengan ilmunya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
“….Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikannya”…(QS. Al An’am : 90)
قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَ
“…Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan"... (QS Asy Syuro : 23)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, ‘Siapa saja yang mengetahui satu pengetahuan, lalu ia menyembunyikannya, niscaya Alloh akan memasangkan kendali (di lehernya) di hari kiamat dengan tali kekang dari api. (Di dalam Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan ibnu majah, Musnad Ahmad, Syuabul Iman, Targibu wat Tarhib, Ihya Ulumuddin)
5) Syarat kelima, tidak gengsi mengucapkan “Aku Tidak Tahu”
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  yang derajatnya tinggi tatkala beliau ditanya tentang hari kiamat, beliau bersabda, “Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari orang yang bertanya” (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Nasai)
Dan tatkala ditanya mengenai ruh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, “Aku tidak tahu” (Shahih bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Musnad Ahmad)
6) Syarat keenam, Bersikap tawadhu’ (rendah hati)
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَـٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqon : 63)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda kepada Abu Dzar radhiyaallahu ‘anhu, ” Wahai Abu Dzar, jagalah wasiat Nabimu, semoga saja Allah memberikan manfaat kepadamu sebab wasiat itu, rendah hatilah kamu karena Allah azza wa jalla, semoga saja Allah akan mengangkatmu di hari kiamat, Ucapkanlah salam kepada orang yang telah engkau temui dari umatku, orang baik-baik dan orang jahatnya, dan Kenakanlah pakaian berkain kasar, dan janganlah engkau menginginkan (melakukan semua itu), kecuali (bertujuan meraih ridha) Allah, semoga saja kesombongan dan amarah tidak diperkenankan ada dalam hatimu.
7) Syarat ketujuh, siap menanggung rasa sakit dalam mencurahkan nasihat dan mengikuti perilaku ulama salaf yang shaleh mengenai hal itu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ...
“..Dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS. Luqman : 17)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, “Tidak ada seorang Nabi yang disakiti sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan”  (Hilyatul Awliya, juz VI)
8.) Syarat kedelapan, ia bertujuan dengan ilmunya kepada orang yang lebih membutuhkan untuk belajar, sebagaimana ia bertujuan dalam bersedekah dengan harta kepada orang yang lebih membutuhkan, lalu kepada orang yang membutuhkan. 
Maka siapa yang telah menghidupkan orang bodoh dengan mengajarkan ilmu, maka seakan-akan ia telah menghidupkan seluruh manusia..Kita niatkan ketika dakwah wa tabligh saat khuruj fi sabilillah (keluar di jalan Allah)………..Insya Allah
Darul Uloom to oppose Right to Education  
Suasana di Darul Ulum Deoband 
http://salafytobat.files.wordpress.com/2008/07/jamaah-jalan-kaki-di-daerah-gempa-bumi.jpg 
Jamaah Jalan Kaki 
http://zikirbersulamcinta89.files.wordpress.com/2012/09/ijtima-tabligh-di-raiwind-pakistan-03.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar