Pages

Senin, 26 November 2012

90. YUSUF ISLAM DALAM USAHA DAKWAH DAN TABLIGH



http://www.casafree.com/modules/xcgal/albums/userpics/14079/Yusuf_Islam.JPG
Yusuf Islam

Popularitas dan kekayaan tidak menjamin seseorang hidup bahagia. Cat Steven bintang pop era tahun ’70-an, yang kemudian dikenal dengan nama Yusuf Islam, justeru merasakan kegelisahan hidupnya ketika sedang berada di puncak popularitas dimana ia hidup bergelimang harta.
Kegelisahan yang mendorongnya untuk menyusuri jalan panjang mencari Tuhan hingga ia menemukan cahaya Islam dan akhirnya menjadi juru dakwah lewat kegiatan musiknya dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Biografi

Courtesy: William McElligott
Nama lahir
Steven Demetre Georgiou
Nama lain
Steve Adams, Yusuf
Asal
London, Inggris
Genre
Folk Rock
Pop
Nasyid
Puisi
Pekerjaan
Pencipta, Musisi, Filantropis,
Instrumen
Vokalis, Gitar, Bass, Piano, Mellotron
Tahun aktif
1966–1980 (dengan nama Cat Stevens)
1995–present (dengan nama Yusuf Islam)
Label
Decca Records, Island Records, A&M, Polydor, Jamal Records, Atlantic/Ya Records
Artis terkait
Alun Davies
Situs resmi
http://www.yusufislam.org.uk

Kehidupan awal

Steven Georgiou adalah anak ketiga dari ayahnya yang merupakan seorang Siprus-Yunani dan ibunya yang berasal dari Swedia. Pada usia 8 tahun kedua orang tuanya bercerai.

Cat Stevens pada majalah Rolling Stone.
Cat Stevens (lahir dengan nama Stephen Demetre Georgiou, lahir di London, Inggris, 21 Juli 1948; umur 64 tahun, dan sekarang bernama Yusuf Islam) adalah seorang penulis lagu dan pemusik yang berasal Britania Raya.
Pada awal karier musiknya, Georgiou mengambil nama Cat Stevens. Sebagai Cat Stevens, ia berhasil menjual 40 juta album, kebanyakan pada tahun 1960-an dan 1970-an. Lagu-lagunya yang paling populer termasuk "Morning Has Broken", "Peace Train", "Moonshadow", "Wild World", "Father and Son", "Matthew and Son", dan "Oh Very Young".
Stevens menjadi seorang mualaf dan memeluk agama Islam pada tahun 1977 setelah mengalami near-death experience. Ia lalu mengambil nama Yusuf Islam dan menjadi seorang pendakwah dalam jamaah tabligh. Satu dasawarsa kemudian ada kontroversi ketika ia melontarkan pernyataan mendukung fatwa yang dikeluarkan menentang penulis Salman Rushdi, dan pada tahun 2004 namanya kembali dibicarakan lagi setelah ia ditolak masuk Amerika Serikat karena nama ditemukan pada sebuah daftar tidak boleh terbang (no-fly list). Ternyata terjadi kekeliruan dan yang dicari adalah orang lain bernama Youssouf Islam.
Yusuf Islam sekarang tinggal di London bersama istri dan lima anaknya di mana ia seorang anggota jamaah tabligh yang aktif. Ia mendirikan yayasan kemanusiaan Small Kindness yang mulanya menolong korban kelaparan di Afrika dan sekarang membantu ribuan anak yatim dan keluarga di Balkan, Indonesia, dan Irak. Islam juga mendirikan yayasan kemanusiaan Muslim Aid tetapi meninggalkannya sebagai Ketua pendiri pada 1999.

Diskografi (album)

Sebagai Cat Stevens

http://www.recordsale.de/cdpix/c/cat_stevens-cat_stevensdie_weisse_serie.jpg

  • Matthew and Son (1966)
  • New Masters (1967)
  • Mona Bone Jakon (1970)
  • Tea for the Tillerman (1970)
  • Teaser and the Firecat (1971)
  • Catch Bull at Four (1972)
  • Foreigner (1973)
  • Buddha and the Chocolate Box (1974)
  • Saturnight (Live in Tokyo) (1974)
  • Numbers (1975)
  • Izitso (1977)
  • Back to Earth (1978)
  • Majikat (2005)
  • Dan banyak antologi serta kompilasi lainnya.
Sebuah box set yang mengandung banyak rekaman aneh-aneh dan istimewa serta rekaman live diterbitkan pada tahun 2001.

Sebagai Yusuf Islam

http://cdn2.greatsong.net/photo/ext/999972985/yusuf-islam-3680.jpg

  • The Life of the Last Prophet (1995)
  • I Have No Cannons That Roar (1998)
  • Prayers of the Last Prophet (1999)
  • A is for Allah (2000)
  • I Look I See (2003)
  • An Other Cup (2006)

 My Photos by
Bintang Penyanyi Pop
Sejak kecil Yusuf Islam sudah akrab dengan panggung-panggung hiburan karena bisnis keluarganya bergerak dalam bidang itu. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan kalangan sosial kelas tinggi di Inggris. Sebagai penganut ajaran Kristen, keluarganya mengajarkan Yusuf bahwa Tuhan itu ada, tapi manusia tidak bisa melakukan kontak langsung dengan Tuhan. Umat Kristiani meyakini Yesus sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.
“Aku terlahir dari sebuah rumah tangga Nasrani yang berpandangan materialis. Aku tumbuh besar seperti mereka. Saya menerima ajaran itu, tapi saya tidak menelannya mentah-mentah,” kata Yusuf. “Saya melihat patung-patung Yesus, mereka cuma benda mati tanpa nyawa. Saya tambah bingung ketika mereka bilang Tuhan satu tapi tiga. Tapi saya tidak mendebat pernyataan itu. Saya menerimanya, karena saya harus menghormati keyakinan orang-orang tua saya,” sambungnya.
Beranjak dewasa, Yusuf mulai menggeluti musik dan ia mulai melupakan kebingungannya terhadap ajaran agamanya karena ia sendiri mulai jauh dari kekristenan. Impiannya saat itu hanyalah menjadi bintang musik pop. Apa yang ia lihat dan ia baca di media massa sangat mempengaruhi pemikirannya untuk menjadi seorang bintang. Yusuf punya paman yang punya mobil mewah dan mahal. Ketika itu Yusuf berpikir, pamannya punya mobil mewah karena punya banyak uang.
“Banyak orang di sekeliling saya memberi pengaruh pada pemikiran saya bahwa uang dan dunia adalah Tuhan mereka. Sehingga saya memutuskan untuk bahwa itulah hidup saya. Banyak uang, hidup enak,” tutur Yusuf. “Muncul kekagumanku melihat para artis yang aku saksikan lewat berbagai media massa sampai aku mengganggap mereka sebagai dewa tertinggi. Lantas akupun bertekad mengikuti pengalaman mereka. Dan benar, ternyata aku menjadi salah seorang bintang pop terkenal yang terpampang di berbagai media massa. Pada saat itu aku merasa bahwa diriku lebih besar dari alam ini dan seolah-olah usiaku lebih panjang daripada kehidupan dunia dan seolah-olah akulah orang pertama yang dapat merasakan kehidupan seperti itu.”
Meski demikian, Yusuf mengaku saat itu masih ada sisi kemanusiaan jauh di dalam hatinya, keinginan untuk membantu sesama manusia jika ia jadi orang kaya kelak.
Yusuf pun membangun karirnya sebagai musisi dan penyanyi. Dalam usia yang masih remaja, Yusuf sudah mengenyam kesuksesan dan keinginannya menjadi seorang ‘bintang besar’ tercapai. Nama dan foto-fotonya muncul di hampir seluruh media massa. Yusuf pun merasakan kenikmatan dunia, tapi itu tak membuatnya jadi puas, ia ingin kehidupan yang lebih dan lebih dari apa yang ia miliki, sayangnya Yusuf terjerumus ke jalan yang salah. Ia memilih narkoba dan minuman keras untuk mencari kehidupan yang ia inginkan itu.
Mencari Kebenaran
Baru setahun Yusuf mengenyam kesuksesan dalam karir dan finansialnya. Yusuf terkena tubercolusis akibat gaya hidup dan kebiasaannya menenggak minuman keras dan narkoba. Ia sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itu Yusuf pun berpikir, ‘mengapa saya di sini, tergelatak di tempat tidur?, ‘apa yang terjadi pada saya? apakah saya cuma seonggok tubuh? apakah tujuan hidup saya semata-mata hanya untuk memuaskan tubuh ini?. Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikirannya dan ia mencoba mencari jawabannya.
Karena pada masa itu di kalangan masyarakat Barat sedang trend mempelajari hal-hal yang berbau mistis dari Timur, Yusuf pun ikut mempelajarinya. Ia mulai sadar tentang kematian. Ia mulai melakukan meditasi dan menjadi vegetarian. Tapi pertanyaan-pertanyaan bahwa dirinya bukan hanya seonggok tubuh manusia, tetap mengganggu pikirannya.
Sebagai bintang pop, namanya terus merangkak ke tangga popularitas. Kekayaan terus mengalir, tapi ketika itu Yusuf mulai mencari kebenaran. Ia pun belajar agama Budha, namun di satu sisi, Yusuf belum berani meninggalkan kehidupan glamournya, meninggalkan kenikmatan dunia dan hidup seperti layaknya pendeta Budha, mengisolasikan diri dari masyarakat.
Selanjutnya, Yusuf juga mempelajari Zen dan Ching, numerologi, kartu tarot dan astrologi, balik lagi mempelajari alkitab, tapi Yusuf tidak menemukan apa yang dicarinya, kebenaran yang hakiki. Sampai kemudian apa yang disebutnya mukjizat itu datang.
Suatu ketika dalam pengalamannya pernah berhadapan dengan maut sewaktu sedang mandi di pantai karena kaki mengalami kekejangan, semakin lama semakin jauh dihanyutkan,  beliau berbisik di dalam hati, jika Tuhan menyelamatkannya dia akan bekerja untuk Tuhan. Tak lama datang ombak besar dan menghanyutkannya ke tepi pantai. Hidayah Allah itu mulai datang ketika beliau menerima terjemahan Al-Quran dari adiknya yang baru balik dari Palestina. Beliau bercerita :
“Saudara lelaki saya baru saja kembali dari kunjungannya ke Yerusalem dan disana ia mengunjungi sebuah masjid. Saudara saya itu sangat terkesan melihat masjid yang ramai dikunjungi orang, seperti ada denyut kehidupan, tapi atmosfir ketenangan dan kedamaiannya tetap terasa. Berbeda rasanya ketika ia mengunjungi gereja dan sinagog yang sepi,” kata Yusuf.
Ketika kembali ke London, saudara lelakinya itu memberikan al Quran pada Yusuf Islam. “Dia tidak masuk Islam, tapi ia merasakan sesuatu di agama ini (Islam) dan ia pikir saya juga akan merasakan hal yang sama. Saya menerima al Quran pemberian saudara saya itu dan membacanya. Saat itulah saya merasakan bahwa saya telah menemukan agama yang benar, agama yang tidak seperti pandangan masyarakat Barat selama ini bahwa agama hanya untuk orang-orang tua,” tukas Yusuf.
Ia melanjutkan, “Di Barat, jika ada orang yang ingin memeluk satu agama dan menjadikannya sebagai cara hidunya, maka orang yang bersangkutan akan dianggap fanatik. Tapi setelah membaca al Quran saya yang awalnya bingung tentang tubuh dan jiwa, akhirnya menyadari bahwa keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan, Anda tidak perlu pergi ke gunung untuk menjadi religius.”
Saat itu, satu-satunya yang diinginkan Yusuf Islam adalah menjadi seorang Muslim. Dari al Quran ia tahu bahwa semua Rasul dan Nabi dikirim Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyampaikan pesan yang sama. “Mengapa kemudian Yahudi dan Kristen berbeda? Kaum Yahudi tidak mau menerima Yesus sebagai Mesiah dan mereka mengubah perintah-perintah Tuhan. Sementara Kristen salah memahami perintah-perintah Tuhan dan menyebut Yesus sebagai anak Tuhan. Tapi dalam al Quran saya menemukan keindahan, al- Quran melarang menyembah matahari atau bulan tapi memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan merenungi semua ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala,” papar Yusuf Islam.
“Ketika aku terus membaca al-Qur’an aku dapati bahwa al-Qur’an mengandung jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca al-Qur’an berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak mulia dan akupun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta.” Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwaku, membuat perasaan bangga terhadap diriku sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwaku yang terdalam.”
“Ketika saya membaca al Quran lebih jauh lagi, al Quran bicara soal shalat, sedekah dan perbuatan baik. Saya belum menjadi seorang Muslim saat itu, tapi saya merasa al Quran adalah jawaban buat saya dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengirimkannya pada saya,” sambung Yusuf Islam.

Cat Steven, Masuk Islam Saat di Puncak Ketenaran Sebagai Artis

Yusuf Islam kemudian memutuskan untuk berkunjung ke Yerusalem. Di kota suci itu, ia datang ke masjid dan duduk di sana. “Seseorang bertanya, apa yang ia inginkan, saya menjawab bahwa saya seorang Muslim.” Orang itu bertanya lagi, siapa nama saya. Saya jawab ‘Steven’. Orang itu tampak bingung. “Saya ikut shalat berjamaah, meski shalat saya tidak begitu baik,” kisah Yusuf menceritakan pengalamannya di sebuah masjid di Yerusalem.
Kembali ke London, Yusuf menemui seorang muslimah bernama Nafisa dan mengatakan bahwa ia ingin masuk Islam. Nafisa kemudian mengajak Yusuf ke Masjid New Regent. Ketika itu tahun 1977, satu satu setengah tahun sesudah ia membaca al Quran yang diberikan saudara lelakinya. Pada hari Jum’at, setelah shalat Jum’at, Yusuf menemui imam masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun menjadi seorang Muslim. Nama Cat Steven diganti menjadi Yusuf Islam.
http://annalyttiger.files.wordpress.com/2007/10/yusuf_islam_aka_cat_stevens.jpg
“Saya pun akhirnya tahu bahwa saya bisa melakukan kontak langsung dengan Tuhan, tidak seperti dalam agama Hindu dan Kristen yang harus melalui perantara. Dalam Islam, semua penghalang itu tidak ada . Satu-satunya yang membedakan orang yang bertakwa dan tidak bertakwa adalah shalatnya, shalat adalah proses pemurnian diri,” papar Yusuf Islam.
“Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa apa yang saya lakukan saat ini adalah untuk Allah swt semata. Saya berharap Anda mendapatkan inspirasi dari pengalaman saya ini. Satu yang ingin saya katakan, saya tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan seorang Muslim pun sebelum saya masuk Islam. Saya lebih dulu membaca al Quran dan menyadari bahwa tak seorang pun sempurna. Tapi Islam adalah agama yang sempurna dan jika kita mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, hidup kita akan selamat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing umat Rasulullah Muhammad saw ke jalan yang lurus. amiin,” kata Yusuf Islam menutup pembicaraan.(islam.online.com)

Cerita Yusuf Islam (dalam versi lain) dan Aktivitasnya dalam Usaha Dakwah dan Tabligh.

Cat Steven adalah nama yang tidak asing bagi penggemar Pop Inggris bahkan sampai saat ini. Lagu Cat Stevens “Morning Has Broken” sempat menduduki anak tangga Top 10 tingkat internasional dimasa kejayaannya. Sejak masuk Islam, ia berganti nama menjadi Yusuf Islam dan kini aktif berkelana khuruj fi sabillillah dari satu negara ke negara lain untuk berdakwah sebagaimana aktivis jamaah tabligh lainnya. Hidayah, apabila telah menghampiri seseorang maka akan merubah jalan hidupnya.
“Aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku dengan segala permembuatanku. Aku harus menentukan tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid dan mengumumkan keislamanku” demikian Cat Steven memulai hidup barunya.
“Aku dilahirkan di London, jantung dunia Barat. Aku dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era teknologi mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan peradabannya, negara Inggris. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan aku belajar di sekolah Katholik yang mengajarkanku tentang agama Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan.
“Kehidupan di sekelilingku adalah kehidupan materi. Paham materialis gencar diserukan dari berbagai media informasi. Mereka mengajarkan, kekayaan adalah kekayaan harta benda yang sesungguhnya, dan kefakiran adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika adalah contoh negara kaya dan negara-negara dunia ketiga adalah contoh kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan kepapaan.
“Karena itu, aku harus memilih dan meniti jalan kekayaan, supaya aku bisa hidup bahagia; supaya aku dapat kenikmatan hidup. Karena itu, aku membangun falsafah hidup bahwa dunia tidaklah ada kaitannya dengan agama. Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa.”
“Lalu, aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan cara yang paling mudah -menurutku- adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu, dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama “Cat Stevens”. Dan tidak berapa lama, yakni ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak.”
“Ketika aku berada di puncak ketenaran, aku melihat ke bawah. Aku takut jatuh! Aku dihantui kegelisahan. Akhirnya, aku mulai minum minuman keras satu botol setiap hari, supaya memotivasi keberanianku untuk menyanyi. Aku merasa orang-orang di sekelilingku berpura-pura puas. Padahal, dari wajah mereka, tak seorang pun tampak puas, kepuasan yang sesungguhnya. Semuanya harus munafik, bahkan dalam jual beli dan mencari sesuap nasi, bahkan dalam hidup! Aku merasa, ini adalah sesat. Dari sini, aku mulai membenci kehidupanku sendiri. Aku menghindar dari orang banyak. Aku lalu jatuh sakit. Aku kemudian diopname di rumah sakit karena sakit paru-paru. Ketika di rumah sakit kondisiku lebih baik karena mengajakku berpikir.”
“Aku memiliki iman kepada Allah. Tetapi, gereja belum mengenalkanku siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai pada hakikat Tuhan sebagaimana yang dibicarekan gereja! Pikiranku buntu. Maka, aku memulai berpikir tentang jalan hidup yang baru. Aku memiliki buku-buku tentang akidah dan masalah ketimuran. Aku mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan seperti ada perasaan, aku harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku tidak tahu keberadaan dan pengertiannya.”
“Aku tidak puas berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku mulai berpikir dan mencari kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam kekayaan, ketenaran, puncak karir maupun di gereja. Maka aku mulai mengetuk pintu Budha dan falsafah China. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru.”
“Aku lalu pindah kepada ajaran komunis. Aku mengira bahwa kebajikan adalah dengan membagi kekayaan alam ini kepada setiap manusia. Tetapi, aku merasa bahwa ajaran komunis tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, keadilan adalah engkau mendapat sesuai apa yang telah engkau usahakan, dan ia tidak lari ke kantong orang lain.”
“Lalu, aku berpaling pada obat-obat penenang. Agar aku memutuskan mata rantai berbagai pikiran dan kebimbangan yang menyesakkan. Setelah itu, aku mengetahui bahwa tidak ada akidah yang bisa memberikan jawaban kepadaku. Yang bisa menjelaskan kepadaku hakikat yang sedang aku cari. Aku putus asa. Dan ketika itu aku belum mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka aku tetap pada keyakinanku semula, pada pemahamanku yang pertama, yang aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa gereja sedikit lebih baik darinya. Aku kembali lagi kepada gereja. Aku kembali mengarang musik seperti semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku berusaha ikhlas demi agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan baik. Aku berangkat dari pemikirang Barat yang bergantung pada ajaran-ajaran gereja. Yakni, ajaran yang memberikan inspirasi kepada manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika ia melakukan pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap pekerjaannya.”
“Pada tahun 1975 terjadi suatu yang luar biasa, yakni ketika saudara kandungku tertua memberiku sebuah hadiah berupa satu mushaf Alquran. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi al-Quds Palestina. Setelah kunjungan tersebut, aku mulai mempelajari kitab yang dihadiahkan oleh saudaraku itu. Suatu kitab yang aku tidak mengetahui apa isi di dalamnya, juga tak mengetahui apa yang dibicarakannya. Lalu aku mencari terjemahan Alquran al-Karim setelah aku mengunjungi al-Quds. Pertama kalinya, melalui Alquran aku berpikir tentang apa itu Islam. Sebab, Islam menurut pandangan orang Barat adalah agama yang fanatik dan sektarian. Dan umat Islam itu sama saja. Mereka adalah orang-orang asing, baik Arab maupun Turki. Kedua orang tua saya berdarah Yunani. Dan orang Yunani sangat benci kepada orang Turki Muslim. Karena itu, seyogyanya aku membenci Alquran yang merupakan agama dan pedoman orang-orang Turki, sebagai dendam warisan. Tetapi, aku memandang, aku harus mempelajarinya (terjemahannya). Tidak mengapa aku mengetahui isinya.”
“Sejak pertama, aku merasa bahwa Alquran dimulai dengan Bismillah (dengan nama Allah), bukan dengan nama selain Allah. Dan ungkapan Bismillahirrahmanirrahiim begitu sangat berpengaruh dalam jiwaku. Lalu surat al-Fatihah itu berlanjut dengan Faatihatul Kitab, Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin. Segala puji milik Allah Sang Pencipta sekalian alam, dan Tuhan segenap makhluk.”
“Sampai waktu itu, pemikiran saya tentang Tuhan begitu lemah tak berdaya. Mereka mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Allah adalah Maha Esa, tetapi terbagi menjadi tiga dzat! Bagaimana? Saya tidak mengerti’!” “Dan, mereka mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Tuhan kita bukanlah Tuhannya orang Yahudi.”
“Adapun Alquran, maka ia mulai dengan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan segenap alam semesta. Alquran menegaskan keesaan Sang Pencipta. Dia tidak memiliki sekutu yang berbagi kekuasaan dengan-Nya. Dan, ini adalah pemahaman baru bagiku. Sebelumnya, sebelum aku mengetahui Alquran, aku hanya mengetahui adanya pemahaman kesesuaian dan kekuatan yang mampu mengalahkan mu’jizat. Adapun sekarang, dengan pemahaman Islam, aku mengetahu bahwa hanya Allah semata yang mampu dan Maha Kuasa abeg segala sesuatu.”
“Hal itu masih dibarengi dengan keimanan terhadap hari akhir dan bahwa kehidupan akhirat itu abadi. Jadi, tidaklah manusia itu dari segumpal daging kemudian berubah setiap hari kemudian menjadi debu, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli biologi. Sebaliknya, apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini sangat menentukan keadaan yang akan terjadi dalam kehidupan di akhirat nanti. Alquran-lah yang menyeruku kepada Islam. Maka aku pun memenuhi seruannya. Adapun gereja yang menghancurkanku dan memmembuatku lelah dan letih, maka dialah yang mengantarkanku kepada Alquran. Yakni, ketika aku tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan jiwa dan kalbuku.”
“Di dalam Alquran aku melihat sesuatu yang asing. Ia tidak sama dengan kitab-kitab lain. Ia tidak mengandung beberapa bagian atau sifat-sifat yang ada dalam kitab-kitab agama lain yang telah kubaca. Di sampul Alquran juga aku tidak mendapatkan nama pengarangnya. Karena itu, aku yakin betul dengan makna wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus-Nya. Kini aku telah memahami dengan jelas betul tentang perbedaan Alquran dengan Injil yang ditulis oleh tangan-tangan pengarang yang berbeda-beda sehingga melahirkan kisah-kisah yang bertentangan.”
“Aku berusaha untuk mencari kesalahan di dalam Alquran, tetapi aku tidak menemukannya. Semua isi Alquran adalah sesuai dengan pemikiran keesaan Allah yang murni. Dari sini, aku mulai mengenal tentang apa itu Islam.” “Alquran bukanlah satu-satunya risalah. Sebaliknya, di dalam Alquran didapatkan nama-nama semua nabi yang dimuliakan oleh Allah. Alquran tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan teori ini sangat logis. Sebab, jika anda beriman kepada seorang nabi dan tidak kepada yang lainnya, berarti anda telah mengingkari dan menghancurkan kesatuan risalah. Dari sejak itu, aku memahami bagaimana berantainya risalah sejak awal penciptaan manusia. Dan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu terdiri dari dua barisan, mu’min dan kafir. Alquran telah menjawab semua hal yang kupertanyakan. Dengan demikian, aku merasa bahagia. Kebahagiaan mendapatkan kebenaran.”
“Aku mulai membaca Alquran semuanya, sepanjang satu tahun penuh. Aku mulai menerapkan pemahaman yang aku baca dari Alquran. Saat itu aku merasa bahwa akulah satu-satunya muslim di muka bumi ini. Lalu aku berpikir bagaimana aku menjadi muslim yang sesungguhnya. Maka aku pergi ke masjid London dan aku mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan, ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah’.”
“Ketika itu, aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang berat, bukan suatu pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku telah dilahirkan kembali. Dan aku telah mengetahui ke mana aku berjalan bersama saudara-saudara muslimku yang lainnya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang dari mereka. Seandainya pun ada seorang muslim yang menemuiku dan mengajakku kepada Islam, tentu aku menolak ajakkannya, karena keadaan umat Islam yang diremehkan dan diolok-olok oleh media informasi Barat. Bahkan, media umat Islam sendiri sering mengolok-olok hakikat Islam. Mereka justru sering mendukung berbagai kedustaan dan kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, padahal mereka ini tidak mampu memperbaiki bangsa mereka sendiri yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya.”
“Aku telah mempelajari Islam dari sumbernya yang utama, yaitu Alquran. Selanjutnya, aku mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan sunnahnya mengajarkan Islam kepada umat Islam.
Aku lalu mengetahui kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku sudah lupa musik. Aku bertanya kepada kawan-kawanku, “Apa aku mesti melanjutkan karir musikku?” Mereka menasehatiku agar aku berhenti, sebab musik akan melalaikan dari mengingat Allah. Dan itu bahaya besar. Aku menyaksikan pemuda-pemudi yang meninggalkan keluarga mereka dan hidup di tengah-tengah musik dan lagu. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai oleh Islam, yang menganjurkan dibangunnya generasi-generasi tangguh.”
Aku mencapai puncak ketenangan di saat aku mengetahui bahwa aku dapat bermunajat langsung dengan Rabbku melalui ibadah shalat. Berbeda dengan agama-agama lain yang harus melalui perantara.”
Lagu Cat Stevens “Morning Has Broken” sempat menduduki anak tangga Top 10 tingkat internasional dimasa kejayaannya. Sejak masuk Islam kemudian berganti nama menjadi Yusuf Islam, dan kini waktunya ia habiskan untuk melakukan aktifitas dakwah dan perjuangan untuk kemaslahatan agama ini. Ia ikut andil di dalam berbagai lembaga dan yayasan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan sosial termasuk aktif dalam program khuruj fisabilillah Jamaah tabligh. Semoga Allah memberinya ganjaran yang baik atas sumbangsih yang telah ia berikan kepada kita, agama Islam dan kaum muslimin.
http://files.myopera.com/khairbakhsh/blog/Yusuf%20Islam.jpg 
http://myakwa.files.wordpress.com/2010/09/yusuf-islam2.jpg
Sumber:
1. SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad Shalih al-Qahthani, penerbit DARUL HAQ.
2. Perjalanan “Cat Stevens” Menjadi “Yusuf Islam” Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Idonesia
3. kisahmuallaf.com/jeff-perkins-lagu-cat-stevens-menuntunya-menjemput-hidayah/

Berkat Lagu Cat Stevens, Asbab Jeff Perkins Mendapat Hidayah
“Be you dust or be you star. To be what you must, just reach out for what you are. And though you travel many roads, there’s but one way and that’s the one you chose.”
Lirik lagu itu mewakili perjalanan seorang berkebangsaan Inggris, Jeff Perkins (53 tahun) dalam menemukan Islam. Sementara pelantun lagu tersebut, Yusuf Islam — dikenal dengan nama Cat Stevens — adalah sesosok idola yang menuntun Jeff mengenal Islam.
Jeff Perkins Sebelum Memeluk Islam

Jeff Perkins


Sebelum mendalami Islam, Jeff mempelajari beberapa agama, termasuk agamanya sendiri, Kristen. Merasa bahwa dirinya adalah seorang penganut Kristen yang tidak taat, ia mencoba mendatangi gereja untuk mengikuti kuliah agama. Namun kuliah-kuliah itu dirasanya sia-sia, karena ia tetap tak dapat berbicara tentang agamanya itu dengan kepastian.
“Aku gagal menerima Trinitas dan bahkan berusaha keras meyakini keaslian Bibel. Aku merasa ada beberapa jilid darinya yang tertinggal atau diubah,” katanya.
Tak berhasil menemukan jawaban dari ajaran Kristen, Jeff mulai membaca banyak buku tentang agama lain. Ajaran Hindu dinilainya menarik, namun Jeff merasa terlalu rumit untuk bisa mengikuti ajarannya. Dari Hindu, ia membaca tentang Meher Baba, tokoh spiritual India yang pada 1954 mendeklarasikan diri sebagai inkarnasi dewa. Selesai membedah ajaran Hindu, Jeff beralih pada buku-buku Buddha.
Hingga titik itu, Jeff belum memikirkan Islam. Satu hal tentang Islam yang ia ketahui adalah bahwa beberapa teman kerjanya di masa lalu memeluk agama itu. “Keberadaan mereka berlalu begitu saja tanpa pernah membuatku bertanya lebih jauh tentang Islam. Lagipula pada masa itu aku tak sekalipun tertarik mengetahuinya,” ujarnya.
Suatu hari, menjelang kepindahannya dari London ke Hesdin, Prancis, seorang teman di tempat kerja memberinya sebuah CD album “Tea for the Tillerman” (Cat Stevens). Jeff sejak lama menyukai lagu-lagu Stevens. Jeff tahu penyanyi idolanya itu telah menjadi seorang Muslim dan mengganti namanya menjadi Yusuf Islam.
Sejak sering mendengarkan lagu-lagu Stevens, Jeff banyak menggali informasi tentang penyanyi itu melalui internet. Ia juga membaca tulisan Stevens tentang kehidupan dan perjalanannya menemukan Islam. Di sana, Jeff menemukan banyak tautan yang membawanya pada halaman-halaman Islam.
“Apa yang dikatakan Stevens dalam tulisan-tulisannya begitu masuk akal. Penjelajahannya dalam berbagai agama terdengar lazim dan benar-benar menginspirasi. Aku ingin berterima kasih padanya saat ini. Stevens membawa Islam ke hadapanku.”
Jeff Perkins Masuk Islam
Satu hari, saat bepergian ke kota mode Paris, Jeff dan istrinya tertarik melihat Masjid Raya Paris dari dekat. Mereka hanya melihat dari luar, dan di sana Debbie membelikan Jeff sebuah Alquran. Satu kesempatan lain, mereka berdua pergi ke Kairo. Di sana, mereka mendengar adzan untuk pertama kalinya.
“Aku masih ingat, saat itu aku sedang berbaring di samping kolam sambil minum bir. Suara adzan terdengar seperti musik yang memenuhi penjuru kota,” kata Jeff.
Suara itu menghentikan aktivitas Jeff. Ia terdiam di sepanjang alunan adzan. “Ia terdengar misterius, indah, dan entah bagaimana ia terasa begitu akrab. Ia seperti musik dan sangat terhubung denganku.”
Sejauh itu, Jeff sama sekali tidak menyadari bahwa mereka mulai meniti sebuah jalan menuju Islam. Kehidupan Jeff dan istrinya tak berubah begitu saja sepulang dari Mesir. Jeff kembali ke kehidupannya yang kacau, juga kegemarannya meminum alkohol.
Tiga tahun yang lalu, Jeff dan istrinya kembali bepergian. Kali ini ke Casablanca, Maroko. Di sana, Jeff tertarik mendatangi ke sebuah wilayah Islam. Saat itu bertepatan dengan Ramadhan, sehingga setiap malam Jeff dan Debbie menyaksikan ribuan Muslim berbondong-bondong mendatangi Masjid Hassan II, masjid terbesar di Maroko.
Awalnya, mereka memilih berjalan-jalan di sekitar masjid sambil mengamati kegiatan Muslim dari luar masjid. Kemudian Jeff memutuskan untuk melihat isi masjid dengan ditemani pemandu.
Keluar dari sana, Jeff dan istrinya tidak saling membicarakan masjid tersebut. Saat berkesempatan membicarakannya, barulah keduanya sadar bahwa masjid tersebut meninggalkan kesan mendalam dalam hati masing-masing. “Saat berada di dalamnya, kami berdua sama-sama merasakan perasaan damai, seperti baru pulang dari perjalanan jauh,” ujar Jeff.
Setelah itu, Jeff dan istrinya membaca lebih banyak tentang Islam. Debbie ingin lebih memahami posisi perempuan dalam Islam, sementara Jeff ingin mengetahui posisi Yesus dalam agama itu.
“Aku juga membaca bahwa Muslim tidak minum alkohol, dan itu membuatku khawatir bahwa aku akan sangat kesulitan meninggalkan kebiasaan itu jika memilih Islam,” paparnya.
Jeff memutuskan menghubungi Yusuf Bonner, seorang mualaf Inggris yang bekerja di Islamic Education and Research Academy atau iERA — sebuah organisasi dakwah internasional di London. Yusuf datang mengunjungi Jeff beserta istrinya. Ia mengajak mereka berdua shalat di sebuah masjid Prancis.
Saat itu, kata Jeff, ia tidak memiliki petunjuk apapun tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Ia bahkan berpikir bahwa ia dan istrinya tidak akan diizinkan memasuki tempat ibadah itu. Di luar dugaan Jeff, ia dan Debbie diterima dengan sangat baik. “Waktu itu, hati kami sudah sangat dekat dengan Islam,” kata Jeff.
Di saat yang sama, ia dilanda kehawatiran karena tidak mengenal satupun Muslim. Ditambah, Islam digambarkan oleh media secara negatif dan dicitrakan sebagai agama yang pantas dicurigai. Namun saat mulai bertemu beberapa Muslim, Jeff menemukan sesuatu yang sangat berlawanan. “Muslim tidak seperti itu.”
Terkait citra negatif Islam, Jeff menyoroti peristiwa 11 September di AS. “Peristiwa itu diotaki oleh para teroris yang sangat terorganisir, bukan oleh Muslim yang kau temui di masjid,” tegas pria kelahiran Maret 1958 itu.
Jeff akhirnya memilih Islam. Baginya, Islam menjawab pencariannya dengan sebuah struktur yang jelas, juga petunjuk dan kedisiplinan. Dengan Alquran, shalat, Ramadhan, dan banyak hal lain dalam Islam, ia merasakan kemudahan untuk pertama kalinya.
Akhir Oktober 2009, Jeff dan istrinya memutuskan untuk menjadi Muslim seutuhnya. Mereka duduk berdampingan dan mengucapkan syahadat bersama. Setelah itu, mereka shalat bersama untuk dengan panduan sebuah buku yang dibeli Jeff di London. “Aku masih ingat betapa saat itu aku masih bingung mengikuti panduan itu.”
Beberapa hari kemudian, 3 November 2009, Yusuf Bonner kembali datang dari London untuk menyaksikan dan mendokumentasikan pengucapan syahadat Jeff dan istrinya. Jeff dan Debbie bersyahadat untuk kedua kalinya dengan disaksikan Yusuf dan rekannya, Jamaal. “Sebelumnya, kami merasa telah menjadi Muslim dan juga telah menjalankan shalat lima waktu. Namun mengucap syahadat dengan disaksikan Muslim lain adalah satu langkah penting yang memantapkan keislaman kami.”
Kehidupan Jeff Perkins Setelah Menjadi Muslim
Jeff tinggal bersama istrinya di sebuah rumah tua, sebuah desa kecil yang tenang di Prancis bagian Selatan. Wilayah itu dipilih Jeff enam tahun lalu karena memudahkan ia dan istrinya menjangkau tempat kerja. Setelah pensiun pada 2008, Jeff bekerja di Jollity Farm, sebuah perkebunan di wilayah selatan California.
Hanya saja, Jeff merasa ketenangan itu tak lengkap karena sikap masyarakat sekitarnya yang kurang menerima Islam. Kondisi itu, kata Jeff, membuat mereka merasa terisolir. Beberapa teman dari Inggris yang dulu sering mengajak mereka ke gereja, misalnya, tak mau menemuinya lagi sejak ia dan Debbie menjadi Muslim.
“Itu menyakitkan, dan kami merasa sendirian. Tapi kemudian kami membuang perasaan itu, karena kami hanyalah dua dari jutaan Muslim di seluruh dunia. Kami tahu kami tidak sendiri,” paparnya.
Untuk alasan itu, Jeff menganjurkan istrinya mengenakan hijab hanya saat ia berada di luar wilayah tempat tinggal mereka. “Aku sangat berhati-hati dengan perasaan dan pandangan sejumlah orang Prancis pada Muslim. Di sini, Muslim adalah penduduk kelas dua,” ujar Debbie menimpali cerita Jeff.
Di luar Prancis pun, kata Jeff, ia dan Debbie selalu betindak hati-hati. Bahkan, saat berada di negara kelahiran mereka, Inggris, Debbie pernah mendapat ucapan yang tidak menyenangkan saat keluar mengenakan hijab. Sejak itu mereka memilih menghindari konflik yang bisa timbul dari stigma negatif masyarakat terhadap atribut keislaman.
“Kami berupaya menunjukkan identitas keislaman kami dari sikap dan perbuatan, dari cara kami memperlakukan sesama. Itu akan menjelaskan banyak hal pada mereka tentang Islam,” ujar Jeff.
Permasalahan Jeff tak berhenti di situ. Dari rumahnya, masjid terdekat hanya bisa dijangkau dengan dua jam perjalanan menggunakan mobil. Sehingga ia memiliki sedikit kesempatan bersosialisasi dengan Muslim lainnya. Persoalan itu menjadi lebih rumit karena Jeff dan istrinya tak mengerti bahasa Prancis. Akibatnya, Jeff mengaku tidak mengerti 99 persen isi khutbah yang didengarkannya setiap Jumat.
Jeff pun berpikir keislaman mereka tidak akan berkembang dengan mendiamkan keadaan itu. Ia mulai membangun semacam komunitas Islam online, salah satunya dengan memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Melaluinya Jeff bertemu ribuan Muslim dari berbagai belahan dunia, dan berbagi banyak hal di sana. “Dari situ aku sadar, bukan hanya aku yang mengalami hari-hari tidak menyenangkan. Kami belajar bersyukur.”
Ia yakin, dirinya masih memiliki banyak hal menyenangkan. Salah satunya adalah sikap keluarganya yang menerima dan mendukung pilihannya. Termasuk kedua anak laki-laki hasil pernikahan terdahulunya. “Mereka banyak bertanya tentang Islam, sangat menyayangi Debbie dan menjaganya seperti ibu mereka sendiri. Aku berharap mereka akan memperoleh hidayah suatu saat,” ujar mantan petugas kepolisian London ini.
Jeff menambahkan, di atas semua itu, kesyukuran terbesarnya selain menjadi Muslim adalah keislaman istrinya. “Semua akan jauh lebih sulit jika Debbie belum memeluk Islam. Kebersamaan kami menjadikan kami lebih kuat,” katanya menutup perbincangan.
Tiga tahun telah berlalu, Jeff mantap mengucap syahadat bersama istrinya, Debbie (51). Mereka kini menjalani hidup di sebuah desa kecil di wilayah selatan Prancis, dengan tatapan sinis masyarakat setempat yang membenci Islam. Tak mau kalah oleh keadaan, Jeff terus memperdalam Islamnya. Ia ingin menjadi Muslim yang lebih baik dan mendakwahkan Islam sebagai agama damai.
Saat telah mengenal Islam, Jeff merasa ia telah berhenti mencari. “Aku merasa Islam benar, seolah memang agama itulah yang kucari selama ini. Semua pertanyaan di otakku terjawab,” tuturnya kepada wartawan Republika Devi Anggraini Oktavika lewat surat elektronik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar